HIKMAH - BELAJAR MENYADARI
Menyadari artinya menghubungkan diri dengan kesadaran. Sumber dari ketenangan. Menyadari artinya mengamati, mengetahui, menonton, tanpa melibatkan emosi.
Kalau pakai ilsutrasi pemain bola, menyadari itu seperti pelatih yang mengamati permainan tim asuhannya, tanpa ikut bermain. Sedangkan merasakan itu seperti pemain bola yang terlibat langsung dalam permainan.
Kita langsung saja pada bahasan, untuk sampai pada menyadari kesadaran, kita sebaiknya melatih dulu sadar dengan lima panca indera kita. Kalau sudah menjadi kebiasaan, baru ditingkatkan ke menyadari yang lebih halus.
Lima panca indera itu adalah penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap (lidah), dan peraba (kulit).
Mau mulai dari mana saja bebas, supaya mudah dibahas dari atas saja, dari mata. Sambil pasrah total dan santai total, tapi sadar penuh, sadari mata kita yang sedang melihat, disadari ya bukan dirasakan. saya sadar, bahwa mata saya sedang melihat tulisan, misalnya. Kalau merasakan, saya merasakan, mata saya pegal, cukup nyaman, tapi agak berair, misalnya. Kita menyadari, bukan merasakan.
Setelah kita cukup nyaman, mengamati mata kita yang sedang terbuka, kita tambahkan dengan mengamati telinga kita yang sedang mendengar. Kita mengamati mata yang sedang terbuka dan telinga yang sedang mendengar, pada waktu bersamaan, kalau sudah nyaman, terus tambahkan dengan hidung yang merasakan nafas, lidah yang terasa mengecap, dan benda yang tersentuh kulit. Sampai bisa menyadari aktivitas lima indera kita, pada waktu bersamaan, dan rasakan ketenangan yang muncul.
Dengan aktivitas menyadari ini, biasanya pikiran berhenti, karena fokus kita ada di panca indera kita. Dengan pikiran berhenti, maka ketenangan mulai muncul. Jika ketenangan bertahan lama, maka energi tenang itu akan menempel di badan kita. Dan kalau dibiasakan akan jadi program bawah sadar yang bekerja secara otomatis.
*
DUA JENIS KESADARAN
• KESADARAN YANG PERTAMA adalah kesadaran yang biasa dipakai oleh para ilmuan. Kesadaran ini bisa diukur oleh alat.
Inilah kesadaran seperti ini dengan sebutan tingkatan mental. Mental di sini adalah kondisi pikiran dan perasaan, yang didalamnya ada sifat atau watak seseorang. Misalnya pemalu, pemarah, tenang, pemberani, senang pada kebersihan, peduli lingkungan, cinta pada Tuhan dan lain-lain. Ini adalah kesadaran dalam bahasan kita sehari-hari.
Kesadaran seperti ini bisa berkembang bisa berubah. Makanya saya sebut tingkatan mental, karena masih bisa meningkat. Yang tadinya di tingkat 100 bisa naik ke tingkat 125, dan seterusnya. Kesadaran seperti ini bisa berubah.
• KESADARAN YANG KEDUA adalah kesadaran yang biasa dibahas oleh para spiritualist, dan ini adalah kesadaran yang saya bahas di tulisan saya. Kesadaran ini adalah yang mengamati perasaan dan pikiran kita. Dia hidup. Tapi dia tidak mungkin diukur dengan alat. Misal, frekuensi kesadaran adalah sekian hertz. Tidak mungkin sebab dia bukan materi.
Kalau pun mau coba diukur, ini seperti mengukur panas matahari dengan mengukur panasnya air yang tersinari matahari, hasilnya pasti lain. Sama juga, mau mengukur kesadaran yang dibahas para spiritualist dengan cara mengukur gelombang otak misalnya, ya beda. Otak bukanlah kesadaran. Kalau kita sedang panik, gelombang otak pasti tinggi. Tapi, kesadaran tetap tidak berubah.
Kalau kesadaran versi ilmuan yang saya sebut tingkatan mental bisa berubah. Lain dengan kesadaran versi spiritualist, dia tidak berubah. Tetap. Tidak membesar tidak mengecil. Tidak menguat tidak melemah. Tetap. Salah satu alasan kenapa tidak berubah, sebab tidak membutuhkan perubahan. Tidak ada perlunya untuk berubah.
Kesadaran yang biasa kita bahas sehari-hari adalah tingkatan mental kita yang sebaiknya terus berubah ke arah yang lebih positif. Sedangkan kesadaran yang biasa saya tulis adalah kesadaran yang biasa dibahas oleh para spiritualist, dia sudah bahagia apa adanya, tak perlu ada perubahan.
*
KESADARAN DAN TUHAN
Supaya tidak dianggap menuhankan diri sendiri, ada baiknya kita membahas hal ini. Supaya belajar kita makin nyaman, memahami apa yang sedang dilakukan, dan di wilayah yang mana kita bertindak.
Orang yang berkesadaran itu bukan Tuhan, kita ya tetap kita, walau pun kita sampai bisa memisahkan diri dengan tubuh, pikiran dan perasaan, dan masuk ke kesuwungan, kita tetap ada tubuh yang lain namanya tubuh kausal, tubuh kekosongan, dan jelas ini bukan Tuhan.
Orang yang bisa bersatu dengan kesadaran, dan dia sadar penuh bahwa dia sedang bersatu dengan kesadaran, dia tetap bukan Tuhan, dia tetaplah manusia yang punya keterbatasan. Kalau memang dia adalah Tuhan, cobalah minta dibuat satu matahari, kalau dia Tuhan harusnya bisa, cuma satu matahari buat Tuhan harusnya tak ada masalah. Saya rasa tak akan ada yang bisa, sampai dimana pun kesadaran kita berada, kita tetaplah kita, kita bukanlah Tuhan.
Belajar kesadaran memanfaatkan karunia Allah yang telah diberikan pada kita, agar kita bisa lebih banyak karya yang dibuat di dunia ini.
Belajar kesadaran pun sama seperti itu, kita hanya memanfaatkan karya Allah yang telah ada dalam tubuh kita. sudah itu saja. Apa lagi kalau dengan mempelajari ini, kita jadi tambah dekat sama Allah, tambah baik, tambah ikhlas, bukankah itu sesuai dengan ajaran agama kita.
Dan dalam belajar kesadaran ini, agar selalu minta dibimbing Allah. Minta diberikan petunjuk supaya selalu berada dijalan yang lurus.
Begitu saja ya, Sekali lagi, orang yang bisa menyadari kesadaran dirinya dengan penuh dia bukan Tuhan, dia tetaplah manusia yang punya banyak keterbatasan.
*
KESADARAN AKAN RUH, AWAL MENGENAL ALLAH
Ketika Manusia terlahir ke alam dunia, sampai saat ini menjadi manusia yang berakal, tidak sedikit bagi mereka itu yang terlena dengan kehidupan dunia dan berbagai macam kemegahan yang ada di dalam dunia. Sehingga begitu umur semakin bertambah maka semakin dirinya terdinding oleh keinginan-keinginan dan hasrat untuk menguasai dunia ini.
Tanpa disadari bahwa itu semua akan menjadikan ia semakin jauh dari kesadaran bahwa Allah SWT senantiasa mengawasi dan melihat kepadanya. Tidak jarang bagi mereka yang terlena oleh keinginan-keinginan itu telah jatuh kepada perangkap “Hawa Nafsu”, dimana hal itu pada hakikatnya menjadikan ia orang-orang yang merugi.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka-mereka yang terjebak oleh hawa nafsu tidak menyadari bahwa perbuatan-perbuatannya di dunia ini apapun yang di lakukan, apakah itu menyangkut urusan dunia maupun urusan amal ibadah yang katanya itu adalah urusan akhirat, maka itu bukan mengantarkan ia semakin dekat dengan Allah, malah menyebabkan ia semakin jauh dengan Allah.
Semua itu terjadi karena tidak adanya kesadaran pada dirinya tentang Pencipta Seru Sekalian Alam yaitu Allah SWT.
Begitu ditanyakan kepada mereka tentang Allah, spontan mereka mengatakan bahwa “Aku berbuat ini… dan itu…, semua karena Allah. Ibadah yang kulakuan ini pun semuanya karena Allah. Sholat ku, Puasaku, Zakat, dan Haji, semua kulakukan karena Allah semata.
Tidak jarang di antara mereka dengan bangga dirinya mengatakan bahwa aku adalah salah seorang diantara orang-orang yang dekat dengan Allah, karena aku ini sudah banyak sekali dalam hal ketaatanku beramal Ibadah baik yang wajib-wajib maupun yang sunah-sunah. Bukankah itu adalah suatu bukti bahwa aku termasuk orang yang dekat dengan Allah?
Ada lagi diantara mereka-mereka itu yang menjadikan Kitab Allah Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi sebagai bahan untuk tameng sebagai kebenaran untuk membenarkan apa-apa yang ia dapatkan dalam perjalanan ilmu yang telah ia kuasai dan ia pahami baik sewaktu di sekolah-sekolah umum, pesantren maupun padepokan-padepokan.
Ketahuilah…! Apa-apa yang dilakukan dari segi amal ibadah maupun penuntutan ilmu di sekolah-sekolah sampai kepada pesantren dan padepokan-padepokan dan juga hafalnya ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-hadits itu semua sangat…, sangat…, sangat…, baik sekali.
Akan tetapi yang perlu diketahui dan dimengerti adalah jangan sampai itu semua didasari oleh Hawa Nafsu. Jika perbuatan baik itu didasari oleh hawa nafsu maka tunggulah perselisihan dan pertengkaran akan semakin meluas serta tidak jarang perdebatan akan berujung pada hujat menghujat, cela mencela, caci mencaci, fitnah memfitnah.
Apakah itu bukan sesuatu yang membawa mudhorat? Dan sesuatu yang membawa mudhorat apakah si pelaku itu apa tidak berdosa?
Sungguh, hawa nafsu itu bukan hanya menipu seseorang kepada hal-hal yang bersifat duniawi saja, melainkan juga dari segi amal ibadah pun hawa nafsu bisa menjerat mereka-mereka yang taat dalam amal ibadah. Sehingga yang tadinya kita fikir kita sudah melakukan sebaik-baiknya dalam ketaatan amal ibadah ternyata dibalik itu ketaatan itu amal ibadah yang dilakukan itu semuanya tidak ada nilai positifnya di pandangan Allah.
Walau pada lisannya mengatakan “Lillahi Ta’ala (Karena Allah Ta’ala)” tetapi pada kenyataannya apa-apa yang dilakukannya tadi dalam ketaatan amal ibadah bukan “Lillahi Ta’ala (karena Allah Ta’ala)” melainkan “Linnafsii (karena diriku)”.
Untuk itu, agar tidak terjebak oleh hawa nafsu (keinginan diri), maka sudah seharusnya mereka mengenal akan Allah dan menyadari bahwa tidak ada yang berlaku dalam urusan apapun melainkan itu semua karena Allah SWT semata-mata.
Sadarilah, bahwa kehidupan yang ada pada diri yang disebut dengan Ruh itu adalah saksi hidupnya Allah SWT, dengan menyadari kehidupan (Ruh) itu maka sama halnya kita menyadari bahwa Allah itu dekat dengan diri kita.
Apakah Ruh yang ada pada diri itu jauh? Apakah Ruh yang ada pada diri itu dari buka mata sampai tutup mata kembali ia meninggalkan diri kita? Ya…, ya…, sadarilah, bahwa Ruh itu selalu menyertai dimana kita berada kemanapun kita pergi, dimanapun kita bertempat.
Ruh itulah sebenarbenarnya diri kita yang bernama “Fulan”. Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita adalah kehidupan itu sendiri yaitu Ruh, dan Ruh itu sebagai saksi hidup adanya Allah SWT, maka sadarilah, Ruh itu tidak jauh melainkan dekat. Itulah sebagai saksinya bahwa Allah itu sangat dekat dengan kehidupan kita. Rasakanlah, diri kita dan kenalilah bahwa diri kita itu adalah Ruh dan Ruh itu adalah saksi hidup Allah.
Kesimpulannya adalah, dengan merasakan bahwa Ruh itu sangat dekat maka sama halnya kita merasakan Allah itu sangat dekat. Dengan kita merasakan bahwa Ruh itu selalu menyertai diri kemana saja pergi maka sama halnya kita merasakan bahwa Allah senantiasa menyertai kita dimana kita berada. Sadarilah, dan Renungkanlah…!
Di dalam perjalanan Hakikat, “merasakan itu sama halnya dengan melihat, bukan dengan mata melainkan dengan Hati melalui rasa”. Jadi, dengan kita merasakan Ruh tadi, sama halnya kita melihat Allah bukan dengan mata, melainkan dengan hati melalui rasa.
Karenanya semua menunjukkan bahwa Allah itu sangatlah dekat sekali dengan diri kita. Tidak jauh dan tidak berjarak. Dan selalu serta kemana saja kita berada……”Wahuwa Ma’akum Aynama Kuntum” (Aku (Allah)serta kamu di manapun engkau berada).
Inilah dasar dari pada Ma’rifatullah, menyadari dan mengerti akan saksi Hidupnya Allah SWT yang meliputi atas tiap-tiap sesuatu juga pada diri sendiri. “Wa Fii Anfusikum Afa laa Tub’siruun” (dan juga pada dirimu sendiri kenapa engkau tidak memperhatikannya?)
Semoga dengan ini akan menjadi dasar bagi kita untuk merasakan kehadiran Allah pada diri kita yang menunjukkan bahwa Allah itu sekali-kali tidak lah jauh pada diri kita, kemanapun kita berada. Tanpa Allah diri kita tidak dapat berbuat apa-apa, ”Laa Tatakharroka illa bi’iznillah” (Tidak bergerak sekecil zarrah pun melainkan itu semua dengan Izin Allah).
Lalu, dimanakah amal yang kita bangga-banggakan itu…?
Dimanakah Ilmu yang kita agung-agungkan itu…?
Dimanakah pangkat kedudukan yang kita dewa-dewakan itu…?
Maka semuanya kembali hanya kepada Allah. Segala puji itu bagi Allah seru sekalian alam.
Adapun kita ini hanyalah insan yang tiada daya tiada upaya lagi bodoh.
*
MEMBANGUN KESADARAN (Jiwa) JALAN MENUJU TUHAN
Membangun jiwa?...
Bisa saja membangun jiwa kepemimpinan
Jiwa kesuksesan...jiwa pantang menyerah...jiwa yg teguh...
Jiwa yg penuh empati... Jiwa yg penuh kasih sayang....
Jiwa yg dipenuhi daya Tuhan
.... Jalan untuk membangun jiwa inilah yg disebut jalan menuju Tuhan...
Membangun kesadaran adalah sebuah proses....sedangkan langkahnya menapaki
Dalam sebuah Hukum Tuhan (sunatullah).... Sebuah hukum yg biasa disebut Hukum Alam (fithrah)
.....
SIAPAKAN SEBENAR-BENARNYA YANG MENYENGAJAI ?
Siapakah yang secara SADAR BERBUAT ? ....
.... Ketahuilah bahwa Siapa Yang menciptakan maka pasti dia mengetahui !
SIAPA SEBENAR-BENARNYA YANG MEMPUNYAI KESADARAN ?
Bukankah Engkau yang tadi tidur lalu dibangunkan-NYA.
Lalu ada terbangun kesadaran BADAN yakni terbangun,
Lalu terbangun kesadaran AKAL yaitu berbuat sesuatu secara sengaja berdaya cipta dengan ILMU.
Lalu terbangun kesadaran HATIMU yaitu secara sengaja mempercayai dengan IMAN kepada Allah.
Lalu terbangun kesadaran RUHMU yakni secara sengaja menyaksikan dengan ICHSAN kepada Allah.
TAHUKAH KAMU SIAPA YANG SEBENAR-BENARNYA EMPUNYA KESADARAN ITU SEMUA ?
MAKNA MAKNA KESADARAN
1. KESADARAN TUBUH (KESADARAN CHAYAWANIYYAH)
Kesadaran Tubuh itu Hawa Nafsu
Kesadaran tubuh itu Kesadaran Chayawaniyyah. Karena hanya berkaitan dengan fisik dan segala yang terkait dengan materi seperti makan, minum dan kawin.
2. KESADARAN AKAL (KESADARAN 'AQLIYYAH)
Kesadaran 'aqliyyah atau kesadaran akal yaitu Ilmu. Kesadaran sebagai manusia yaitu kesadaran dalam berdaya cipta atau beraktivitas dengan jalan yang teratur mengikuti hukum sebab akibat dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Walaupun kesadaran akal itu pada dasarnya kesadaran yang positif, namun masih dapat atau masih memungkinkan dikuasai oleh hawa nafsu juga.
Dikisahkan dalam Al Quran kaum yg menetapi jalan menuju Tuhan menggunakan ilmu,
Yaitu kaum Nabi Musa yg mencari Tuhan dengan akal.
Kaum ini sangat berakal dan sangat berilmu sehingga apapun ingin dibuktikan...
Dikisahkan ketika diperintahkan mencari sapi betina, maka mereka menginginkan hakekat sapi betina tersebut
Sedemikian teliti dan detail yg mereka inginkan agar terpenuhi "hakekat sapi"
Tentu saja menurut pendapat dan pandangan mereka.
Kisah kaum ini sangat banyak dikisahkan di Al Quran, bagaimana mereka selalu menuntut bukti,
Bahkan mereka menuntut agar Tuhan membuktikan dirinya dan memperlihatkan wujud kpd kaum ini,
Segala hal selalu harus dibuktikan,. Akal adalah kunci dalam jalan ini...
Dan bukti kaum ini masih dapat kita saksikan sekarang ini yaitu kaum yahudi
3. KESADARAN HATI (KESADARAN DINIYYAH)
Kesadaran hati adalah Kesadaran Diniyyah atau kesadaran mentaati agama yaitu Iman. Di mana seseorang yang memiliki kesadaran hati akan menghambakan dirinya kepada Allah atau dengan kata lain kesadaran untuk menundukkan hawa nafsunya dan akalnya untuk mengabdikan diri kepada Allah semata. Dan bercita-cita dengan kesungguhan untuk menggapai sepenuh-penuhnya kebahagiaan akhirat.
Kesadaran hati atau Iman, yaitu dikisahkan dalam Al Quran dg contoh kisah kaum Nabi Isa... Yaitu kaum yang dipenuhi perasaan, kaum yg menggunakan hati. Kaum yg penuh kasih sayang.
Kaum yg tolong menolong, kaum yg hanya menggunakan hati. Bila dipukul pipi kanan, maka akan diserahkannya
Pipi kirinya. Demikianlah kaum ini yg menggunakan rasa iman. Sebuah keyakinan yg tdk memerlukan logika.
Tidak perlu bukti dan tidak perlu hal lain, cukup percaya dan selesailah jalan ini. Saya dengar dan saya taat.
Tidak perduli dengan bukti, dan tidak perlu hal yg rasional, alasan dan penjelasan. Demikianlah pandangan kaum inipun terus berlanjut. Walaupun tentu saja disana sini dimasukkan ilmu dan akal sebagai penunjang. Namun prinsipnya jalan menuju Tuhan hanya perlu keyakinan hati. Ada atau tidak adanya bukti bukan hal yg penting. Yang diutamakan adalah hati, yaitu perasaan, yaitu rasa iman.
4. KESADARAN RUH (KESADARAN HAKIKI)
Kesadaran ruh adalah Kesadaran Hakiki pada diri manusia yang bersifat Ketuhanan yaitu Ichsan. Kesadaran hakiki adalah kesadaran tertinggi dari apa yang dapat dicapai oleh manusia berkat rahmat Allah terhadap dirinya. Sehingga seseorang yang mencapai kesadaran ruh ini akan selalu mengarahkan dirinya untuk mencapai Pengenalan Allah yaitu dengan mencintai dan merindui Allah dan Rasul-Nya.
Kesadaran Ruh (kesatuan akal dan hati), yaitu yg disebut ihsan.
Sebagian besar pasti sudah tahu makna ihsan, yaitu kesadaran untuk Melihat Allah.
Inilah pintu ketiga. Kedua jalan diatas yg diturunkan kepada Nabi sebelumnya telah disempurnakan
Yaitu dengan menggunakan pintu "kesadaran". Pintu ihsan. Kesadaran diatas akal dan hati.
Kesadaran yg meliputi akal dan kesadaran yg meliputi hati, kesadaran inilah sesuatu yg tahu.
Sesuatu yg sadar, sesuatu yg belajar, sesuatu yg merasakan yg berada di atas nafs,
Yg berada di bawah, berada di luar dan berada di dalam.
Pintu ketiga adalah kesadaran untuk selalu melihat Allah.
Kesadaran selalu dalam pengawasan Allah, kesadaran selalu berhadapan dengan Allah
Kesadaran bahwa Allah melihat apa yg ada di dalam dada, apa yg kita fikirkan, apa yg kita khayalkan,
Apa saja yg diangankan, dibayangkan, dikehendaki, disukai, dibenci, apa saja... Ya semua.
Kesadaran inilah yg akan menuntun diri dalam pengajaranNya
Ketika menuntut ilmu akan mendapatkan hikmah yaitu batasan yg mampu dicapai ilmu
Lalu mulai meyakini hal tersebut...sebagai sebuah iman...
Ketika menggunakan hati maka akan mampu menggunakan akal
Dalam menentukan referensi baik buruk...
Demikian kesadaran ini akan meliputi akal
Kesadaran ini akan meliputi hati
Dan akhirnya kesadaran ini akan meliputi "Ruh"
Kesadaran ihsan adalah Kesadaran Ruh, karena ruh adalah yg berasal dan dekat dg Allah
Dan ruh adalah yg mampu mengenal Allah
Maka dengan ruh ini, kesadaran akan mampu meliputi nafs, Allah menjadi real (nyata)
....
Jalan. Tuhan yg telah mulai diteguhkan oleh Nabi Ibrahim yaitu Tauhid.
Menghidupkan akal dan hati.
Dikuatkan oleh Nabi Musa dg jalur akalnya, dilanjutkan oleh Nabi Isa di sisi hatinya
Disebutkan oleh Nabi Muhammad di kedua hal diatas dan meliputi akal dan hati.
Nabi Muhammad menuntut akal u tuk terus belajar dan menggunakan hati dalam kasih sayang
Setiap hal yg dimulai dg niat karena Allah menyebarkan kasih sayangNya bernilai ibadah.
....
Sungguh...
Seharusnya kita yg hidup di masa sekarang ini harus bersyukur
Ada jalur yg lebih mudah yaitu jalur kesadaran, pintu ihsan.
...pintu ilmu dan pintu hati yg telah dilakukan kaum dahulu
Telah kita baca akibatnya....
Namun umat nabi Muhammad dibebaskan memilih pintu mana saja
Pintu ilmu yaitu menggu akan akal sampai menemukan bukti
Atau pintu hati yang hanya mengimani saja...
Dan atau memilih pintu ihsan, yaitu justru pintu termudah.
....
Bagaimana efek orang yang takut kepada Allah yg melihat Allah di hadapannya,
Maka dia akan sangat berhati-hati bersikap dan berbuat
Bahkan berfikirpun akan berhati-hati
Akan selalu di bawah pengawasanTuhan.
...
Sungguh...orang yg selalu diawasi Tuhan
Akan berakhlak baik,akan berusaha berbuat yg terbaik sesuai kehendak Tuhan.
Pintu manapun yg akan kau pilih, terserah saja.
Keseriusan dan kesungguhan berbuat yg menentukan.
Sehingga jiwa akan puas. Jiwa puas dg takdir Tuhan.
Jiwa ridho adalah tolok ukur seorang yg berjalan di jalan ini.
Yaitu jiwa yg selalu diberi rasa nikmat.
Jiwa yg mukhlasin, jiwa yg ikhlas di tangan Tuhan.
Jiwa yg berserah atas aturan Tuhan secara suka rela
Menjadi wakilNya di bumi.
Salah satu pintu termudah adalah pintu kesadaran (ihsan).
Pintu akal menuntut pembuktian ilmu yg tiada henti dan tiada habisnya
Untuk mencapai yakin (iman)
Pintu hati menuntut aturan dan syariat yg berat agar mencapai iman
Pintu kesadaran (ihsan) hanya perlu sadar.
Sebuah hal yg sangat mudah....
Apakah mau memasuki pintu ini?.
Terserah kepada anda. Apakah percaya atau tidak.
(Semua sudah digariskan Sang Pemilik Alam semesta ini)
*
MENYATUKAN DIRI DENGAN TUHAN DALAM KESADARAN
Ada terbentang garis batas yang memisah antara Tuhan dengan manusia yang merupakan benang merah yang tak bisa ditembus dengan cara apapun termasuk dengan cara atau metode yang ditawarkan sufisme.Tuhan tetap Tuhan dan manusia tetap manusia, masing masing tak bisa berganti posisi, Tuhan tidak mungkin berposisi sebagai manusia dan manusia mustahil dapat berposisi sebagai Tuhan
Ada tarekat-aliran sufisme yang mengajarkan suatu cara - metode melalui ritual tertentu dengan dilandasi filisofi bahwa untuk sampai kepada ke menyatuan dengan Tuhan maka manusia harus mencapai level kehilangan kesadaran diri sebagai manusia.
Tarekat Maulawiyah melakukan Tarian Mistis Darwis (Whirling Dervish Dance), tarian dari Turki ini menggambarkan seorang laki-laki memakai jubah panjang, menari berputar seperti gasing (sehingga jubahnya menyerupai payung ketika berputar), sambil menelengkan kepala dan menengadahkan tangannya dengan diiringi musik, puisi dan dzikir.Kemudian puncaknya mereka mengalami ekstase (mabuk).
Tarian ini juga dianggap sebagai bagian dari meditasi diri. Meditasi ini sangat erat kaitannya dengan ajaran sufistik Islam. Para penari pun diharapkan menggapai kesempurnaan imannya, menghapuskan nafsu, menanggalkan ego, dan hasrat pribadi dalam hidup. Kemudian, penari akan mengalami ekstase dan melebur bersama sang Ilahi.
Thoriqoh Naqsyabandiyah berdzikir dengan diam dan menahan nafas, Thoriqoh Qadiriyah berdzikir nyaring berdiri dan duduk.
Thoriqoh al-Muwafaqah membaca asmaul husna.
Thoriqoh Junaidiyah membaca:
Subhaanallah 4.000 kali pada hari Ahad
Alhamdulillah 4.000 kali pada hari Senin
Laa ilaaha illallah 4.000 kali pada hari Selasa
Allaahu akbar 4.000 kali pada hari Rabu
Laahaula walaa quwwata illa billah 4.000 kali pada hari Kamis
Ketika melakukan dzikir bisa timbul rasa takut, duka atau rindu, sehingga membuat mereka merintih, mengerang, mencabik-cabik pakaian, hingga mengalami ekstase (mabuk). Ada juga terlanda rasa harap, gembira dan bahagia, sehingga mereka gembira, menari dan bertepuk-tangan. Bahkan cabikan kain sufi (khiraq) ini di ambil untuk mendapatkan berkah darinya.
..................
Masalahnya, betulkah Tuhan dapat digapai hanya ketika manusia kehilangan kesadaran diri (ekstase) ?
Ini adalah filosofi-cara pandang tentang Tuhan serta tentang bagaimana hubungan manusia-Tuhan yang menyesatkan yang dikarang karang oleh manusia yang menyebut diri 'sufi',karena filosofi seperti itu disamping tidak diajarkan oleh satupun dari kitab suci yang diturunkan Tuhan melalui para nabi serta tidak ada seorang nabi pun yang mengajarkan-mencontohkan atau menganjurkannya juga berlawanan dengan cara berfikir akal sehat
Menggapai Tuhan justru dapat diperoleh hanya ketika manusia berada dalam kesadaran penuh,artinya ketika akal budi masih melekat dalam diri,ketika akal budi sudah hilang akibat ekstase-mabuk apakah mabuk oleh karena minum vodka atau hilang karena melakukan tarian Darwish maka jalan untuk menggapai Tuhan justru menjadi terputus
Justru ada bahaya besar ketika manusia telah berada pada level 'ekstase' alias ketika akal budi telah terlepas dari diri karena saat seperti itu manusia tak dapat lagi mengontrol fikirannya serta tak dapat lagi mengontrol apa yang masuk kedalam fikirannya.ketika akal budi tengah jaga-sadar sepenuhnya maka manusia dapat mengontrol fikiran fikiran buruk yang hadir kedalam jiwa nya sebagai bisikan setan.tetapi ketika tengah kehilangan kesadaran diri maka kontrol itu menjadi hilang.dan saat seperti itu imajinasi imajinasi liar dapat masuk kedalam jiwa termasuk imajinasi yang membisikan kepada sang jiwa bahwa ia telah mengalami 'kemanunggalan dengan Tuhan',bahwa kini ia 'bukan lagi manusia'. maka keluarlah ucapan ucapan yang 'ganjil' bagi akal seperti ungkapan 'ana al haqq' yang diucapkan Syech siti djenar
Padahal bagaimana manusia bisa menggapai kemenyatuan dengan Tuhan apabila ia sendiri mensejajarkan diri dengan Tuhan.dalam pandangan akal sehat manusia hanya bisa mengalami kemenyatuan dengan Tuhan hanya apabila menyadari diri masih sebagai manusia-makhluk Tuhan yang serba terbatas dimana dari bayangan keterbatasan itu mengalirlah gambaran tentang yang maha tak terbatas
Analoginya ibarat seorang pelayan yang dapat menyatu dengan jiwa sang majikannya hanya apabila dirinya menyadari serta memposisikan sebagai hamba sahaya dihadapan tuannya.tetapi bila sang pelayan itu sudah merasa sejajar dan sederajat dengan tuannya maka sang tuan mungkin akan membencinya dan akan mengusir nya pergi ..
Seseorang dapat disebut 'menyatu dengan Tuhannya' justru ketika ia dapat menghayati sifat sifat baik Tuhannya dan mengaplikasikannya dalam bentuk amal perbuatan baik terhadap sesamanya sesuai dengan kehendak sang penciptanya itu,tetapi ini hanya dapat dilakukan hanya apabila manusia tengah dalam keadaan sadar artinya akal fikirannya tengah dalam keadaan terkontrol
Dengan kata lain,menghayati apa yang menjadi kehendak Tuhannya dan mengaplikasikannya dalam bentuk amal perbuatan nyata merupakan cara terbaik menyatukan diri dengan Tuhan
Dan dengan kata lain, menyatukan diri dengan Tuhan itu harus dalam keadaan memiliki kesadaran diri bukan sebaliknya-dalam ketidak sadaran (ekstase)
*
MENYADARI NAFAS
Nafas ini salah satu kunci yang baik untuk mengikat pikiran supaya tidak banyak bergerak. Ketika kita menyadari nafas kita, kita sulit untuk berpikir. Coba saja lakukan, amati nafas kita sambil membayangkan sesuatu.
Yang kadang sering salah itu, kita bukan mengamati nafas, tapi merasakan nafas. Apa salah? Ya kurang pas. Sebab kalau sudah melibatkan perasaan, berarti sudah melibatkan emosi, kalau emosi sudah terlibat, maka pikiran juga biasanya bergerak.
Kata utamanya adalah menyadari dan mengamati. Kalau mau sambil menikmati juga boleh, tapi yang lebih didahulukan adalah, menyadari bahwa kita sedang menikmati, jadi kita tetap tidak hanyut oleh sensasi yang terjadi ketika kita bernafas.
Kita itu hanya menyadari, mengamati, menonton, tanpa ikut melibatkan emosi. Boleh melibatkan emosi, tapi sadari emosi yang terlibat. Jangan sampai lupa, bahwa kita sedang menyadari.
Ketika kita terjaga, tidak sedang tidur, kita memerlukan fokus, fokus ini yang kita sadari, boleh dimana saja, hanya saja, yang banyak dipakai oleh para pejalan spiritual adalah di nafas. Sampai ada dzikir nafas. Letakan fokus kita di nafas.
Pastikan ketika kita menyadari nafas, kita tidak merasa capai. Kalau sudah merasa capai, berarti kita pakai tenaga. Kita tidak pakai tenaga, hanya meletakan fokus saja di nafas.
Boleh memperlambat aliran nafas, selama tidak mengganggu kenyamanan bernafas. Tapi, kalau sudah mengganggu kenyamanan bernafas, lebih baik dibiarkan alami saja. Kalau memang pendek, ya biarkan saja. Kita hanya menonton saja. Kalau dilakukan dengan pasrah total, santai total, kita tidak akan capai, malah lebih tenang.
Ketika kita bisa mengamati nafas, maka fikiran berhenti, ketika pikiran berhenti, maka batin kita mulai bening, ketika batin kita bening, maka munculah ketenangan.
Niatkan kita istirahat, batin kita istirahat, sambil mengamati nafas. Istirahat itu seperti tidur, tidur tapi terjaga. Istirahat sambil beraktifitas. Yang bergerak yang perlu bergerak saja. Sisanya istirahat.
*
APA ITU KESADARAN ?
Untuk ke sekian kalinya saya menulis tentang apa itu kesadaran. Tak apalah, biar makin paham saja. Saya pun tidak mengajak teman-teman untuk sepaham dengan yang saya ceritakan, ini berbagi cerita saja. Kalaulah masuk akal, boleh direnungkan, kalau tidak masuk akal, ya lupakan saja.
Kesadaran. Kesadaran yang saya bahas ini kata benda, bukan kata kerja. Kesadaran juga bagian dari tubuh kita. Ada tubuh, pikiran, perasaan dan kesadaran.
Tubuh fungsinya sesuai yang 5 indera itu, melihat, mendengar dan lain-lain.
Pikiran fungsinya berpikir.
Perasaan fungsinya merasakan.
Kesadaran fungsinya menyadari atau mengamati.
Sederhananya begitu.
Dan ini alami, jadi tidak perlu bingung-bingung. Misalnya, saya sadar bahwa saya sedang membaca tulisan ini, nah untuk menyadari ini, kita memerlukan bagian tubuh kita yang bernama kesadaran, tanpa adanya kesadaran, kita tidak bisa mengamati. Kalau kita beranggapan, kesadaran adalah bagian dari pikiran, ya tak apa-apa, hanya sekarang kita pisahkan dulu, antara pikiran dan kesadaran.
Kalau mau merasakan bagaimana sensasi badan ketika kita sedang menyadari, lakukan dan Katakan dalam hati, kalau sambil bersuara lebih bagus, katakan dengan penuh kesadaran, lakukan hal berikut ini :
a. Sambil membaca tulisan ini, katakan, "saya sadar bahwa saya sedang membaca tulisan ini".
b. Kalau anda sedang pegang HP, katakan, "saya sadar bahwa saya sedang memegang HP dan mengamati tubuh saya yang sedang memegang HP",
c. Sambil membuka mata, "Saya sadar bahwa saya sedang membuka mata saya dan saya mengamati mata saya yang sedang terbuka",
d. Sambil bernafas normal, "Saya sadar bahwa saya sedang bernafas, dan kesadaran saya sedang mengamati badan saya yang sedang bernafas.
Yang menyadari dan mengamati di atas dilakukan oleh kesadaran, bukan oleh pikiran, bukan oleh perasaan. Sensasi yang dirasakan biasanya tenang, makin banyak yang disadari, makin tenang diri kita.
Lalu buat apa belajar ketenangan? Kesadaran ini sumber energi positif, dan tidak punya sifat negatif, jadi hanya ada positif, kalau kita sering menyadari kesadaran, sering sadar, sering present moment, artinya kita sering mengamati kesadaran, sering memperhatikan kesadaran, karena yang kita perhatikan ini sumber dari energi positif, maka ketika kita sering terhubung dengan kesadaran, dengan cara menyadari atau sering jadi pengamat pada peristiwa-peristiwa yang lewat, maka kesadaran akan mengalirkan energi yang positif pada kita yang sedang memperhatikannya. Maka dari itulah kita dianjurkan untuk selalu hadir di sini dan di saat ini, di kesadaran.
Saya mengamati perasaan saya yang sedang tenang. Yang sedang mengamati perasaan ini yang saya sebut kesadaran.
*
KETENANGAN FIKIRAN DAN BATHIN
Berbeda dengan tenangnya perasaan, ada satu keadaan batin yang bisa dilakukan setiap saat, yaitu sadar, aware, eling, atau sebutan lainnya. Sebab sumber dari batin yang sadar bukan perasaan, tapi kesadaran. Kesadaran bukan energi, jadi dia tidak bolak-balik, dia diam dalam keadaan positif tak berhingga, dalam keadaan bahagia tak berhingga.
Sedikit catatan, saya lebih senang menyebut kesadaran ini dengan jiwa atau soul, tentu jiwa di sini, jiwa yang memenuhi ciri sebagai kesadaran, bukan seperti orang sakit jiwa, itu mah sakit mental atau komponen syarafnya terganggu. Di sisi bahasan kesadaran, jiwanya tidak terganggu, hanya syarafnya saja yang terganggu. Seperti lampu di rumah kita mati, jangan sebut PLN sedang memadamkan aliran listrik, tapi lampu di rumah kita memang rusak.
Kembali ke selalu sadar. Kita bisa selalu sadar, setiap saat, apa pun kondisi kita. Kejadian apa pun yang terjadi pada kita, bisa kita sadari, kita sedang takut, marah, depresi, galau berat, senang, bahagia, gembira, dimabuk cinta, tenang, semua bisa kita sadari. Sadar bisa dilakukan setiap saat.
Bahkan ketika mimpi dan tidur pun kita bisa sadar. Kalau pun ternyata kita tidak bisa, bukan karena hal itu tidak bisa dilakukan, tapi karena kita tidak mampu melakukannya. Ketika mimpi kita bisa sadar, sadar kalau kita sedang mimpi, jadi kita bisa ngatur mimpi kita, misalnya, ketika mimpi kita sadar, "wuah, saya sedang mimpi nih", karena kita tahu kita sedang mimpi, kita bisa atur mimpi kita, sekehendak kita, dari mulai ingin terbang sampai ingin jalan-jalan ke mana pun. Tentu saja, mimpi kita, kadang bisa disadari kadang tidak, saya membahas ini pun bukan berarti saya pandai, hanya kita perlu pahami bahwa, dalam keadaan apapun kita bisa sadar, kalau mampu.
Kalau perasaan tenang, tidak ada seorang pun yang bisa selalu tenang, setiap saat tanpa ada naik turun, tidak ada. Walau pun itu orang tercerahkan sempurna sekalipun, tetep ada sedikit lupa, sedikit marah, sedikit sedih. Walau sedikit-sedikit, tapi tetap ada.
Kalau sadar, bisa selalu sadar, kalau tidak bisa, bukan karena kesadaran tidak bisa disadari dalam keadaan tertentu, bukan sebab kesadarannya, tapi sebab batin kitanya yang belum mampu menyadari kesadaran di keadaan tertentu.
Kita bisa selalu sadar apapun kondisi kita, asal kita mampu dan mau
*
Menyembah Allah, Itu Suatu Kesalahan
“…………………… maka mengabdilah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.
(QS : Thaahaa,14)
Sudah menjadi tradisi bagi setiap umat muslim se dunia bahwa setiap melaksanakan Shalat, yang terbenak dalam fikiran adalah “penyembahan atau menyembah”. Entah darimana bahasa itu berasal, tetapi yang jelas hampir semua dari seluruh umat muslim meyakini bahwa kita harus menyembah kepada Allah.
Sadar atau tidak sadar, jika tertanam pada diri untuk meyembah Allah dalam amal ibadah maka yang terjadi adalah pengkultusan suatu “sosok” atau ”personal”. Padahal telah diketahui dan diyakini oleh umat muslim bahwa Allah adalah “Laisa Kamitslihi Syai’un” (Tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu apapun).
Kata-kata “menyembah atau penyembahan”, maka masih bisa dimisalkan dengan seseorang yang menyembah kepada sesuatu misalnya; patung, pohon, matahari, api, dan lain-lain, yang mana ada suatu “sosok” yang berada di luar atau di depan atau di atas atau dikanan atau dikiri dari diri sang penyembah.
Lalu apa bedanya dengan mereka yang menyembah patung, pohon, matahari, api dan lain-lain…? Melihat ataupun tidak melihat akan yang di sembah, tetap saja bertentangan dengan tauhid yang sebenarnya. Karena tauhid itu, bukan penyembahan melainkan kesadaran akan ke Esaan Allah SWT.
Kesadaran akan ke Esaan Allah SWT mutlak—tidak bisa di ganggu gugat, karena Allah Muhitum Fil ‘Aaalamiin (Allah meliputi sekalian alam). Tetapi jika dimaknai dengan menyembah, maka menunjukkan bahwa Allah itu adalah suatu “sosok” yang berada di suatu tempat yang berada nun jauh disana.
Ada yang meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy yang berada di atas langit ke tujuh. Salahkah jika dikatakan demikian…? Benar dan tidak salah. Tetapi yang salah adalah penafsiran dari pada ayat tersebut. Apalagi ayat itu terdapat dalam Al-Qur’an yang berarti sudah benar adanya.
Tetapi jika salah menafsirkan, maka salah pula keyakinan yang ada. Bahasa Qur’an adalah perkataan Allah atau suara Allah. Tentunya tidak bisa dicerna dengan akal pikiran manusia, karena akal pikiran manusia itu terbatas dan juga akal itu tercipta.
Sesuatu yang tercipta itu adalah baharu dan tidak kekal. Apakah bisa sesuatu yang baharu dan tidak kekal itu mengetahui hakikat sebenarnya dari kata-kata Firman atau suara Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an…?
Jika akal mencerna lalu menafsirkan hanya sebatas kata-kata yang menurut akal pikiran semata, maka nyata salah penafsiran yang demikian. Sebab, Allah itu Laitsa Kamitslihi Syai’un, bagaimana mungkin bisa dikatakan berada di suatu tempat, sedangkan Allah tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Ruang dan waktu menunjukkan tempat, dan hanya makhluk lah yang berada dan terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan Allah tidak bertempat, tetapi yang memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan Allah meliputi setiap ruang dan waktu (Tempat).
Karenanya dalam pandangan tauhid dan tasawuf atau ma’rifatullah, maka siapa yang menyembah Allah maka mereka berada dalam kekufuran, karena telah menyamakan Allah dengan “sosok” yang berada di suatu tempat.
Para Arif Billah (yang mengenal akan Allah), menilik kata-kata “menyembah” itu bukanlah suatu “penyembahan” melainkan “kesadaran akan ke Esaan Allah SWT yang tidak bertempat, tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan Allah meliputi setiap ruang dan waktu”.
Jadi, mendirikan shalat adalah untuk mengenal akan Allah Maha Besar (Allahu Akbar) yang akan menumbuhkan kesadaran bahwa benar Allah itu Esa—tiada sekutu bagi-Nya, tidak bertempat tetapi memiliki dan menguasai setiap tempat serta pengetahuan-Nya meliputi tiap-tiap sesuatu.
Karenanya renungkanlah, kenapa pada saat Takbiratul Ihram mengangkat kedua tangan dan mengatakan “Allahu Akbar”. Ternyata itu adalah tanda dan bukti bahwa dalam penyerahan diri akan tumbuh kesadaran bahwa Ya…, benar…! Allah Maha Besar dan meliputi.
*
BER-TUHAN-KAN BAYANGAN
Setiap muslim meyakini bahwa Allah sebagai Tuhannya yang tidak ada Tuhan selain Allah, akan tetapi banyak pula yang mengakui Tuhannya adalah Allah sedangkan pada kenyataannya tidak mengenal akan Allah. Sehingga di dalam amal ibadahnya menuju kepada Allah tetapi sebenarnya tidak menuju kepada Allah.
Seperti contoh, jika kita mau menyadarinya! Perihal, shalat saja, itupun masih banyak yang bingung dan tidak sedikit yang masih di dalam sangka-sangka tentang Allah. Menuju kepada Allah tetapi hatinya ngambang di dalam menghadap kepada Allah, walaupun dalam ucapannya telah dikatakannya : Ya Allah…, sesungguhnya aku hadapkan wajahku ke hadapan wajah Engkau! Tetapi mana buktinya…? Dusta semua perkataan itu jika belum mengenal akan Allah. Jika demikian, berarti banyak yang mendustai Allah dalam amal ibadah….? Ya, renungkanlah…!
Ada yang hanya menyangka-nyangka bahwa Allah itu sangat dekat sekali tetapi ia sendiri belum lah mengetahuinya.
Apakah ini bukan yang di katakan ber-Tuhan-kan bayangan?
Ada pula yang mendapatkan suatu penghabaran tentang Allah itu bersemayam di atas Arsy’, tetapi ia sendiri belumlah mengetahuinya, apakah Arsy’ itu dan dimana Arsy’ itu, bukankah Allah tidak bertempat? Apakah ini bukan yang dikatakan ber-Tuhan-kan bayangan?
Lebih dahsyat lagi mengatakan bahwa Allah berada di dalam diri orang-orang tertentu..! inipun jika mereka menyadarinya maka sesungguhnya ia pun telah ber-Tuhan-kan bayangan.
Bukankah Allah telah menegaskan dengan Firmannya yang sangat nyata sekali, bahwa :
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(QS, Al-Baqarah:115).
“Semuanya itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang mana lagikah yang kamu dustakan?”.
(QS, Ar-Rahman:26-28)
Salahkah mereka yang beribadah untuk menuju kepada Tuhannya tetapi tidak mengetahui dan tidak mengenal kepada Allah? Tidak!, mereka tidak salah…! Akan tetapi sangat-sangat bodohlah mereka, kenapa mereka tidak menuntut Ilmu untuk bisa mengetahui dan mengenal akan Allah.
Karena kebodohannya itulah mereka selalu menurutkan hawa nafsunya dan selalu membenarkan prasangkanya yang ia sendiri belum mengetahui kebenaran sesungguhnya di balik apa-apa yang ia prasangkakan itu. Dan karena itulah yang menyebabkan dosa bagi dirinya.
Sehingga pada kebenaranya, Allah sekali-kali tidak ingin menyiksa hambanya karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, akan tetapi karena diri mereka sendirilah yang tidak mengerti dan tidak mengetahui karena tidak mencari tahu maka mereka menjadi tersiksa.
Tersiksa oleh tekanan-tekanan batin, tersiksa oleh prasangka-prasangka, tersiksa oleh bayangan lamunan, tersiksa oleh perasaan di dirinya. Itu semua menunjukkan bahwa mereka itu telah jauh dari pada Tuhannya karena mengenal Allah hanya sebatas bayangan yang menurutnya itu sudah benar adanya.
Jika ingin mengetahui bahwa dirinya telah dekat dengan Allah yang sebenarnya, maka diantara tanda-tandanya adalah :
Ia tidak bangga apabila menerima pujian-pujian.
Ia tidak takut dan berkecil hati jika dicaci dan dicela.
Hatinya selalu dalam ketenangan beserta Allah walau apapun duka cita dan persoalan datang pada dirinya.
Akhlaknya akan berubah menjadi akhlak yang terpuji.
Hatinya akan diliputi oleh cinta kasih Allah dan teraplikasi cinta kasih itu kepada siapa saja.
Tidak berprasangka buruk atas tiap-tiap sesuatu, karena ia melihat Allah dibalik sesuatu itu.
Jika berprasangka buruk, maka sama halnya ia berprasangka buruk kepada Allah.
Senantiasa berprasangka baik terhadap sesuatu, karena dibalik itu Allah menyampaikan Ilmu yang tersirat bagi yang memikirkannya.
*
MEMBANGUN KESADARAN
(JIWA JARING LANGIT PENGIKAT JIWA)
Meliputi bagian di otak, kini mengecil dan tertutup, sehingga manusia sekarang seperti terselaput tabir.
Seperti ada sebuah hijab yang menutupi kesadaran, sebuah kesadaran ketuhanan, kesadaran ruhani.
Sedemikian hebatnya kekuatan "energy jiwa" dari makhluk dahulu,
namun sekarang sedemikian kecil dan bahkan tersembunyi kekuatan itu.
Sebuah "energy" yang hanya menjadi potensi energy, Energy potensial jiwa.
(hanya sebagian yang mampu mengubah Energy potensial jiwa,
menjadi Energy Kinetik jiwa, hanya sebagian kecil)
....
Energy spiritual yang datang dari dasar benua yang terbenam,
memancar ke ujung dunia akan diterima oleh hati yang terbuka
maka akan banyaklah kesadaran jiwa yang dibangkitkan,
seolah mendadak saja mereka sadar akan panggilan jiwa,
mendadak saja mereka mengerti banyak hal,
mendadak saja, banyak hal yang diketahuinya, bagi yang meyakini,
menjadi motivasi bagi yang menempuh jalur spiritual,
membuka jaring langit, berharap kilasan cahaya putih mampu ditangkap,
dan memberikan informasi serta mengisi energy kesadaran,
sebuah loncatan energy yang mampu membuka tabir kesadaran jiwa.
......
Setiap diri pasti perlu tidur
Tidur ?... ya tidur...
dimanakah kesadaran ?...dimanakah jiwa?.
Jiwa "seolah" terperangkap dalam raga.
Ibaratkan jiwa seperti asap, seperti cairan, seperti eter, seperti uap
Yang terperangkap dalam raga, dan setiap tidur maka ada sebuah lubang yang terbuka.
Yang membuat sang eter ini bebas terbang mengelana ke seluruh penjuru alam.
Namun sang eter ini tetap terikat oleh sebuah tali cahaya yang kuat.
Tali yang akan menarik pulang eter ini kembali ke raga, seperti sebuah jaring langit, yang akan mengkerut
dan menarik kuat-kuat untuk kembali masuk ke dalam raga, sebuah jaring langit yang mengikat jiwa.
....
Demikianlah kesadaran terikat dalam dimensi ruang-waktu
Namun kesadaran mampu menggunakan energy yang ada di ruang waktu ini
Ketika kesadaran kembali, maka akan membawa "kesadaran-kesadaran" lain.
Yang dilewati dan dilaluinya, menyisakan rasa dan meninggalkan jejak-jejak kesadaran.
Maka kesadaran-kesadaran dari masa lalu, kesadaran dari bangsa lampau,
ketika memiliki frequency yang sama mungkin saja mampu terekam saat kembali.
...
Demikianlah permisalan dan demikianlah hikayat.
Namun berhati-hatilah dengan resonansi gelombang kesadaran,
karena kesadaran seseorang di sekitar akan mampu mempengaruhi kesadaran diri.
Dan juga sebuah keuntungan ketika, ketika kita berada di antara hamba-hamba yang memilki energy kesadaran yang kuat maka energy jiwa pun akan di "booster".
Sehingga akan terjadi sebuah resonansi yang menguatkan.
Maka dekatilah orang-orang yang pandai bila ingin pandai, dan dekatilah orang yang baik bila ingin baik dan dekati orang yang sakti bila ingin sakti,
dan dekatilah orang yang jahat bila ingin jahat pula.
Karena demikianlah resonansi getaran jiwa yang berlaku umum....
....
Bagi para pejalan spiritual
ketika telah memasuki kesadaran di alam getaran ini, selayaknya berhati-hati, karena jebakan spiritual akan sangat banyak.
Akan sangat mudah tergelincir, merasa hebat, merasa suci, merasa luar biasa, sehingga akan timbul keangkuhan, kesombongan, dan merasa diri hebat, terhadap siapapun akan meremehkan, bahkan kepada guru atau yang membimbingnya sekalipun.
Karena dia seolah: "Menemukan ilmu baru".
Karena dia sepertinya: "Mendapatkan pengajaran baru".
Karena dia merasa: "Dirinya sebagai sang pembaharu"
...
Demikianlah keadaannya, jebakan yang sangat lembut dan tak terasa.
Seharusnya, justru sebaliknya, semakin mengkaji dan mendalami semakin tunduk dan berendah diri,
Semakin santun, semakin sopan, semakin ramah, semakin lembut hatinya dan semakin takut,
Serta semakin dipenuhi kehati-hatian, semakin mawas diri dan semakin berserah diri,
Diri tak lagi merasa dan tak lagi mengaku, apapun yang dia punya dan dia bisa,
Hanya karena anugerah dan rahmat dariNya.
Maka yang ada hanyalah syukur, yang ada hanyalah taubat terus menerus dalam hati, yang ada adalah persaksian atas diri dan Tuhan.
...
Dan saat itulah dia mulai menatap "jaring di langit"
dia mampu keluar melalui jaring itu kapan saja, meluas menembus alam semesta dalam kesadarannya,
dan akan mampu kembali, karena ada tali putih cahaya langit yang akan selalu menariknya
kembali ke raganya, sampai waktu yang telah ditentukanNya
(tali putih/cahaya putih ini seolah menjadi peta jiwa untuk kembali ke raga yang pasti dikenalinya,
saat kematian menjemput maka tali ini terputus, sehingga sang jiwapun tak mampu kembali ke raganya)
....
Antara "kebenaran" mimpi dan sebuah keyakinan
....
Adakah bedanya ? Bagi yang sadar !
*
Apakah peristiwa Isra Mi'raj benar-benar terjadi? Apa makna penting peristiwa tersebut bagi umat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin? Dan mengapa Nabi Muhammad harus di Isra dan Mi'raj kan?
Ketika Rasulullah bersabda mengenai shalat "shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku (Muhammad) shalat", dan sabdanya yang lain "shalat itu Mi'raj-nya orang beriman" menunjukkan kedua sabdanya ini merupakan pengalaman hidup yang wajib diamalkan bagi siapa pun mereka yang mau mengikuti uswatun hasanah meneladani junjungan Nabi Muhammad.
Sebelum manusia mengalami kematian, manusia semestinya mampu mencapai 'Terang Sejati' tanpa tersentuh api, yang dapat menerangi pandangan kalbunya untuk berjalan kembali ke 'Negeri Asalnya'.
Pencapaian Terang Sejati itu adalah di "Sidratul Muntaha" (QS 53:14), di puncak kesadarannya yang tertinggi inilai Nabi Muhammad mengalami Isra dan Mi'raj yang merupakan peristiwa paling fenomenal dalam sejarah hidupnya. Di mana Rasulullah menempuh Perjalanan fisik dan spiritualnya untuk bertemu langsung dengan Allah.
Karena itu ia melewati langit-langit kesadarannya. Langit kesadaran Adam, langit kesadaran Yahya dan Isa, langit kesadaran Yusuf, langit kesadaran Idris, langit kesadaran Harun, langit kesadaran Musa dan langit kesadaran Ibrahim. Dengan demikian hidupnya akan selamat baik di dunia dan akhirat kelak.
Isra dan Mi'raj merupakan "kado spiritualitas" yang sangat istimewa. Mi'raj tidak diartikan perjalanan Nabi ke luar angkasa (langit yang berlapis-lapis), tetapi perjalanan ke dalam lubuk hati yang paling dalam di mana ia menemukan dirinya berada dalam "kehadiran Tuhan". Bahkan seorang Sufi besar (Sheikhul Akbar) Ibn Arabi dalam kitab Futuhat Al-Makiyah mengatakan Mi'raj dalam pengertian meruang (spasial) tidak akan pernah terjadi. Bagaimana mungkin padahal Tuhan ada (selalu hadir) di mana saja dan kapan saja melampaui ruang dan waktu.
Memasuki kesadaran Adam berarti menyadari akan ketiadaan. Segala sesuatu yang bersifat jasmani, dan materi adalah ketiadaan. Memasuki kesadaran Adam berarti menyadari di balik jasmani ada sesuatu yang kekal, ada suatu keabadian. Segala yang bersifat materi akan hancur, sedangkan yang dibalik jasmani atau ruhani akan kekal.
Memasuki kesadaran Yahya berarti menyadari bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang tak pernah tertimpa kematian, yaitu kehidupan ruhani. Alam materi akan hancur, tetapi alam ruhani akan tetap hidup. Memasuki kesadaran Yahya berarti menyadari akan kehidupan ruhani yang kekal abadi seabadi Ilahi.
Memasuki kesadaran Yahya berarti hidup tidak melulu fokus pada urusan materi, tetapi memiliki kesadaran bahwa di balik materi ada energi. Di balik jasmani ada ruhani. Di balik ketiadaan ada kekekalan.
Kesadaran Yusuf berarti memasuki alam keindahan karena sudah mampu melihat dualitas dunia ini sebagai sesuatu yang indah. Berada pada tingkat kesadaran ketiga ini jiwa, pikiran, sudah mulai tenang dan damai. Jiwa sudah tidak terombang-ambing lagi oleh dualitas dunia yang selalu pasang surut.
Manusia yang sudah berada pada kesadaran ini akan memahami mawar berduri dan melati semerbak wangi semuanya indah. Kebun kehidupannya selalu disirami dengan pikiran dan energi positif. Dadanya sudah lapang. Sudah merasa cukup dengan Tuhan saja. Hidupnya sudah merdeka baik jiwa dan raga pun pikirannya. Hidup tidak bergantung pada apa dan siapapun namun bergantung hanya kepada Tuhan.
Memasuki kesadaran Idris berarti mengapresiasi kedudukan seorang hamba yang menyembah (al-'abid) dan Tuhan yang disembah (al-ma'bud) tidak pernah berpisah. Idris berasal dari kata da-ra-sa, dari kata darasa inilah muncul kata-kata "mudaris" yang berarti guru.
Kesadaran Idris membawa kita kepada kesadaran bahwa kedudukan seorang guru ruhani (mursyid) yang dapat membimbing ke alam-alam keruhanian yang tinggi. Dalam Alquran Surah al-Kahfi ayat 17 disebutkan "waliyan mursyida", figur manusia suci, pemimpin rohani, manusia yang sangat taat beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kata “Mursyid” diartikan sebagai orang yang mendapatkan Petunjuk Nur Ilahi, Cahaya Ilahi, Atau Energi Ilahi. Sehingga dengan kesadaran Idris mampu menyingkap tabir di balik makna "Al Ilmu Nuurun" (ilmu itu adalah cahaya yang menerangi) kegelapan ketidaktahuan menuju cahaya-Nya.
Beranjak dari kesadaran Idris menuju kesadaran Harun. Kesadaran Harun mengajak kita untuk melakukan segala perbuatan atas dasar cinta kepada Tuhan. Mengabdi kepada Tuhan penuh kesadaran karena cintanya kepada Tuhan tidak mengharapkan pahala atau takut berdosa. Kesadaran Harun membawa seorang hamba tidak terjebak pada surga neraka dalam beribadah, tetapi semata-mata sebagai wujud kecintaannya semata karena Tuhan.
Langit kesadaran Musa membawa seorang hamba pada suatu pemahaman bahwa segala sesuatu yang terjadi sebagai cara Tuhan berdialog dengannya.
Langit Kesadaran Ibrahim membawa kepada makna bahwa Ibrahim adalah seorang manusia yang telah berhasil menyelesaikan seluruh etape kehidupannya dengan sukses di hadapan Tuhan (terbebas dari api kesengsaraan, kegerahan, kegelisahan dalam hidup) sehingga membawa kepada kesucian, ketentraman, kedamaian, kesejukan, dan ketenangan, sebagaimana firman-Nya dalam (QS. Al Anbiya: 69).
Memasuki relung esoterik keberagamaan berarti memasuki dunia makna yang tak bertepi, maka yang kita rasakan adalah kedamaian yang tidak pernah berakhir, karena kita telah semakin dekat dengan 'Pusat Kedamaian' yang sebenarnya dan tak terbatas.
*
Semoga Allah memudahkan bagi kita semuanya untuk lebih mengenal akan diri-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, Esa dengan sendirinya dan Laisa Kamitslihi Syai’un (Tidak bisa dipermisalkan dan disamakan dengan sesuatu apapun).
Aamiin… Ya… Robbal ‘Aalimiin.
0 komentar:
Posting Komentar