Senin, 30 Oktober 2023

QORIN - ARWAAH - ASROOR

 

QORIN

Qorin merupakan istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada malaikat dan jin (golongan Syethan) yang mendampingi setiap orang atau manusia. Istilah ini digunakan di dalam Al-Quran dan dikatakan bahwa jin qorin itu mengikuti manusia sejak lahir hingga meninggal.

Adapun fakta ini diperkuat dengan informasi dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya:

Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu, Nabi SAW bersabda:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ

“Setiap orang diantara kalian telah diutus untuknya seorang Qarin (pendamping) dari golongan jin. Para sahabat bertanya; ‘Termasuk Anda wahai Rasulullah? Beliau menjawab; Termasuk saya, hanya saja Allah membantuku untuk menentukannya sehingga dia masuk Islam. karena itu ia tidak memerintahkan kepadaku kecuali yang baik.”
(HR. Muslim 7286 & Ibnu Hibban 6417, dan yang lainnya).

Hadits inilah yang menjadi dalil ulama untuk menyatakan bahwa jin yang kafir, bisa saja masuk Islam. Seperti yang dialami oleh jin yang mendampingi Nabi SAW.

Syethan dari Kalangan Jin

Qorin termasuk Syethan dari kalangan jin. Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya dalam kitabnya berjudul Majmu’ Fatawa, “Apa itu qorin?”

Beliau menjawab, “Qorin adalah Syethan yang ditugasi untuk menyesatkan manusia dengan izin Allah. Dia bertugas memerintahkan kemungkaran dan mencegah yang ma’ruf. Sebagaimana yang Allah firmankan,

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَآءِ وَاللهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلاً وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Syethan menjanjikan kefakiran untuk kalian dan memerintahkan kemungkaran. Sementara Allah menjanjikan ampunan dan karunia dari-Nya. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 268)

Akan tetapi, jika Allah memberikan karunia kepada hamba-Nya berupa hati yang baik, jujur, selalu tunduk kepada Allah, lebih menginginkan akhirat dan tidak mementingkan dunia maka Allah akan menolongnya agar tidak terpengaruh gangguan jin ini, sehingga dia tidak mampu menyesatkannya.

Jin Qarin dan Malaikat Qarin Yang Mendampingi Manusia

JIN QARIN dan Malaikat Qarin Yang Mendampingi Manusia , pada umumnya JIN QARIN ini bertugas mendorong dampingannya untuk berbuat kejahatan. Dia membisikkan was-was, melalaikan shalat, berat ketika hendak membaca Al-Quran dan sebagainya. Dan ia bekerja sekuat tenaga untuk menghalang dampingannya membuat ibadah dan kebaikan.
Untuk mengimbangi adanya pendamping jahat, Allah mengutus Malaikat Qarin yang selalu membisikkan hal-hal kebenaran dan mengajak membuat kebaikan.

Dalam beberapa hadits dikatakan bahwa Jin Qarin yang mendampingi Muhammad telah memeluk Islam, sehingga Nabi Muhammad selalu terjaga dari kesalahan.

Al-Qur’an telah menjelaskan tentang adanya Qarin dalam surah Az Zukhruf . “ Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran). Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az Zukhruf 43:36) ”

Hadits mengenai Qarin pun telah dicatat oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim, Muhammad bersabda kepada Abdullah Mas’ud, “Setiap kamu ada Qarin daripada bangsa jin, dan juga Qarin daripada bangsa malaikat.

Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah, bahwa ketika tiba giliran Iblis untuk meminta, iapun berkata. “Ya Tuhanku, manusia (Adam) inilah yang telah Engkau muliakan atasku, kalau Engkau tidak memperhatikannya, aku tidak akan kuat menghadapinya.” Allah berfirman yang artinya. “Tidak akan dilahirkan seorang anak dari nya kecuali dilahirkan pula seorang anak dari bangsa kamu.” Iblis berkata lagi, “Ya Tuhanku, berilah tambahan kepadaku.”
Allah s.w.t. berfirman, “Kamu dapat berjalan berjalan ditubuh mereka seperti mengalirnya darah dan kamu dapat membuat hati mereka sebagai rumah-rumah untuk kamu.”

Yang dimaksud dengan qarin dalam surat Qaaf 50:27 ialah yang menyertai. Setiap manusia disertai “Qarin dari kalangan Jin”. Allah berfirman, artinya:
“ Yang menyertai dia (qarin) berkata pula: ‘Ya Tuhan kami, aku tidak menyesatkan tetapi dialah (manusia) yang berada dalam kesesatan yang jauh… (QS Qaaf 50:27) ”
Manusia dan qarinnya itu akan bersama-sama pada hari berhisab nanti.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Aisyah ra mengatakan: Rasulullah SAW keluar dari rumah pada malam hari, aku cemburu karenanya. Tak lama ia kembali dan menyaksikan tingkahku, lalu ia berkata: “Apakah kamu telah didatangi Syethan?” “Apakah Syethan bersamaku?” Jawabku, “Ya, bahkan setiap manusia.” Kata Nabi Muhammad SAW. “Termasuk engkau juga?” Tanyaku lagi. “Betul, tetapi Allah menolongku hingga aku selamat dari godaannya.” Jawab Nabi (HR Ahmad).

Berdasarkan hadits ini, Nabi Muhammad juga ternyata didampingi qarin. Hanya qarin itu tidak berkutik terhadapnya. Lalu bagaimana mendeteksi keberadaan jin (misalnya di rumah kita), apa tanda-tanda seseorang kemasukan jin? Tidak ada cara atau alat yang bisa mendeteksi keberadaan jin.

Tundukkan Qorinmu Sendiri

Sebab jin dalam wujud aslinya merupakan makhluk ghaib yang tidak mungkin dilihat manusia.“ Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. (Al-A’raf 7:27)

Manusia yang biasa tidak mampu melihat jin, melainkan mereka yang telah diizinkan Allah. Di dalam Al-Quran melarang sama sekali kita meminta pertolongan kepada Jin, ini membuktikan terdapat beberapa bilangan manusia yang mampu melihat dan berbicara dengan mereka.

Ada juga sesetengah ahli agama yang tersilap bicara diatas nafsu mereka seperti mengatakan Jin memakan asap padahal perkara ini tidak disebut sama sekali didalam Al-Quran.
“ …dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin. Maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (Al-Jin 72:6)

Lalu Bagaimana dengan kita, apakah qorin kita sudah menjadi Islam? atau qarin kita malah menyesatkan kita?

*

https://www.laduni.id/post/read/55216/antara-qarin-dan-arwah

ARWAH DAN ASROR

LADUNI.ID - Dalam bahasa modern dikenal istilah black box dan qarin itu black boxnya manusia. Yang sering kita mainkan dan yang sering dibawa kesana-kemari itu black boxnya. Seperti lagu dalam kaset ada tujuh belas lagu, misalnya, yang diputar terkadang hanya nomor enam dan nomer tiga. Terus saja berputar di situ-situ saja beberapa lagu yang tercatat di dalam qarin itu tadi. Tidak bisa kurang dan tidak bisa lebih. Sebab tugas black box itu merekam semua perilaku yang semisal, qarin sama kedudukannya.

(( Kotak hitam atau black box adalah sekumpulan perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi, umumnya merujuk kepada perekam data penerbangan (flight data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR) dalam pesawat terbang))

Maka sebagian Ahli Kasyaf (orang yang memiliki mata batin) jika berziarah ke ahli barzakh dia tahu ini muwakkal (perwakilan) atau ini qarinnya yang di sana. Sehingga para wali besar seperti Mbah Sholeh Bagusan Comal adalah termasuk dari ahli kasyaf yang luar biasa. Berangkat ziarah bersama rombongan. Begitu sampai di lokasi ziarah langsung ngajak pulang, "Balik ae balik ae, do balik, balik yo..."

Tapi ucapan Mbah Sholeh tersebut ada alasannya. "Balik ae balik, percuma ra ono wonge, percuma ra ono wonge, wes balik ae (Pulang saja, percuma tidak ada orangnya)". Mbah Sholeh hanya kirim Surat Al-fatihah lalu pulang. Sebab beliau tahu yang di situ tidak ada, arwahnya sedang kumpul bersama para wali lainnya ('ala masyrabahum); yang Syadziliyah berkumpul dengan arwahnya Imam asy-Syadzili, yang Qadiriyah berkumpul dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang Tijaniyah, yang Syathariyah, dst. kumpul dengan aimmat ath-thurufihim (para pimpinannya) yakni alladzi fihi al-madad min madad al-maula, kumpul bersama.

Ada para wali yang pulang ke kuburnya belum tentu sehari sekali atau seminggu sekali. Semisal ziarah ke Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni. Jika mau berziarah ke sana saat menjelang ba’da Shalat Fajar atau menjelang Shubuh, maka bisa bertemu dengan Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni di kuburnya. Selain Sabtu pagi tidak akan ketemu, sebab beliau masih berkumpul bersama Baginda Nabi Saw. Minal arwah junudun mujannadah (ruh-ruh itu laksana tentara yang berkumpul)**, dikumpulkan di situ.

Di situ (di maqam) yang menjadi muwakkal adalah para malaikat (bukan qarin) yang ditugasi menjaga kuburan wali tadi.

(Malaikat:) "Ada hajat apa?" (Peziarah:) "Saya hendak bertawasul dengan wali Allah." (Malaikat:) "Apa keperluannya?" (Peziarah:) "Mintakan pada Allah Swt. hajat saya begini dan begini..."

Malaikat itu lah nanti yang akan menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dengan seizin wali tadi. (Malaikat) "Ini tamunya banyak Kiai, tadi di kuburanmu ada fulan dan fulan..." (Wali) "Ya, keperluannya apa saja, dibacakan satu-satu..." Umpanya demikian. Kemudian oleh si wali dihaturkan permintaan-permintaan (doa) tadi kepada Allah Swt.

Kematian adalah sesuatu yang pasti terjadi. Tidak ada ruh yang bisa keluar dengan sendirinya. Tatkala Malaikat 'Izrail mencabut nyawa seorang hamba maka terlepaslah ruh dari jasadnya. Jika ada pertanyaan, banyak ritual yang konon bisa memanggil arwah dan bisa dimasukkan apakah itu termasuk asrar ?

Jawabannya bisa diimbangi dengan logika. Lihat neon-neon lampu, seumpama kaca/bohlamnya dicopot masih ada apinya atau tidak? Yang nyala itu kaca atau setrumnya? Setrum. Jika setrumnya masih ada tapi bohlamnya tidak ada maka apinya masih tetap ada. Demikianlah arwah tatkala keluar dari jasadnya.

نور العالم والأسرار فيه الأنوار

"Cahaya orang alim dan asrar di dalamnya ada cahaya-cahaya." Sebab ibadahnya seorang wali itu sehari bisa mengkhatamkan al-qur-aan sekian kali, Tahajjud sekian, sholawat sekian, dzikir sekian, dst. Inilah asror yang luar biasa.

Arwahnya ditarik tapi jasadnya masih di dalam kuburnya. Ada jasad yang masih terjaga utuh, sebab melanggengkan wudhu, atau ahli Tahajjud, lebih-lebih hafidz Al-Qur'an atau hablu Al-Qur'an, ini yang dijaga.

Sewaktu-waktu dia mendapat perintah oleh Allah Ta’ala untuk hadir saat kematian orang alim, atau saat negara genting, ruh itu diletakkan kembali kemudian bangun dari kuburnya ikut membela jihad fi sabilillah. Contohnya saat kematian Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, para wali dan syuhada' yang sudah wafat semuanya hadir untuk bertakziah kepada Umar bin Abdul Aziz.

Ada pula waktu itu ruh yang diizini Allah Swt. menghampiri ibunya yang masih hidup. Dia bersama rombongan diminta oleh para syuhada' ikut bertakziah ke Umar bin Abdul Aziz. Namun izinnya hanya itu, tidak diperkenankan mampir.

Jika jasad telah hancur maka arwah mutlak "nurun yatala’la abwa kal barqil khathif kal mir-ah", seperti pantulan kaca yang kemilau. Yang pada akhirnya ruh itu masuk ke dalam jasad seseorang, maka termasuk sebuah keberuntungan besar bagi orang tersebut. Ini membutuhkan jasad yang betul-betul kuat. Jadi istilah memanggil arwah sebetulnya yang masuk adalah asrarnya, bukan ruh, semisal asrar para Wali Songo.

Berbeda dengan orang-orang ahli thariqah, maka madad min madadillah yang masuk. Allah Ta’ala memberikan madad kepada Nabi SAW, lalu para sahabat, kemudian kepada para imam thariqah. Itu berbeda karena haknya para wali, bukan masalah kesurupan atau kerasukan.

Semisal jika seorang (kiai) ahli thariqah akan wafat maka ruh-ruh suci akan hadir. Lalu dipersilakan olehnya layaknya menyambut tamu dan terkadang seperti sedang ngobrol sendiri. Seolah-olah kiai tersebut sedang zawalul ‘aqli (hilang akal). Padahal dia sedang melihat siapa saja yang akan menyaksikan dirinya kembali kehadirat Ilahi. Artinya dia sudah siap. Inilah yang dinamakan madad min madadillah. Sangat banyak para wali Allah yang mengalami demikian. Tapi jika ruh masuk ke dalam jasad manusia maka tidak ada nash yang kuat. Kalau asrar iya, betul, asrar dari ruh-ruh yang suci.

Adapun tawasulan berbeda lagi maksudnya. Di sini harus paham. Penyampaian asrar seperti di atas itu ya seperti wali itu sendiri. Artinya itu hak. Seolah-olah sama tapi tidak sama.

Semisal ditanyakan, ada yang kemasukan asrar tapi kenapa dawuh (perkataannya) tidak digugu/diikuti ? Mau diikuti bagaimana jika dirinya sendiri saja belum bisa membedakan antara malaikat dengan iblis. Seperti halnya seseorang yang mengaku ketemu wali fulan sedangkan dirinya saja belum bisa membedakan mana ruh yang mahfudz (dijaga) dan yang ghairul mahfudz (tidak dijaga). Sehingga banyak yang salah memahami sampai-sampai dia meninggalkan shalat seolah-olah sudah ditanggung.

Apalagi jika yang datang itu semisal berkata, "Kamu itu cucuku, bukan orang lain." Repotnya di situ. Itu yang ngomong siapa ? Sudah bisa membedakan apa belum ? Makanya jangan suka main-main dengan ilmu-ilmu seperti itu. Kalau belum waktunya tidak akan bisa. Tentang ini ada keterangan penting dalam Kitab Munjinat Al-Asrar Bab Khawash Surat Al-Ikhlas.

______

**
Dalam kitab Ihya' Ulumiddin halaman 159-160, Imam al-Ghazali memberikan ulasan menarik tentang hadits al-arwah junudun mujannadah, sebagai berikut:

الارواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف (*1) فالتناكر نتيجة التباين والائتلاف نتيجة التناسب الذى عبر عنه بالتعارف وفي بعض الالفاظ " الارواح جنود مجندة تلتقي فتتشام في الهواء (*2). وقد كنى بعض العلماء عن هذا بان قال ان الله تعالى خلق الارواح ففلق بعضها فلقا واطافها حول العرش فأى روحين من فلقتين تعارفا هناك فالتقيا تواصلا في الدنيا. وقال صلى الله عليه وسلم ان ارواح المؤمنين ليلتقيان علي مسيرة يوم وما رأى احدهما صاحبه قط (*3)

Ruh-ruh/jiwa itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya niscaya menyelaraskan (mudah bergaul atau saling menyesuaikan) dan yang bertentangan daripadanya niscaya saling menyelisihi (berseberangan ).".(1).

Kata "Tanakur/pertentangan" adalah natijah (hasil) dari perbedaan, dan "I'talaf/kejinakan" adalah hasil dari kesesuaian yang diibaratkan dengan "Ta'aruf" atau saling mengenal, atau berkenalan satu sama lain. Pada sebagian teks hadits di atas terdapat maksud yang mengindikasikan bahwa jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman di udara. (2).

Sebagian Ulama menyebutkan hal ini dengan cara kinayah atau sindiran dengan mengatakan, bahwa Allah Swt. menjadikan segala nyawa, maka dipecahkanNya sebagian dan dithawafkan di sekeliling Arsy. Maka mana diantara dua nyawa atau ruh dari dua pecahan yang berkenalan itu lalu bertemu sebagai kesinambungan terhadap perjumpaan keduanya di dunia. Nabi Saw. bersabda, "Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya." (3).

(1) HR. Imam Muslim dari Abi Hurairah dan Imam Bukhari meriwayatkan sebagai ulasan dari hadits Siti Aisyah).
(2) Hadits "Jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman di udara", Imam ath-Thabarani menyandarkan kelemahan hadits ini dari hadits Ali.
(3). Hadits "Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya", Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr dengan lafadz " تلتقى " dan berkata salah seorang dari mereka yang terdapat didalamnya Ibnu Luhai'ah dari Daraj. (footnote Ihya, Hal. 159, tentang makna "al-ikhwah fillah").

Oleh: Syaroni As-Samfuriy.

Disampaikan oleh Maulana HABIB LUTHFI bin Yahya dalam Pengajian Ramadhan di ndalem beliau, tahun 2016).

0 komentar:

Posting Komentar