Selasa, 30 Maret 2021

BELAJAR HARUS MEMILIKI GURU

 BELAJAR HARUS MEMILIKI GURU

Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat beruntung karena difasilitasi secara lengkap: ada guru yang mumpuni dan juga referensi yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap dengan mudah oleh mereka.   

Beda halnya dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang minim mendapatkan pelajaran keislaman secara mendalam, atau para pekerja yang waktu-waktunya sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Bagi mereka mempelajari ilmu aqidah menjadi lebih sulit, pun halnya mencari guru serta waktu luang untuk mempelajarinya.  

Keadaan itu membuat para santri, harus membuka mata dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menghidupkan dan menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat dengan menyesuaikan kondisi yang ada.  

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memudahkan sebagian orang yang waktu ngajinya tidak sebanyak para santri ialah dengan menuliskan tentang aqidah dengan bahasa Indonesia, atau menerjemahkan kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah, benar dan tepat, sehingga dapat dibaca khalayak banyak.



AKIDAH SALAF IMAM AL-ṬAHAWI

 AKIDAH SALAF IMAM AL-ṬAHAWI

Salah satu karya tentang itu yang menarik disinggung adalah buku Akidah Salaf Imam Al-Ṭahawi, Ulasan dan Terjemahan. 

Imam Abu Ja’far al-Thahawi (238-321 H.) merupakan salah satu imam dalam ilmu aqidah yang hidup semasa dengan dua imam besar dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam Abû al-Hasan al-Asy’arî (w. 324 H) dan Abû Manshûr al-Mâtûridî (w.333 H.).

Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Salâmah ibn ‘Abd al-Malik ibn Salâmah ibn Abû Ja’far al-Thahâwi al-Azdî al-Mishrî
(‘Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh, Kayseri: Dar el-‘Aqabah, cetakan pertama, 2001, h. 467).  

Dilihat dari tahun Imam Abû Ja’far hidup, maka beliau dapat digolongkan kepada ulama salaf. Imam Abû Ja’far antara lain BERGURU kepada ‘Abd al-Ghanî ibn Abû Rifâ’ah, Hârûn ibn Sa’îd al-Aylî, Yûnus ibn ‘Abd al-A’lâ, Bahr ibn Nashr al-Khawlânî, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam,’Isâ Ibn Matsrûd, Ibrâhîm ibn Munqidz, al-Rabî’ ibn Sulaiman al-Murâdî, Abû Ibrâhîm al-Muzanî, dan yang lainnya.

Pada awalnya Imam Abû Ja’far al-Thahâwî BERGURU kepada murid-murid Imam al-Syâfi’i dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabî’ ibn Sulaiman dan al-Muzanî, namun Abû Ja’far muda merasa pernah diremehkan oleh al-Muzanî dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imam Ahmad ibn Abû ‘Imrân, tokoh besar mazhab Hanafi di Mesir pada masanya.

Pada umur 30 tahun Imam Abû Ja’far rihlah ke wilayah Syam dan berguru kepada Qâdi Abû Hazim al-Bashrî. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Hanafi yang dihormati di wilayah Mesir. (Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, cetakan pertama, 2020, halaman 2-3).  

Imam Abû Ja’far al-Thahâwî memiliki banyak karya, di antara yang paling fenomenal dan banyak dipelajari dalam bidang aqidah Ahlussunnah wa Jama’ah ialah Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah. Kitab ini tipis sekali, namun isinya padat dan tidak terlalu rumit.  

Dr. Arrazy Hasim, dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah, Ciputat, menyebutkan bahwa kitab ini memiliki beberapa keistimewaan.

Pertama, kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf.

Meski Imam al-Thahâwî belum pernah bertemu dengan Imam al-Asy’arî, namun secara ajaran keduanya tidak jauh berbeda. Kendati demikian secara sanad keilmuan, Imam Abû Ja’far lebih tinggi sanadnya (‘âli). Secara tahun kelahiran pun lebih dulu Imam Abû Ja’far ketimbang Imam al-‘Asy’arî. Namun dilihat dari sisi popularitas, Imam al-Asy’arî tentu lebih populer sebab Imam Abû Ja’far tidak tinggal di kota metropilitan sebagaimana Imam al-Asy’arî yang tinggal di kota Baghdad.  

Kedua, secara manhaj kitab ini tidak berbeda dengan aqidah Imam Abû Hasan al-Asy’arî.

Ketiga, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran aqidah yang diwariskan oleh Imam Abû Hanîfah dan kedua muridnya, Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni dan Abû Yusûf al-Anshârî.

Keempat, sosok Abû Ja’far al-Thahâwî “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya, hal ini tidak heran jika kitab Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah disyarah oleh aliran salafi.  

Kelima, kitab ini dapat dijadikan acuan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Keenam, kitab ini membuktikan bahwa aqidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, akan tetapi mempunyai sistem berpikir yang beragam dan masih dalam lingkaran Ahlussunnah (Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, h. 6-7).      

Meski buku ini berbahasa Arab, kita tidak perlu khawatir karena sekarang kitab ini sudah diterjemahkan, salah satunya oleh Dr. Arrazy Hasyim sendiri. Sebab yang melatarbelakangi diterjemahkan dan disusunnya buku ini ialah ketika penulis buku ini (Dr. Arrazy Hasyim) mengajar Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah di Darus Sunnah cabang Malaysia pada tahun 2014.

Beberapa mahasiswa di sana saat itu menggunakan buku terjemah yang diimpor dari penerbit di Indonesia. Setelah memerhatikan isi buku tersebut, ternyata banyak bagian yang menyalahi kaidah yang diajarkan oleh penulis kitab aslinya sendiri, Imam Abû Ja’far al-Thahâwî.  

Hal demikian dapat dilihat dari sanggahan si penerjemah buku-buku terjemahan tersebut akan ungkapan Imam al-Thahâwî bahwa Allah Maha Suci dari batas (hudûd), ujung (ghâyât), dan arah (jihât). Yang lebih parah tambahan penjelasan si penerjemah yang mengatakan bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara yang qadîm, padahal Imam al-Thahâwî sendiri dalam kitab aslinya tidak mengatakan demikian.

Sebab itulah yang mendorong penerjemahan kembali kitab ini, dengan usaha agar dapat memperbaiki kesalahan dan penyimpangan, serta mengembalikan maksud asli dari teks sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Thahâwî.  

Kelebihan buku Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah yang diterjemahkan oleh Dr. Arrazy ini di antaranya adalah ketepatan memilih diksi untuk ungkapan-ungkapan dalam istilah ilmu aqidah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Misalnya:  

نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللهِ إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ

"Kami menegaskan tentang pengesaan Allah (tawhīd Allᾱh) dengan hidayah dari Allah, mempercayai bahwa: Allah itu Satu, tiada sekutu bagi-Nya."  

وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ

"Tiada sesuatu pun yang seperti-Nya."  

وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ

"Tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya."  

وَلَا إِلهَ غَيْرُهُ

"Tiada sesuatu ilᾱh (Tuhan yang berhak disembah) selain-Nya."  

قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ

"Qadīm (Maha Awal) tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir."  

Buku ini sangat cocok dibaca dan diajarkan kepada orang-orang yang baru menempuh pelajaran ilmu aqidah. Ia terdiri dari 5 Bab.

Bab pertama membahas biografi singkat Imam al-Thahâwî, keutamaan, dan seputar pematenan istilah Salaf hingga sanggahan bagi aliran yang mengaku mengikuti ajaran Salaf.

Bab kedua menerangkan tentang urgensi sanad sekaligus pemaparan sanad kitab ini dari penulis (Dr. Arrazy Hasyim) hingga muallif (Imam al-Thahâwî).  

Dari sini terlihat penulis meriwayatkan Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah dari beberapa Masyâikh, di antara mereka adalah Syekh ‘Abdul Mun’im al-Ghummârî, Syekh Zakariyâ al-Halabi al-Makkî, KH. Ahmad Marwazi al-Batawî, ketiganya meriwayatkan dari musnid al-dunyâ, Syekh Yasin al-Fâdânî al-Makkî hingga kepada muallif kitab, Imam al-Thahâwî.

Bab selanjutnya, terjemahan Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah dan terakhir, yaitu Bab Keempat berisi penutup.
 
Buku-buku dan kitab-kitab tentang aqidah Aswaja—apalagi dalam bentuk terjemah—penting sekali disebar dalam jumlah banyak di masyarakat. Lebih-lebih pada saat yang sama, kelompok anti-Asy’ariyah dan Maturidiyah semacam Wahabi terlebih dahulu menyebarkan paham mereka, termasuk dengan wakaf buku ke masjid-masjid atau lainnya.

Hal itu sebagai ikhtiar melestarikan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa mengabaikan bahwa mempelajari ilmu aqidah tidak cukup dengan otodidak tanpa guru.    

Peresensi adalah Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunna



BELAJAR KEPADA IBLIS ( SYETHAN)

 BELAJAR KEPADA IBLIS ( SYETHAN)

Siapa yang Tidak Mau Belajar Agama Dengan Benar, maka ia akan menjadi PENGIKUT HAWA NAFSU DAN TEMAN -TEMANNYA SYETHAN.

Kita semua sebaiknya Belajar Agama kepada seorang Guru Bersanad kepada Rasulullah SAW. Kemudian Carilah Berkah dan Idzin darinya agar kita selamat dan beruntung dalam dunia dan akhirat.

Ilmu sebanyak apapun yang diperoleh tanpa guru tidaklah ada berkahnya. Ilmu agama yang didapat bukan dari belajar berhadapan dengan seorang guru, maka gurunya PASTI SYETHAN dan IBLIS PENDUSTA PENYESAT. Akan tersesat dari Jalan Yang Lurus dan Ilmunya tidak bermanfaat dan hanya akan menjauhkannya dari Keridhoan Allah SWT. Na'uudzu Billaahi Min Dzaalik.

Ada 4 Syarat untuk mencapai Syari'ah dan Rahasianya yaitu Bertaubat dari dosa-dosa, Meninggalkan kefanatikan, Menolak kedudukan dimata orang lain, dan berinteraksi dengan harta halal dan dengan ridho Allah.

Seperti orang yang bersuci untuk melaksanakan sholat. Bersuci pada empat anggota wudhu' (Wajah Tangan Kepala dan Kaki). Dia pun membutuhkan Imam dan Jamaah lainnya agar dia mendapatkan pahala khusus bagi sholatnya.

Demikianlah pula orang yang menuntut ilmu. Dia membutuhkan guru (Syaikh) yang menuntun dan menunjukinya. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru (Syaikh) yang menunjukinya kepada Cahaya Mata Hati dan menuntunnya kepada Keadaan Bathin dengan Allah Taala ! Maka seorang "guru duduk ditempat pengintaian". Mengintai seseorang yang menginginkan kebenaran dijalan Allah. Namun jika tidak membekali dengan bekal yang diperlukan, maka "guru" itu mengintainya ! Siapa guru yang mengintainya itu ? Dialah adalah IBLIS ! Karena siapapun yang tidak berguru maka IBLIS LANGSUNG MENJADI GURUNYA. Karena dia nendakwakan dirinya sebagai guru dengan cepat.

Jika engkau tidak mendapatkan guru (Syaikh) dari kalangan Ahli Allah, maka engkau akan mendapatkan guru (Syaikh) dari Musuh Allah !

Antara berhubungan dengan guru (Syaikh) yang berhubungan dengan Allah atau Syethan yang menunggunya.
Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah Syethan !

Syethan akan menyuruhnya meninggalkan guru guru (Para Syaikh) itu. Lalu siapa yang akan menjadi gurumu ? Dialah (Syethan) yang membisikkan hal itu, lalu menjadi gurunya ? Dan Syethan itu akan membisikkan, "Kau cerdas, Kau paham, Buat apa kau mengikuti guru (Syaikh) lagi ! Kau telah mengetahui jalan !

Maka lihatlah bagaimana syethan membisikkannya. Gurunya yang berupa syethan telah membisikkan kepadanya. Dan dia sebagai sengsara berjalan dibelakang gurunya itu. Syethan itu berkata, "ini maknanya begini dan ini maknanya begitu" ! Lalu syethan akan membuatnya tidak karuan dan syethan itu menunjukkan bahwa dia lebih baik daripada orang lain dan dari para guru (Para Syaikh). Dan syethan menungganginya ! Gurunya adalah Iblis. Dan dia (syethan) itu berkata sebagaimana yang di Firmankan Allah, "Saya (syethan) akan benar benar akan menghalanginya dari JALAN-MU yang lurus".

Ketika seseorang akan menjalani jalan yang lurus, maka syethan akan menghadangnya dijalan itu. Jika engkau tidak memiliki guru, maka dia (syethan) akan hadir bersamamu menjadi gurumu. Karena tugasnya (syethan) adalah Duduk Dijalan Yang Lurusagar engkau tidak melewatinya.

Maka haruslah memiliki guru yang engkau berjalan dengan jalannya. Dari kalangan orang yang Berjiwa Suci. Yaitu dari kalangan 'ulama yang mengenal Tuhan mereka ('Aarifin atau 'Aarif Billaah). Jika engkau tidak menemukan guru tersebut, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia adalah sebaik-baik penuntun dan jika engkau bersungguh-sungguh mencarinya niscaya engkau akan menemukannya.

Al Imam Al Ghozali berkata, "Barangsiapa yang tidak memiliki guru yang menuntunnya, maka syethanlah yang akan membimbingnya. Dan dia akan berdiri sendiri sebagaimana tanaman liar yang tumbuh secara asal, yang tumbuh dengan sendirinya. Maka akan segera mengering. Berdaun tapi tidak berbuah. Karena tumbuhan liar tanpa ada yang menanamnya, tanpa ada yang mengairi dan mengurusnya.
Jika tumbuh dengan sendirinya tidak akan berbuah. Umumnya tumbuhan liar itu akan segera layu dan mati.

Asy Syaikh Umar ibn Salim ibn Chafizh
https://youtu.be/ico9ADQn4Jo



BERMADZHAB : DR HASYIM ARROZI

 BERMADZHAB : DR HASYIM ARROZI

Assalamu`laykum wrwb

Alhamdulillaahi Robbil `Aalamiin Chamdan yuwaafii ni`amahuu wayukaafii maziidah. Asyhadu allaa ilaaha illalloohu wa asyhadu anna muhammadan 'abduhuu warosuuluh. Allohumma sholli wa sallim wa baarik 'alaa sayyidinaa muchammad wa 'alaa aalihi wa shochbihii wa awlaadihi wa dzurriyaatihii ajma'in

'Amma ba'du ..... Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara ....

ASUMSI "ALLAA MADZHAABIYYAH" TIDAK PERLU BERMADZHAB

Ada orang orang yang menyuarakan untuk tidak perlu bermadzhab.

Sejak tahun 70an di Masjidil Charoom, ada selebaran-selebaran yang menuliskan SERUAN UNTUK TIDAK PERLU BERMADZHAB. Maka hal itu didengar oleh ASY SYAIKH MUCHAMMAD SAI'ID FADHOL AL BUUTHI. Beliau menuliskan kitab yang membantah tulisan asumsi anti madzhab yang ditulis ALHAJAAJ SING tersebut. Beliau mengatakan bahwa siapapun yang menyuarakan anti bermadzhab adalah BID'AH YANG PALING BERBAHAYA ! Setelah buku bantahan itu berkembang dan menyebar, ada seorang syaikh anti madzhab yaitu ALBAANI (yang menurut pengikutnya dikatakan pakar menshohihkan dan mendhoifkan chadits) itu minta ketemu dengan Asy Syaikh Muchammad Sai'id Fadhol Al Buuthi . Syaikh Al Baani meminta untuk berdebat dengan Asy Syaikh Muchammad Sai'id Fadhol Al Buuthi .

Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara ....

Perlu diketahui bahwa Syaikh Romadhon Al Buuthi bermadzhab syaafi'i. Kalau sholat shubuh berqunut dan baca Al Fatichah Basmallahnya dijaharkan dan setelah sholat doanya berjama'ah... Itu Asy Syaikh Muchammad Sai'id Fadhol Al Buuthi. . Akhirnya terjadi perdebatan panjang. Dan ternyata perdebatan tersebut ada yang merekamnya dan salinannya sudah disebar. Syaikh Romadhon Al Buuthi tidak menginginkan rekaman itu disebar, karena akan menyebabkan terbukanya aib Syaikh Albani. Namun ternyata sudah ada yang menyebarkannya dan sudah menjadi buku, dan suara rekamannya sudah dapat didengar. Wal hasil syaikh albaani marah-marah. Makanya syaikh albaani benci sekali dengan Syaikh Sa'id Al Buuthi. Dan terkenal dibuku-bukunya syaikh Albaani tanpak sekali kebencian terhadap Asy Syaikh Muchammad Sai'id Fadhol Al Buuthi. Makanya' muridnya Albaani yang sangat kasar bernama Adnan meriwayatkan buku Albaani bahwa Albaani menyumpahi Syaikh Al Buuthi sebagai orang munafiq.  Dengan ucapan "semoga Allah panjangkan umurmu dan Allah tunjukkan rahasia kemunafiqanmu".

Dan ini perkataan yang tak pantas dikatakan oleh orang yang alim.

Hal itu terjadi di sana ditanah Arab, Suriyah.

Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara ....

Di Indonesia, jauh sebelum itu ditahun 60an ada seorang Syaikh pengarang buku "40 Masalah Agama dan Keagungan Madzhab Syafi'i yang bernama Syaikh Sirojuddin Abbas. Karena saat itu sudah mulai muncul gerakan ANTI BERMADZHAB. Karena ada yang mengatakan "Kita tak perlu lagi mengikuti imam imam madzhab. Kuta langsung saja mengikuti Al Qur-aan dan As Sunnah". Pada saat itu Syaikh Sirojuddin berpolitik dan Buya HAMKA juga berpolitik. Buya HAMKA di Muhammadiyyah dan berkampanye ikut Masyumi sedangkan Syaikh Sirojuddin di Jama'ah Islamiyyah dan NU. Buya HAMKA menyebut Syaikh Sirojuddin dengan sebutan Surojuddin "KIBAS" (KAMBING) dan dibalas oleh Syaikh Sirojuddin dengan Ucapan Buya "HAMQO" (BODOH). Tapi itu kritik hujjatan ucapan politisi bukan seorang ulama. Selesai kampanye selesai pula hujjat menghujat. Tiba tiba saya ketemu sahabat saya, seorang ustadz diseberang propinsi ini. mengatakan "Jika ketemu kitab Sirojuddin Kibas, "Bakar" !" Mengapa ? Karena isinya kitabnya MENGKRITISI SALAFI WAHHABI. Dan mengatakan ini buku buku Khurafat dan Sesat.

Koq sampe segitunya .... Dia nggak nyadar kalau dia cuma 4 tahun di Timur Tengah, Syaikh Sirojuddin bertahun-tahun di Timur Tengah bolak balik bolak balik. Kita cek ternyata Syaikh Sirojuddin Abbas adalah anak dari Ulama Besar di Sumatra Barat yakni Syaikh Abbas dekat Maninjau Sumatra Barat atau lainnya saya kurang faham.

Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara ....

Dahulu ditahun tahun 60an 70an ikut rame disini, orang-orang ikut ngomong tak perlu bermadzhab. Jika di Suriyah ada Syaikh Romadhon Al Buuthi dan Di Indonesia ada Syaikh Sirojuddin Abbas.

Lalu bagaimana hari ini ? Hari muncul lagi lebih rame lagi dan lebih viral. Dimana kajian kajian anti madzhab itu bisa akses di YouTube bisa akses di Google. Kalau Syaikh Sirojuddin Abbas ia berkata, "Orang-Orang yang baru belajar agama dan suka menyalah-nyalahkan itu, bahwa mereka itu "dengan istilah keras" itu MUFTI GADUNGAN - MUJTAHID GILA". Menurut Syaikh Sirojuddin Abbas.

Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara yang dirahmati Allah ....

Mari kita coba, sebelumnya madzhab itu apa ? Koq orang-orang itu aneh aneh tentang madzhab. Mereka mengatakan nggak usah bermadzhab ... bermanhaj saja !

Madzhab itu artinya "Tempat Pergi" artinya tidak lain "Jalan untuk Memahami Kitab Allah dan Sunnah Rosululloh". Tapi yang mengagetkan dari orang- orang yang anti madzhab, mereka menukil ayat ayat yang digunakan untuk orang-orang kafir dialamatkan kepada orang muslim yang bermadzhab. Contohnya, " Jika engkau wahai Muchammad mengikuti kebanyakan orang yang ada dipermukaan bumi, niscaya akan menyesatkan enghkau dari jalan Allah. Mereka tidak mengikuti tak lebih dripada DHONN / perkataan semata. Mereka sering menggnakan ayat itu untuk mengatakan bahwa mengikuti orang yang terbanyak itu tak mesti benar. Padahal ayat tidak berbicara tentang ummat islam (yang terbanyak). Karena ayat itu turun kepada Nabi Muchammad Shollallahu 'Alayhi Wasallam, Jika engkau mengikuti (Yaa Muchammad) orang-orang yang KAFIR. Jika mengikuti ummat islam dan ulama islam tak disebut masuk ke ayat ini ! Jadi dalil dalil yang sering digunakan oleh orang-orang yang anti madzhab itu rata rata salah dalil. Dalil untuk menyindir orang kafir dipakai untuk menyerang sesama orang muslim.

Dalil yang dipakai "bukan" untuk orang mukmin dipakai untuk orang mukmin. Apalagi ayat disurah Ali Imron, "Wahai ahli kitab, mari kita ke satu kalimat yang sama.  (Mereka tidak mengikut sertakan bagian awalnya, dimana disebut di ayat itu seruan kepada ahli kitab) ... "Janganlah kita mengambil satu sama sebagai tuhan tuhan (Arbaaban). Mereka suka memotong motong ayat yang sebenarnya bukan untuk muslim tapi untuk ahlu kitab. Setelah kita cek, ternyata ayat ayat yang digunakan oleh kaum anti madzhab, baik Chanafi, Maliki, Syafi'i ataupun Chambali adalah salah arah penempatannya. Masa ayat ayat yang diarahkan kepada orang-orang kafir untuk ahli kitab di gunakan untuk orang-orang muslim. Dan ayat ayat yang diarahkan "bukan" kepada orang-orang mukmin digunakan untuk orang-orang mukmin.

Syaikh Albaani karena ada kepentingan dengan pemerintah dimana mereka adalah salafi wahhabi. Maka Albaani mengeluarkan sebuah pernyataan tentang chadits Muchammad Shollallahu 'Alayhi Wasallam,  yang berbunyi, "Katakan, Ummatku tidak akan berkumpul bersepakat dalam kesesatan" .... Oleh Albaani dikatakan bahwa chadits ini DHOIF. Padahal dikatakan oleh Ibnu Mas'uud RA, bahwa apa yang dikatakan oleh ummat Islam itu baik, maka menurut Allah itu juga baik. Kenapa ? Karena orang islam berfikir sesuai mengikuti manhaj nabawi atau sesuai dengan kenabian. Maka orang yang ikut madzhab sebenarnya sama dengan ikut Nabi.

Coba perhatikan ...

• Jika kita ingin belajar hukum islam maka kita ikut 4 Imam :

Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.

• Jika kita ingin belajar chadits maka kita ikut 10 Imam minimal 6 : Imam. Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Nasaa-i, Imam Turmidzi, Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah.

• Jika kita ingin belajar aqidah islam maka kita ikut 3 Imam :

Imam Asy'ariy, Imam Maturidiy dan Imam Thohawiy.

• Jika kita ingin belajar akhlaq islam maka kita ikut 2 Imam :

Imam Ghozaliy, Imam Junayd Al Baghdadiy

• Bahkan masalah membaca saja, kita punya Imam juga. Jika ingin belajar bacaan qiroat Al Quraan maka kita ikut diantara 7 Imam,

Karena mereka semua Radhiyalloohu 'Anhum itu mengikuti Kitabullooh dan Sunnah Nabi Shollalloohu 'Alayhi Wasallam.

Bapak bapak Ibu ibu Saudara saudara ....

Syaikh Albaani mengutip Ucapan Imam Syafi'i. Apa katanya, " Imam Syafi'i berkata kepada muridnya, "JANGAN TAQLID KEPADAKU!" (Apa taqlid ? Mengikuti tanpa tahu dalil). Tapi ia (Albaani) melupakan Imam Syafi'i berkata begitu kepada siapa ? Apakah murid yang level dibawahnya atau muridnya yang baru ngaji ? Kalau orang yang belum faham, bahwa Imam Syafi'i itu ngomong ke muridnya yang selevel Imam Hanbali dan Al Muzanni. Tapi kalau ngomong ke kita, "TAQLIDLAH KEPADAKU!"

Begitu pula Syaikh Albaani mengutip tentang perkataan Imam Syafi'i, "Jika Chadits itu shohih itu madzhabku" (Albaani menghendaki dengan perkatasn Imam Syafi'i itu untuk memplesetkan pemahaman Muslimin). Psdahal maksud perkataan  Imam Syafi'i adalah chadits shohih yang menurut kriteria Imam Syafi'i, bukan shohih menurut Kriteria Albaani).

CONTOH :

Menurut Albaani, qunut sholat shubuh itu chadits dho'if, akan tetapi menurut Imam Syafi'i Chadits Qunut Sholat Shubuh itu Shohih. Memilih siapa ? Imam Syafi'i atau Syaikh Albaani ? ( Sudash tentu Imam Syafi'i ! Imam Syafi'i gurunya RATUSAN, Sedang Syaikh Albaani guru chafizhnya dan ijazahnya CUMA SATU yaitu Syaikh Roghib Ath Thobbaaq (termasuk gurunya Syaikh Al Yatib Al Fadaniy juga).

Maka bermadzhab berarti mengikuti imam yang ikuti Kitab Allah dan Sunnah Rosul Shollalloohu 'Alayhi Wasallam. Mau langsung ke Kitab dan Sunnah akan berbahaya. Giliran beragama kembali ke Kitab dan Kitab Sunnah. Tapi giliran sakit langsung pergi ke dokter, nggak ke buku kedokteran. Coba, Jika kita sakit, apakah kita ke BUKU KEDOKTERAN ATAU PERGI KE DOKTER ? Jawabannya "ke dokter". Bila kita belum punya penyakit kejahilan dan ketidak-mengertian akan hukum agama, kita kembali ke Al Qur-aan dan Kitab As Sunnah atau pergi ahlinya Kitab Al Qur-aan dan As Sunnah ? Jawabannya Ke AHLI AL QUR-AAN DAN KITAB AS SUNNAH ?

Dalil bermadzhab adalah  "FAS ALUU AHLADZ DZIKRI IN KUNTUM LAA TA`LAMUUN" (Bertanyalah kepada ahli dzikir /Ahli ilmu Al Qur-aan dan As Sunnah jika kamu tak mengetahui). Mengikuti madzhab itu berarti SUNNAH. Memang bermadzhab memang tidaklah wajib. Tapi bermadzhab itu sangat penting. Bukan mengikuti orang kafir, tapi mengikuti Orang Pilihan dari Para Ulama.

Apa akibat tidak bermadzhab dan kenapa Asy Syaikh Romadhon Al Buuthi menuliskan kitab yang menentang Aliran Anti Madzhab ?

Adapun MENGIKUTI ALIRAN TAK BERMADZHAB adalah paling BERBAHAYA karena bisa menghancurkan syari'at Islam. KENAPA BAHAYA ? Ketahuilah bahwa YANG MERIWAYATKAN HUKUM HUKUM NABI ITU ORANG-ORANG YANG BERMADZHAB. Yaitu Imam Abu Hanifah (Hanafi), Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Achmad Bin Hanbaal (Hanbali) adalah periwayat periwayat Hukum Nabi. Empat imam ini periwayat hukum. Sedangkan Imam Bukhori atau Muslim hanyalah PERIWAYAT KATA KATA, PERBUATAN ATAUPUN KETETAPAN NABI, BUKAN PERIWAYAT HUKUM NABI Shollalloohu 'Alayhi Wasallam. Dan justru mereka periwayat periwayat chadits itu meriwayatkan pemahaman Para Imam Madzhab didalam kitab kitab mereka.

Masalahnya adalah ketika di Masjidil Charom, mereka anti madzhab menuliskan, "Kita itu cukup menggunakan Shohih Bukhori, shohih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan Tarmidzi. Mereka lupa, Imam Bukhori berguru ke murid Imam Syafi'i, Imam Muslim berguru kepada Imam Bukhori, Imam Abu Dawud berguru kepada Imam Achmad bin Hanbal, Imam Tarmidzi juga berguru kepada murid murid Imam Syafi'i dan Bukhori.

Jika kita buka kitab Sunan Imam Tarmidzi, kita akan menemukan setiap ada Chadits yang musykil yang problem, beliau nukil pendapat Imam Imam Madzhab. Qoala Syafi'i wabi Qoola Achmad, wabi qoola Uyaynah dst... Berarti .... Imam Tarmidzi sudah mengerti dan sudah faham serta sudah menditeksi bahwa orang tidak cukup hanya mengerti chadits tapi mengerti MADZHAB ALA IMAM.

Kita sudah sebutkan juga bahwa umam imam ini saling terhubung dengan berguru ke atasnya. Jadi tidak benar kalau mengatakan cukup Imam Bukhori karena hanya Imam periwayat Chadits.  Maka itu apakah akibatnya TIDAK BERMADZHAB ?

• Syaikh Albaani menulis pada kitab pertamanya yaitu melarang sholat dimasjid yang ada quburnya.

• Akhirnya Syaikh Albaani melarang sholat di masjid di Damaskus, konon katanya disana ada quburannya.

• Dan ketika takut tinggal di Madinah, Syaikh Albaani menfatwakan mesti keluarkan qubur Nabi dari Masjid Nabawi. Syaikh Albaani dikeluarkan dari Madinah karena kemauannya mengeluarkan qubur Nabi dari Masjid Nabawi.

• Syaikh Albaani Tidak membolehkan sholat di Masjid Al khoyr di Mina, kenapa ? Disitu ada 70 qubur sahabat Nabi.

• Syaikh Albaani membd'ahkan sholat shubuh berqunut.

• Syaikh Albaani tidak membolehkan mengatakan "Ash Sholaatu Wassalaamu 'Alayka Yaa Ayyuhan Nabi dengan alasan Nabi telah wafat.

• Syaikh Albaani juga tidak membolehkan mengucapkan sayyidinaa dalam sholat.

• Syaikh Albaani juga membid'ahkan ucapan usholli pada saat mau sholat.

• Syaikh Albaani juga membid'ahkan bersalam salaman dan berdoa berjama'ah setelah sholat.

• Syaikh Albaani juga mengatakan bahwa orang-orang bermadzhab itu sama dengan binatang ternak.

• Syaikh Albaani juga mengharamkan emas bagi wanita. Dengan hal ini ia berani mrngatakan "kenapa Imam Syafi'i koq memdiamkan seakan tidak tahu atau pura pura bodoh.

Itu akibatnya kalau tidak bermadzhab dan anti madzhab. Jangankan Asy Syaikh Muhammad Romadhon Al Buuthi, bahkan imam Syafi'i sekalipun juga dipersalahkannya.

Orang-orang Anti Madzhab itu sedang mengembangkan Qur-aan Berijazah. Pas di cek thobaqohnya, pada tingkatan thobaqoh / orang yang ketiga ternyata ORANG YANG BERMADZHAB. Pada saat dalam Membaca Al Qur-aan boleh bermadzhab, tapi giliran pemahaman tidak boleh, ... Ini jelas AMBIGU. Oleh karena itulah ajakan untuk tidak bermadzhab itu hanya MEMBUAT MADZHAB BARU TANPA NAMA, Maka bukan bermadzhab yang bid'ah tapi yang tidak bermadzhablah yang bid'ah. Itulah kata Asy Syaikh Muchammad Sai'id Fadhol Al Buuthi .Bahkan beliau mengatakan bid'ah yang paling berbahaya adalah TIDAK BERMADZHAB. KARENA ADA KECENDERUNGAN MENYERANG DAN MEMPERSALAHKAN MUSLIM LAIN YANG BERMADZHAB.

Itulah akibatnya jika TIDAK BERMADZHAB.

Pada zaman shohabat sudah ada perbedaan pandangan dalam beberapa hal yang mana hal itu menunjukkan akan adanya madzhab. Ada yang melarang perempuan ke Masjid (versi sayyidatina 'Aisyah RA) tapi ada yang membolehkan ( versi sayyidina 'Abdulloh bin 'Umar). Ketika terjadi perang ada yang membolehkan dengan api ( Sayyidina Abu Bakar), ada yang melarang menggunakan api (Sayyidina 'Umar). Ada shahabat Nabi yang kepala retak, pada saat malamnya ia bermimpi junub. Maka ia disuruh untuk mandi junub. Maka Nabi marah dan bersabda, "Kalau tidak tahu itu, seharusnya bertanya kepada tang lebih tahu.

Maka itulah bermadzhab itu SUNNAH. Bermadzhab bukanlah fanatisme atau Pengkultusan Imam, Bukan Mengabaikan Al Qur-aan Dan As Sunnah Lalu Memakai Madzhab .... Bukan  Bukan Seperti Itu Ya .... !


4 MAZHAB, INI HUKUM TAHLILAN & BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA

 4 MAZHAB, INI HUKUM TAHLILAN & BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA

Sebagian umat Muslim di Indonesia mengamalkan Tahlilan yaitu kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), yang pahalanya dihadiahkan kepada ayah, ibu, kakek, nenek, sanak saudara atau kepada siapa saja yang diniatkan.

Tahlilan tersebut biasanya dilaksanakan tiga hari atau tujuh hari berturut-turu setelah meninggalnya seorang anggota keluarga. Bagi yang mampu bisa mengamalkannya juga pada hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.

Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat oleh Muslim yang ikut tahlilan, atau dibawa pulang oleh mereka.

Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut ?


1. Hukum menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Alquran serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ

Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa salat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).

Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan:

وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ

Jika seseorang membaca Alquran, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا

Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunahkan membaca apa yang mudah dari Alquran, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).

Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan:

وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).

Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:

وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ

Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, salat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, salat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).

Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:

قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ

Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya. 


2. Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah.

Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Alquran dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan salat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).

Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.


3. Hukum bersedekah untuk mayit.

Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ «نَعَمْ».

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).

Demikian ditulis Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung yang juga Dosen IAIN Tulungagung, sebagaimana dilansir dair laman resmi Nahdatul Ulama (NU Online) pada Rabu (31/12/2019).



BEDA NIYYAT AMALAN BEDA PULA AKIBATNYA

 BEDA NIYYAT AMALAN BEDA PULA AKIBATNYA

GEBINGAN

Gebingan: Panganan Brekat Memperingati Orang yang Sudah Meninggal

Gebingan: panganan brekat yang dibuat saat genduren memperingati orang yang meninggal.

Tradisi Jawa yang masih berakulturasi dengan tradisi Islam di Jawa adalah upacara adat atas kematian seseorang. Slametan atas meninggalnya seseorang dari 3 hari disebut Nelung Dina, 7 hari disebut Mitung Dino, 40 hari disebut Matang Puluh, 1 tahun yang disebut Mendak Pisan, 2 Tahun yang disebut Mendak Pindho dan 1000 hari yang disebut Nyewu masih banyak bisa ditemui ditengah masyarakat Gunungkidul.

Bagi masyarakat yang masih merasakan tradisi slametan untuk orang yang meninggal tentu tidak asing dengan Tradisi Kenduri. Dan sego berkat yang dibagikan si empunya hajat tentu menjadi salah satu yang menarik untuk dipahami maksud dan tujuannya. Terkhusus untuk masyarakat dimasa kini yang sebagian besar sudah tidak memperdulikan lagi segala bentuk makna dari setiap tradisi masyarakat Jawa pada umumnya.

Isi berkat kenduri pada upacara slametan atas kematian seseorang adalah:

Nasi Putih Golong, Bakmi Goreng, Daging Ayam Goreng, Tempe Bacem, Sate Kambing Campur, Tongseng Kikil Kambing, Tongseng Daging Kambing, Telur Godog, Sayur Kluwih, Sayur Lombok, Kentang Goreng, Tumis Buncis, Ketan Oran, Apem, Kolak, Gula, Teh, Krupuk, Jajan Pasar, Nasi Uduk Dan Gebingan.


Dari sekian banyak isi sebuah berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang ada yang memiliki sifat harus ada dan ada yang bersifat sesuai kemampuan. Salah satu yang harus ada dalam sebuah berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang adalah Gebing atau Gebingan. Walau bersifat harus, tetapi tradisi orang Jawa selalu menganut prinsip “desa mawa cara”. Artinya bisa jadi di desa lain memiliki tata cara berbeda. Atau dalam peribahasa Indonesia dikenal dengan “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” yang kurang lebih berarti bahwa setiap tempat memiliki tradisi, adat, cara, isi yang berbeda.

Dan apa yang saya tulis disini adalah sesuai dengan apa yang saya alami di daerah saya, atau tempat saya.

Tapi makna dan filosofi yang terkandung pada setiap makanan yang mengisi besek atau wadah dari berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang masing-masing memiliki makna dan filosofi yang tidak jauh berbeda. Tentunya masing-masing makanan yang mengisi besek atau wadah kenduri atas kematian seseorang memiliki makna dan filosofi yang tumbuh dan dipahami oleh masyarakat Jawa pada umumnya.

Banyak sekali masyarakat masa kini yang tidak lagi memperdulikan semua ini. Maka ketika mendapati berkat kenduri tidak penting istu isinya apa dan bagaimana, tetapi apa ujub dari berkat kenduri yang diterima. Padahal setiap berkat kenduri memiliki isi yang berbeda sesuai dengan ujub atau harapan dari dilaksanakannya sebuah upacara tradisi.

Sebut saja Gebing atau Gebingan, makanan ini hanya ada pada berkat kenduri slametan orang meninggal. Karena Gebing atau Gebingan mengandung makna dan filosofi atas berpulangnya seseorang kepada Hyang Maha Kuasa.

Gebing atau Gebingan sendiri adalah makanan yang terdiri dari:

Gereh Atau Ikan Asin Goreng, Peyek Kedelai Hitam, Kedelai Goreng, Tempe Goreng, Dan Kelapa Tua Goreng. Semua Dijadikan Satu Dalam Wadah Yang Disebut Sudi. Namun Sekarang Sering Kita Temui Sudi Telah Tergantikan Oleh Kantong Plastik. Dari Sajian Yang Disebut Gebing atau Gebingan Itu Masing-Masing Makanan Memiliki Arti Sendiri-sendiri.


Gereh atau ikan asin goreng melambangkan tubuh manusia yang lapuk dan mudah rusak. 

Peyek kedelai hitam melambangakan setiap manusia selalu memiliki noda hitam yang berarti kesalahan atau dosa. 

Kedelai goreng memiliki arti bahwa setiap orang memiliki sisi atau sifat kekerasannya,

Tempe goreng melambangkan daging manusia dan 

Kelapa tua yang diiris kecil dan digoreng bermaknakan gigi manusia. 

Kelapa iris goreng yang menyerupai gigi ini menandakan keras dan yang akan tetap tersisa. 

Sedangkan sudi dari daun pohon pisang memiliki arti bahwa wadah atau tubuh manusia adalah bagian dari alam dan akan kembali kepada alam.

Inilah makna dan arti yang terkandung dalam Gebing atau Gebingan yang menjadi salah satu syarat yang harus ada pada Brekat Kenduri Slametan Orang yang meninggal.

Sekali lagi “Desa Mawa Cara” artinya bisa saja gebing atau gebingan didaerah anda berbeda.

*

Orang yang masih dalam keadaan DI SANTET ATAU TELUH ATAU SIHIR, tidak boleh memakan sajian kenduri atau selamatan orang mati.

https://youtu.be/1nwVemaodh0


MITOS NASI ORANG MATI

 MITOS NASI ORANG MATI

Di sebagian Pulau Madura (dan di tempat lain mungkin), ada kepercayaan bahwa nasi yang dimasak di rumah orang yang meninggal dalam rangka selamatan untuk si mayit (dalam bentuk apapun) tidak boleh dimakan oleh beberapa orang. Diantaranya, orang yang sedang hamil, patah tulang, dan orang yang memiliki penyakit tertentu. Menurut kepercayaan, akan terjadi hal buruk jika nasi itu dimakan oleh orang-orang tadi. Mitos Nasi Orang Mati itu dikenal dengan istilah nase’en oreng mateh (Madura, Red).

HUKUM MITOS

Memang dalam banyak kesempatan mitos, seringkali terjadi. Ketika si-A mempercayai mitos B kemudian melanggarnya, maka pada realitanya dia akan benar-benar tertimpa apa yang dia percayai. Hal ini terjadi, meurut para ulama, sebagai balasan karena dia berprasangka buruk kepada Allah SWT, sedang Allah SWT akan menakdirkan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik atau buruk.

Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ…

“Aku berdasarkan anggapan hamba ku…

Allah SWT akan akan menakdirkan sekaligus melakukan muamalah pada hamba-Nya sesuai dengan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik prasangka itu buruk atau baik. Demikian keterangan Imam al-Mubarakfûri dalam Tuhfatul-Ahwadzi (VII/53).

Hubungan mitos dan akibat buruk ini akhirnya menjadi adat (hal yang berulang-ulang) yang kebanyakan memang terjadi. Disinilah ulama kemudian mengambil pemerincian hukum (Tuhfatul-Murîd hal. 61):

1. Jika mitos yang sudah menjadi adat diyakini pasti memberi pengaruh, maka hukumnya kafir.

2. Jika akibat buruk itu diyakini akibat dari kekuatan yang diberikan oleh Allah, maka hukumnya fasik (haram)

3. Jika akibat buruk itu diyakini Allah yang mengkehendakinya, namun memercayainya hanya sebagai bentuk Talazum Aqli, artinya nase’en oreng mateh tadi jika tetap dimakan akan tetap menimbulkan efek negatif, maka hanya dihukumi jahil (orang yang tidak tahu)

4. Jika meyakini semuanya adalah kehendak Allah dan mitos-mitos seperti tadi hanya diyakini sebagai hukum adat, artinya naseen oreng mateh tidak memliki efek negatif walau pun dimakan oleh siapa pun, maka hukumnya tidak apa-apa

Maka dalam menghukumi mitos-mitos seperti apa pun bentuknya, tinggal melihat keyakinan perindividual orang yang memercayainya. Apakah kepercayaannya seperti yang tergambar dalam pemerincian nomor 4 dan 3, yang berarti tidak sampai hukum haram, atau seperti dalam pemerincian nomor 2, yang berarti hanya dihukumi haram tidak sampai kafir, atau seperti dalam pemerincian nomor 1, yang berarti kepercayaanya kepada mitos sudah sampai taraf mengeluarkan dia dari Islam?

LALU BAGAIMANA SEHARUSNYA?

Sebagai muslim dalam menghadapi mitos kita harus yakin bahwa (a) Hanya Allah SWT yang dapat memberi efek baik atau buruk (b) Selalu tawakal dan berbaik sangka kepada Allah SWT dalam hal apapun (c) Jika sudah terlanjur memercayai apapun bentuk mitos, dianjurkan membaca doa:

اللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidak ada keburukan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai keburukan, tidak ada kebaikan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai sebuah kebaikan dan tiada tuhan selain engkau.” (HR. Imam Baihaqi)

Badruttamam|AnnajahSidogiri.id



Susunan Bacaan Tahlil, Doa Arwah Lengkap, dan Terjemahannya

 Susunan Bacaan Tahlil, Doa Arwah Lengkap, dan Terjemahannya

Tahlilan merupakan ritual pembacaan lafal tahlil yang lazim di masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun. Pembacaan tahlil biasa dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendoakan jenazah baru di makamnya, ahli kubur yang telah lama dimakamkan, dan mendoakan ahli kubur dalam peringatan 1-7 hari, 15 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari di rumah ahli musibah. Pembacaan lafal tahlil juga dilakukan oleh masyarakat pada peringatan haul, arwahan (ruwahan) di bulan ruwah, akhir Sya’ban, akhir Ramadhan, saat kumpul keluarga untuk arisan misalnya, selamatan perkawinan (walimahan), selamatan aqiqahan, walimatus safar, muludan, Isra dan Mi‘raj, selamatan Syura’an (malam 10 Muharram), selamatan tujuh bulan, khitanan, ziarah kubur setelah lebaran Idul Fitri, ratiban, manaqiban, barzanjian, dan lain sebagainya. Adapun berikut ini adalah susunan bacaan tahlil yang dikutip secara utuh dari Kitab Majmu’ Syarif. Semoga susunan zikir, tahlil, dan doa tahlil berikut ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kami juga menyertakan susunan zikir dan tahlil ini dengan terjemahan yang kami buat.

1. Pengantar Al-Fatihah.

اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وصَحْبِهِ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةُ

Artinya, “Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Untuk yang terhormat Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, dan para sahabatnya. Bacaan Al-Fatihah ini kami tujukan kepada Allah dan pahalanya untuk mereka semua. Al-Fatihah…”

2. Al-Fatihah.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الَّمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِ يْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ. اَمِينْ

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terlontar. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada-Mu kami menyembah. Hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Kauanugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Semoga Kaukabulkan permohonan kami.”

3. Surat Al-Ikhlas (3 kali).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. اَللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكٌنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Dialah yang maha esa. Allah adalah tuhan tempat bergantung oleh segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.’” (3 kali).

4. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.”

5. Surat Al-Falaq.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ. وَمِنْ شَرِّ النَّفَاثاتِ فِى الْعُقَدِ. وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada tuhan yang menguasai waktu subuh dari kejahatan makhluk-Nya. Dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus nafasnya pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia mendengki.’”

6. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.”

7. Surat An-Naas.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ اَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. اِلَهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada tuhan manusia, raja manusia. Sesembahan manusia, dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia. Dari setan dan manusia.’”

8. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.

9. Surat Al-Falaq

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الَّمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ. اَمِينْ

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terlontar. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada-Mu kami menyembah. Hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Kauanugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Semoga Kaukabulkan permohonan kami.”

10. Awal Surat Al-Baqarah.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. المّ. ذَلِكَ الكِتابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدَى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَا اُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْاَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. اُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ، وَاُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Alif lam mim. Demikian itu kitab ini tidak ada keraguan padanya. Sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad SAW) dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari tuhannya. Merekalah orang orang yang beruntung.”

11. Surat Al-Baqarah ayat 163.

وَاِلَهُكُمْ اِلَهٌ وَّاحِدٌ لاَ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

Artinya, “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang maha esa. Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Dia yang maha pengasih lagi maha penyayang.”

12. Ayat Kursi (Surat Al-Baqarah ayat 255)

اللهُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَاْ خُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَّهُ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّ بِاِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَينَ اَيْدِيْهِمِ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلاَ يُحْيِطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ اِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضَ، وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمُا، وَهُوَ الْعَلِىُّ الْعَظِيْمُ

Artinya, “Allah, tiada yang layak disembah kecuali Dia yang hidup kekal lagi berdiri sendiri. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat menjaga keduanya. Dia maha tinggi lagi maha agung.”

13. Surat Al-Baqarah ayat 284-286.

لِلَّهِ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ. وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِى اَنْفُسِكُمْ اَوْ تَخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ. فَيَغْفِرُ لَمِنْ يَّشَاءُ وَيُعْذِّبُ مَنْ يَّشَاءُ. وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ. اَمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ. كُلٌّ اَمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ. لَانًفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ. وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ. لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا. لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكَتْسَبَتْ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَاْنَا. رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا. رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ. وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ 

Artinya, “Hanya milik Allah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Jika kamu menyatakan atau merahasiakan apa saja yang di hatimu, maka kamu dengan itu semua tetap akan diperhitungkan oleh Allah. Dia akan mengampuni dan menyiksa orang yang dikehendaki. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Rasulullah dan orang-orang yang beriman mempercayai apa saja yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan kepada para utusan-Nya. ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang rasul dari lainnya.’ Mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami menaati. Ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami harapkan. Hanya kepada-Mu tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Ia mendapat balasan atas apa yang dia perbuat dan siksaan dari apa yang dia lakukan. ‘Tuhan kami, janganlah Kau siksa kami jika kami terlupa atau salah. Tuhan kami, jangan Kau tanggungkan pada kami dengan beban berat sebagaimana Kaubebankan kaum sebelum kami. Jangan pula Kaubebankan pada kami sesuatu yang kami tidak mampu. Ampunilah kami. Kasihanilah kami. Kau pemimpin kami. Tolonglah kami menghadapi golongan kafir,” (Surat Al-Baqarah ayat 284-286).

14. Surat Hud ayat 73.

ارْحَمْنَا، يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

Artinya, “Kasihani kami, wahai Tuhan yang maha kasih.” (3 kali).

رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِ اِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

Artinya, “Dan rahmat Allah serta berkah-Nya (kami harapkan) melimpah di atas kamu sekalian wahai ahlul bait. Sungguh Dia maha terpuji lagi maha pemurah,” (Surat Hud ayat 73).

15. Surat Al-Ahzab ayat 33.

اِنَّمَا يُريِدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ

وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا 

Artinya, “Sungguh Allah
berkehendak menghilangkan segala kotoran padamu, wahai ahlul bait, dan menyucikanmu sebersih-bersihnya,” (Surat Al-Ahzab ayat 33).

16. Surat Al-Ahzab ayat 56.

اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bacalah shalawat untuknya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

17. Shalawat Nabi (3 kali).

اَلَّلهُمَّ صَلِّ أَفْضَلَ صَلَاةٍ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

Artinya, “Ya Allah, tambahkanlah rahmat dan kesejahteraan untuk pemimpin dan tuan kami Nabi Muhammad SAW, serta keluarganya, sebanyak pengetahuan-Mu dan sebanyak tinta kalimat-kalimat-Mu pada saat zikir orang-orang yang ingat dan pada saat lengah orang-orang yang lalai berzikir kepada-Mu.”

18. Salam Nabi

وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ اَصْحَابِ سَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ

Artinya, “Semoga Allah yang maha suci dan tinggi meridhai para sahabat dari pemimpin kami (Rasulullah).”

19. Surat Ali Imran ayat 173 dan Surat Al-Anfal ayat 40.

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ. نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ 

Artinya, “Cukup Allah bagi kami. Dia sebaik-baik wakil. (Surat Ali Imran ayat 173). Dia sebaik-baik pemimpin dan penolong,” (Surat Al-Anfal ayat 40).

20. Hawqalah.

وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Artinya, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang maha tinggi dan agung.”

21. Istighfar (3 kali).
اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ *3 

Artinya, “Saya mohon ampun kepada Allah yang maha agung.” (3 kali). (Allah) yang tiada tuhan selain Dia yang maha hidup, lagi terjaga. Aku bertobat kepada-Nya.”

22. HADITS KEUTAMAAN TAHLIL.

الَّذِيْ لَا اِلَهَ اِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ، اَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ اَنَّهُ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَيٌّ مَوْجُوْد

Artinya, “Sebaik-baik zikir–ketahuilah–adalah lafal ‘La ilāha illallāh’, tiada tuhan selain Allah, zat yang hidup dan ujud.”

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَيٌّ مَعْبُوْدٌ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah, zat yang hidup dan disembah.”

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَىٌّ بَاقٍ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah, zat kekal yang takkan mati.”

23. Tahlil 160 kali.

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah.” (160 kali).

24. Dua Kalimat Syahadat.

لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah. Nabi Muhammad SAW utusan-Nya.”

عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ الآمِنِيْنَ

Artinya, “Dengan kalimat itu, kami hidup. Dengannya, kami wafat. Dengannya pula insya Allah kelak kami dibangkitkan termasuk orang yang aman.”

25. DOA TAHLIL.

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُّوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ، سُبْحَانَكَ لَا نُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، فَلَكَ الحَمْدُ قَبْلَ الرِّضَى وَلَكَ الحَمْدُ بَعْدَ الرِّضَى وَلَكَ الحَمْدُ إِذَا رَضِيْتَ عَنَّا دَائِمًا أَبَدًا

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang dilontar. Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam sebagai pujian orang yang bersyukur, pujian orang yang memperoleh nikmat sama memuji, pujian yang memadai nikmat-Nya, dan pujian yang memungkinkan tambahannya. Tuhan kami, hanya bagi-Mu segala puji sebagaimana pujian yang layak bagi kemuliaan dan keagungan kekuasaan-Mu. Maha suci Engkau, kami tidak (dapat) menghitung pujian atas diri-Mu sebagaimana Kaupuji diri sendiri. Hanya bagi-Mu pujian sebelum ridha. Hanya bagi-Mu pujian setelah ridha. Hanya bagi-Mu pujian ketika Kau meridhai kami selamanya.”

26. Shalawat Zat Mukammalah.

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى الذَّاتِ المُكَمَّلَةِ وَالرَّحْمَةِ المُنَزَّلَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Artinya, “Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam untuk zat yang disempurnakan dan rahmat yang diturunkan, yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan sahabatnya.”

وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَيْهِ يَا ذَا البَهَاءِ وَالجَلَالِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا

Artinya, “Ya Allah, wahai zat yang indah dan agung, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW pada pagi dan sore hari.”

27. Doa Kebaikan Lahir dan Batin.

اللَّهُمَّ كَمَا خَصَّصْتَنَا بِكِتَابِكَ الكَرِيْمِ وَهَدَيْتَنَا إِلَى صِرَاطكَ المُسْتَقِيْمِ، وأَصْلِحْ بِهِ مِنَّا جَمِيْعَ مَا فَسَدَ، وَطَهِّرْ بِهِ مِنَّا مَا ظَهَرَ وَمَا بَطَنَ

Artinya, “Ya Allah, sebagaimana Kau muliakan kami dengan Kitab suci-Mu yang mulia dan Kau tunjuki kami ke jalan yang lurus, maka berikanlah kemaslahatan untuk kami sebagai pengganti mafsadat dan sucikan kami dari kotoran yang tampak dan tersembunyi.”

28. Doa Keberkahan Al-Qur‘an.

اللَّهُمَّ اشْرَحْ بِالقُرْآنِ صُدُوْرَنَا وَيَسِّرْ بِهِ أُمُوْرَنَا وَعَظِّمْ بِهِ أُجُوْرَنَا وَحَسِّنْ بِهِ أَخْلَاقَنَا وَوَسِّعْ بِهِ أَرْزَاقَنَا وَنَوِّرْ بِهِ
قُبُوْرَنَا

Artinya, “Ya Allah, dengan Al-Qur’an lapangkanlah hati kami, mudahkan urusan kami, lipatgandakanlah pahala kami, perbaiki akhlak kami, luaskan rezeki kami, dan terangilah kubur kami.”

29. Doa Wahbah untuk Para Sahabat Rasul dan Wali Allah.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَاَبَ مَا قَرَأْنَاهُ وَبَرَكَةَ مَا تَلَوْنَاهُ وَصَلَّيْنَاهُ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا هَلَلْنَا هَدِيَّةً بَالِغَةً وَرَحْمَةً مِنْكَ نَازِلَةً نُقَدِّمُهَا وَنُهْدِيْهَا اِلَى حَضَرَاتِ النَّبِيِّ الأَكْرَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ اِلَى أَرْوَاحِ آبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالمُرْسَلِيْنَ وَإِلَى مَلَائِكَةِ اللهِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالكَرُّوْبِيِّيْنَ، وَاِلَى أَرْوَاحِ سَادَاتِنَا أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَإِلَى البَقِيَّةِ العَشْرَةِ المُبَشَّرَةِ بِالجَنَّةِ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ وَالقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَإِلَى أَرْوَاحِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ وَأُمِّهِمَا سَيِّدَتِنَا فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ وَسَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الكُبْرَى وَسَيِّدِنَا حَمْزَةَ وَالعَبَّاسِ وَالشُّهَدَاءِ البَدْرِيِّيْنَ وَالأُحُدِيِّيْنَ وَإِلَى أَرْوَاحِ الخِضْرِ وَإِلْيَاسَ وَسَيِّدِنَا عَبْدِ اللهِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَإِلَى أَرْوَاحِ الأَرْبَعَةِ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ وَمُقَلِّدِيْهِمْ فِي الدِّيْنِ وَإِلَى أَرْوَاحِ العُلَمَاءِ العَامِلِيْنَ وَالقُرَّاءِ وَأَئِمَّةِ الحَدِيْثِ وَالمُفَسِّرِيْنَ وَسَادَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ المُحَقِّقِيْنَ وَإِلَى رُوْحِ القُطْبِ الرَّبَّانِيِّ وَالعَارِفِ الصَّمَدَانِيِّ سَيِّدِيْ عَبْدِ القَادِرِ الجَيْلَانِيّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ البَدَوِيِّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ الرِّفَاعِيِّ وَسَيِّدِيْ إِبْرَاهِيْمَ الدَّسُوْقِيِّ وَسَيِّدِيْ أَبِي القَاسِمِ الجُنَيْدِ البَغْدَادِيِّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ ابْنِ عَلْوَانَ وَسَيِّدِيْ أَبِي طَالِبٍ المَكِّيِّ وَإِلَى أَرْوَاحِ كُلِّ وَلِيٍّ وَوَلِيَّةٍ لِلهِ مِنْ مَشَارِقِ الأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا أَيْنَمَا كَانُوْا وَكَانَ الكَائِنُ فِي عِلْمِكَ وَحَلَّتْ أَرْوَاحُهُمْ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah pahala dan keberkahan bacaan kami, shalawat kami, dan tahlil kami sebagai hadiah yang sampai dan rahmat-Mu yang turun, yang kami persembahkan dan hadiahkan untuk Nabi Muhammad SAW termulia, arwah bapak moyangnya, saudaranya dari kalangan para nabi dan rasul, malaikat muqarrabin dan karubiyyin, pemimpin kami Abu Bakar RA, Umar RA, Ustman RA, Ali RA, sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surge, seluruh sahabat, kerabat, tabi‘in, arwah Hasan, Husein, Ibu keduanya yaitu Sayyidah Fathimah Az-Zahra, Sayyidah Khadijah Al-Kubra, Sayyidina Hamzah, Abbas RA, syuhada Badar dan Uhud, arwah Khidhir, Ilyas, Sayyidina Abdullah bin Abbas RA, arwah empat imam mujtahid dan pengikut mereka perihal agama, arwah ulama, ahli qira‘ah, imam hadits, mufasir, pemuka sufi ahli hakikat, roh quthub rabbani dan arif as-shamadani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Sayyid Ahmad Badawi, Sayyid Ahmad Ar-Rifa‘i, Sayyid Ibrahim Ad-Dasuqi, Sayyid Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi, Sayyid Ahmad bin Alwan, Sayyid Abu Thalib Al-Makki, seluruh wali Allah baik laki-laki dan perempuan dari Timur ke Barat baik di daratan maupun di lautan; di mana saja mereka dan roh mereka berada. Sementara semua yang ada berada dalam pengetahuan-Mu, waha Tuhan sekalian alam.”

30. Doa untuk Arwah Penghuni Makam Mualla, Syubaikah, Baqi‘, dan Mereka yang Tidak Pernah Diziarahi.

وَإِلَى أَرْوَاحِ سَادَاتِنَا أَهْلِ المُعَلَّا وَالشُّبَيْكَةِ وَالبَقِيْعِ وَأَمْوَاتِ المُسْلِمِيْنَ كَافَّةً عَامَّةً وَفِي صَحَائِفِ مَنْ لَا زَائِرَ لَهُ وَلَا ذَاكِرَ لَهُ عُمَّ الجَمِيْعَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya, “Dan kepada arwah pemimpin kami, yaitu ahli kubur Mualla, Syubaikah, Baqi‘, semua arwah umat Islam, dan pada lembaran ahli kubur yang tidak diziarahi dan tidak diingat, ratakanlah semuanya dengan rahmat-Mu, wahai zat yang maha penyayang.”

31. Doa Permohonan Rahmat Berkah Al-Qur’an.

اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ بِالقُرْآنِ العَظِيْمِ رَحْمَةً وَاسِعَةً، وَاغْفِرْ لَهُ مَغْفِرَةً جَامِعَةً يَا مَالِكَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, turunkanlah rahmat yang luas kepadanya (arwah ahli kubur) dengan berkat Al-Qur’an yang agung, ampunilah ia dengan ampunan yang luas, wahai Penguasa dunia dan akhirat, Tuhan sekalian alam.”

32. Doa Ketenteraman untuk Ahli Qubur.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ فِيْ قَبْرِهِ الرَّحْمَةَ وَالضِّيَاءَ وَالنُّوْرَ، وَالبَهْجَةَ وَالرَوْحَ وَالرَيْحَانَ وَالسُّرُوْرَ، مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ البَعْثِ وَالنُّشُوْرِ، إِنَّكَ مَلِكٌ رَبٌّ غَفُوْرٌ

Artinya, “Ya Allah, turunkanlah di kuburnya (almarhum fulan) rahmat, sinar, cahaya, kegembiraan, kesenangan, keharuman, dan kebahagiaan sejak hari ini hingga hari kebangunan dan kebangkitan. Sungguh, Kau penguasa, tuhan yang maha pengampun.”

33. Doa Meminta Syafa‘at Al-Qur’an.

اللَّهُمَّ اجْعَلِ القُرْآنَ العَظِيْمَ فِي قَبْرِهِ مُؤْنِسًا، وَفِي القِيَامَةِ شَافِعًا، وَفِي الحَشْرِ ضِيَاءً وَظِلًّا وَدَلِيْلًا، وَفِي المِيْزَانِ رَاجِحًا، وَعَلَى الصِّرَاطِ نُوْرًا وَقَائِدًا، وَعَنِ النَّارِ سِتْرًا وَحِجَابًا، وَفِي الجَنَّةِ رَفِيْقًا

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an di kuburnya sebagai teman, di Hari Kiamat sebagai pemberi syafaat, di tempat berkumpul (mahsyar) kelak sebagai sinar, naungan, dan petunjuk, di mizan sebagai pemberat timbangan amal baik, di sirath sebagai cahaya dan penuntun, dari api neraka sebagai tabir dan hijab, dan di surga sebagai kawan.”

34. Doa Pengantar untuk Penghuni Baru Qubur.

اللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنَ عَبْدَيْكَ خَرَجَ مِنْ رَّوْحِ الدُّنْيَا وَسَعَتِهَا وَمَحْبُوْبِهِ وَاَحِبَّائِهِ فِيْهَا اِلَى ظـُـلْمَةِ اْلقَبْرِ وَمَا هُوَ لَا قِيْهِ كـَانَ يَشْهَـدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اَنْتَ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلـُـكَ وَاَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ

Artinya, “Ya Allah, ini hamba-Mu dan anak dari kedua hamba-Mu. Ia keluar dari kebahagiaan dan keluasan dunia, orang yang dicintai, dan para kekasihnya di dunia menuju kegelapan kubur dan apa yang akan ia jumpai di dalamnya. Ia dulu pernah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau dan Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Mu. Kau pun lebih tahu akan hal ini.”

35. Doa Kelapangan Qubur.

اللَّهُمَّ اِنَّهُ نَزَلَ بِكَ وَاَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ وَاَصْبَحَ فـَـقِـيْرًا اِلـَى رَحْمَتِكَ، وَاَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ وَقـَـدْ جِئْنَاكَ رَاغِبِيْنَ اِلـَـيْكَ شُفـَـعَاءَ لـَـهُ، اللـّٰهُمَّ اِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ اِحْسَانِهِ وَاِنْ كـَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ وَلـَـقـِّـهِ بِرَحْمَتِكَ رِضَاكَ وَقِهِ فِتْنَةَ اْلقـَـبْرِ وَعَــَذابَهُ وَافْسَحْ لـَـهُ فِيْ قـَــبْرِهِ وَجَافِ اْلاَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَلـَــقـِّـهِ بِرَحْمَتِكَ اْلاَمْنَ مِنْ عَذَابِكَ حَتَّى تَبْعَثَــهُ آمِنًا اِلـَى جَنَّتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya, “Ya  Allah, dia kembali kepada-Mu. Engkau adalah sebaik-baik tempat kembali. Ia membutuhkan rahmat-Mu. Sementara Engkau tidak perlu menyiksanya. Kami mendatangi-Mu seraya mengharap kepada-Mu agar dapat memberikan syafa’at baginya. Ya Allah, jika ia orang baik, maka tambahkanlah kebaikannya. Jika ia orang jahat, maka maafkanlah keburukannya. Pertemukan ia dan ridha-Mu berkat rahmat-Mu. Peliharalah ia dari fitnah dan azab kubur. Lapangkanlah kuburnya. Jauhkanlah dinding bumi dari kedua sisi badannya. Pertemukanlah ia dan keamanan berkat rahmat-Mu dari azab-Mu hingga Engkau membangkitkannya dalam keadaan aman menuju surga-Mu berkat rahmat-Mu, wahai Zat Yang Maha Pengasih.

36. Doa untuk Ahli Qubur.

اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ

Artinya, “Ya Allah, ampunilah dirinya, kasihanilah dirinya, afiatkan dirinya, dan maafkanlah dirinya.” Untuk jenazah perempuan, kata ganti penanda maskulin/mudzakkar diganti dengan kata ganti feminin/mu’annats.  اللهُمَّ اغْفِرْ لَها وَارْحَمْها وَعَافِها وَاعْفُ عَنْها يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ Artinya, “Ya Allah, ampunilah dirinya (perempuan), kasihanilah dirinya, afiatkan dirinya, dan maafkanlah dirinya, wahai Tuhan sekalian alam.”

37. Doa Khusus untuk Ahli Qubur yang Diziarahi.

وَاجْعَلِ اللهُمَّ ثَوَابًا مِثْلَ ثَوَابِ ذَالِكَ فِي صَحَائِفِنَا وَفِي صَحَائِفِ وَالِدِيْنَا وَمَشَائِخِنَا وَالسَّادَاتِ الحَاضِرِيْنَ وَوَالِدِيْهِمْ وَمَشَائِخِهِمْ خَاصَّةً وَإِلَى أَمْوَاتِ المُسْلِمِيْنَ عَامَّةً

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah pahala ini sebagaimana pahala demikian yang tercatat pada lembaran kami, lembaran orang tua kami, guru kami, para pemuka yang hadir, orang tua mereka, dan guru mereka khususnya, dan arwah umat Islam secara umum.”

38. Doa agar Ingat dan Paham Al-Qur’an.

اللهُمَّ ذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نَسِيْنَا وَعَلِّمْنَاهُ مَا جَهِلْنَا وَارْزُقْنَا تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ، وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لَّنَا وَلَا تَجْعَلْهُ حُجَّةً عَلَيْنَا

Artinya, “Ya Allah, ingatkan kami ayat-ayat Al-Qur‘an yang kami terlupa. Beritahukan kami sesuatu yang kami tidak ketahui. Anugerahkan kami kesempatan untuk membacanya sepanjang malam dan di tepi-tepi siang. Jadikanlah Al-Qur‘an sebagai pembela kami. Jangan jadikan Al-Qur‘an sebagai penghujat kami kelak.”

39. Doa Kemurahan dan Keridhaan Allah.

اللهُمَّ بِفَضْلِكَ عُمَّنَا، وَبِلُطْفِكَ حُفَّنَا، وَعَلَى الإِسْلَامِ وَالإِيْمَانِ جَمْعًا تَوَفَّنَا وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا، وَاخْتِمْ بِالصَّالِحَاتِ أَعْمَالَنَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, ratakanlah keutamaan-Mu. Selimuti kami dengan kelembutan-Mu. Atas Islam dan iman sekaligus, matikanlah kami sementara Kaumeridhai kami. Akhiri amal kami dengan kesalehan. Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat. Lindungilah kami dari siksa neraka, dengan rahmat-Mu wahai Tuhan maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.” Susunan bacaan zikir, tahlil, dan doa arwah ini diharapkan dapat memudahkan bagi para pembaca sekalian sebagai pemandu pembacaan tahlil atau sekadar pengingat bila mana Kitab Majmu' Syarif tertinggal ketika diperlukan. Semoga Allah menerima bacaan zikir dan tahlil kita, serta menyampaikan pahalanya untuk ahli kubur yang kita tuju. Amin. Wallahu a'lam. (Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107344/susunan-bacaan-tahlil-doa-arwah-lengkap-dan-terjemahannya


MAKNA LAFAZH ALLAH

 MAKNA LAFAZH ALLAH

Lafazh Allah adalah lafal yang mengumpulkan semua nama dan sifat yang dikandungnya.

Dzikir ini adalah tujuan utama dan paling puncak.

Saat menjelaskan Lafal Allah, Syaikhuna Maimoen Zubair mengatakan;

Jika huruf per huruf dihilangkan, maka akan semakin mempunyai makna yang lebih dalam.

Jika huruf Alif pada lafadl الله dihilangkan, maka akan dibaca لله ‘lillah’, yang mempunyai makna “Karena Allah”. Hal itu karena amal yang dikerjakan tidak akan sampai dan diterima oleh Allah kecuali amal itu karena Allah.

Jika huruf Lam Pertama pada lafadl لله dihilangkan, maka akan dibaca له Lahuu, yang mempunyai makna “hanya karena Allah”.

Makna ini lebih dalam dari pada makna sebelum ini, karena pada lafadl لله menggunakan isim dhohir (kelihatan), sedangkan pada lafadl له menggunakan bentuk isim dlomir (disimpan).

Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an saat menjelaskan tentang shodaqoh, sebagai berikut:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ

Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Al-Baqarah: 271)

Jika huruf Lam pada lafadl له ‘lahuu’ dihilangkan, maka akan dibaca ه “Huu”, yaitu Dlomir Sya'an. Dlomir Sya’an adalah dlomir yang kembali kepada kalimat yang ada di depan dlomir tersebut dan harus berupa jumlah. Bentuk Dlomir Sya'an adalah mufrod, sedangkan kalimah yang dikandung oleh dlomir itu berupa jumlah yang ada di depannya.

Alam ini wujud setelah diadakan oleh Allah, dan semua yang selain Allah pasti berupa jumlah dan tidak esa. Hal ini diisyaratkan berupa jumlah dan harus berada di depan. Sedangkan yang Tunggal (mufrod/fardi) hanya Allah. Hal ini diisyaratkan dengan dlomir yang mufrod. Allah berfirman:

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

Demi yang genap dan yang ganjil.

Semua makhluk pasti berpasang-pasang atau genap, dan yang ganjil serta Tunggal hanya Allah.

سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Jika huruf ha' pun dihilangkan, maka akan berdzikir dalam hati, karena huruf ha' berada pada pangkal tenggorokan dekat dada, dan setelah itu masuk dalam hati, sehingga orang yang berdzikir akan luas dada serta mempunyai hati yang terang benderang.

أَلَمْ نَشْرَحْ  لَكَ صَدْرَكَ ﴿١﴾ وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ ﴿٢﴾ الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ ﴿٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب ﴿٨﴾

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي ﴿٢٥﴾ وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ﴿٢٦﴾ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي ﴿٢٧﴾ يَفْقَهُوا قَوْلِي ﴿٢٨﴾




ISRA’ MI‘RAJ

 GAMBARAN BALASAN AKHIRAT YANG DIPERLIHATKAN KEPADA NABI SAAT ISRA’ MI‘RAJ

Pada malam isra dan mi‘raj, selain mendapat perintah shalat secara langsung, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga diperlihatkan pada sebagian hikmah dan tanda kebesaran Allah, sebagaimana dalam Al-Qur’an:  

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا   

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami,” (QS. Al-Isra’ [17]: 1).  

Banyak hadits yang mengisahkan tentang sebagain tanda kebesaran itu. Mulai dari diperlihatkan pada tujuh lapisan langit, baitul ma’mur, hingga disampaikan pada sidratul muntaha. Mulai dari dipertemukan dengan sebagian nabi terdahulu, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Nabi Yusuf alaihissalam, hingga diperlihatkan pada gambaran umat yang bahagia dan sengsara di akhirat.

Namun mengingat terbatasnya kesempatan, yang akan disajikan kali ini adalah beberapa hadits tentang hikmah dan gambaran umat yang bahagia dan sengsara di akhirat. Semantara hadits-hadits tentang keagungan Allah yang lain, insyaallah, akan disajikan pada kesempatan berikutnya.   

Gambaran tentang umat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang hanya pandai orasi dan menyeru orang lain, namun lalai akan keselamatan dirinya, disebutkan dalam riwayat Anas ibn Malik. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bercerita:  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رِجَالًا تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ، يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ، وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ 

“Pada malam di-isra’-kan, aku melihat sejumlah laki-laki yang digunting bibirnya dengan gunting api. Aku bertanya (pada Jibril), ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah para khatib dari kalangan umatmu. Mereka memerintah kebaikan pada orang lain, namun mereka sendiri lupa akan dirinya sendiri. Mereka membaca Al-Qur’an, apakah mereka tidak memikirkannya?’” (HR. Ahmad).

Informasi hadits ini jelas menguatkan kandungan ayat yang menyatakan, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS. Ash-Shaf [61]: 3).  

Selanjutnya hadits yang diterima Abu Hurairah menggambarkan keadaan umat yang suka makan hasil riba. Lebih lengkapnya, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menuturkan:   

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي لَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَنَظَرْتُ فَوْقِي فَإِذَا أَنَا بِرَعْدٍ وَبَرْقٍ وَصَوَاعِقَ قَالَ: وَأَتَيْتُ عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ هَؤُلَاءِ أَكَلَةُ الرِّبَا  

“Pada malam di-isra-kan, ketika sampai di langit ke tujuh, aku melihat ke atasku. Ternyata aku melihat halilintar, kilat, dan petir. Kemudian, aku diperlihatkan pada suatu kaum yang perutnya (besar) seperti rumah yang penuh dengan ular dan ular-ular itu terlihat dari luar. Aku bertanya (pada Jibril), ‘Siapakah mereka, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka makan hasil riba.’

Demikian yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.   Sementara dalam riwayat Samurah ibn Jundab, orang yang suka makan riba digambarkan dengan seorang laki-laki yang berenang di suatu sungai, dan mulutnya dijejali dengan batu. Demikian sebagaimana yang diceritakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رَجُلًا يَسْبَحُ فِي نَهَرٍ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَسَأَلْتُ مَا هَذَا، فَقِيلَ لِي: آكِلُ الرِّبَا  

“Pada malam di-isra-kan, aku melihat seorang laki-laki yang berenang di sebuah sungai, dan disuapi dengan batu. Setelah aku tanyakan, disampaikan kepadaku, ‘Itu adalah orang yang suka makan riba,’” (HR. Ahmad).

Pemandangan mengerikan juga diperlihatkan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai gambaran balasan orang yang suka makan harta orang lain secara zalim, terutama harta anak yatim. Itu terlihat jelas dalam riwayat Abu Said al-Khudri. Dikisahkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam:  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي قَوْمًا لَهُمْ مَشَافِرُ كَمَشَافِرِ الْإِبِلِ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِمْ مَنْ يَأْخُذُ بِمَشَافِرِهِمْ ثُمَّ يَجْعَلُ فِي أَفْوَاهِهِمْ صَخْرًا مِنَ النَّارِ يَخْرُجُ مِنْ أَسَافِلِهِمْ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ: فَقَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا  

“Pada malam di-isra-kan, aku melihat suatu kaum yang memiliki bibir seperti bibir unta. Di tengah mereka ada seorang yang dipercaya menarik bibir tersebut. Kemudian, ke mulut mereka dimasukkan batu dari neraka, dan batu itu keluar dari bawah mereka. Aku tanyakan, ‘Siapa mereka, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka makan harta anak yatim secara zalim.’”

(Lihat: Tafsir Ath-Thabari, jilid 7, hal. 27)   Gambaran dalam hadits di atas tidaklah bertentangan dengan ayat berikut, Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS. An-Nisa’ [4]: 10).

Sebab, siksaan di akhirat ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus. Siksaan khusus ialah siksaan yang mencerminkan perbuatannya, sesuai dengan kaidah para ulama: Al-Jaza’ min jinsil ‘amal. (Balasan itu serupa dengan amal perbuatannya). Sedangkan balasan umum adalah siksaan dengan api neraka, apa pun keburukannya.   Riwayat berikutnya menggambarkan suatu umat yang gemar menunaikan amal baik, namun amal baik tersebut tercampur dengan amal buruk. Hal itu seperti yang digambarkan oleh riwayat Abu Sa‘id al-Khudri. Dalam riwayat itu, ia bertanya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang terlihat pada malam isra-mi’raj. Beliau becerita:  

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قلنا: يا رسول الله، ثنا مَا رَأَيْتَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِكَ؟ قَالَ: رَأَيْتُ أُمَّتِيَ ضَرْبَيْنِ، ضَرَبٌ عَلَيْهِمْ ثِيَابٌ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الْقِرْطَاسِ، وَضَرَبٌ عَلَيْهِمْ ثِيَابٌ رَمَدٌ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلاءِ؟ قَالَ: أَمَا أَصْحَابُ الثِّيَابِ الرَّمَدِ: فَإِنَّهُمْ خَلَطُوا عَمَلا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا

“Aku melihat umatku menjadi dua golongan. Satu golongan yang mengenakan pakaian seperti kertas yang sangat putih. Segolongan mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Aku lantas menanyakannya, ‘Ya Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab, ‘Adapun orang-orang yang mengenakan pakaian abu-abu adalah mereka yang suka mencampuradukkan amal baik dengan amal buruk.’” (Lihat Tafsir Ibnu Hatim, jilid 6, hal. 1874).

Namun, di samping pemandangan mengerikan dan kurang mengenakkan, terdapat pula pengalaman menyenangkan dan menggembirakan siapa pun yang mendengar kisahnya. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka‘b. Dalam riwayat tersebut, dikisahkan tercium aroma yang sangat wangi. Dari manakah aroma tersebut? Sebagaimana yang dikabarkan malaikat Jibril, aroma itu berasal dari kuburan Masyithah, seorang wanita yang berjuang mempertahankan keimanannya dan menghadapi penyiksaan Raja Firaun yang tiran di atas wazan panas. Demikian kisah yang dituturkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.

أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: شَمَمْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رَائِحَةً طَيْبَةً، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا هَذِهِ الرِّيحُ الطَّيِّبَةُ؟ قَالَ: هَذَا رِيحُ قَبْرِ الْمَاشِطَةِ وَابْنَتِهَا وَزَوْجِهَا  

“Pada malam di-isra-kan, aku mencium aroma yang sangat wangi. Aku tanyakan, ‘Jibril, wangi apakah ini?’ Ia menjawab, ‘Ini wangi kuburan masyithah, putri, dan suaminya” (HR. Ath-Thabrani).  

Kabar menyenangkan juga diterima Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tatkala melihat sebuah tulisan tentang keutamaan memberi pinjaman yang tertulis di atas pintu surga. Demikian penuturan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang diterima sahabat Anas ibn Malik.

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا: الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ؟ قَالَ: لِأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ، وَالْمُسْتَقْرِضُ لَا يَسْتَقْرِضُ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ  

Pada malam di-isra-kan, aku melihat tertulis di pintu surga, “Sedekah itu sepuluh kali kelipatannya. Sedangkan pinjaman delapan belas kelipatannya.” Lantas aku tanyakan, “Wahai Jibril, mengapa pinjaman lebih utama dari sedekah?” Ia menjawab, “Sebab orang yang mengemis meminta sesuatu yang sudah dia dimiliki. Sedangkan orang yang meminjam tidak meminta sesuatu kecuali yang dia dibutuhkan,” (HR. Ibnu Majah).   Demikian beberapa riwayat yang mengisahkan, sekaligus menggambarkan balasan akhirat yang diperlihatkan Allah kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sewaktu isra-mi’raj. Wallahu a’lam.    

Penulis: M. Tatam Editor : Mahbib.


BENARKAH ISRA DAN MIRAJ TERJADI PADA BULAN RAJAB ?

Bulan Rajab merupakan bagian dari asyhurul hurum yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Isra dan Miraj.

Sebagaimana lazimnya diketahui oleh semua orang, Isra dan Miraj umumnya diperingati pada tanggal 27 Rajab karena populernya Isra dan Miraj terjadi pada tanggal tersebut. Bahkan negara secara khusus menyediakan libur Isra dan Miraj secara nasional setiap tahun pada tanggal Masehi yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab. Lantas, apakah bisa dipastikan jika peristiwa besar dalam sejarah Islam tersebut memang benar-benar terjadi pada tanggal tersebut? 

Para ulama berbeda pendapat terkait waktu terjadinya peristiwa Isra dan Miraj ini. Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Rakhiqul Makhtum-nya menyebutkan enam macam pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra dan Miraj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra dan Miraj.

Hal ini didukung oleh Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya dan An-Nawawi dalam Al-Minhaj-nya menyebutkan beberapa tanggal terjadinya Isra dan Miraj.

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada tahun kedua setelah diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi. Kedua, Isra dan Miraj terjadi pada tahun ke-5 setelah diutusnya nabi. Pendapat ini diamini oleh An-Nawawi dan Al-Qurthuby. 

Ketiga, pendapat yang dipilih oleh Al-Manshur Faury, yakni pendapat yang lumrah dan populer di kalangan masyarakat, 27 Rajab tahun ke-10 setelah diutusnya Nabi.

Keempat, pendapat Amam Al-Baihaqi yang mengutip pendapat Az-Zuhri, Isra dan Miraj terjadi pada Rabi’ul Awal tahun ke-13 setelah diutusnya nabi, yakni satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah. 

Kelima, menurut pendapat As-Sadi, Isra dan Miraj terjadi pada sembilan belas bulan sebelum peristiwa Hijrah, yakni bertepatan dengan bulan Dzul Qa’dah.

Keenam, menurut Al-Harby, Isra dan Miraj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir satu tahun sebelum hijrahnya Nabi. Ketujuh, pada bulan Ramadhan tahun ke-12 setelah kenabian, yakni enam belas bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Kedelapan, pada bulan Muharram 13 tahun setelah kenabian, yaitu bertepatan dengan satu tahun dua bulan sebelum hijrahnya nabi. Selain beberapa pendapat di atas, ada juga pendapat yang sangat lemah, yaitu terjadinya Isra dan Miraj sebelum Rasulullah SAW diangkat sebagai nabi. Hal ini dibantah oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj-nya. An-Nawawi menyebutkan bahwa pada malam Isra dan Miraj tersebut nabi diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Dan tidak mungkin hal itu terjadi jika nabi belum mendapatkan wahyu. Hal ini juga dibuktikan dengan pendapat Ibnu Hisyam bahwa pada saat terjadinya Isra dan Miraj, Islam sudah tersebar di Kota Mekkah.

Pendapat lain mengatakan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada Jumat pertama bulan Rajab. Malam itu adalah malam renungan atau malam kesedihan di mana nabi merasa sedih karena ditinggalkan oleh paman dan istri tercintanya, Khadijah. Namun menurut Al-Aini, pendapat ini tidak memiliki dasar sumbernya. Dari berbagai pendapat tersebut, manakah yang paling benar atau minimal mendekati benar? Secara pasti memang tidak bisa disimpulkan pendapat mana yang paling benar.

Hanya saja, semua pendapat-pendapat tersebut mengarah kepada dua hal, yakni Isra dan Miraj terjadi setelah diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi dan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Perbedaan ini dipengaruhi gaya perhitungan yang berbeda oleh masing-masing pendapat. Ada pendapat yang mendasarkan pada sebuah kejadian, seperti sudah tersebarnya Islam di Mekkah dan lain sebagainya. Dan ada yang mengacu pada jumlah bulan setelah diutusnya nabi ataupun sebelum hijrahnya nabi. Sehingga wajar jika menimbulkan banyak pendapat.

Kapan seharusnya kita memperingati Isra dan Miraj? Yang paling penting pada momen peringatan Isra dan Miraj adalah semangatnya, yaitu semangat untuk selalu mengingat usaha dan jerih payah Nabi Muhammad SAW untuk umatnya. Terlebih dalam hal bilangan shalat fardhu. Serta kisah-kisah pertemuan nabi dengan berbagai kejadian yang mengiringi Isra dan Miraj. Karena yang paling penting adalah belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan muhasabah diri agar menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang taat terhadap semua tuntunan-tuntunanya. Wallahu a’lam. (M Alvin Nur Choironi).