Mengenai pengakuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak menyerahkan salinan ijazah Presiden Joko Widodo ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyoroti beberapa aspek krusial terkait transparansi, akuntabilitas administrasi negara, dan penafsiran regulasi kearsipan:
1. Penafsiran Regulasi yang Bermasalah
KPU berdalih bahwa penyerahan salinan ijazah Jokowi tidak wajib karena tidak diatur secara eksplisit dalam Peraturan KPU (PKPU). Pihak KPU menyatakan bahwa mereka menafsirkan sendiri aturan tersebut, yang kemudian dikritik oleh hakim Komisi Informasi Pusat (KIP) sebagai "tafsir sendiri".
Analisis: Penafsiran sepihak oleh KPU ini menunjukkan kelemahan dalam pemahaman atau implementasi regulasi kearsipan yang lebih tinggi, yaitu UU Kearsipan. Seharusnya, sebagai badan publik, KPU wajib mengacu pada hierarki hukum yang lebih tinggi, bukan hanya terpaku pada PKPU. Dokumen pencalonan presiden, termasuk ijazah, adalah dokumen penting negara yang memiliki nilai sejarah dan hukum, sehingga logikanya harus dikelola sebagai arsip statis.
2. Inkonsistensi Pelaksanaan Kewajiban Kearsipan
UU Kearsipan dan peraturan terkait menegaskan bahwa arsip statis (arsip yang retensinya telah habis dan memiliki nilai guna kesejarahan) wajib diserahkan oleh pencipta arsip (KPU) kepada ANRI.
Analisis: Pengakuan KPU bahwa dokumen tersebut tidak diserahkan ke ANRI menunjukkan adanya inkonsistensi atau kelalaian dalam menjalankan kewajiban kearsipan. Meskipun KPU pada kesempatan lain pernah menyerahkan arsip statis Pemilu sebagai wujud kesadaran sejarah, dalam kasus ini, penyerahan dokumen spesifik capres Jokowi justru tidak dilakukan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai standar operasional prosedur KPU dalam pengelolaan arsip pencalonan.
3. Dampak terhadap Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Kasus ini bermula dari sengketa informasi publik di KIP, di mana pemohon (Bonatua) meminta akses informasi tersebut dari ANRI. ANRI menyatakan tidak menguasai informasi tersebut, yang mengindikasikan bahwa arsipnya memang tidak diserahkan oleh KPU.
Analisis: Ketiadaan arsip penting di lembaga kearsipan negara seperti ANRI merugikan prinsip keterbukaan informasi dan akuntabilitas publik. Dokumen syarat pencalonan presiden adalah informasi publik yang vital untuk menguji rekam jejak pejabat publik. Ketiadaan dokumen ini di ANRI mempersulit masyarakat untuk mengakses informasi yang sah dan terverifikasi, serta membuka ruang bagi spekulasi dan polemik berkepanjangan di masyarakat, seperti isu ijazah palsu.
Kesimpulan
Ulasan saya adalah bahwa tindakan KPU yang tidak menyerahkan salinan ijazah Presiden Jokowi ke ANRI, dengan alasan "tafsir sendiri" bahwa hal itu tidak wajib, menunjukkan kelemahan tata kelola kearsipan dan administrasi publik. Idealnya, semua dokumen pencalonan presiden harus diperlakukan sebagai arsip statis yang wajib diserahkan ke ANRI sesuai UU Kearsipan, untuk menjamin transparansi dan kedaulatan arsip negara di masa mendatang. Putusan hakim KIP ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk memperjelas dan menegakkan aturan kearsipan bagi semua badan publik di Indonesia.
Hilangnya Kendali Kedaulatan atas Arsip Pemilu: Saatnya ANRI Memiliki Daya Paksa







0 komentar:
Posting Komentar