Baru baru ini di sita sebesar lebih dari 13 Triliun oleh Kejagung
Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini telah menyerahkan uang sitaan sebesar lebih dari Rp 13 triliun (tepatnya sekitar Rp 13,25 triliun) kepada negara.
Dana tersebut merupakan uang pengganti kerugian negara dari kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya yang terjadi pada tahun 2021-2022.
Beberapa poin penting terkait penyitaan ini:
Kasus Melibatkan Korporasi Besar: Uang sitaan tersebut berasal dari tiga grup korporasi besar, yaitu Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Total Kerugian Negara: Total kerugian perekonomian negara dalam kasus ini mencapai sekitar Rp 17 triliun. Jumlah Rp 13,25 triliun yang diserahkan merupakan sebagian dari total kerugian tersebut.
Penyerahan Resmi: Penyerahan uang sitaan ini dilakukan secara simbolis oleh Jaksa Agung kepada Menteri Keuangan dan disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2025 lalu.
Masuk Kas Negara: Dana yang diserahkan akan langsung masuk ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan akan digunakan untuk kepentingan masyarakat.
Kejagung masih mengejar sisa kerugian negara yang belum dibayarkan oleh pihak terkait, dengan ancaman penyitaan aset tambahan jika pembayaran tidak dilakukan tepat waktu.
*
Ketiga grup korporasi besar tersebut dimiliki oleh beberapa tokoh konglomerat ternama di Indonesia dan Singapura:
1. Wilmar Group
Wilmar Group didirikan bersama oleh dua pebisnis ulung:
Kuok Khoon Hong: Seorang konglomerat asal Singapura yang menjabat sebagai Chairman dan CEO Wilmar International.
Martua Sitorus: Seorang pengusaha asal Indonesia (Medan, Sumatera Utara) yang juga dikenal sebagai salah satu pendiri dan orang terkaya di Indonesia.
2. Musim Mas Group
Musim Mas Group adalah bisnis keluarga yang dikendalikan oleh:
Bachtiar Karim: Beliau adalah generasi kedua yang memimpin grup ini, mengambil alih dari ayahnya, Anwar Karim. Bachtiar Karim dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia yang fokus pada bisnis kelapa sawit terintegrasi.
3. Permata Hijau Group
Informasi mengenai struktur kepemilikan Permata Hijau Group di ranah publik tidak sejelas Wilmar dan Musim Mas, namun grup ini merupakan salah satu pemain utama dalam industri minyak sawit Indonesia. Para direktur dari grup ini memberikan kesaksian dalam persidangan terkait kasus CPO, namun detail mengenai pemilik utama atau pendiri yang mengendalikan penuh perusahaan ini cenderung lebih privat dibandingkan dua grup lainnya.
Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus korupsi ekspor CPO ini, yang menjadi terdakwa adalah korporasi itu sendiri, diwakili oleh perwakilan atau pejabat di tingkat manajerial (seperti tim legal Wilmar Group) yang dinilai bersalah secara hukum, bukan serta merta para pemilik di level tertinggi yang disebutkan di atas, meskipun uang sitaan berasal dari keuntungan perusahaan mereka.
Praktik korupsi tersebut dapat terjadi melalui kolusi antara pihak swasta (perusahaan-perusahaan sawit) dengan pejabat di Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Berikut adalah rincian bagaimana modus operandi tersebut dilakukan dan siapa pejabat yang terlibat:
Modus Korupsi
Perusahaan-perusahaan eksportir CPO, termasuk Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group, ingin mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari pemerintah. Namun, pada saat itu, pemerintah sedang menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), yang mewajibkan eksportir untuk memasok sebagian produksi minyak sawit mentah (CPO) mereka ke pasar domestik (dalam negeri) dengan harga murah, untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Modusnya adalah:
Pelanggaran Aturan DMO: Ketiga grup korporasi tersebut diduga tidak memenuhi kewajiban DMO mereka, atau hanya memenuhinya sebagian kecil.
Kongkalikong dengan Pejabat: Meskipun tidak memenuhi syarat DMO, perusahaan-perusahaan ini tetap berhasil memperoleh PE dari Kemendag melalui kerja sama (kongkalikong) dengan oknum pejabat di kementerian tersebut.
Keuntungan Ilegal: Dengan mendapatkan izin ekspor secara ilegal, perusahaan-perusahaan ini dapat mengekspor CPO mereka dan meraup keuntungan besar dari pasar internasional, sementara pasokan minyak goreng di dalam negeri menjadi langka dan mahal.
Pejabat yang Terhubung
Pejabat kunci yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan divonis bersalah dalam kasus ini adalah:
Indrasari Wisnu Wardhana (IWW): Mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kementerian Perdagangan.
Peran Indrasari Wisnu Wardhana: Diduga berperan dalam menerbitkan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya kepada perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun mereka tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam kebijakan DMO.
Selain pejabat Kemendag, ada juga keterlibatan pihak internal perusahaan yang menjadi terdakwa, salah satunya adalah:
Muhammad Syafei (MS): Tim Legal atau Kepala Bagian Keamanan Sosial dan Perizinan Wilmar Group. Beliau belakangan menjadi tersangka dalam kasus suap terpisah, yang bertujuan memengaruhi vonis hakim dalam perkara korupsi ekspor CPO ini.
Secara ringkas, bisnis kotor ini bisa lolos karena adanya suap dan penyalahgunaan wewenang pejabat pemerintah untuk memberikan fasilitas ekspor ilegal yang melanggar kebijakan negara.
PENYEBAB
Menurut para ahli ekonomi di Indonesia, inti penyebab dari persoalan korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan kelangkaan minyak goreng pada tahun 2022 adalah kombinasi dari kelemahan sistemik dalam tata kelola kebijakan perdagangan, inkonsistensi kebijakan pemerintah, dan adanya kolusi antara birokrat dengan oligarki sawit.
Beberapa faktor utama yang diidentifikasi oleh para ahli ekonomi dan lembaga terkait (seperti ICW) meliputi:
Inkonsistensi dan "Sesat" Kebijakan: Kebijakan pemerintah, terutama terkait Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO), dinilai tidak konsisten dan tidak efektif dalam menjamin pasokan domestik. Inkonsistensi ini menciptakan celah (opportunity) yang dapat dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi.
Lemahnya Sistem Pengawasan: Adanya kelemahan dalam sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, memungkinkan terjadinya manipulasi data dan penyimpangan dalam proses perizinan ekspor CPO..
Keserakahan dan Kolusi Oligarki: Para ahli menyoroti aspek moral dan perilaku, di mana greed (keserakahan) menjadi motif utama, didorong oleh hasrat untuk menimbun kekayaan materi berlebih. Hal ini terwujud dalam bentuk kolusi antara pihak swasta (korporasi besar/oligarki sawit) dengan pejabat pemerintahan untuk memanipulasi izin ekspor demi keuntungan finansial, meskipun menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga di pasar domestik.
Tidak Efektifnya Penegakan Hukum: Adanya anggapan bahwa penegakan hukum yang lemah atau adanya intervensi politik membuat para pelaku korupsi merasa aman dan berani melakukan tindakan pidana, termasuk dalam kasus ini yang sempat diwarnai vonis bebas di tingkat pengadilan pertama.
Kurangnya Transparansi: Ketiadaan transparansi yang memadai dalam manajemen keuangan dan perumusan kebijakan publik, khususnya di sektor strategis seperti industri kelapa sawit, turut membuka ruang bagi praktik korupsi.
Secara ringkas, kasus ini dipandang sebagai contoh klasik kegagalan sistemik yang menciptakan peluang bagi segelintir pihak untuk mengambil keuntungan dari kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang pada akhirnya merugikan perekonomian negara secara keseluruhan dan menyengsarakan rakyat.
PENANGANAN
Para ahli ekonomi, baik dari Indonesia maupun internasional,
merekomendasikan pendekatan komprehensif yang berfokus pada perbaikan sistemik, peningkatan transparansi, dan penegakan hukum yang konsisten untuk mengatasi masalah korupsi seperti kasus CPO. Berikut adalah solusi utama yang mereka usulkan:
1. Reformasi Kebijakan dan Tata Kelola Sektor Perdagangan
Penyederhanaan Prosedur Perizinan: Mengurangi birokrasi dan diskresi (kewenangan) pejabat dalam proses perizinan ekspor-impor sangat penting untuk menutup celah suap. Proses yang transparan dan efisien dapat meminimalkan interaksi langsung yang rawan korupsi.
Konsistensi Kebijakan: Inkonsistensi dalam kebijakan seperti DMO/DPO (kewajiban pasar domestik/harga domestik) menciptakan ketidakpastian dan peluang manipulasi. Kebijakan harus jelas, terukur, dan konsisten untuk memastikan stabilitas pasar sekaligus mencegah pencarian rente (rent-seeking behavior) oleh perusahaan.
Penggunaan Mekanisme Pasar: Beberapa ekonom menyarankan untuk lebih mengandalkan mekanisme harga berbasis pasar dan mengurangi intervensi pemerintah yang berlebihan, yang sering kali mendistorsi pasar dan membuka peluang korupsi.
2. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
Sistem Satu Pintu (Single Window System): Mengimplementasikan sistem perizinan terintegrasi secara elektronik (seperti Indonesia National Single Window/INSW) yang mencatat semua data dan transaksi secara transparan, sehingga memudahkan pengawasan.
Keterbukaan Data: Memastikan data penting terkait produksi, stok, permintaan domestik, dan kuota ekspor dapat diakses oleh publik dan diaudit secara independen. Hal ini memungkinkan partisipasi masyarakat dan pengawas eksternal (seperti organisasi masyarakat sipil) untuk memantau dan melaporkan penyimpangan.
Reformasi Birokrasi: Memperbaiki tata kelola pemerintahan dengan menerapkan reformasi birokrasi yang berfokus pada pembangunan integritas, peningkatan kualitas layanan publik, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
3. Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten
Hukuman yang Proporsional dan Konsisten: Para ahli menekankan pentingnya hukuman yang setimpal, cepat, dan pasti bagi pelaku korupsi (baik individu maupun korporasi) untuk menciptakan efek jera.
Penargetan Aktor Korporasi: Penegakan hukum harus menjangkau pengendali utama (corporate controllers) dari perusahaan yang terlibat, bukan hanya pejabat tingkat bawah. Penyitaan aset hasil korupsi juga harus dimaksimalkan.
Kerja Sama Internasional: Mengingat rantai pasokan global, kerja sama internasional penting untuk menelusuri aset di luar negeri (denying safe haven) dan memastikan standar anti-korupsi di pasar global, seperti yang disoroti dalam kaitan dengan regulasi Uni Eropa.
4. Peningkatan Peran Sektor Swasta dan Masyarakat
Partisipasi Masyarakat: Melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengawasan dan pelaporan kasus korupsi, serta melindungi pelapor dari ancaman dan pembalasan.
Etika Bisnis: Mendorong perusahaan di industri sawit untuk menerapkan kebijakan anti-korupsi yang kuat dan berpartisipasi dalam aksi kolektif untuk menciptakan lingkungan bisnis yang berintegritas.
Sertifikasi Berkelanjutan: Mendukung skema sertifikasi seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang menerapkan standar ketat terkait transparansi dan keberlanjutan untuk menekan risiko korupsi dalam rantai pasokan.
Secara keseluruhan, solusinya adalah mengubah lingkungan yang memungkinkan korupsi (kelemahan sistem dan kebijakan) dan pada saat yang sama meningkatkan risiko serta konsekuensi bagi para pelaku korupsi (penegakan hukum yang kuat dan partisipasi publik).
Apakah korupsi dimana uang yang sudah tersimpan oleh para koruptor akan dapat tidak bermanfaat jika dilakukan pengubahan 3 angka 0 (:100.000 menjadi 100 rupiah) ?
Melakukan redenominasi (pengubahan 3 angka nol, misalnya dari Rp100.000 menjadi Rp100) tidak secara langsung menyelesaikan masalah uang hasil korupsi yang sudah tersimpan.
Menurut para ahli ekonomi dan praktisi hukum, redenominasi mata uang hanya mengubah nilai nominal uang, bukan daya beli atau kepemilikan aset. Uang yang disimpan oleh koruptor akan tetap bernilai sama secara riil, hanya saja jumlah digitnya berkurang.
Berikut penjelasannya:
Nilai Riil Tetap Sama: Jika Rp100.000 menjadi Rp100 setelah redenominasi, maka semua harga barang dan nilai aset (rumah, mobil, saham) juga akan dibagi 1.000. Uang Rp13 triliun sitaan Kejagung akan menjadi Rp13 miliar, tetapi daya belinya tetap sama.
Redenominasi Hanya Penyesuaian Administrasi: Tujuan utama redenominasi adalah menyederhanakan administrasi keuangan dan transaksi, bukan untuk melenyapkan kekayaan ilegal.
Masalah Utama adalah Legalitas Aset: Masalah utama uang koruptor adalah legalitas sumber dan kepemilikan aset tersebut. Selama uang itu masih tersembunyi atau sudah diubah menjadi aset yang sah di mata hukum, angkanya mau berapa nol pun tidak mengubah status ilegalnya.
Pentingnya Pelacakan dan Penyitaan Aset: Cara efektif untuk mengatasi uang hasil korupsi adalah melalui penegakan hukum yang kuat, seperti:
Pelacakan Aset (Asset Tracing): Menemukan di mana uang tersebut disembunyikan atau diinvestasikan.
Penyitaan (Asset Forfeiture): Menyita aset tersebut secara paksa berdasarkan putusan pengadilan.
Pencucian Uang (Money Laundering): Menjerat para koruptor dengan UU Pencucian Uang untuk merampas aset mereka.
Jadi, redenominasi tidak akan membuat uang korupsi "tidak bermanfaat" atau hilang begitu saja. Langkah penegakan hukum lah yang dapat memastikan aset ilegal tersebut kembali ke negara.
*
Wajib menukarkan uang tunai (cash) dalam periode waktu tertentu selama proses redenominasi dapat membuat uang yang disimpan oleh para koruptor (yang disimpan secara tunai dan tidak di bank) menjadi tidak bernilai atau tidak bermanfaat jika mereka tidak berani menukarkannya.
Berikut cara kerjanya dan alasannya:
Bagaimana Skema Ini Bekerja?
Dalam proses redenominasi yang sukses, Bank Indonesia (BI) akan menetapkan masa transisi di mana uang lama (nilai besar) masih berlaku bersamaan dengan uang baru (nilai kecil). Setelah masa transisi berakhir, uang lama secara hukum dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah (demonetisasi parsial).
Agar uang lama yang dimiliki koruptor tetap bernilai, mereka harus menukarkannya di bank.
Mengapa Uang Koruptor Menjadi Tidak Bermanfaat?
Poin krusialnya terletak pada kewajiban melapor dan transparansi:
"Kepanikan" Koruptor (Ketar-ketir): Uang tunai dalam jumlah sangat besar yang disimpan di luar sistem perbankan (di brankas, di rumah, dll.) adalah uang "ilegal" atau "hitam" yang tidak tercatat. Saat menukarkan uang dalam jumlah besar di bank, pemilik dana akan diminta untuk mengisi formulir dan melaporkan sumber dana tersebut.
Terendus oleh PPATK dan Aparat Hukum: Proses penukaran uang tunai dalam jumlah besar akan memicu laporan transaksi mencurigakan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan otoritas hukum terkait (KPK, Kejaksaan, Polri).
Tidak Berani Menukar: Karena takut sumber uangnya terungkap dan mereka terjerat kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), para koruptor cenderung memilih untuk tidak menukarkan uang tunai tersebut.
Uang Menjadi Kertas Tak Bernilai: Jika batas waktu penukaran uang lama habis dan uang tersebut tidak ditukarkan, uang tersebut otomatis menjadi tumpukan kertas yang tidak memiliki nilai ekonomi dan tidak dapat digunakan untuk transaksi apa pun.
Kesimpulan
Redenominasi dengan skema penukaran uang tunai secara wajib dan dalam jangka waktu terbatas berfungsi sebagai senjata ampuh non-hukum untuk menekan para koruptor yang menimbun uang tunai ilegal. Ini menciptakan dilema besar bagi mereka: menukar uang dan berisiko dipenjara, atau membiarkan uangnya hangus dan kehilangan kekayaannya.
*
Redenominasi rupiah secara menyeluruh sebenarnya tidak secara langsung membiayai pengeluaran besar-besaran oleh pemerintah. Redenominasi adalah kebijakan moneter yang bersifat administratif, bukan fiskal.
Berikut penjelasannya:
1. Redenominasi Bukan Sumber Pendapatan Negara
Redenominasi adalah tindakan menyederhanakan pecahan mata uang dengan menghilangkan beberapa angka nol (misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1), tanpa mengubah nilai riil atau daya beli masyarakat.
Bukan Mencetak Uang Baru: Proses ini tidak menambah jumlah uang beredar atau kekayaan bersih negara.
Bukan Pajak Tersembunyi: Redenominasi tidak mengambil kekayaan dari masyarakat untuk mendanai proyek pemerintah.
2. Biaya yang Dikeluarkan Justru Besar
Sebaliknya, proses redenominasi secara menyeluruh justru membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Biaya-biaya tersebut meliputi:
Pencetakan Uang Baru: Biaya untuk mendesain, mencetak, dan mendistribusikan uang kertas dan koin baru dalam skala nasional.
Sosialisasi Besar-besaran: Kampanye publik yang intensif dan masif selama bertahun-tahun untuk mengedukasi masyarakat luas, dari perkotaan hingga pelosok desa, untuk mencegah kebingungan dan kepanikan.
Penyesuaian Sistem IT: Biaya penyesuaian sistem akuntansi, perbankan, mesin ATM, mesin kasir, dan semua perangkat lunak serta perangkat keras yang berhubungan dengan transaksi keuangan di seluruh Indonesia.
3. Pembiayaan Besar Berasal dari Kebijakan Fiskal dan Moneter Lain
Pembiayaan besar-besaran untuk proyek pembangunan atau pengeluaran pemerintah berasal dari sumber lain, seperti:
Pajak dan Penerimaan Negara: Sumber utama pembiayaan pemerintah.
Utang Pemerintah: Menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik maupun internasional.
Bantuan Luar Negeri.
Kesimpulan
Redenominasi rupiah secara menyeluruh tidak akan memungkinkan pembiayaan yang besar-besaran karena:
Redenominasi hanyalah penyesuaian nilai nominal, bukan penciptaan kekayaan.
Prosesnya sendiri justru memakan biaya operasional dan logistik yang sangat besar.
Uang rampasan hasil tindak pidana korupsi yang berhasil disita dan dikembalikan ke negara oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Polri, disetorkan langsung ke kas negara dan menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berikut adalah alur dan penggunaannya secara lebih rinci:
1. Disetorkan ke Kas Negara sebagai PNBP
Secara administratif keuangan, uang hasil rampasan korupsi dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Aset yang disita (baik uang tunai, hasil lelang properti, kendaraan, saham, dan lain-lain) akan dilelang atau dimasukkan ke rekening negara setelah melalui proses hukum yang inkrah (berkekuatan hukum tetap).
2. Menjadi Bagian dari APBN
Setelah masuk ke kas negara, dana tersebut bercampur dengan sumber pendapatan negara lainnya (seperti pajak, bea cukai, dan PNBP lain) dan digunakan kembali untuk membiayai program-program pembangunan nasional yang telah dianggarkan dalam APBN.
Penggunaan dana tersebut meliputi:
Pembangunan Infrastruktur: Membiayai pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, dan fasilitas publik lainnya.
Pelayanan Publik: Mendanai sektor pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial untuk masyarakat miskin.
Operasional Negara: Membiayai gaji pegawai negeri, TNI, Polri, dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari.
3. Digunakan Kembali untuk Pemberantasan Korupsi (Opsional)
Meskipun secara umum masuk ke APBN, ada wacana atau mekanisme tidak langsung di mana sebagian dari dana tersebut digunakan kembali untuk mendukung operasional lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri, dalam bentuk alokasi anggaran tahunan mereka, sehingga siklus pemberantasan korupsi dapat terus berjalan.
Kesimpulan
Uang rampasan korupsi tidak disimpan dalam "dana khusus" terpisah, melainkan dikembalikan ke fungsi asalnya, yaitu untuk kesejahteraan rakyat melalui pembiayaan berbagai program pemerintah yang tertuang dalam APBN.






0 komentar:
Posting Komentar