Dalam banyak riwayat hadits, Nabi Muhammad SAW adalah teladan akhlak mulia. Hal itu terlihat ketika Rasulullah tetap mendoakan orang yang memusuhinya, menghormati jenazah orang Yahudi, bahkan hendak menshalatkan jenazah orang munafik sebelum Al-Qur’an turun menjelaskan larangannya.
Kasih sayang Rasulullah juga terlihat ketika beliau berhijrah dengan berjalan kaki menuju Thaif. Di kota itu, Rasul tinggal bersama Zaid bin Haritsah selama 10 hari. Di sanalah muncul optimisme bahwa masyarakat setempat akan menerima dakwah Islam.
Nabi bertatap muka dengan pembesar Bani Tsaqif: Abdi Talel, Khubaib dan Mas'ud. Kepada mereka kekasih Allah ini mengenalkan tauhid. Begitu tragis, utusan Allah ini justru menjadi target pelecehan, penghinaan, umpatan, yang diluapkan dengan kata-kata kotor.
Lebih dari itu, Rasul dilempari batu hingga terluka. Dalam kondisi terserang, Zaid melindungi Rasul hingga mengakibatkan kepalanya terluka. Keduanya melarikan diri ke kebun milik Utbah bin Ra bi'ah. Di sana mereka beristirahat dan mengobati luka. Ketika itu Rasulullah bermunajat kepada Allah SWT agar dirinya dikuatkan menghadapi cobaan yang begitu berat.
Allah SWT menjawab doa sang Nabi. Malaikat Jibril dan penjaga gunung mendatanginya. Jibril bertutur kepada sang Nabi,” Apakah engkau mau aku timpakan dua gunung kepada mereka (masyarakat Thaif)? Kalau itu kau inginkan maka akan aku lakukan.”
Namun, Rasulullah tidak menghendakinya. Bahkan dia mengharapkan Allah akan menciptakan generasi bertakwa yang lahir dari tulang rusuk masyarakat di sana. Kisah tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam haditsnya.
Teladan rahmah juga diperlihatkan Nabi SAW saat mendapati sikap gegabah putra Zaid bin Haritsah, yaitu Usama. Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim.
Usama bin Zaid bin Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya masih muda memergoki dan mengejarnya. Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh orang itu.
Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.
Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu.
Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang). (KH Nasaruddin Umar, Khutbah-khutbah Imam Besar, 2018)
Jawaban ini menunjukkan betapa tidak bolehnya memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain apalagi dengan mengafirkannya. Saling mengafirkan inilah yang menjadi fenomena umat Islam di zaman kini. Bahkan fenomena yang dilakukan oleh kelompok tertentu itu tidak hanya ditujukan kepada umat lain, tetapi juga ditujukan kepada sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan, dan lain-lain.
Jika seseorang secara formal telah mempersaksikan syahadatnya dengan terbuka, maka umat Islam tidak boleh lagi mengusiknya. Hal ini bukan berarti ketika dia masih kafir lalu umat Islam boleh mengusiknya. Umat Islam tetap harus menghargai dan menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan terus berperilaku dan berdakwah dengan cara sebaik-baiknya.
Soal ada pelanggaran lain, biarkan hukum formal yang akan menyelesaikannya. Atas langkah yang diambilnya itu, Usamah pun langsung memohon maaf kepada Rasulullah dan berjanji akan berhati-hati jika menemui peristiwa serupa di kemudian hari. Karena jika seseorang dieksekusi dengan tuduhan tertentu, maka yang turut menjadi korban adalah keluarga dekat orang tersebut.
RASULULLAH TEGUR ABU BAKAR KARENA MELAKNAT ORANG KAFIR
Nabi Muhammad selalu menjaga perkataan yang keluar dari lisannya, dalam segala situasi dan kondisi. Bahkan dalam keadaan marah sekalipun, beliau tidak pernah mengeluarkan ucapan-ucapan yang kotor, merendahkan, apalagi bernada melaknat. Sehingga tidak ada orang yang merasa tersakiti atau terhina dengan perkataan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad juga orang yang selalu menjaga kehormatan orang lain. Tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak layak dan membuat orang lain tersinggung –meskipun itu betul misalnya. Nabi lebih memilih menggunakan cara lainnya yang tidak membuat orang lain sakit hati. Beliau tahu betul cara menjaga perasaan dam kehormatan orang lain.
Nilai-nilai itu kemudian diajarkan kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad langsung mengingatkan apabila ada sahabatnya yang perkataannya menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain. Dalam hal ini, Nabi Muhammad pernah menegur Sayyidina Abu Bakar karena ucapannya membuat anak Sa’id bin Ash marah.
Dikutip dari buku Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun’im al-Hasyimi, 2018), suatu ketika Nabi Muhammad bersama dengan Sayyidina Abu Bakar, dua anak Sa’id bin Ash, dan beberapa sahabat lainnya pergi ke Thaif untuk suatu urusan. Di tengah jalan, rombongan melewati sebuah kuburan. Sayyidina Abu Bakar kemudian menanyakan siapa penghuni kuburan itu. Dijawab orang-orang, itu adalah kuburan Sa’id bin Ash.
Mengetahui itu kuburan Sa’id bin Ash, Sayyidina Abu Bakar berdoa kepada Allah agar melaknat penghuni kubur tersebut karena semasa hidupnya memerangi Allah dan Nabi Muhammad. Doa Sayyidina Abu Bakar itu membuat telinga Amr – salah satu anak Sa’id bin Ash yang ikut dalam rombongan -- memerah. Amr marah dan mengadukan hal itu kepada Nabi Muhammad.
Kepada Nabi Muhammad, Amr membandingkan kebaikan ayahnya dengan ayah Sayyidina Abu Bakar. Menurut dia, Sa’id bin Ash lebih banyak menolong orang yang kesusahan dari pada ayah Sayyidina Abu Bakar, Abu Quhafah.
“Wahai Rasulullah, ini adalah kuburan orang yang lebih banyak memberi makan dan banyak menolong orang yang kesusahan dibandingkan Abu Quhafah,” kata anak Sa’id bin Ash itu.
Nabi Muhammad kemudian melerai mereka. Di satu sisi, beliau meminta Amr untuk tidak meneruskan perselisihan itu. Di sisi lain, Nabi menasihati Sayyidina Abu Bakar agar menghindari kata-kata yang khsusus jika membicarakan orang kafir. Alasannya, agar anak-anak orang kafir yang dibicarakan itu tidak marah.
"Wahai Abu Bakar, bila kamu berbicara tentang orang kafir maka buatlah kalimat yang masih umum. Bila kamu menyebut seseorang secara khusus, maka anak-anaknya tentu akan marah,” kata Nabi Muhammad kepada Sayyidina Abu Bakar. Umat Islam tidak pernah lagi menjelek-jelekkan orang kafir setelah peristiwa itu. (Muchlishon)
MEMAHAMI AYAT 'RASULULLAH KERAS KEPADA ORANG KAFIR' SECARA TEPAT
Islam merupakan agama paripurna yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian, persaudaraan dan kerukunan. Namun, kadang karena ulah segelintir orang yang salah memahami, Islam tak jarang dianggap sebagai agama promotor kekerasan, perpecahan, dan kekacauan. Akibatnya, citra dan nama baiknya kerap mendapat stigma akibat sikap dan pemikiran keliru dari sebagian pemeluknya.
Ada ayat yang cukup populer dan sering menjadi "stempel" untuk membenci dan bersikap keras kepada mereka yang berlainan agama, yakni surat Al-Fath ayat 29 yang berbunyi:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Artinya, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS Al-Fath [48]: 29).
Ayat ini tak jarang dijadikan sebagai legitimasi dan bahan bakar untuk bersikap keras dan membenci orang-orang yang berbeda agama, meskipun mereka tidak mengganggu atau bahkan berbuat baik kepadanya. Benarkah sikap ini? Akibatnya, Islam akan terlihat sebagai agama teror dan beringas, sehingga ia tak lagi dikenal sebagai agama ramah yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, namun berjibaku dengan sikap intoleran.
Sebelum menjadikan potongan ayat ke-29 dari Al-Qur’an surat Al-Fath di atas sebagai dalil untuk bersikap keras, ada beberapa poin penting yang perlu dimengerti secara utuh, misalnya terkait sebab-sebab dan waktu diturunkannya ayat, penafsiran ulama, dan sikap Rasulullah dalam memerankan ayat tersebut. Mari mulai kita bahas dari poin pertama.
Sebab Turunnya QS al-Fath Ayat 29 Syekh ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin bin Ibrahim al-Baghdadi, yang lebih masyhur dengan sebutan Syekh al-Khazin (wafat 741), dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ayat di atas diturunkan ketika Rasulullah hendak melakukan ibadah haji, kemudian dihalang-halangi oleh koalisi kafir Quraisy. Dengan kata lain, ayat itu turun dalam situasi tidak aman. Ada penyerangan dari orang kafir kepada Rasulullah dan umat Islam ketika mereka hendak melakukan ibadah.
Karena diserang, Rasulullah dan para sahabat merespons serangan mereka dalam rangka menjaga diri agar tidak diam dengan serangan orang kafir. Dengan kejadian itu akhirnya terciptalah yang namanya suluh (perjanjian damai) Hudaibiyah (Syekh al-Khazin, Lubabut Ta’wif fi Ma’anit Tanzil, [Lebanon, Bairut, Darul Fikr, 1979], juz VI, h. 214).
Dengan mengetahui sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) di atas, kita dapat memahami bahwa ayat tersebut turun bertepatan dengan konfrontasi dan suasana penuh ketegangan, tepatnya ketika umat Islam hendak melakukan ibadah. Sehingga, akan keliru ketika ayat 29 dalam surat al-Fath itu diterapkan dalam situasi damai.
Oleh karenanya, poin yang sangat penting sebelum menukil kemudian menerapkan suatu ayat Al-Qur’an, adalah memahami waktu dan konteks diturunkannya ayat, dan kepada siapa ayat itu ditujukan. Sehingga, kekeliruan memahami Al-Qur’an yang justru menjadi penyebab citra Islam tercoreng akan hilang dan tidak terulang kembali.
Penafsiran Ulama atas QS al-Fath Ayat 29 Syekh Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini al-Alusi (wafat 1270 H), dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat hanya dikhususkan kepada para sahabat Nabi yang terlibat dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah saat itu. Mereka yang tidak terlibat di dalamnya, tidak memiliki sikap sebagaimana yang tergambar pada ayat di atas. Sedangkan yang dimaksud ayat “orang yang bersama dengan dia” adalah sahabat Abu Bakar, -
(وَالَّذِينَ مَعَهُ) أَبُوْ بَكْر (أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ) عُمَرُ (رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ) عُثْمَانُ (تَراهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً) عَلِى
Artinya, “(Yang dimaksud ayat) orang yang bersama dengan dia adalah Abu Bakar; bersikap keras terhadap orang-orang kafir adalah umar; tetapi berkasih sayang sesama mereka adalah Utsman; dan kamu melihat mereka rukuk dan sujud adalah Ali” (Syekh al-Alusi, Ruhil Ma’ani fi Tafsiril Qur’anil Adzim was Sab’il Matsani, [Bairut, Darul Kutubil Ilmiah, cetakan pertama: 1998], juz XIX, h. 241).
Tidak hanya Syekh al-Alusi, penafsiran yang sama juga disampaikan oleh mayoritas ulama ahli tafsir, di antaranya, (1) Imam Abdurrahman bin al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H) dalam kitab tafsirnya, ad-Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, juz VII, h. 544; (2) Syekh Abu Ishaq an-Naisaburi, dalam kitab al-Kasyfu wal Bayan, juz IX, h. 66; (3)
Syekh Muhyissunnah al-Baghawi, dalam kitab Ma’alimut Tanzil, juz VII, h. 325; dan beberapa ulama ahli tafsir lainnya. Dengan mengetahui penafsiran yang benar, melalui pemahaman para ulama ahli tafsir, akan tampak bahwa segelintir orang yang menggunakan ayat ini sebagai landasan memusuhi hanya karena berbeda agama sejatinya berseberangan dengan ajaran Islam dan maksud ayat itu sendiri.
Oleh karenanya, sebagaimana penjelasan awal, ada hal yang sangat penting sebelum melakukan gerakan atas nama Islam, yaitu memahami secara utuh landasan atas gerakan tersebut. Sikap Rasulullah saat Turunnya Ayat Ada fakta menarik yang perlu diketahui terkait sikap Rasulullah dalam menerima ayat 29 dalam surat al-Fath.
Ketika ayat itu diturunkan, secara bersamaan Rasulullah juga sedang mengupayakan perdamaian dengan pembesar-pembesar kafir Quraisy melalui perjanjian damai (suluh) Hudaibiyah. Bahkan, tak sedikit pun terlihat darinya sikap keras dan kaku dalam menghadapi mereka.
Ketika Rasulullah mampu melakukan pembalasan atas kekejian mereka yang pernah menghadang dan menghalanginya untuk melakukan ibadah itu, beliau tidak berkenan membalas sedikit pun, tepatnya pada peristiwa pembebasan kota Makkah (fathu Makkah), beliau menampakkan akhlaknya yang mulia. B
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah mengisahkan kejadian itu. Menurutnya, ketika Rasulullah mampu membalas semuanya, kala koalisi kafir Quraisy tidak memiliki kekuatan dan bekal apa pun untuk menyerangnya, justru Rasulullah memberikan pengamanan kepada mereka. Al-Buthi mengutip riwayat al-Baihaqi, yaitu:
قَالَ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ مَا تَرَوْنَ أَنّي فَاعِلٌ فِيكُمْ؟ قَالُوا خَيْرًا، أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ. قَالَ اذْهَبُوا فَأَنْتُمْ الطّلَقَاءُ
Artinya, “Rasulullah berkata, “Wahai orang-orang Quraisy! Menurut kalian, apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab, “Kebaikan. Saudara yang mulia. Keponakan yang mulia.” Rasulullah bersabda, “Pergilah kalian. Sekarang kalian merdeka.” (Syekh al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Bairut, Darul Fikr: 2019], h. 284).
Dari berbagai penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa ayat di atas tidak sepatutnya dipahami secara tekstual tanpa melalui pengajian dan pendalaman perihal sebab, konteks, dan sikap Rasulullah ketika menerima ayat. Sebab, tanpa memahami semuanya, seseorang rawan terjerumus kepada pemahaman keliru yang justru tidak selaras dengan maksud dan kandungannya.
Akibatnya, semua perjuangan untuk membela Islam, sejatinya menghilangkan citra dan marwah Islam itu sendiri. Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan.
Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/ayat-rasulullah-keras-kepada-orang-kafir-2gzpw
0 komentar:
Posting Komentar