Selasa, 30 Maret 2021

BELAJAR HARUS MEMILIKI GURU

 BELAJAR HARUS MEMILIKI GURU

Belajar ilmu aqidah haruslah memiliki seorang guru, karena tanpa adanya pembimbing yang mengarahkan kepada pemahaman yang benar akan menyebabkan kekeliruan yang fatal. Kondisi demikian membuat kalangan santri sangat beruntung karena difasilitasi secara lengkap: ada guru yang mumpuni dan juga referensi yang mencukupi, sehingga ilmu aqidah atau sering disebut juga ilmu tauhid dapat diserap dengan mudah oleh mereka.   

Beda halnya dengan orang yang mengenyam pendidikan di sekolah umum yang minim mendapatkan pelajaran keislaman secara mendalam, atau para pekerja yang waktu-waktunya sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Bagi mereka mempelajari ilmu aqidah menjadi lebih sulit, pun halnya mencari guru serta waktu luang untuk mempelajarinya.  

Keadaan itu membuat para santri, harus membuka mata dan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menghidupkan dan menyebarkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah-tengah masyarakat dengan menyesuaikan kondisi yang ada.  

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk memudahkan sebagian orang yang waktu ngajinya tidak sebanyak para santri ialah dengan menuliskan tentang aqidah dengan bahasa Indonesia, atau menerjemahkan kitab-kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan bahasa yang mudah, benar dan tepat, sehingga dapat dibaca khalayak banyak.



AKIDAH SALAF IMAM AL-ṬAHAWI

 AKIDAH SALAF IMAM AL-ṬAHAWI

Salah satu karya tentang itu yang menarik disinggung adalah buku Akidah Salaf Imam Al-Ṭahawi, Ulasan dan Terjemahan. 

Imam Abu Ja’far al-Thahawi (238-321 H.) merupakan salah satu imam dalam ilmu aqidah yang hidup semasa dengan dua imam besar dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Imam Abû al-Hasan al-Asy’arî (w. 324 H) dan Abû Manshûr al-Mâtûridî (w.333 H.).

Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Salâmah ibn ‘Abd al-Malik ibn Salâmah ibn Abû Ja’far al-Thahâwi al-Azdî al-Mishrî
(‘Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh, Kayseri: Dar el-‘Aqabah, cetakan pertama, 2001, h. 467).  

Dilihat dari tahun Imam Abû Ja’far hidup, maka beliau dapat digolongkan kepada ulama salaf. Imam Abû Ja’far antara lain BERGURU kepada ‘Abd al-Ghanî ibn Abû Rifâ’ah, Hârûn ibn Sa’îd al-Aylî, Yûnus ibn ‘Abd al-A’lâ, Bahr ibn Nashr al-Khawlânî, Muhammad ibn ‘Abdullah ibn ‘Abd al-Hakam,’Isâ Ibn Matsrûd, Ibrâhîm ibn Munqidz, al-Rabî’ ibn Sulaiman al-Murâdî, Abû Ibrâhîm al-Muzanî, dan yang lainnya.

Pada awalnya Imam Abû Ja’far al-Thahâwî BERGURU kepada murid-murid Imam al-Syâfi’i dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabî’ ibn Sulaiman dan al-Muzanî, namun Abû Ja’far muda merasa pernah diremehkan oleh al-Muzanî dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imam Ahmad ibn Abû ‘Imrân, tokoh besar mazhab Hanafi di Mesir pada masanya.

Pada umur 30 tahun Imam Abû Ja’far rihlah ke wilayah Syam dan berguru kepada Qâdi Abû Hazim al-Bashrî. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Hanafi yang dihormati di wilayah Mesir. (Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, Ciputat: Maktabah Darus-Sunnah, cetakan pertama, 2020, halaman 2-3).  

Imam Abû Ja’far al-Thahâwî memiliki banyak karya, di antara yang paling fenomenal dan banyak dipelajari dalam bidang aqidah Ahlussunnah wa Jama’ah ialah Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah. Kitab ini tipis sekali, namun isinya padat dan tidak terlalu rumit.  

Dr. Arrazy Hasim, dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah, Ciputat, menyebutkan bahwa kitab ini memiliki beberapa keistimewaan.

Pertama, kitab ini merupakan salah satu kitab ilmu aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf.

Meski Imam al-Thahâwî belum pernah bertemu dengan Imam al-Asy’arî, namun secara ajaran keduanya tidak jauh berbeda. Kendati demikian secara sanad keilmuan, Imam Abû Ja’far lebih tinggi sanadnya (‘âli). Secara tahun kelahiran pun lebih dulu Imam Abû Ja’far ketimbang Imam al-‘Asy’arî. Namun dilihat dari sisi popularitas, Imam al-Asy’arî tentu lebih populer sebab Imam Abû Ja’far tidak tinggal di kota metropilitan sebagaimana Imam al-Asy’arî yang tinggal di kota Baghdad.  

Kedua, secara manhaj kitab ini tidak berbeda dengan aqidah Imam Abû Hasan al-Asy’arî.

Ketiga, ajaran yang terkandung di dalamnya merupakan ajaran aqidah yang diwariskan oleh Imam Abû Hanîfah dan kedua muridnya, Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni dan Abû Yusûf al-Anshârî.

Keempat, sosok Abû Ja’far al-Thahâwî “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya, hal ini tidak heran jika kitab Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah disyarah oleh aliran salafi.  

Kelima, kitab ini dapat dijadikan acuan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Keenam, kitab ini membuktikan bahwa aqidah Salaf Salih tidak hanya satu manhaj, akan tetapi mempunyai sistem berpikir yang beragam dan masih dalam lingkaran Ahlussunnah (Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imam al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan, h. 6-7).      

Meski buku ini berbahasa Arab, kita tidak perlu khawatir karena sekarang kitab ini sudah diterjemahkan, salah satunya oleh Dr. Arrazy Hasyim sendiri. Sebab yang melatarbelakangi diterjemahkan dan disusunnya buku ini ialah ketika penulis buku ini (Dr. Arrazy Hasyim) mengajar Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah di Darus Sunnah cabang Malaysia pada tahun 2014.

Beberapa mahasiswa di sana saat itu menggunakan buku terjemah yang diimpor dari penerbit di Indonesia. Setelah memerhatikan isi buku tersebut, ternyata banyak bagian yang menyalahi kaidah yang diajarkan oleh penulis kitab aslinya sendiri, Imam Abû Ja’far al-Thahâwî.  

Hal demikian dapat dilihat dari sanggahan si penerjemah buku-buku terjemahan tersebut akan ungkapan Imam al-Thahâwî bahwa Allah Maha Suci dari batas (hudûd), ujung (ghâyât), dan arah (jihât). Yang lebih parah tambahan penjelasan si penerjemah yang mengatakan bahwa kalam Allah berhuruf dan bersuara yang qadîm, padahal Imam al-Thahâwî sendiri dalam kitab aslinya tidak mengatakan demikian.

Sebab itulah yang mendorong penerjemahan kembali kitab ini, dengan usaha agar dapat memperbaiki kesalahan dan penyimpangan, serta mengembalikan maksud asli dari teks sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Thahâwî.  

Kelebihan buku Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah yang diterjemahkan oleh Dr. Arrazy ini di antaranya adalah ketepatan memilih diksi untuk ungkapan-ungkapan dalam istilah ilmu aqidah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Misalnya:  

نَقُولُ فِي تَوْحِيدِ اللهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوْفِيقِ اللهِ إنَّ اللهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيْكَ لَهُ

"Kami menegaskan tentang pengesaan Allah (tawhīd Allᾱh) dengan hidayah dari Allah, mempercayai bahwa: Allah itu Satu, tiada sekutu bagi-Nya."  

وَلَا شَيْءَ مِثْلُهُ

"Tiada sesuatu pun yang seperti-Nya."  

وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ

"Tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya."  

وَلَا إِلهَ غَيْرُهُ

"Tiada sesuatu ilᾱh (Tuhan yang berhak disembah) selain-Nya."  

قَدِيْمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ

"Qadīm (Maha Awal) tanpa permulaan, Maha Abadi tanpa akhir."  

Buku ini sangat cocok dibaca dan diajarkan kepada orang-orang yang baru menempuh pelajaran ilmu aqidah. Ia terdiri dari 5 Bab.

Bab pertama membahas biografi singkat Imam al-Thahâwî, keutamaan, dan seputar pematenan istilah Salaf hingga sanggahan bagi aliran yang mengaku mengikuti ajaran Salaf.

Bab kedua menerangkan tentang urgensi sanad sekaligus pemaparan sanad kitab ini dari penulis (Dr. Arrazy Hasyim) hingga muallif (Imam al-Thahâwî).  

Dari sini terlihat penulis meriwayatkan Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah dari beberapa Masyâikh, di antara mereka adalah Syekh ‘Abdul Mun’im al-Ghummârî, Syekh Zakariyâ al-Halabi al-Makkî, KH. Ahmad Marwazi al-Batawî, ketiganya meriwayatkan dari musnid al-dunyâ, Syekh Yasin al-Fâdânî al-Makkî hingga kepada muallif kitab, Imam al-Thahâwî.

Bab selanjutnya, terjemahan Matn al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah dan terakhir, yaitu Bab Keempat berisi penutup.
 
Buku-buku dan kitab-kitab tentang aqidah Aswaja—apalagi dalam bentuk terjemah—penting sekali disebar dalam jumlah banyak di masyarakat. Lebih-lebih pada saat yang sama, kelompok anti-Asy’ariyah dan Maturidiyah semacam Wahabi terlebih dahulu menyebarkan paham mereka, termasuk dengan wakaf buku ke masjid-masjid atau lainnya.

Hal itu sebagai ikhtiar melestarikan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, tanpa mengabaikan bahwa mempelajari ilmu aqidah tidak cukup dengan otodidak tanpa guru.    

Peresensi adalah Amien Nurhakim, Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunna



BELAJAR KEPADA IBLIS ( SYETHAN)

 BELAJAR KEPADA IBLIS ( SYETHAN)

Siapa yang Tidak Mau Belajar Agama Dengan Benar, maka ia akan menjadi PENGIKUT HAWA NAFSU DAN TEMAN -TEMANNYA SYETHAN.

Kita semua sebaiknya Belajar Agama kepada seorang Guru Bersanad kepada Rasulullah SAW. Kemudian Carilah Berkah dan Idzin darinya agar kita selamat dan beruntung dalam dunia dan akhirat.

Ilmu sebanyak apapun yang diperoleh tanpa guru tidaklah ada berkahnya. Ilmu agama yang didapat bukan dari belajar berhadapan dengan seorang guru, maka gurunya PASTI SYETHAN dan IBLIS PENDUSTA PENYESAT. Akan tersesat dari Jalan Yang Lurus dan Ilmunya tidak bermanfaat dan hanya akan menjauhkannya dari Keridhoan Allah SWT. Na'uudzu Billaahi Min Dzaalik.

Ada 4 Syarat untuk mencapai Syari'ah dan Rahasianya yaitu Bertaubat dari dosa-dosa, Meninggalkan kefanatikan, Menolak kedudukan dimata orang lain, dan berinteraksi dengan harta halal dan dengan ridho Allah.

Seperti orang yang bersuci untuk melaksanakan sholat. Bersuci pada empat anggota wudhu' (Wajah Tangan Kepala dan Kaki). Dia pun membutuhkan Imam dan Jamaah lainnya agar dia mendapatkan pahala khusus bagi sholatnya.

Demikianlah pula orang yang menuntut ilmu. Dia membutuhkan guru (Syaikh) yang menuntun dan menunjukinya. Barangsiapa yang tidak mempunyai guru (Syaikh) yang menunjukinya kepada Cahaya Mata Hati dan menuntunnya kepada Keadaan Bathin dengan Allah Taala ! Maka seorang "guru duduk ditempat pengintaian". Mengintai seseorang yang menginginkan kebenaran dijalan Allah. Namun jika tidak membekali dengan bekal yang diperlukan, maka "guru" itu mengintainya ! Siapa guru yang mengintainya itu ? Dialah adalah IBLIS ! Karena siapapun yang tidak berguru maka IBLIS LANGSUNG MENJADI GURUNYA. Karena dia nendakwakan dirinya sebagai guru dengan cepat.

Jika engkau tidak mendapatkan guru (Syaikh) dari kalangan Ahli Allah, maka engkau akan mendapatkan guru (Syaikh) dari Musuh Allah !

Antara berhubungan dengan guru (Syaikh) yang berhubungan dengan Allah atau Syethan yang menunggunya.
Barang siapa yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah Syethan !

Syethan akan menyuruhnya meninggalkan guru guru (Para Syaikh) itu. Lalu siapa yang akan menjadi gurumu ? Dialah (Syethan) yang membisikkan hal itu, lalu menjadi gurunya ? Dan Syethan itu akan membisikkan, "Kau cerdas, Kau paham, Buat apa kau mengikuti guru (Syaikh) lagi ! Kau telah mengetahui jalan !

Maka lihatlah bagaimana syethan membisikkannya. Gurunya yang berupa syethan telah membisikkan kepadanya. Dan dia sebagai sengsara berjalan dibelakang gurunya itu. Syethan itu berkata, "ini maknanya begini dan ini maknanya begitu" ! Lalu syethan akan membuatnya tidak karuan dan syethan itu menunjukkan bahwa dia lebih baik daripada orang lain dan dari para guru (Para Syaikh). Dan syethan menungganginya ! Gurunya adalah Iblis. Dan dia (syethan) itu berkata sebagaimana yang di Firmankan Allah, "Saya (syethan) akan benar benar akan menghalanginya dari JALAN-MU yang lurus".

Ketika seseorang akan menjalani jalan yang lurus, maka syethan akan menghadangnya dijalan itu. Jika engkau tidak memiliki guru, maka dia (syethan) akan hadir bersamamu menjadi gurumu. Karena tugasnya (syethan) adalah Duduk Dijalan Yang Lurusagar engkau tidak melewatinya.

Maka haruslah memiliki guru yang engkau berjalan dengan jalannya. Dari kalangan orang yang Berjiwa Suci. Yaitu dari kalangan 'ulama yang mengenal Tuhan mereka ('Aarifin atau 'Aarif Billaah). Jika engkau tidak menemukan guru tersebut, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia adalah sebaik-baik penuntun dan jika engkau bersungguh-sungguh mencarinya niscaya engkau akan menemukannya.

Al Imam Al Ghozali berkata, "Barangsiapa yang tidak memiliki guru yang menuntunnya, maka syethanlah yang akan membimbingnya. Dan dia akan berdiri sendiri sebagaimana tanaman liar yang tumbuh secara asal, yang tumbuh dengan sendirinya. Maka akan segera mengering. Berdaun tapi tidak berbuah. Karena tumbuhan liar tanpa ada yang menanamnya, tanpa ada yang mengairi dan mengurusnya.
Jika tumbuh dengan sendirinya tidak akan berbuah. Umumnya tumbuhan liar itu akan segera layu dan mati.

Asy Syaikh Umar ibn Salim ibn Chafizh
https://youtu.be/ico9ADQn4Jo



4 MAZHAB, INI HUKUM TAHLILAN & BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA

 4 MAZHAB, INI HUKUM TAHLILAN & BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA

Sebagian umat Muslim di Indonesia mengamalkan Tahlilan yaitu kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), yang pahalanya dihadiahkan kepada ayah, ibu, kakek, nenek, sanak saudara atau kepada siapa saja yang diniatkan.

Tahlilan tersebut biasanya dilaksanakan tiga hari atau tujuh hari berturut-turu setelah meninggalnya seorang anggota keluarga. Bagi yang mampu bisa mengamalkannya juga pada hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya.

Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat oleh Muslim yang ikut tahlilan, atau dibawa pulang oleh mereka.

Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut ?


1. Hukum menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Alquran serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ

Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa salat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).

Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan:

وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ

Jika seseorang membaca Alquran, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا

Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunahkan membaca apa yang mudah dari Alquran, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).

Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan:

وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).

Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:

وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ

Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, salat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, salat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).

Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Alquran dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:

قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ

Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).

Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Alquran dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya. 


2. Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah.

Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Alquran dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan salat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِيْ مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا. وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُ

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.

Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).

Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Alquran dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.


3. Hukum bersedekah untuk mayit.

Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا، وَلَمْ تُوصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا. قَالَ «نَعَمْ».

Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?” Rasul bersabda: “Ya.”

Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).

Demikian ditulis Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung yang juga Dosen IAIN Tulungagung, sebagaimana dilansir dair laman resmi Nahdatul Ulama (NU Online) pada Rabu (31/12/2019).



BEDA NIYYAT AMALAN BEDA PULA AKIBATNYA

 BEDA NIYYAT AMALAN BEDA PULA AKIBATNYA

GEBINGAN

Gebingan: Panganan Brekat Memperingati Orang yang Sudah Meninggal

Gebingan: panganan brekat yang dibuat saat genduren memperingati orang yang meninggal.

Tradisi Jawa yang masih berakulturasi dengan tradisi Islam di Jawa adalah upacara adat atas kematian seseorang. Slametan atas meninggalnya seseorang dari 3 hari disebut Nelung Dina, 7 hari disebut Mitung Dino, 40 hari disebut Matang Puluh, 1 tahun yang disebut Mendak Pisan, 2 Tahun yang disebut Mendak Pindho dan 1000 hari yang disebut Nyewu masih banyak bisa ditemui ditengah masyarakat Gunungkidul.

Bagi masyarakat yang masih merasakan tradisi slametan untuk orang yang meninggal tentu tidak asing dengan Tradisi Kenduri. Dan sego berkat yang dibagikan si empunya hajat tentu menjadi salah satu yang menarik untuk dipahami maksud dan tujuannya. Terkhusus untuk masyarakat dimasa kini yang sebagian besar sudah tidak memperdulikan lagi segala bentuk makna dari setiap tradisi masyarakat Jawa pada umumnya.

Isi berkat kenduri pada upacara slametan atas kematian seseorang adalah:

Nasi Putih Golong, Bakmi Goreng, Daging Ayam Goreng, Tempe Bacem, Sate Kambing Campur, Tongseng Kikil Kambing, Tongseng Daging Kambing, Telur Godog, Sayur Kluwih, Sayur Lombok, Kentang Goreng, Tumis Buncis, Ketan Oran, Apem, Kolak, Gula, Teh, Krupuk, Jajan Pasar, Nasi Uduk Dan Gebingan.


Dari sekian banyak isi sebuah berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang ada yang memiliki sifat harus ada dan ada yang bersifat sesuai kemampuan. Salah satu yang harus ada dalam sebuah berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang adalah Gebing atau Gebingan. Walau bersifat harus, tetapi tradisi orang Jawa selalu menganut prinsip “desa mawa cara”. Artinya bisa jadi di desa lain memiliki tata cara berbeda. Atau dalam peribahasa Indonesia dikenal dengan “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” yang kurang lebih berarti bahwa setiap tempat memiliki tradisi, adat, cara, isi yang berbeda.

Dan apa yang saya tulis disini adalah sesuai dengan apa yang saya alami di daerah saya, atau tempat saya.

Tapi makna dan filosofi yang terkandung pada setiap makanan yang mengisi besek atau wadah dari berkat kenduri pada tradisi slametan atas kematian seseorang masing-masing memiliki makna dan filosofi yang tidak jauh berbeda. Tentunya masing-masing makanan yang mengisi besek atau wadah kenduri atas kematian seseorang memiliki makna dan filosofi yang tumbuh dan dipahami oleh masyarakat Jawa pada umumnya.

Banyak sekali masyarakat masa kini yang tidak lagi memperdulikan semua ini. Maka ketika mendapati berkat kenduri tidak penting istu isinya apa dan bagaimana, tetapi apa ujub dari berkat kenduri yang diterima. Padahal setiap berkat kenduri memiliki isi yang berbeda sesuai dengan ujub atau harapan dari dilaksanakannya sebuah upacara tradisi.

Sebut saja Gebing atau Gebingan, makanan ini hanya ada pada berkat kenduri slametan orang meninggal. Karena Gebing atau Gebingan mengandung makna dan filosofi atas berpulangnya seseorang kepada Hyang Maha Kuasa.

Gebing atau Gebingan sendiri adalah makanan yang terdiri dari:

Gereh Atau Ikan Asin Goreng, Peyek Kedelai Hitam, Kedelai Goreng, Tempe Goreng, Dan Kelapa Tua Goreng. Semua Dijadikan Satu Dalam Wadah Yang Disebut Sudi. Namun Sekarang Sering Kita Temui Sudi Telah Tergantikan Oleh Kantong Plastik. Dari Sajian Yang Disebut Gebing atau Gebingan Itu Masing-Masing Makanan Memiliki Arti Sendiri-sendiri.


Gereh atau ikan asin goreng melambangkan tubuh manusia yang lapuk dan mudah rusak. 

Peyek kedelai hitam melambangakan setiap manusia selalu memiliki noda hitam yang berarti kesalahan atau dosa. 

Kedelai goreng memiliki arti bahwa setiap orang memiliki sisi atau sifat kekerasannya,

Tempe goreng melambangkan daging manusia dan 

Kelapa tua yang diiris kecil dan digoreng bermaknakan gigi manusia. 

Kelapa iris goreng yang menyerupai gigi ini menandakan keras dan yang akan tetap tersisa. 

Sedangkan sudi dari daun pohon pisang memiliki arti bahwa wadah atau tubuh manusia adalah bagian dari alam dan akan kembali kepada alam.

Inilah makna dan arti yang terkandung dalam Gebing atau Gebingan yang menjadi salah satu syarat yang harus ada pada Brekat Kenduri Slametan Orang yang meninggal.

Sekali lagi “Desa Mawa Cara” artinya bisa saja gebing atau gebingan didaerah anda berbeda.

*

Orang yang masih dalam keadaan DI SANTET ATAU TELUH ATAU SIHIR, tidak boleh memakan sajian kenduri atau selamatan orang mati.

https://youtu.be/1nwVemaodh0


MITOS NASI ORANG MATI

 MITOS NASI ORANG MATI

Di sebagian Pulau Madura (dan di tempat lain mungkin), ada kepercayaan bahwa nasi yang dimasak di rumah orang yang meninggal dalam rangka selamatan untuk si mayit (dalam bentuk apapun) tidak boleh dimakan oleh beberapa orang. Diantaranya, orang yang sedang hamil, patah tulang, dan orang yang memiliki penyakit tertentu. Menurut kepercayaan, akan terjadi hal buruk jika nasi itu dimakan oleh orang-orang tadi. Mitos Nasi Orang Mati itu dikenal dengan istilah nase’en oreng mateh (Madura, Red).

HUKUM MITOS

Memang dalam banyak kesempatan mitos, seringkali terjadi. Ketika si-A mempercayai mitos B kemudian melanggarnya, maka pada realitanya dia akan benar-benar tertimpa apa yang dia percayai. Hal ini terjadi, meurut para ulama, sebagai balasan karena dia berprasangka buruk kepada Allah SWT, sedang Allah SWT akan menakdirkan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik atau buruk.

Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ…

“Aku berdasarkan anggapan hamba ku…

Allah SWT akan akan menakdirkan sekaligus melakukan muamalah pada hamba-Nya sesuai dengan apa yang menjadi prasangka hamba-Nya, baik prasangka itu buruk atau baik. Demikian keterangan Imam al-Mubarakfûri dalam Tuhfatul-Ahwadzi (VII/53).

Hubungan mitos dan akibat buruk ini akhirnya menjadi adat (hal yang berulang-ulang) yang kebanyakan memang terjadi. Disinilah ulama kemudian mengambil pemerincian hukum (Tuhfatul-Murîd hal. 61):

1. Jika mitos yang sudah menjadi adat diyakini pasti memberi pengaruh, maka hukumnya kafir.

2. Jika akibat buruk itu diyakini akibat dari kekuatan yang diberikan oleh Allah, maka hukumnya fasik (haram)

3. Jika akibat buruk itu diyakini Allah yang mengkehendakinya, namun memercayainya hanya sebagai bentuk Talazum Aqli, artinya nase’en oreng mateh tadi jika tetap dimakan akan tetap menimbulkan efek negatif, maka hanya dihukumi jahil (orang yang tidak tahu)

4. Jika meyakini semuanya adalah kehendak Allah dan mitos-mitos seperti tadi hanya diyakini sebagai hukum adat, artinya naseen oreng mateh tidak memliki efek negatif walau pun dimakan oleh siapa pun, maka hukumnya tidak apa-apa

Maka dalam menghukumi mitos-mitos seperti apa pun bentuknya, tinggal melihat keyakinan perindividual orang yang memercayainya. Apakah kepercayaannya seperti yang tergambar dalam pemerincian nomor 4 dan 3, yang berarti tidak sampai hukum haram, atau seperti dalam pemerincian nomor 2, yang berarti hanya dihukumi haram tidak sampai kafir, atau seperti dalam pemerincian nomor 1, yang berarti kepercayaanya kepada mitos sudah sampai taraf mengeluarkan dia dari Islam?

LALU BAGAIMANA SEHARUSNYA?

Sebagai muslim dalam menghadapi mitos kita harus yakin bahwa (a) Hanya Allah SWT yang dapat memberi efek baik atau buruk (b) Selalu tawakal dan berbaik sangka kepada Allah SWT dalam hal apapun (c) Jika sudah terlanjur memercayai apapun bentuk mitos, dianjurkan membaca doa:

اللَّهُمَّ لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidak ada keburukan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai keburukan, tidak ada kebaikan kecuali apa yang engkau takdirkan sebagai sebuah kebaikan dan tiada tuhan selain engkau.” (HR. Imam Baihaqi)

Badruttamam|AnnajahSidogiri.id



Susunan Bacaan Tahlil, Doa Arwah Lengkap, dan Terjemahannya

 Susunan Bacaan Tahlil, Doa Arwah Lengkap, dan Terjemahannya

Tahlilan merupakan ritual pembacaan lafal tahlil yang lazim di masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun. Pembacaan tahlil biasa dilakukan oleh masyarakat dalam rangka mendoakan jenazah baru di makamnya, ahli kubur yang telah lama dimakamkan, dan mendoakan ahli kubur dalam peringatan 1-7 hari, 15 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari di rumah ahli musibah. Pembacaan lafal tahlil juga dilakukan oleh masyarakat pada peringatan haul, arwahan (ruwahan) di bulan ruwah, akhir Sya’ban, akhir Ramadhan, saat kumpul keluarga untuk arisan misalnya, selamatan perkawinan (walimahan), selamatan aqiqahan, walimatus safar, muludan, Isra dan Mi‘raj, selamatan Syura’an (malam 10 Muharram), selamatan tujuh bulan, khitanan, ziarah kubur setelah lebaran Idul Fitri, ratiban, manaqiban, barzanjian, dan lain sebagainya. Adapun berikut ini adalah susunan bacaan tahlil yang dikutip secara utuh dari Kitab Majmu’ Syarif. Semoga susunan zikir, tahlil, dan doa tahlil berikut ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Kami juga menyertakan susunan zikir dan tahlil ini dengan terjemahan yang kami buat.

1. Pengantar Al-Fatihah.

اِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وصَحْبِهِ شَيْءٌ لِلهِ لَهُمُ الْفَاتِحَةُ

Artinya, “Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Untuk yang terhormat Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, dan para sahabatnya. Bacaan Al-Fatihah ini kami tujukan kepada Allah dan pahalanya untuk mereka semua. Al-Fatihah…”

2. Al-Fatihah.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الَّمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِ يْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ. اَمِينْ

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terlontar. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada-Mu kami menyembah. Hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Kauanugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Semoga Kaukabulkan permohonan kami.”

3. Surat Al-Ikhlas (3 kali).

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. اَللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكٌنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Dialah yang maha esa. Allah adalah tuhan tempat bergantung oleh segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.’” (3 kali).

4. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.”

5. Surat Al-Falaq.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَ. وَمِنْ شَرِّ النَّفَاثاتِ فِى الْعُقَدِ. وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada tuhan yang menguasai waktu subuh dari kejahatan makhluk-Nya. Dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita. Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus nafasnya pada buhul-buhul. Dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia mendengki.’”

6. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.”

7. Surat An-Naas.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. قُلْ اَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. اِلَهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada tuhan manusia, raja manusia. Sesembahan manusia, dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia. Dari setan dan manusia.’”

8. Tahlil dan Takbir.

لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ

Artinya, “Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Allah. Allah maha besar.

9. Surat Al-Falaq

اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الَّمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّيْنَ. اَمِينْ

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terlontar. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada-Mu kami menyembah. Hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Kauanugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Semoga Kaukabulkan permohonan kami.”

10. Awal Surat Al-Baqarah.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. المّ. ذَلِكَ الكِتابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدَى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَا اُنْزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْاَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. اُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ، وَاُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya, “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Alif lam mim. Demikian itu kitab ini tidak ada keraguan padanya. Sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada kitab Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad SAW) dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari tuhannya. Merekalah orang orang yang beruntung.”

11. Surat Al-Baqarah ayat 163.

وَاِلَهُكُمْ اِلَهٌ وَّاحِدٌ لاَ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

Artinya, “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang maha esa. Tiada tuhan yang layak disembah kecuali Dia yang maha pengasih lagi maha penyayang.”

12. Ayat Kursi (Surat Al-Baqarah ayat 255)

اللهُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَاْ خُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَّهُ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِى يَشْفَعُ عِنْدَهُ اِلاَّ بِاِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَينَ اَيْدِيْهِمِ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلاَ يُحْيِطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ اِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالْاَرْضَ، وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمُا، وَهُوَ الْعَلِىُّ الْعَظِيْمُ

Artinya, “Allah, tiada yang layak disembah kecuali Dia yang hidup kekal lagi berdiri sendiri. Tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat menjaga keduanya. Dia maha tinggi lagi maha agung.”

13. Surat Al-Baqarah ayat 284-286.

لِلَّهِ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ. وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِى اَنْفُسِكُمْ اَوْ تَخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللهُ. فَيَغْفِرُ لَمِنْ يَّشَاءُ وَيُعْذِّبُ مَنْ يَّشَاءُ. وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ. اَمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَا اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ. كُلٌّ اَمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ. لَانًفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهِ. وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ. لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا. لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكَتْسَبَتْ. رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَاْنَا. رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا. رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ. وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ 

Artinya, “Hanya milik Allah segala yang ada di langit dan yang ada di bumi. Jika kamu menyatakan atau merahasiakan apa saja yang di hatimu, maka kamu dengan itu semua tetap akan diperhitungkan oleh Allah. Dia akan mengampuni dan menyiksa orang yang dikehendaki. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Rasulullah dan orang-orang yang beriman mempercayai apa saja yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan kepada para utusan-Nya. ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang rasul dari lainnya.’ Mereka berkata, ‘Kami mendengar dan kami menaati. Ampunan-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami harapkan. Hanya kepada-Mu tempat kembali.’ Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya. Ia mendapat balasan atas apa yang dia perbuat dan siksaan dari apa yang dia lakukan. ‘Tuhan kami, janganlah Kau siksa kami jika kami terlupa atau salah. Tuhan kami, jangan Kau tanggungkan pada kami dengan beban berat sebagaimana Kaubebankan kaum sebelum kami. Jangan pula Kaubebankan pada kami sesuatu yang kami tidak mampu. Ampunilah kami. Kasihanilah kami. Kau pemimpin kami. Tolonglah kami menghadapi golongan kafir,” (Surat Al-Baqarah ayat 284-286).

14. Surat Hud ayat 73.

ارْحَمْنَا، يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ 

Artinya, “Kasihani kami, wahai Tuhan yang maha kasih.” (3 kali).

رَحْمَتُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ اَهْلَ الْبَيْتِ اِنَّهُ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ

Artinya, “Dan rahmat Allah serta berkah-Nya (kami harapkan) melimpah di atas kamu sekalian wahai ahlul bait. Sungguh Dia maha terpuji lagi maha pemurah,” (Surat Hud ayat 73).

15. Surat Al-Ahzab ayat 33.

اِنَّمَا يُريِدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ

وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا 

Artinya, “Sungguh Allah
berkehendak menghilangkan segala kotoran padamu, wahai ahlul bait, dan menyucikanmu sebersih-bersihnya,” (Surat Al-Ahzab ayat 33).

16. Surat Al-Ahzab ayat 56.

اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا

Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bacalah shalawat untuknya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

17. Shalawat Nabi (3 kali).

اَلَّلهُمَّ صَلِّ أَفْضَلَ صَلَاةٍ عَلَى أَسْعَدِ مَخْلُوْقَاتِكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ، عَدَدَ مَعْلُوْمَاتِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ كُلَّمَا ذَكَرَكَ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِكَ الْغَافِلُوْنَ

Artinya, “Ya Allah, tambahkanlah rahmat dan kesejahteraan untuk pemimpin dan tuan kami Nabi Muhammad SAW, serta keluarganya, sebanyak pengetahuan-Mu dan sebanyak tinta kalimat-kalimat-Mu pada saat zikir orang-orang yang ingat dan pada saat lengah orang-orang yang lalai berzikir kepada-Mu.”

18. Salam Nabi

وَسَلِّمْ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ اَصْحَابِ سَيِّدِنَا رَسُوْلِ اللهِ اَجْمَعِيْنَ

Artinya, “Semoga Allah yang maha suci dan tinggi meridhai para sahabat dari pemimpin kami (Rasulullah).”

19. Surat Ali Imran ayat 173 dan Surat Al-Anfal ayat 40.

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ. نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ 

Artinya, “Cukup Allah bagi kami. Dia sebaik-baik wakil. (Surat Ali Imran ayat 173). Dia sebaik-baik pemimpin dan penolong,” (Surat Al-Anfal ayat 40).

20. Hawqalah.

وَلَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Artinya, “Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang maha tinggi dan agung.”

21. Istighfar (3 kali).
اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ *3 

Artinya, “Saya mohon ampun kepada Allah yang maha agung.” (3 kali). (Allah) yang tiada tuhan selain Dia yang maha hidup, lagi terjaga. Aku bertobat kepada-Nya.”

22. HADITS KEUTAMAAN TAHLIL.

الَّذِيْ لَا اِلَهَ اِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ، اَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ اَنَّهُ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَيٌّ مَوْجُوْد

Artinya, “Sebaik-baik zikir–ketahuilah–adalah lafal ‘La ilāha illallāh’, tiada tuhan selain Allah, zat yang hidup dan ujud.”

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَيٌّ مَعْبُوْدٌ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah, zat yang hidup dan disembah.”

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ، حَىٌّ بَاقٍ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah, zat kekal yang takkan mati.”

23. Tahlil 160 kali.

لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah.” (160 kali).

24. Dua Kalimat Syahadat.

لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Artinya, “Tiada tuhan selain Allah. Nabi Muhammad SAW utusan-Nya.”

عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ الآمِنِيْنَ

Artinya, “Dengan kalimat itu, kami hidup. Dengannya, kami wafat. Dengannya pula insya Allah kelak kami dibangkitkan termasuk orang yang aman.”

25. DOA TAHLIL.

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ حَمْدًا يُّوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِىءُ مَزِيْدَهُ، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلَالِ وَجْهِكَ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ، سُبْحَانَكَ لَا نُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ، فَلَكَ الحَمْدُ قَبْلَ الرِّضَى وَلَكَ الحَمْدُ بَعْدَ الرِّضَى وَلَكَ الحَمْدُ إِذَا رَضِيْتَ عَنَّا دَائِمًا أَبَدًا

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang dilontar. Dengan nama Allah yang maha pengasih, lagi maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam sebagai pujian orang yang bersyukur, pujian orang yang memperoleh nikmat sama memuji, pujian yang memadai nikmat-Nya, dan pujian yang memungkinkan tambahannya. Tuhan kami, hanya bagi-Mu segala puji sebagaimana pujian yang layak bagi kemuliaan dan keagungan kekuasaan-Mu. Maha suci Engkau, kami tidak (dapat) menghitung pujian atas diri-Mu sebagaimana Kaupuji diri sendiri. Hanya bagi-Mu pujian sebelum ridha. Hanya bagi-Mu pujian setelah ridha. Hanya bagi-Mu pujian ketika Kau meridhai kami selamanya.”

26. Shalawat Zat Mukammalah.

اللَّهُمَّ صَلِّ علَى الذَّاتِ المُكَمَّلَةِ وَالرَّحْمَةِ المُنَزَّلَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ

Artinya, “Ya Allah, limpahkan shalawat dan salam untuk zat yang disempurnakan dan rahmat yang diturunkan, yaitu Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan sahabatnya.”

وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَيْهِ يَا ذَا البَهَاءِ وَالجَلَالِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا

Artinya, “Ya Allah, wahai zat yang indah dan agung, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad SAW pada pagi dan sore hari.”

27. Doa Kebaikan Lahir dan Batin.

اللَّهُمَّ كَمَا خَصَّصْتَنَا بِكِتَابِكَ الكَرِيْمِ وَهَدَيْتَنَا إِلَى صِرَاطكَ المُسْتَقِيْمِ، وأَصْلِحْ بِهِ مِنَّا جَمِيْعَ مَا فَسَدَ، وَطَهِّرْ بِهِ مِنَّا مَا ظَهَرَ وَمَا بَطَنَ

Artinya, “Ya Allah, sebagaimana Kau muliakan kami dengan Kitab suci-Mu yang mulia dan Kau tunjuki kami ke jalan yang lurus, maka berikanlah kemaslahatan untuk kami sebagai pengganti mafsadat dan sucikan kami dari kotoran yang tampak dan tersembunyi.”

28. Doa Keberkahan Al-Qur‘an.

اللَّهُمَّ اشْرَحْ بِالقُرْآنِ صُدُوْرَنَا وَيَسِّرْ بِهِ أُمُوْرَنَا وَعَظِّمْ بِهِ أُجُوْرَنَا وَحَسِّنْ بِهِ أَخْلَاقَنَا وَوَسِّعْ بِهِ أَرْزَاقَنَا وَنَوِّرْ بِهِ
قُبُوْرَنَا

Artinya, “Ya Allah, dengan Al-Qur’an lapangkanlah hati kami, mudahkan urusan kami, lipatgandakanlah pahala kami, perbaiki akhlak kami, luaskan rezeki kami, dan terangilah kubur kami.”

29. Doa Wahbah untuk Para Sahabat Rasul dan Wali Allah.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَاَبَ مَا قَرَأْنَاهُ وَبَرَكَةَ مَا تَلَوْنَاهُ وَصَلَّيْنَاهُ عَلَى نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا هَلَلْنَا هَدِيَّةً بَالِغَةً وَرَحْمَةً مِنْكَ نَازِلَةً نُقَدِّمُهَا وَنُهْدِيْهَا اِلَى حَضَرَاتِ النَّبِيِّ الأَكْرَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ اِلَى أَرْوَاحِ آبَائِهِ وَإِخْوَانِهِ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالمُرْسَلِيْنَ وَإِلَى مَلَائِكَةِ اللهِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَالكَرُّوْبِيِّيْنَ، وَاِلَى أَرْوَاحِ سَادَاتِنَا أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَإِلَى البَقِيَّةِ العَشْرَةِ المُبَشَّرَةِ بِالجَنَّةِ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ وَالقَرَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَإِلَى أَرْوَاحِ الحَسَنِ وَالحُسَيْنِ وَأُمِّهِمَا سَيِّدَتِنَا فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ وَسَيِّدَتِنَا خَدِيْجَةَ الكُبْرَى وَسَيِّدِنَا حَمْزَةَ وَالعَبَّاسِ وَالشُّهَدَاءِ البَدْرِيِّيْنَ وَالأُحُدِيِّيْنَ وَإِلَى أَرْوَاحِ الخِضْرِ وَإِلْيَاسَ وَسَيِّدِنَا عَبْدِ اللهِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَإِلَى أَرْوَاحِ الأَرْبَعَةِ الأَئِمَّةِ المُجْتَهِدِيْنَ وَمُقَلِّدِيْهِمْ فِي الدِّيْنِ وَإِلَى أَرْوَاحِ العُلَمَاءِ العَامِلِيْنَ وَالقُرَّاءِ وَأَئِمَّةِ الحَدِيْثِ وَالمُفَسِّرِيْنَ وَسَادَاتِنَا الصُّوْفِيَّةِ المُحَقِّقِيْنَ وَإِلَى رُوْحِ القُطْبِ الرَّبَّانِيِّ وَالعَارِفِ الصَّمَدَانِيِّ سَيِّدِيْ عَبْدِ القَادِرِ الجَيْلَانِيّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ البَدَوِيِّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ الرِّفَاعِيِّ وَسَيِّدِيْ إِبْرَاهِيْمَ الدَّسُوْقِيِّ وَسَيِّدِيْ أَبِي القَاسِمِ الجُنَيْدِ البَغْدَادِيِّ وَسَيِّدِيْ أَحْمَدَ ابْنِ عَلْوَانَ وَسَيِّدِيْ أَبِي طَالِبٍ المَكِّيِّ وَإِلَى أَرْوَاحِ كُلِّ وَلِيٍّ وَوَلِيَّةٍ لِلهِ مِنْ مَشَارِقِ الأَرْضِ وَمَغَارِبِهَا بَرِّهَا وَبَحْرِهَا أَيْنَمَا كَانُوْا وَكَانَ الكَائِنُ فِي عِلْمِكَ وَحَلَّتْ أَرْوَاحُهُمْ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah pahala dan keberkahan bacaan kami, shalawat kami, dan tahlil kami sebagai hadiah yang sampai dan rahmat-Mu yang turun, yang kami persembahkan dan hadiahkan untuk Nabi Muhammad SAW termulia, arwah bapak moyangnya, saudaranya dari kalangan para nabi dan rasul, malaikat muqarrabin dan karubiyyin, pemimpin kami Abu Bakar RA, Umar RA, Ustman RA, Ali RA, sepuluh sahabat yang dijanjikan masuk surge, seluruh sahabat, kerabat, tabi‘in, arwah Hasan, Husein, Ibu keduanya yaitu Sayyidah Fathimah Az-Zahra, Sayyidah Khadijah Al-Kubra, Sayyidina Hamzah, Abbas RA, syuhada Badar dan Uhud, arwah Khidhir, Ilyas, Sayyidina Abdullah bin Abbas RA, arwah empat imam mujtahid dan pengikut mereka perihal agama, arwah ulama, ahli qira‘ah, imam hadits, mufasir, pemuka sufi ahli hakikat, roh quthub rabbani dan arif as-shamadani Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Sayyid Ahmad Badawi, Sayyid Ahmad Ar-Rifa‘i, Sayyid Ibrahim Ad-Dasuqi, Sayyid Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi, Sayyid Ahmad bin Alwan, Sayyid Abu Thalib Al-Makki, seluruh wali Allah baik laki-laki dan perempuan dari Timur ke Barat baik di daratan maupun di lautan; di mana saja mereka dan roh mereka berada. Sementara semua yang ada berada dalam pengetahuan-Mu, waha Tuhan sekalian alam.”

30. Doa untuk Arwah Penghuni Makam Mualla, Syubaikah, Baqi‘, dan Mereka yang Tidak Pernah Diziarahi.

وَإِلَى أَرْوَاحِ سَادَاتِنَا أَهْلِ المُعَلَّا وَالشُّبَيْكَةِ وَالبَقِيْعِ وَأَمْوَاتِ المُسْلِمِيْنَ كَافَّةً عَامَّةً وَفِي صَحَائِفِ مَنْ لَا زَائِرَ لَهُ وَلَا ذَاكِرَ لَهُ عُمَّ الجَمِيْعَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya, “Dan kepada arwah pemimpin kami, yaitu ahli kubur Mualla, Syubaikah, Baqi‘, semua arwah umat Islam, dan pada lembaran ahli kubur yang tidak diziarahi dan tidak diingat, ratakanlah semuanya dengan rahmat-Mu, wahai zat yang maha penyayang.”

31. Doa Permohonan Rahmat Berkah Al-Qur’an.

اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ بِالقُرْآنِ العَظِيْمِ رَحْمَةً وَاسِعَةً، وَاغْفِرْ لَهُ مَغْفِرَةً جَامِعَةً يَا مَالِكَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, turunkanlah rahmat yang luas kepadanya (arwah ahli kubur) dengan berkat Al-Qur’an yang agung, ampunilah ia dengan ampunan yang luas, wahai Penguasa dunia dan akhirat, Tuhan sekalian alam.”

32. Doa Ketenteraman untuk Ahli Qubur.

اللَّهُمَّ أَنْزِلْ فِيْ قَبْرِهِ الرَّحْمَةَ وَالضِّيَاءَ وَالنُّوْرَ، وَالبَهْجَةَ وَالرَوْحَ وَالرَيْحَانَ وَالسُّرُوْرَ، مِنْ يَوْمِنَا هَذَا إِلَى يَوْمِ البَعْثِ وَالنُّشُوْرِ، إِنَّكَ مَلِكٌ رَبٌّ غَفُوْرٌ

Artinya, “Ya Allah, turunkanlah di kuburnya (almarhum fulan) rahmat, sinar, cahaya, kegembiraan, kesenangan, keharuman, dan kebahagiaan sejak hari ini hingga hari kebangunan dan kebangkitan. Sungguh, Kau penguasa, tuhan yang maha pengampun.”

33. Doa Meminta Syafa‘at Al-Qur’an.

اللَّهُمَّ اجْعَلِ القُرْآنَ العَظِيْمَ فِي قَبْرِهِ مُؤْنِسًا، وَفِي القِيَامَةِ شَافِعًا، وَفِي الحَشْرِ ضِيَاءً وَظِلًّا وَدَلِيْلًا، وَفِي المِيْزَانِ رَاجِحًا، وَعَلَى الصِّرَاطِ نُوْرًا وَقَائِدًا، وَعَنِ النَّارِ سِتْرًا وَحِجَابًا، وَفِي الجَنَّةِ رَفِيْقًا

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an di kuburnya sebagai teman, di Hari Kiamat sebagai pemberi syafaat, di tempat berkumpul (mahsyar) kelak sebagai sinar, naungan, dan petunjuk, di mizan sebagai pemberat timbangan amal baik, di sirath sebagai cahaya dan penuntun, dari api neraka sebagai tabir dan hijab, dan di surga sebagai kawan.”

34. Doa Pengantar untuk Penghuni Baru Qubur.

اللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنَ عَبْدَيْكَ خَرَجَ مِنْ رَّوْحِ الدُّنْيَا وَسَعَتِهَا وَمَحْبُوْبِهِ وَاَحِبَّائِهِ فِيْهَا اِلَى ظـُـلْمَةِ اْلقَبْرِ وَمَا هُوَ لَا قِيْهِ كـَانَ يَشْهَـدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اَنْتَ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلـُـكَ وَاَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ

Artinya, “Ya Allah, ini hamba-Mu dan anak dari kedua hamba-Mu. Ia keluar dari kebahagiaan dan keluasan dunia, orang yang dicintai, dan para kekasihnya di dunia menuju kegelapan kubur dan apa yang akan ia jumpai di dalamnya. Ia dulu pernah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau dan Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan utusan-Mu. Kau pun lebih tahu akan hal ini.”

35. Doa Kelapangan Qubur.

اللَّهُمَّ اِنَّهُ نَزَلَ بِكَ وَاَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ وَاَصْبَحَ فـَـقِـيْرًا اِلـَى رَحْمَتِكَ، وَاَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ وَقـَـدْ جِئْنَاكَ رَاغِبِيْنَ اِلـَـيْكَ شُفـَـعَاءَ لـَـهُ، اللـّٰهُمَّ اِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ اِحْسَانِهِ وَاِنْ كـَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ وَلـَـقـِّـهِ بِرَحْمَتِكَ رِضَاكَ وَقِهِ فِتْنَةَ اْلقـَـبْرِ وَعَــَذابَهُ وَافْسَحْ لـَـهُ فِيْ قـَــبْرِهِ وَجَافِ اْلاَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَلـَــقـِّـهِ بِرَحْمَتِكَ اْلاَمْنَ مِنْ عَذَابِكَ حَتَّى تَبْعَثَــهُ آمِنًا اِلـَى جَنَّتِكَ بِرَحْمَتِكَ يَااَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

Artinya, “Ya  Allah, dia kembali kepada-Mu. Engkau adalah sebaik-baik tempat kembali. Ia membutuhkan rahmat-Mu. Sementara Engkau tidak perlu menyiksanya. Kami mendatangi-Mu seraya mengharap kepada-Mu agar dapat memberikan syafa’at baginya. Ya Allah, jika ia orang baik, maka tambahkanlah kebaikannya. Jika ia orang jahat, maka maafkanlah keburukannya. Pertemukan ia dan ridha-Mu berkat rahmat-Mu. Peliharalah ia dari fitnah dan azab kubur. Lapangkanlah kuburnya. Jauhkanlah dinding bumi dari kedua sisi badannya. Pertemukanlah ia dan keamanan berkat rahmat-Mu dari azab-Mu hingga Engkau membangkitkannya dalam keadaan aman menuju surga-Mu berkat rahmat-Mu, wahai Zat Yang Maha Pengasih.

36. Doa untuk Ahli Qubur.

اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ

Artinya, “Ya Allah, ampunilah dirinya, kasihanilah dirinya, afiatkan dirinya, dan maafkanlah dirinya.” Untuk jenazah perempuan, kata ganti penanda maskulin/mudzakkar diganti dengan kata ganti feminin/mu’annats.  اللهُمَّ اغْفِرْ لَها وَارْحَمْها وَعَافِها وَاعْفُ عَنْها يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ Artinya, “Ya Allah, ampunilah dirinya (perempuan), kasihanilah dirinya, afiatkan dirinya, dan maafkanlah dirinya, wahai Tuhan sekalian alam.”

37. Doa Khusus untuk Ahli Qubur yang Diziarahi.

وَاجْعَلِ اللهُمَّ ثَوَابًا مِثْلَ ثَوَابِ ذَالِكَ فِي صَحَائِفِنَا وَفِي صَحَائِفِ وَالِدِيْنَا وَمَشَائِخِنَا وَالسَّادَاتِ الحَاضِرِيْنَ وَوَالِدِيْهِمْ وَمَشَائِخِهِمْ خَاصَّةً وَإِلَى أَمْوَاتِ المُسْلِمِيْنَ عَامَّةً

Artinya, “Ya Allah, jadikanlah pahala ini sebagaimana pahala demikian yang tercatat pada lembaran kami, lembaran orang tua kami, guru kami, para pemuka yang hadir, orang tua mereka, dan guru mereka khususnya, dan arwah umat Islam secara umum.”

38. Doa agar Ingat dan Paham Al-Qur’an.

اللهُمَّ ذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نَسِيْنَا وَعَلِّمْنَاهُ مَا جَهِلْنَا وَارْزُقْنَا تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ، وَاجْعَلْهُ حُجَّةً لَّنَا وَلَا تَجْعَلْهُ حُجَّةً عَلَيْنَا

Artinya, “Ya Allah, ingatkan kami ayat-ayat Al-Qur‘an yang kami terlupa. Beritahukan kami sesuatu yang kami tidak ketahui. Anugerahkan kami kesempatan untuk membacanya sepanjang malam dan di tepi-tepi siang. Jadikanlah Al-Qur‘an sebagai pembela kami. Jangan jadikan Al-Qur‘an sebagai penghujat kami kelak.”

39. Doa Kemurahan dan Keridhaan Allah.

اللهُمَّ بِفَضْلِكَ عُمَّنَا، وَبِلُطْفِكَ حُفَّنَا، وَعَلَى الإِسْلَامِ وَالإِيْمَانِ جَمْعًا تَوَفَّنَا وَأَنْتَ رَاضٍ عَنَّا، وَاخْتِمْ بِالصَّالِحَاتِ أَعْمَالَنَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَالحَمْدُ لِلهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Artinya, “Ya Allah, ratakanlah keutamaan-Mu. Selimuti kami dengan kelembutan-Mu. Atas Islam dan iman sekaligus, matikanlah kami sementara Kaumeridhai kami. Akhiri amal kami dengan kesalehan. Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat. Lindungilah kami dari siksa neraka, dengan rahmat-Mu wahai Tuhan maha penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.” Susunan bacaan zikir, tahlil, dan doa arwah ini diharapkan dapat memudahkan bagi para pembaca sekalian sebagai pemandu pembacaan tahlil atau sekadar pengingat bila mana Kitab Majmu' Syarif tertinggal ketika diperlukan. Semoga Allah menerima bacaan zikir dan tahlil kita, serta menyampaikan pahalanya untuk ahli kubur yang kita tuju. Amin. Wallahu a'lam. (Alhafiz Kurniawan

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/107344/susunan-bacaan-tahlil-doa-arwah-lengkap-dan-terjemahannya


MAKNA LAFAZH ALLAH

 MAKNA LAFAZH ALLAH

Lafazh Allah adalah lafal yang mengumpulkan semua nama dan sifat yang dikandungnya.

Dzikir ini adalah tujuan utama dan paling puncak.

Saat menjelaskan Lafal Allah, Syaikhuna Maimoen Zubair mengatakan;

Jika huruf per huruf dihilangkan, maka akan semakin mempunyai makna yang lebih dalam.

Jika huruf Alif pada lafadl الله dihilangkan, maka akan dibaca لله ‘lillah’, yang mempunyai makna “Karena Allah”. Hal itu karena amal yang dikerjakan tidak akan sampai dan diterima oleh Allah kecuali amal itu karena Allah.

Jika huruf Lam Pertama pada lafadl لله dihilangkan, maka akan dibaca له Lahuu, yang mempunyai makna “hanya karena Allah”.

Makna ini lebih dalam dari pada makna sebelum ini, karena pada lafadl لله menggunakan isim dhohir (kelihatan), sedangkan pada lafadl له menggunakan bentuk isim dlomir (disimpan).

Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an saat menjelaskan tentang shodaqoh, sebagai berikut:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّئَاتِكُمْ

Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Al-Baqarah: 271)

Jika huruf Lam pada lafadl له ‘lahuu’ dihilangkan, maka akan dibaca ه “Huu”, yaitu Dlomir Sya'an. Dlomir Sya’an adalah dlomir yang kembali kepada kalimat yang ada di depan dlomir tersebut dan harus berupa jumlah. Bentuk Dlomir Sya'an adalah mufrod, sedangkan kalimah yang dikandung oleh dlomir itu berupa jumlah yang ada di depannya.

Alam ini wujud setelah diadakan oleh Allah, dan semua yang selain Allah pasti berupa jumlah dan tidak esa. Hal ini diisyaratkan berupa jumlah dan harus berada di depan. Sedangkan yang Tunggal (mufrod/fardi) hanya Allah. Hal ini diisyaratkan dengan dlomir yang mufrod. Allah berfirman:

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

Demi yang genap dan yang ganjil.

Semua makhluk pasti berpasang-pasang atau genap, dan yang ganjil serta Tunggal hanya Allah.

سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Jika huruf ha' pun dihilangkan, maka akan berdzikir dalam hati, karena huruf ha' berada pada pangkal tenggorokan dekat dada, dan setelah itu masuk dalam hati, sehingga orang yang berdzikir akan luas dada serta mempunyai hati yang terang benderang.

أَلَمْ نَشْرَحْ  لَكَ صَدْرَكَ ﴿١﴾ وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ ﴿٢﴾ الَّذِي أَنقَضَ ظَهْرَكَ ﴿٣﴾ وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ ﴿٤﴾ فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٥﴾ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ﴿٦﴾ فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ ﴿٧﴾ وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب ﴿٨﴾

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي ﴿٢٥﴾ وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي ﴿٢٦﴾ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي ﴿٢٧﴾ يَفْقَهُوا قَوْلِي ﴿٢٨﴾




ISRA’ MI‘RAJ

 GAMBARAN BALASAN AKHIRAT YANG DIPERLIHATKAN KEPADA NABI SAAT ISRA’ MI‘RAJ

Pada malam isra dan mi‘raj, selain mendapat perintah shalat secara langsung, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam juga diperlihatkan pada sebagian hikmah dan tanda kebesaran Allah, sebagaimana dalam Al-Qur’an:  

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا   

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami,” (QS. Al-Isra’ [17]: 1).  

Banyak hadits yang mengisahkan tentang sebagain tanda kebesaran itu. Mulai dari diperlihatkan pada tujuh lapisan langit, baitul ma’mur, hingga disampaikan pada sidratul muntaha. Mulai dari dipertemukan dengan sebagian nabi terdahulu, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Musa ‘alaihissalam, Nabi Isa ‘alaihissalam, dan Nabi Yusuf alaihissalam, hingga diperlihatkan pada gambaran umat yang bahagia dan sengsara di akhirat.

Namun mengingat terbatasnya kesempatan, yang akan disajikan kali ini adalah beberapa hadits tentang hikmah dan gambaran umat yang bahagia dan sengsara di akhirat. Semantara hadits-hadits tentang keagungan Allah yang lain, insyaallah, akan disajikan pada kesempatan berikutnya.   

Gambaran tentang umat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang hanya pandai orasi dan menyeru orang lain, namun lalai akan keselamatan dirinya, disebutkan dalam riwayat Anas ibn Malik. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bercerita:  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رِجَالًا تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ خُطَبَاءُ مِنْ أُمَّتِكَ، يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ، وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ، وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ 

“Pada malam di-isra’-kan, aku melihat sejumlah laki-laki yang digunting bibirnya dengan gunting api. Aku bertanya (pada Jibril), ‘Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah para khatib dari kalangan umatmu. Mereka memerintah kebaikan pada orang lain, namun mereka sendiri lupa akan dirinya sendiri. Mereka membaca Al-Qur’an, apakah mereka tidak memikirkannya?’” (HR. Ahmad).

Informasi hadits ini jelas menguatkan kandungan ayat yang menyatakan, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS. Ash-Shaf [61]: 3).  

Selanjutnya hadits yang diterima Abu Hurairah menggambarkan keadaan umat yang suka makan hasil riba. Lebih lengkapnya, Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menuturkan:   

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي لَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَنَظَرْتُ فَوْقِي فَإِذَا أَنَا بِرَعْدٍ وَبَرْقٍ وَصَوَاعِقَ قَالَ: وَأَتَيْتُ عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ هَؤُلَاءِ أَكَلَةُ الرِّبَا  

“Pada malam di-isra-kan, ketika sampai di langit ke tujuh, aku melihat ke atasku. Ternyata aku melihat halilintar, kilat, dan petir. Kemudian, aku diperlihatkan pada suatu kaum yang perutnya (besar) seperti rumah yang penuh dengan ular dan ular-ular itu terlihat dari luar. Aku bertanya (pada Jibril), ‘Siapakah mereka, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka makan hasil riba.’

Demikian yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah.   Sementara dalam riwayat Samurah ibn Jundab, orang yang suka makan riba digambarkan dengan seorang laki-laki yang berenang di suatu sungai, dan mulutnya dijejali dengan batu. Demikian sebagaimana yang diceritakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رَجُلًا يَسْبَحُ فِي نَهَرٍ وَيُلْقَمُ الْحِجَارَةَ، فَسَأَلْتُ مَا هَذَا، فَقِيلَ لِي: آكِلُ الرِّبَا  

“Pada malam di-isra-kan, aku melihat seorang laki-laki yang berenang di sebuah sungai, dan disuapi dengan batu. Setelah aku tanyakan, disampaikan kepadaku, ‘Itu adalah orang yang suka makan riba,’” (HR. Ahmad).

Pemandangan mengerikan juga diperlihatkan kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai gambaran balasan orang yang suka makan harta orang lain secara zalim, terutama harta anak yatim. Itu terlihat jelas dalam riwayat Abu Said al-Khudri. Dikisahkan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam:  

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي قَوْمًا لَهُمْ مَشَافِرُ كَمَشَافِرِ الْإِبِلِ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِمْ مَنْ يَأْخُذُ بِمَشَافِرِهِمْ ثُمَّ يَجْعَلُ فِي أَفْوَاهِهِمْ صَخْرًا مِنَ النَّارِ يَخْرُجُ مِنْ أَسَافِلِهِمْ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَنْ هَؤُلَاءِ: فَقَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا  

“Pada malam di-isra-kan, aku melihat suatu kaum yang memiliki bibir seperti bibir unta. Di tengah mereka ada seorang yang dipercaya menarik bibir tersebut. Kemudian, ke mulut mereka dimasukkan batu dari neraka, dan batu itu keluar dari bawah mereka. Aku tanyakan, ‘Siapa mereka, Jibril?’ Ia menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang suka makan harta anak yatim secara zalim.’”

(Lihat: Tafsir Ath-Thabari, jilid 7, hal. 27)   Gambaran dalam hadits di atas tidaklah bertentangan dengan ayat berikut, Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka), (QS. An-Nisa’ [4]: 10).

Sebab, siksaan di akhirat ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus. Siksaan khusus ialah siksaan yang mencerminkan perbuatannya, sesuai dengan kaidah para ulama: Al-Jaza’ min jinsil ‘amal. (Balasan itu serupa dengan amal perbuatannya). Sedangkan balasan umum adalah siksaan dengan api neraka, apa pun keburukannya.   Riwayat berikutnya menggambarkan suatu umat yang gemar menunaikan amal baik, namun amal baik tersebut tercampur dengan amal buruk. Hal itu seperti yang digambarkan oleh riwayat Abu Sa‘id al-Khudri. Dalam riwayat itu, ia bertanya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang terlihat pada malam isra-mi’raj. Beliau becerita:  

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: قلنا: يا رسول الله، ثنا مَا رَأَيْتَ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِكَ؟ قَالَ: رَأَيْتُ أُمَّتِيَ ضَرْبَيْنِ، ضَرَبٌ عَلَيْهِمْ ثِيَابٌ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ الْقِرْطَاسِ، وَضَرَبٌ عَلَيْهِمْ ثِيَابٌ رَمَدٌ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَؤُلاءِ؟ قَالَ: أَمَا أَصْحَابُ الثِّيَابِ الرَّمَدِ: فَإِنَّهُمْ خَلَطُوا عَمَلا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا

“Aku melihat umatku menjadi dua golongan. Satu golongan yang mengenakan pakaian seperti kertas yang sangat putih. Segolongan mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Aku lantas menanyakannya, ‘Ya Jibril, siapakah mereka?’ Ia menjawab, ‘Adapun orang-orang yang mengenakan pakaian abu-abu adalah mereka yang suka mencampuradukkan amal baik dengan amal buruk.’” (Lihat Tafsir Ibnu Hatim, jilid 6, hal. 1874).

Namun, di samping pemandangan mengerikan dan kurang mengenakkan, terdapat pula pengalaman menyenangkan dan menggembirakan siapa pun yang mendengar kisahnya. Salah satunya yang diriwayatkan oleh Ubay ibn Ka‘b. Dalam riwayat tersebut, dikisahkan tercium aroma yang sangat wangi. Dari manakah aroma tersebut? Sebagaimana yang dikabarkan malaikat Jibril, aroma itu berasal dari kuburan Masyithah, seorang wanita yang berjuang mempertahankan keimanannya dan menghadapi penyiksaan Raja Firaun yang tiran di atas wazan panas. Demikian kisah yang dituturkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam.

أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: شَمَمْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي رَائِحَةً طَيْبَةً، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا هَذِهِ الرِّيحُ الطَّيِّبَةُ؟ قَالَ: هَذَا رِيحُ قَبْرِ الْمَاشِطَةِ وَابْنَتِهَا وَزَوْجِهَا  

“Pada malam di-isra-kan, aku mencium aroma yang sangat wangi. Aku tanyakan, ‘Jibril, wangi apakah ini?’ Ia menjawab, ‘Ini wangi kuburan masyithah, putri, dan suaminya” (HR. Ath-Thabrani).  

Kabar menyenangkan juga diterima Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam tatkala melihat sebuah tulisan tentang keutamaan memberi pinjaman yang tertulis di atas pintu surga. Demikian penuturan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam yang diterima sahabat Anas ibn Malik.

رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا: الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَةِ؟ قَالَ: لِأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ، وَالْمُسْتَقْرِضُ لَا يَسْتَقْرِضُ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ  

Pada malam di-isra-kan, aku melihat tertulis di pintu surga, “Sedekah itu sepuluh kali kelipatannya. Sedangkan pinjaman delapan belas kelipatannya.” Lantas aku tanyakan, “Wahai Jibril, mengapa pinjaman lebih utama dari sedekah?” Ia menjawab, “Sebab orang yang mengemis meminta sesuatu yang sudah dia dimiliki. Sedangkan orang yang meminjam tidak meminta sesuatu kecuali yang dia dibutuhkan,” (HR. Ibnu Majah).   Demikian beberapa riwayat yang mengisahkan, sekaligus menggambarkan balasan akhirat yang diperlihatkan Allah kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sewaktu isra-mi’raj. Wallahu a’lam.    

Penulis: M. Tatam Editor : Mahbib.


BENARKAH ISRA DAN MIRAJ TERJADI PADA BULAN RAJAB ?

Bulan Rajab merupakan bagian dari asyhurul hurum yang di dalamnya terdapat sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu Isra dan Miraj.

Sebagaimana lazimnya diketahui oleh semua orang, Isra dan Miraj umumnya diperingati pada tanggal 27 Rajab karena populernya Isra dan Miraj terjadi pada tanggal tersebut. Bahkan negara secara khusus menyediakan libur Isra dan Miraj secara nasional setiap tahun pada tanggal Masehi yang bertepatan dengan tanggal 27 Rajab. Lantas, apakah bisa dipastikan jika peristiwa besar dalam sejarah Islam tersebut memang benar-benar terjadi pada tanggal tersebut? 

Para ulama berbeda pendapat terkait waktu terjadinya peristiwa Isra dan Miraj ini. Sofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Rakhiqul Makhtum-nya menyebutkan enam macam pendapat yang menjelaskan waktu terjadinya Isra dan Miraj. Tetapi tidak ada satupun yang pasti. Dengan demikian, tidak diketahui secara persis kapan tanggal terjadinya Isra dan Miraj.

Hal ini didukung oleh Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya dan An-Nawawi dalam Al-Minhaj-nya menyebutkan beberapa tanggal terjadinya Isra dan Miraj.

Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada tahun kedua setelah diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi. Kedua, Isra dan Miraj terjadi pada tahun ke-5 setelah diutusnya nabi. Pendapat ini diamini oleh An-Nawawi dan Al-Qurthuby. 

Ketiga, pendapat yang dipilih oleh Al-Manshur Faury, yakni pendapat yang lumrah dan populer di kalangan masyarakat, 27 Rajab tahun ke-10 setelah diutusnya Nabi.

Keempat, pendapat Amam Al-Baihaqi yang mengutip pendapat Az-Zuhri, Isra dan Miraj terjadi pada Rabi’ul Awal tahun ke-13 setelah diutusnya nabi, yakni satu tahun sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah. 

Kelima, menurut pendapat As-Sadi, Isra dan Miraj terjadi pada sembilan belas bulan sebelum peristiwa Hijrah, yakni bertepatan dengan bulan Dzul Qa’dah.

Keenam, menurut Al-Harby, Isra dan Miraj terjadi pada tanggal 27 Rabiul Akhir satu tahun sebelum hijrahnya Nabi. Ketujuh, pada bulan Ramadhan tahun ke-12 setelah kenabian, yakni enam belas bulan sebelum hijrahnya Nabi.

Kedelapan, pada bulan Muharram 13 tahun setelah kenabian, yaitu bertepatan dengan satu tahun dua bulan sebelum hijrahnya nabi. Selain beberapa pendapat di atas, ada juga pendapat yang sangat lemah, yaitu terjadinya Isra dan Miraj sebelum Rasulullah SAW diangkat sebagai nabi. Hal ini dibantah oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj-nya. An-Nawawi menyebutkan bahwa pada malam Isra dan Miraj tersebut nabi diperintahkan untuk mengerjakan shalat. Dan tidak mungkin hal itu terjadi jika nabi belum mendapatkan wahyu. Hal ini juga dibuktikan dengan pendapat Ibnu Hisyam bahwa pada saat terjadinya Isra dan Miraj, Islam sudah tersebar di Kota Mekkah.

Pendapat lain mengatakan bahwa Isra dan Miraj terjadi pada Jumat pertama bulan Rajab. Malam itu adalah malam renungan atau malam kesedihan di mana nabi merasa sedih karena ditinggalkan oleh paman dan istri tercintanya, Khadijah. Namun menurut Al-Aini, pendapat ini tidak memiliki dasar sumbernya. Dari berbagai pendapat tersebut, manakah yang paling benar atau minimal mendekati benar? Secara pasti memang tidak bisa disimpulkan pendapat mana yang paling benar.

Hanya saja, semua pendapat-pendapat tersebut mengarah kepada dua hal, yakni Isra dan Miraj terjadi setelah diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi dan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Perbedaan ini dipengaruhi gaya perhitungan yang berbeda oleh masing-masing pendapat. Ada pendapat yang mendasarkan pada sebuah kejadian, seperti sudah tersebarnya Islam di Mekkah dan lain sebagainya. Dan ada yang mengacu pada jumlah bulan setelah diutusnya nabi ataupun sebelum hijrahnya nabi. Sehingga wajar jika menimbulkan banyak pendapat.

Kapan seharusnya kita memperingati Isra dan Miraj? Yang paling penting pada momen peringatan Isra dan Miraj adalah semangatnya, yaitu semangat untuk selalu mengingat usaha dan jerih payah Nabi Muhammad SAW untuk umatnya. Terlebih dalam hal bilangan shalat fardhu. Serta kisah-kisah pertemuan nabi dengan berbagai kejadian yang mengiringi Isra dan Miraj. Karena yang paling penting adalah belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan muhasabah diri agar menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang taat terhadap semua tuntunan-tuntunanya. Wallahu a’lam. (M Alvin Nur Choironi).


BATASAN BERCANDA

 BATASAN BERCANDA

Penulis: Ummu ‘Aisyah

Saudariku muslimah, berbeda dengan sabar yang tidak ada batasnya, maka bercanda ada batasnya. Tidak bisa dipungkiri, di saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rileks dan santai untuk mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat. Hal ini tidak dilarang selama tidak berlebihan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun Bercanda

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau untuk mengambil hati serta membuat mereka gembira. Namun canda beliau tidak berlebihan, tetap ada batasnya. Bila tertawa, beliau tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula dalam bercanda, beliau tidak berkata kecuali yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam beberapa hadits yang menceritakan seputar bercandanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan amandelnya, namun beliau hanya tersenyum.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.” (HR. Imam Ahmad. Sanadnya Shahih)

Adapun contoh bercandanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengan salah satu dari kedua cucunya yaitu Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah, no hadits 70)

Adab Bercanda Sesuai Syariat

Poin di atas cukup mewakili arti bercanda yang dibolehkan dalam syariat. Selain itu, hal penting yang harus kita perhatikan dalam bercanda adalah:

1. Meluruskan tujuan yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh semangat baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.

2. Jangan melewati batas. Sebagian orang sering berlebihan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.

3. Jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda. Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.

4. Jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius. Seperti dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim (pengadilan-ed), ketika memberikan persaksian dan lain sebagainya.

5. Hindari perkara yang dilarang Allah Azza Wa Jalla saat bercanda.

– Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud)

– Berdusta saat bercanda. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seseorang yang memperbaiki akhlaknya.” (HR. Abu Dawud). Rasullullah pun telah memberi ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

– Melecehkan sekelompok orang tertentu. Misalnya bercanda dengan melecehkan penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, bahasa tertentu dan lain sebagainya, yang perbuatan ini sangat dilarang.

– Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan yang keji untuk membuat orang lain tertawa.

6. Hindari bercanda dengan aksi atau kata-kata yang buruk. Allah telah berfirman, yang artinya, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Isra’: 53)

7. Tidak banyak tertawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)

8. Bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya.

9. Jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda. Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat Al-Qur’an dan syair-syiarnya, wal iyadzubillah! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.

Demikianlah mengenai batasan-batasan dalam bercanda yang diperbolehkan dalam syariat. Semoga setiap kata, perbuatan, tingkah laku dan akhlak kita mendapatkan ridlo dari Allah, pun dalam masalah bercanda. Kita senantiasa memohon taufik dari Allah agar termasuk ke dalam golongan orang-orang yang wajahnya tidak dipalingkan saat di kubur nanti karena mengikuti sunnah Nabi-Nya. Wallahul musta’an.

***





DOSA-DOSA BESAR !

 DOSA-DOSA BESAR !

DALAM BAHASA JAWA :

"Yen ono wong sing Atine iseh ora akrab marang Gusti Allah, Yen Atine iseh ora biso apik marang Manungso lan makhluk, Yen Awake iseh ora biso akrab marang Ilmu ... Wong koyo iku ora bakalan biso Urip bagio"

Artinya : 

Cukup Menjadi Dosa-dosa Besar Itu Jika Saat Ini :

* Hatinya tidak akrab (liar) dengan Allah dalam Beribadah / Berdzikir dalam Ketaatan.

* Hatinya tidak akrab kepada Manusia dengan Berbuat Baik / Pelayanan dalam Kemanfaatan.

* Dirinya tidak akrab dengan ilmu yang dapat memperbaiki kualitas dirinya.


PERCAKAPAN @MAIYYAH

PERCAKAPAN @MAIYYAH


PERBINCANGAN MAS HELMI & MAS HARYANTO BERSAMA MBAH AINUN NAJIB.

TENTANG FENOMENA HAY-YA 'ALAL JI-HAAD

Kita ambil 3 Cara Pandang atau 3  PRESPEKTIF / SPEKTRUM.

Saya ingin SPEKTRUM PERTAMA pasti adalah fiqih dalam syariat Islam artinya tata cara beragama yang diatur oleh agama Islam.  Termasuk di dalamnya ada adzan Adzan inikan tidak berasal dari teks Ayat tapi itu adalah perintah Kanjeng Nabi kepada Sayyidina Bilal bin Rabah untuk memanggil orang untuk Kasih tanda ini sudah saatnya shalat. Terus Bilal bin Rabah kalau tidak salah kemudian meneriakkan kata-kata yang sering kita kenal sebagai adzan itu.

Jadi disebut mahzhoh dia memang peristiwanya mahzhoh. Tapi kalau disebut-sebut itu aturan baku, uraikan asal-usulnya kan dalam tanda petik "kreativitasnya" Bilal bin Rabah yang suaranya memang enak itu.

Nah ... yang disebut oleh mas Helmi tadi adalah bersamaan dengan adanya kasus Sigi, Sulawesi Tengah itu, sebelumnya dan ketika itu berlangsung sudah ada deretan "apa namanya" informasi panjang secara video ya. Di mana ada orang adzan atau iqamahnya dengan mengganti HAYYA ALAL SHOLAH-nya menjadi HAYYA ALAL JIHAAD.

Dari perspektif fiqih dan syariat itu tidak lazim. Saya hanya mampu ngomong itu tidak lazim tapi jangan kaget kalau ada ulama yang mengambil kesimpulan itu adalah Bid'ah bahkan Bid'ah Kubro atau mungkin bisa dianggap sesat,  karena itu menyalahi sunnah dan aturan yang sejak awal sudah di legitimasi oleh Rasulullah. Saya, Saya tidak ikut mengatakan apa-apa, tapi pokoknya cuman TIDAK LAZIM, sehingga sehingga jangan kaget kalau ada fatwa-fatwa ulama mengenai itu apa sesat apa Bid'ah,  apa segala macam. 

Tetapi kalau kita melihat PERSPEKTIF yang berikutnya yaitu sosial budaya, soal sosial politik, sosial pokoknya perspektif zaman secara horizontal,  ya kalau kita tarik dari kata sholat ..

Sholat itu kan selama ini kita maknai sebagai sholat gitu aja, dia itu mengabdi kepada Allah dengan cara tertentu. Kemudian kita kenal juga kata sholawat. Tapi kalau kita Shalawat itu kepada Rasulullah kepada Nabi ya.

Sholat dan sholawat ini kan satu rumpun kata, yang menurut saya kandungan jiwanya adalah menyatakan komitmen, menyatakan cinta, menyatakan kesetiaan, menyatakan kepatuhan kepada Allah dan Rasulullah.

Kalau kita tarik dari spektrum fiqih syariah dan spektrum sosial politik, sosial budaya, kata sholat ini kan mempunyai pengertian yang yang sangat luas. Kata sholat itu bisa di breakdown bisa di interprestasikan, bisa dikembangkan, bisa diapliksi.

Jadi sholat itu bisa cara kita untuk mengabdi kepada Allah adalah menjalani hidup dan hidup itu bisa kita jalani dengan jihaad juga bisa. Jihaad ini kan sangat luas, bisa cari istri, cari nafkah, bisa menempuh sesuatu hal dalam dalam karier atau apa itu semua jihad. Jadi jadi sebenarnya kalau hayya 'alal sholah dirubah atau dikembangkan jadi hayya alal jihaad, SECARA MAKNA, itu bisa dipahami. Bahwa SECARA ATURAN monggo itu urusan para ulama.

Yang kita bicara MAKNA, bisa dibawa sholat,  itu ya ... ya saya menyiram tanaman tidak sholat juga, saya mandi pagi itu juga sholat, (... itu lihat yang itu nah, nah ..)  Masalahnya sekarang adalah saya membayangkan ketika mendengarkan hayya 'alal jihaad tuh .... Saya tidak curiga dan tidak mengklaim apa maksudnya. Tapi kalau saya ... jadi mereka, saya akan sekalian menggunakan kata hayya alal qitaal "mari berperang" , karepe ngono to jan jane artine ketoke.

Cuman mereka kan menggunakan kata JIHAAD yang artinya sangat luas. Bisa mencari nafkah, mencari istri dan sebagainya.

Nah ... Kalau kita kan jelas, "dep- depan Jreng !! gitu gitu ! Kalau dari prespektif, "Apa namanya" kalau prespektif sosial politik, itu kemudian kita bisa melihat sejarah. Saya melihat bahwa sebenarnya memang umat Islam ini secara nilai maupun secara manusianya,  kaum muslimin maupun nilai Islam, memang sudah mengalami sakit hati yang luar biasa dalam waktu yang sangat panjang. 

Saya menyebutnya sudah sekitar 4 sampai 6 abad, itu umat Islam dan umat Islam itu disepelekan, diinjak-injak, di tidak diakui keislamannya  dan seterusnya. Apakah itu urusannya dengan penjajahan bangsa-bangsa untuk pada bangsa yang lain, penjajahan itu atau ko-operasi atau menginjak-injakkan dari kelompok lain kepada kelompok Islam dan seterusnya itu, dan sudah berlangsung berabad-abad. Sehingga saya memahami sangat lazim bahwa umat Islam atau kaum muslimin itu merasakan rasa sakit, di injak-injak, di dijajah "diplokotho, diapusi".

Apakah disalahpahami dari renaissance sampai globalisasi ya. Jadi mereka itu terlalu lama merasa sakit. Nah di antara orang-orang yang yang merasa sakit ini kan ada sebagian yang tidak tahan,  ada yang "diladeni" dengan kesabaran, dengan tawakal, dengan iman, dengan kepercayaan kepada Allah. Ada yang sampai "menthok" akhirnya ndak kuat githu ya. Akhirnya terjadilah Sigi atau  segala macam ... ya.  Jadi saya mencoba memahaminya bahwa itu juga lazim. Kalau Orang diinjak injak.

Semisal kalau saya menghina Bapakmu, sampai tiga kali itu, terus kamu tidak marah kan ndak lazim. Terus kamu jadi menendang kepala saya kan juga sangat lazim juga. Jadi kelaziman itu harus kita pelajari juga.

Dan saya melihat Sigi maupun hayya 'alal jihaad itu adalah munculnya secara alamiah. Sebagian dari suatu kelompok yang ditindas berabad-abad, sehingga mereka kemudian ada yang "biyadiyyin" atau "dengan tangan mereka" melakukan apa yang rezim menyebutnya terorisme ya atau melalui lisan Atau dengan hayya 'alal jihaad atau hayya 'alal qitaal. Itu bagi saya itu itu itu lazim lazim saja. Jadi jadi jadi saya tidak mengatakan bahwa itu boleh ya ! Boleh dan tidak boleh lain masalah, ini soal lazim dan tak lazim. 

Karena memang .... Haryanto bisa kasih contoh, ayam saja dianugerahi Allah rasa marah. ketika "Piyek" anak-anak ayam itu terancam oleh anjing atau atau apapun, ayam itu ... itu kan marah, dengan ekspresi meregangkan bulunya dan seterusnya. Jadi rasa marah itu juga lazim...

(Haryanto Said : Artinya sangat bisa dipahami terlepas dari anda setuju atau tidak setuju. Tapi sangat bisa dipahami eee ketika dalam kondisi yang seperti hari ini, sebagian umat Islam itu, hayyal 'alal jihaad itu pun masih ada sopan santun kok, ada adabnya. Mereka tidak langsung "mengata" hayya 'alal qitaal, apalagi "qushwah" itu ndak. Jadi saya lihat itu ya wajar sebagaimana,  ini mas Helmi. 

Begini ya ... Apa .. kayaknya KHAZANAH MARAH sebagai bagian dari akhlak muslim itu, terlalu lama di dibunuh oleh ... oleh zaman ini ya. Seakan-akan bangsa kita itu,  dan umat Islam itu ... percaya betul bahwa marah itu adalah akhlak buruk)

Jadi ada keterkaitan atau ada kooperasi nilai moral terhadap kemarahan. Jadi sekarang ini kita sampai kepada zaman dimana marah Itu enggak baik, marah itu buruk, marah itu lemah, marah itu zholim gitu.

Nah Sigi itu kan itu kan output dari kemarahan yang lama. Apakah kemarahan tuh matang apa tidak ? , Halal apa tidak ?  Itu ... itu urusan lain. Tapi bahwa itu kelaziman manusia makhluk Allah.

Wong .. Cacing kita akan melihat,  kalau kita injak menggeliat geliat. Kalau tidak menggeliat geliat berarti bukan makhluk Allah.

Jadi marah menurut mas Haryanto, adalah secara global cara kita berfikir mengenai Psikologi dan kejiwaan manusia, itu Menindas Fenomena marah, SEOLAH OLAH MARAH ITU NDAK BAIK ... Kan gitu kan ...?

Marah jadi orang kemudian yang sabar, arif, santun ... yang begitu marah itu ndak boleh padahal sekarang ... kalau kita cari di Quran ALLAH MARAH itu berapa ratus ayat,  Allah sendiri marah, Allah sendiri murka, Allah sendiri ghodlob.

Nah sekarang kemarahan itu semuanya adalah bagian yang lazim dari struktur kejiwaan manusia. Sekarang itu secara secara apa global dan nasional itu ada REKAYASA agar supaya marah ini DIRESMIKAN sebagai sesuatu yang BURUK.

(Haryanto said : Dan Rasulullah juga mencontohkan itu ketika ada laporan bahwa ada satu kaum yang ditindas oleh kekuasaan Islam sendiri disaat itu. Disaat itu Islam sedang berkuasa, di mana Rasulullah mendapatkan laporan bawahsanya ada satu kelompok masyarakat yang memperoleh beban ketidakadilan. Rasulullah saat itu sampai sahabat itu mendengar bunyi "kemerethuk" giginya, SAKING MENAHAN MARAHNYA, sampai sampai sahabat mendengar bunyi gigi beliau. Seakan memendam amarah yang kuat. Artinya ....)

Jadi MARAH itu LAZIM, WAJAR, MANUSIAWI dan ALAMIAH itu ciptaan Allah kan gitu kan !?

Terjadi pada semua makhlukNya meskipun Rasulullah yang sangat lembut itu marah, ini lebih objektif dan subjektif ini kita MARAH ITU WAJAR. asal pada tempatnya. Kemudian masih ada aturan, ekspresi marahnya apa ?  Saya kalau saya marah sama Helmi dan saya lulus dari kewajaran bahwa saya marah, kan tidak berarti saya boleh memukul Helmi. Memukul dan marah Itu ada jaraknya.

Jadi umat Islam ini mengalami ketidakadilan ilmu dan pikiran,  ketidakadilan cara pandang,  ketidakadilan sosial ekonomi dan ketidakadilan politik. Sampai sudah merupakan kehancuran sekian bangsa ya ... Libya, Iran, Irak Afghanistan Suriyah, itu kan kalau anda mau menghitung secara struktural di dalam pemetaan politik modern ini kan anda melihat bahwa UMAT ISLAM ITU DITINDAS habis-habisan. Nah di antara kaum muslimin ada yang nggak kuat.

Tapi ada juga TEORI LAIN, jadi misalnya .... kalau ada kelompok Islam yang sangat keras ya ... itu juga dalam satu kemungkinan lain bisa merupakan REKAYASA dari yang berkuasa, bisa juga.

Jadi .... kayak di pesantren dulu kalau ada anak yang pemarah itu malam-malam kita kasih raweit di badannya, pas tidur, sehingga dia paginya gatal semua. Dia jadi pemarah, dia marah kemudian melakukan sesuatu yang justru pihak keamanan (pondok) bisa menghukumnya. Jadi ... jadi orang dirangsang dan dikasih pacuan untuk supaya marah, dan ekspresi marahnya itu kriminal dan seterusnya. Sehingga ada alasan untuk menghukum. 

Itu bisa terjadi dalam sebuah negara atau didalam politik internasional. Jadi bisa saja tokoh Islam yang sangat keras, itu juga bagian dari REKAYASA REZIM atau kekuasaan bisa aja. Karena ... karena ini (F-P-I) sekeras kerasnya tapi BELUM SAMPAI KRIMINAL, maka DIPANCING SUPAYA KRIMINAL, sehingga punya ALASAN untuk mengatakan begitu.

Tapi ... hidup itu begitu kayanya, sehingga ada kemungkinan seperti itu, gitu kan ? Anda harus punya Mutmainnah punya, ketentraman keseimbangan, sehingga anda tidak mungkin di pancing-pancing seperti itu

(Haryanto said : Kalau dilihat dari ini cak, keluar videonya itu, kalau memang itu hayya 'alal jihaad, itu untuk .... yang Pertama Kenapa yang pertama Kenapa itu harus dimunculkan dalam bentuk video dan dipublish. Kemudian yang kedua Kenapa itu saatnya hampir bersamaan dan masiv penyebarannya itu. Kalau misal itu secara alamiah sebuah kemarahan itu,  ya mungkin ... saya bayangkan ndak harus seperti itu ... yang saya maksud saya ...  ?)

Bagi dia ada kemungkinan memang yang memunculkan adalah REZIM. Kita tidak mengklaim dan tidak menuduh ... tapi ada teori seperti itu mungkin saja yang bikin malah malah yang BERKUASA .... yang bikin itu bisa aja. Secara Teori Politik ya ... Saya tidak mengatakan itu adalah bikinan rezim.

(Helmi said : Saeandainya itu,

... yang terjadi dalam umat Islam nih ...  apa yang yang perlu dilakukan atau mungkin apa ya apa yang semestinya direspon ... terutama oleh para pemuka agama Islam itu sendiri?)

Saya kira semua ulama sebaiknya menggunakan 3 bagian tadi. Jadi kan sejauh ini kan yang yang ada kan respon fikih, tidak ada respon sosial politik serta respon zaman.

Kalau ngomong kalau saya tingkatkan sampai ke tingkat yang ketiga (3) yaitu .... Loh .... Sekarang iblis menggoda Adam itu atas idzin Allah nggak ? Kalau ndak diidzinkan Allah tidak terjadi !

Kalau mau ngomong rekayasa,  kalau ngomong siapa subjek utamanya, kan bisa sampai ke Allah. Allah bikin Dajjaal, Allah bikin Ya'juud Ma'juud. Yang bikin siapa ? Kalau bukan Allah tidak bisa. Kan Dajjaal tak bisa bikin dirinya sendiri, syethan tak bisa bikin dirinya sendiri, sebegitu banyak di dunia dalam kehidupan yang bikin siapa ...? Kan Tuhan sendiri. 

Nah ... jadi kalau kita mau ngomong outline atau outline strategis dari suatu peristiwa di zaman remaja, kita juga perlu yang ketiga.  Jadi terserah yang bener yang mana ...secara ... Kalau secara fiqih dan syariat gampang. Tapi kalau secara Sosial Politik dalam struktur dan Sistem Global sekarang ini itu kan tidak mudah. Tapi kalau saya berpikir seperti pertanyaan Hariyanto, terserah Triggernya dari mana, Siapa yang MEMPROVOKASI,  ini ... ini memang ada kelompok yang ndak kuat hatinya sehingga NGAMUK ataukah bikinan rezim sendiri itu ya .... atau apapun terserah. Tapi kan ada kemungkinan lain, kalau memang kita sedang berada di dalam satu ... satu satu lingkaran syetan sebab dan akibat.  

Jadi tidak hanya LINIER sebab berakibat, terus sebab lagi berakibat. ... enggak ... Tapi setiap sebab bisa merupakan akibat dan sebab akibat bisa merupakan sebab. Dan ini ... ini bisa silang sengkarut. Jadi sekarang ini .... mau apa saja ... Apakah sigi akan berkembang lagi di mana-mana, apakah akan ada tawur lagi di Pantura di Jawa Timur dan Jawa Tengah, apakah apakah akan ada gunung meletus, apakah apakah akan ada tsunami, ada tanah longsor, tanah ambles, apa ... Apapun saja yang terjadi itu kan tetap ada subjek utama yang namanya Allah.

Di luar dua perspektif tadi yang syar'i ... fiqih ... sama yang sosial politik ... kan saya juga dikasih tahu banyak orang yang lain, ada yang mengatakan la ini memang sudah saatnya sekarang kita akan mengalami PERUBAHAN PERADABAN.

Saya tidak ... mengatakan iya apa tidak, benar apa salah ya. Jangan tanya ya .. ! Saya cuma di kasih laporan bahwa ... memang akan ada PERUBAHAN ZAMAN Kalau bahasa Jawanya JER BASUKI MOWO BEO.  

JER BASUKI artinya akan ada tatanan perubahan peradaban baru yang MAIYYAH juga akan ikut berperan. dan MAIYYAH sangat komprehensif yang sangat berarti dalam menata manusia dan masyarakat, umat dan individu dan seterusnya. 

Tapi MOWO BEO nya adalah berkurangnya penduduk dunia sampai hampir separuh. Tapi ini bukan saya ngomong, saya dilapori. Apakah ini Kasyaf Bener, Apakah ini makrifat Walloohu A'lam. 

Kalau saya tidak punya kredibilitas menilai, pokoknya ...

matinya hampir separuh penduduk dunia itu karena "Corona Virus" , Penyakit, Wabah, Karena bencana alam yang bermacam-macam,  Karena perang-perang. Bisa perang-perang kecil atau besar saya ndak tahu ya ...!

Pokoknya ada yang kasih tahu seperti itu, sehingga bagi saya ... 1 sampai 3 itu mungkin semua. Karena kita tidak punya pengetahuan apapun mengenai masa depan. Nah jadi jadi ... terserah. Apakah kalau ada HABIB YANG KERAS itu memang dia begitu atau hal itu sebenarnya dari REKAYASA REZIM saya ndak tahu. Saya tidak mengklaim tidak menuduh dan tidak NGARANI opo opo gitu ya !

Tapi saya tidak akan heran, bahwa ini semua akan merupakan suatu kerumunan gejala, satu himpunan fenomenologi, satu tumpukan ... satu tumpukan .... kalau Allah kan AMR APA irodah atau apapun,  sedemikian rupa ... sehingga kita senang-senang saja karena kita akan mengalami perubahan.

(Hariyanto said : Atau justru yang terakhir itu yang membahagiakan ya ... ?)

Berarti ..ya ... Allah sendiri kan di Sigi ... satu keluarga dibunuh ... kalau Allah mengidzinkan kan nggak terjadi ! Ada gereja dibakar kalau Allah nggak mengidzinkan kan nggak terjadi !  Kalau itu bagian dari Idzin Allah, Siapa yang bisa mengatakan ... Jangankan  mungkin BUKAN IDZIN TAPI PERINTAH. Perintah Allah kan tidak harus ayat, Perintah Allah akan bisa langsung masuk ke dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu gitu.

Jadi kalau kita ya SEDERHANA saja.  Kita tetap bernafas, kita tetap bekerja, kita berkeluarga, tetap berjalan, tetap melangsungkan kehidupan dengan LANDASAN BISMILLAHIRROHMANIRROHIM.

Itu kalau kita begitu. Jadi .... semua ini kita kita senang-senang aja, kita husnuzh-zhonon aja. Saya tidak menuduh, saya tidak mengecam, saya tidak mengutuk ya .. ya ... Karena kalau ngomong apa yang dilakukan di SIGI itu adalah DI LUAR BATAS KEMANUSIAAN. Emang yang mana yang TIDAK KELUAR DARI BATAS KEMANUSIAAN "wong ...endas manusia koq ! Jadi politik struktural, sistemik yang menindas rakyat itu kan Di Luar Batas kemanusiaan juga. JADI ITU DI ANGGAP KEWAJARAN kayak gitu. Jadi ... Jadi yang ANEH, KEMANUSIAAN sudah kita DIRUMUSKAN ?

Emang manusia bisa tahu kemanusiaan ? Yang terjadi kan hanya mengamati gejala-gejala kejiwaan jiwa manusia. Siapa yang bisa kita tanyain mengenai keutuhan jiwa manusia jiwa manusia ? Jiwa itu apa sih ? JIWA itu DIRINYA, DIRI JIWA ITU SENDIRI, apakah DIA BAGIAN DARI JIWA YANG BESAR. UMMATAN WAHIDAH, MIN NAFSIN WAACHIDATIN atau tidak.

Kalau menurut Islam kan semua itu bagian dari Jiwanya Allah sendiri, Ruhnya Allah Sendiri dan tidak mungkin ada yang lain kecuali Ruh Allah. Jadi kalau kita sudah sampai di situ, bagaimana ilmu Ilmu modern bisa menjawab.

Jadi ... Sekali lagi ... Saya husnuzh-zhon dan saya seneng seneng aja,  meskipun tetep berduka cita secara secara horizontal kepada semua korbannya. Dan saya juga tidak lantas menyetujui PEMBUNUHAN, menyetujui QITAAL dan seterusnya ya. Tetapi tetapi kita melihatnya ... dengan spektrum, spektrum prespektif 2-3 2-3. Saya kira kita bisa bergembira,  bisa optimis optimis aja ... ! Berarti emang ada sesuatu yang akan BERUBAH DI DUNIA INI

(Helmi said :kalau saya tertarik yang prespektif ketika itu mas Haryanto yaitu menyebutnya LANGIT Itu ya artinya salah satu maknanya adalah ... Segala sesuatu yang terjadi ini, bisa merupakan BI IDZNILLAAH)

Kalau di Maiyah, kan ada ... Ada AMRULLAH, ada IDZNILLAAH, ada ILMULLOH ... Jadi ada YANG DIKETAHUI ALLAH, ada YANG DIPERINTAHKAN ALLAH, ada YANG DIBIARKAN ALLAH (Istidraj)

(Helmi said : Dalam kontek itu,  kejadian yang menimpa umat Islam secara global, di mana FITURNYA SECARA UMUM umat Islam ini masih, dalam KONDISI apa ya .... Boleh dikatakan KALAH oleh KEKUATAN GLOBAL, DITINDAS atau.... kalau dalam kontek media kita selalu DISALAHPAHAMI ... DIBIKIN CITRANYA BURUK, yang  ISLAMOPHOBI atau yang disebut dengan Islamophobi. Dan juga pada saat yang sama kawasan-kawasan, yang disebut sebagai NEGARA NEGARA MUSLIM seperti di Timur Tengah juga mengalami kekacauan atau porak-poranda seperti itu. Nah ... kalau itu kita baca dalam perspektif BI IDZNILLAH, akhirnya kejadian atau fenomena yang menimpa umat Islam itu sebenarnya, apakah bisa dianggap merupakan TAMPARAN atau KRITIK oleh Allah terhadap diri umat Islam itu sendiri ?  Yang mungkin umat Islam itu, apa hmmat Islam itu kurang solid,  kurang sungguh-sungguh, atau paling tidak... secara awam bisa dikatakan enggak kompak mereka itu).

Nggak ada umat Islam itu ... tidak ada.. !  Maksudnya Mas Helmi begitu kan ....

Saya menyebutnya dari kata ummun. Ummun itu yang di ... yang di minum itu SUSU YANG SAMA ... SEPER-IBUAN.  Jadi ummat itu ada saudara SEPER-IBUAN. Susu ini kan saya ibaratkan sebagai nilai-nilai Islam melalui RASULULLAH yang kita "NYUCUP" bersama-sama, Maka kita jadi satu ummat. Sekarang kab nggak ada. Ada ummat NU, ada ummat  Muhammadiyah dan ada ummat Wahhabi, ada ummat Maiyah ada ummat segala macam. Meskipun kita tidak pernah bersikap bermusuhan kepada siapapun, itu. Ya tapi kan TIDAK ADA UMAT ISLAM, yang ada adalah KELOMPOK DALAM LINGKUP BENDERA ISLAM. Tetapi tidak ada ummat Islam.

(Haryanti said : Dan ketika disampaikan bahwa kondisi ummat Islam tertindas, kondisi ummat Islam terzholimi,  yang ndak terima itu justru dari Islam itu sendiri. Lha iya !)

Tidak hanya antar umat Islam, antar habib pun begitu, antar Ulama pun begitu, yang satu pro rezim, yang satu anti rezim, yang satu mengamuk, yang satu shabar,  yang .... padahal yang namanya MARAH DAN SABAR itu kan 2 hal yang ada PROPORSINYA, ADA MAQOMATNYA, ADA TEMPATNYA.

Kalau marah pada posisi yang  "secara silaturahmi" tidak seharusnya marah kan ! Menjadi BURUK marah itu. Tetapi kalau anda ... misalnya saya bawa fotonya Bapaknya Helmi itu lalu saya ludahin 3 kali terus saya injak injak, terus Helmi tidak marah, itu  kan tidak pada tempatnya ! Itu kan setengahnya WAJIB MARAH kan.

Tetapi gini Mas Helmi, dari seluruh ketidakadilan Global kepada Ummat Islam dan Nilai Islam. Kalau saya nomor satu malah nilai islam.

Akhir-akhir ini saja orang mulai ... mulai dapat Hidayah di Amerika di Eropa ... Tapi ... tapi sebenarnya secara menyeluruh semuanya masih tidak adil kepada nilai Islam. Dari cara berpikir ilmuwan kepada nilai-nilai Islam itu juga tidak objektif, tidak punya semangat, tidak punya kesungguhan dan hanya berbekal pada phobi phobi tertentu yang itu. Tapi menurut saya yang utama itu terhadap nilai Islam, akibatnya kepada ummat Islam.

Nah ... tetapi kalau kita ngomong keseluruhan tadi kenapa ? Sampai muncul SIGI muncul yang disebut TERORISME. Terorisme ini juga relatif ya ... Bagi yang ...yang disebut teroris, rezim itu yang melakukan terorisme adalah pemerintah.

Terorisme itu sudah sama dengan teori penjajah. Penjajahan itu tak hanya fisik, tapi juga bisa fikiran dan bisa hati, bisa tata nilai, bisa segala macam. 

Nah kalau kita lihat secara keseluruhan bahwa umat Islam tidak tangguh tidak sungguh-sungguh, tidak kompak dan seterusnya. Itu semua adalah bagian dari keprihatinan kita sehari-hari dalam setiap Shalat kita dan doa-doa kita.

Tapi tadi saya bilang sama Mas ... tapi sekarang kalau ngomong gini, " Har ...Helmi ...  kamu tuh kurang apa toh ? Dalam keadaan Covid,  kamu masih bisa makan, masih bisa ngerokok, masih enak sama istri, aman dimana mana, kamu tetep normal hidupmu, cuman pakai masker itu ya.

Tapi kan ... apa yang yang kamu menderita itu, apa juga kamu sekarang menuntut kepada-KU kata Allah ? Misalnya itu yang dibanding Nabi Muhammad, coba bandingkan ! Apakah kamu punya cucu yang dipenggal kepalanya seperti Husein dipenggal kepalanya ? Apakah kamu pernah menderita seperti Muhammad,  dilempar batu di Thoif seperti Muhammad ?

Jadi kalau dibandingkan dengan Muhammad, ndak ada sekuku hitamnya penderitaan Rosulullooh. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dan bergembira, gitu kan ? Tapi saya tidak mengatakan bahwa ini semua OKE OKE OKE, itu semua ...Tapi itu tidak mengurangi rasa syukur kita kepada Allah, karena bagaimanapun kita masih mandi pagi kok, airnya masih lancar juga,  bisa pakai air anget sekali-sekali, kan gitu ?  Kita masih bisa makan, masih beli lotek siang ini ya toh ? Kita masih OK koq ! 

Saya kira ... Saya kira ... Saya kira, bisa kita tidak nambah KEMARAHAN, tidak tidak nambah AMMAROH BISSSU' , kita juga menyelamatkan diri,  menyelamatkan diri dari kecenderungan LAWWAMAH, agar supaya kita mampu MUTHMAINNAH. Karena nanti Allah yang dipanggil Allah Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah Irji'ii Ilaa Ribbiki Roodhiyatan Mardhiyyah .... Gampangannya kalau ngelihat kalimat ini, yang nggak Muthmainnah nggak dipanggil.

Jadi yang ngelayap ngelayap nggak di panggil Allah, karena yang dipanggil Allah ... Yaa Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah Irji'ii Ilaa Ribbiki Roodhiyatan Mardhiyyah ... Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu Dengan Ridho Diridhoi ...  Assalaamu 'Alaykum Wa Rochmatullooh Wa Barakaatuh ..

Selesai