Senin, 15 Agustus 2022

RI-AA (PAMER KEBAIKAN)

 

KONSEP RIYA’ MENURUT AL-GHAZALI

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:
Mohammad Mufid
1113033100035

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSASFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018


iv

ABSTRAK
Mohammad Mufid
Konsep Riya’ Menurut al-Ghazali
 
Al-Ghazali adalah seorang sufi besar yang namanya sudah tidak asing bagi
masyarakat dunia,terutama Indonesia. Ia bukan hanya seorang sufi saja, tetapi ia
juga seorang filsuf dan teolog. Sehingga tidaklah aneh kalau ia mempunyai
banyak karya yang membahas tentang filsafat dan ilmu kalam. Bahkan karya-
karyanya  sudah menyebar luas dan menghiasi lemari-lemari yang ada diberbagai
perpustakaan dunia. Karyanya juga banyak dikaji oleh berbagai kalangan,
termasuk para akademisi.
Dari segitu banyak karya dan berbagai macam pembahsannya, penulis
merasa tertarik untuk mengkajinya. Namun penulis hanya membatasi
pembahasannya tentang masalah riya’. Karena, di zaman sekarang ini penyakit
yang namanya riya’ (pamer) ini sangat menyebar luas di dunia media sosial
(medsos). Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang masalah
riya’ agar masyarakat menjadi sadar tentang bahayanya berbuat riya’. Perbuatan
riya’ bisa membuat orang lain menjadi iri. Dan karena perbuatan riya’ ini hati
orang lain menjadi sakit. Bukan hanya menyakiti hati orang lain saja, tetapi riya’
juga merusak dirinya sendiri. Terutama merusak amal perbuatan orang yang
melakukan riya’.

PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا  tidakdilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts tedanes
ج j je
ح ẖ h dengangarisbawah
خ kh ka dan ha
د d de
ذ dz de danzet
ر r er
ز z zet
س s es
ش sy esdan ye
ص s esdengangaris di bawah
ض ḏ de dengangaris di bawah
ط ṯ tedengangaris di bawah
ظ ẕ zetdengangarisdibawah
ع ʹ komaterbalik di atashadapkanan
غ gh gedan ha
ف f ef
ق q ki
ك k ka
ل l el
م m em
ن n en
و w we
ھ h wa
ء  apostrof
ي y ye

Vokal Tunggal
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ـَ a fatẖah
ـَ i kasrah
ـَ u ḏammah

ix

VokalRangkap
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ـَ ي  ai a dani
ـَ و  au a dan u

Vokal Panjang
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
آ â a dengantopi di atas
ىإ Î Idengantopi di atas
وأ Û u dengantopi di atas

Kata Sandang
Kata sandang, yang dalamsistemaksaraarabdilambangkandenganhuruf,
yaituلا, dialihaksarakanmenjadihuruf /l/,
baikdiikutihurufsyamsiyyahmaupunhurufqomariyyah. Contoh: al-
rijâlbukanar-rijâl, al-dîwânbukanad-dîwân.

Syaddah(Tasydȋd)
Syaddah atau tasdȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـَ), dalamalihaksarainidilambangkandenganhuruf,
yaitudenganmenggandakanhuruf yang diberitandasyaddahitu. Akan tetapi,
halinitidakberlakujikahuruf yang menerimatandasyaddahituterletaksetelah
kata sandang yang diikutiolehhuruf-hurufsyamsiyyah. Misalnya, kata
ۃرورضلاtidakditulisaḏ-darûrahmelainkanal-darûrah. 

Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯahterdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihatcontoh 1). Hal yang sama juga berlaku jika ta
marbûṯahtersebutdiikutioleh kata sifat (naʹt) (lihatcontoh 2). Namun,
jikahurufta marbûṯahtersebutdiikuti kata benda (ism),
makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /t/ (lihatcontoh 3).
No Kata Arab AlihAksara
1  ṯarîqah
2  al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3  waẖdat al-wujûd

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
    Fenomena modernisme telah menawarkan berbagai macam kemudahan
hidup. Perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi yang begitu sangat pesat
telah menjadikan manusia sebagai penguasa alam raya secara global. Berbagai
macam produk teknologi telah menyempitkan dunia yang kita diami ini, kita
bagaikan  berada dalam satu kapal besar yang bernama bumi, yang sekarang
sedang berlayar. 
Begitu sangat sempitnya dunia kita ini bila diameter (diukur) dengan
kecanggihan dan kehebatan teknologi dan sains yang berkembang begitu sangat
cepat. Demikianlah, kita senantiasa berlomba dengan perkembangan sains dan
teknologi yang melaju cepat sehingga kita tidak sempat lagi untuk berpikir
tentang hal-hal yang gaib, kita sudah lupa dengan entitas-entitas (kenyataan-
kenyataan) yang kita anggap sebagai sebuah kesakralan dan berada di luar pikiran
kita.
Dalam dunia materalisme-hedonisme yang selalu menggoda nafsu-nafsu
terhadap perilaku kita, membuat kita merasa kehilangan ketajaman pandangan
spiritual. Keinginan nafsu kita hanya tertuju pada kesenangan-kesenangan fisik.
Mata batin kita telah dibuta oleh debu-debu sains dan teknologi yang sangat
berbahaya, sehingga sensitivitas qalbu (hati)  kita pupus habis oleh kenikmatan
duniawi.
2

Dari satu sisi, keunggulan sains dan teknologi telah membuat manusia
sombong dan suka menampilkan kelebihannya (riya’) merasa dirinyalah yang
paling hebat dan kuat di alam raya ini. Pada saat-saat seperti inilah Nietzsche
melontarkan ucapan, “Tuhan telah mati”. Tuhan telah dihabisi oleh produk
teknologi canggih, sehingga penguasaan alam ada di tangan manusia.
Apabilah hati manusia modern sudah lupa dengan Tuhan yang telah
menciptakannya, maka ia sudah tidak lagi mengakui Tuhan sebagai Sang Pencipta
dan yang mengatur alam ini. Ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menciptakan
dan mengatur kehidupan di muka bumi ini. Karena itu, lihatlah manusia modern,
sisa hidupnya harus diisi dengan bekerja keras untuk mencari sesuatu yang ia
inginkan, malahan ia tidak disertai dengan berdoa dan berkontemplasi (renungan)
dalam bekerja.1

Zaman modern sudah dihembuskan di benua Eropa Barat Laut sekitar abad
ke-18 seiring dengan memuncaknya Revolusi Industri di bagian Negara Inggris
dan Revolusi Sosial di Prancis. Kelompok pemikiran Aufklarung (abad
pencerahan) yang tumbuh di Inggris dan Prancis dipandang sebagai pelopor
gerakan revolusi di masa modern. Filsafat empirisme (pengalaman) John Lucke
dan teori fisika Newton merupakan bahan yang telah membuka masyarakat Eropa
untuk memasuki gerbang abad modern.
Dari pemikiran dua tokoh tersebut dunia modern mengembangkan sains
yang diiringi dengan memakai penerapan teknologi. Pencapaian-pencapaian
gemilang dalam dunia sains telah mempermudah kehidupan yang sebelumnya
dirasakan sulit dan memberikan banyak kemudahan dalam perkembangan
pengetahuan. Pengetahuan modern yang kita sering sebut sains telah
memperpendek jarak ruang dan mempersingkat perputaran waktu, sehingga dunia
yang kita tinggali ini hanya bagaikan kapal besar yang menjadi tempat tumpangan
milyaran manusia.2
Pencapaian-pencapain sains yang begitu sangat gemilang telah membawa
penyakit-penyakit hati di dalam diri manusia modern seperti mempunyai perasaan
sombong, dan membanggakan dirinya (riya’) sehingga ia semakin percaya diri
untuk menatap masa depannya. Hal-hal yang bersifat metafisik dan yang bersifat
teologis tidak lagi dipikirkan dan  sudah selayaknya untuk ditinggalkan. Kalau
manusia modern masih berpikir tentang masalah-masalah yang ghaib (tidak
kelihatan) bersifat metafisik dan teologis (keyakinan) berarti  mengembalikan
kehidupan ke masa lalu, yang seharusnya ditinggalkan dan merupakan sebuah
kesia-siaan.3
Oleh karena itu, sudah saatnya manusia modern untuk mempelajari ilmu
tasawuf, karena ilmu tasawuf begitu sangat penting di zaman modern ini. Ilmu ini
mengkaji tentang konsep yang mengatur tentang wilayah batin (jiwa dan hati)
dalam rangka untuk tazkiyatunnafsi (membersihkan hati) dari berbagai macam
dosa dan penyakit-penyakit yang ada di dalam hati. Karena tujuan dari ilmu tasawuf ialah agar seorang hamba bisa wushul (sampai) kepada Tuhan. Zat yang
Maha tidak terbatas dan tidak bisa dibatasi.4
Oleh sebab itu, manusia modern harus bisa menjaga hatinya dari berbagai
macam penyakit-penyakit hati. terutama tentang sifat riya’ yang bisa merusak
amal perbuatan manusia. Karena di zaman sekarang sifat riya’ sedang
digandrungi oleh banyak masyarakt. Oleh sebab itu, hati yang selalu diwarnai
oleh sifat riya’ dan persoalan dunia, membuat hati menjadi buram dan gelap. Jika
hakikat dunia disebut gelap, maka wujud Tuhan diibaratkkan sumber cahaya yang
menerangi hati. Tuhan berfirman di dalam surat an-Nur, ayat 35.

Artinya: “Tuhan (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”.

Bagaimana hati bisa memantulkan cahaya ketuhanan jika masih tertutup oleh keadaan dan lukisan-lukisan dunia.
Tatkala hati tidak mampu melihat dengan bashiratul qolbi (penglihatan hati)
pasti ada sesuatu yang menjadi penyebab terhalangnya  sumber cahaya tersebut,
sehingga hati tidak bisa memantulkan cahayanya. Yang menghalangi wujud
Tuhan ialah pandangan dan rasa kemanusiaan pada setiap wujud selain-Nya. Jika
hati orang yang menuju Tuhan ada rasa cinta dan ambisi untuk memiliki dan
menguasai sesuatu, maka rasa terhadap sesuatu itu juga sebagai penghalang atau
hijab.
Kemudian, bagaimana bisa seseorang akan sampai menuju Allah jika tidak
mampu melepaskan dirinya dari penyakit hati dan syahwat yang timbul dari
dalam hatinya. Padahal Tuhan sudah memberikan jalan kepada hamba-hamba-Nya untuk “berniaga ruhani”, dengan imbalan keuntungan berupa pembebasan
diri (manusia) dari keinginan  syahwat dan maksiat yang ada di dalam hatinya.5
Al-Ghazali beranggapan bahwa hati bagaikan sebuah kaca. Pengetahuan tak
lain adalah terpancarnya hakikat-hakikat dalam cermin tersebut. Di saat kaca hati
tersebut tak mengkilap, maka tak mampu memantulkan hakikat-hakikat keilmuan
tersebut. Yang menjadikan kaca hati menjadi buram adalah hatinya dipenuhi
dengan syahwat dan penyakit-penyakit hati lainnya. “Melakukan ketaatan kepada
Tuhan, memalingkan diri dari tuntutan-tuntutan syahwat, adalah sesuatu yang bisa
mengkilapkan hati dan membersihkannya.”6 Oleh karena itu, jika seseorang ingin
hatinya dipenuhi dengan pengetahuan Tuhan, maka hatinya harus dibersihkan dari
macam-macam dosa dan penyakit-penyakit. Banyak tokoh-tokoh sufi yang
membahas tentang masalah macam-macam penyakit hati, namun penulis lebih
tertarik  pada tokoh yang sudah menyebar luas kedunia nama dan karangannya, yakni al-Ghazali.
Al-Ghazali adalah seorang tokoh Filsuf Islam, dan sufi yang mendalami
sesuatu ilmu secara terperinci. Beliau mendapkan gelar hujjatul Islam dan
pembaharu dalam segala disiplin ilmu, yaitu beliau akan membuat pembaharuan
atau pemahaman yang lebih jelas mengenai sesuatu ilmu yang diterapkannya.
Beliau berbeda dengan ulama-ulama lain yang mana usaha mereka menghafal apa
yang diterimanya, mengulangi, dan menukilnya. Bahkan beliau seorang ulama
yang aktif, pengetahuan yang diterimanya diteliti dan diuji sejauh mana
kebenaran dan kebatilannya. Oleh sebab itu, ada kalanya beliau menolak, mengubah atau menjelaskan dan menguraikan lalu membuat pembaharuan dalam
segala bidang ilmu.7 
Adapun penulis memilih pembahasan tentang masalah riya’ dari berbagai
jenis-jenis penyakit hati, karena di zaman yang semakin canggih ini banyak sekali
orang-orang melakukan perbuatan-perbuatan riya’. Baik di media sosial maupun
di media lainnya. Manusia di zaman sekarang ini tidak mengetahui tentang
bahayanya perbuatan riya’.
Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memahami dan memperdalam lebih
tajam tentang masalah-masalah riya’ ini. Karena itu, penulis tertarik untuk
mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Konsep Riya’ Menurut al-Ghazali.”

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis akan mengidentifikasikan beberapa
masalah yang berkaitan dengan maksiat hati. Di antaranya:
1. Apa corak tasawuf al-Ghazali?
2. Apa Riya’ menurut al-Ghazali?
3. Ada berapa macam-macam Riya’?
4. Apa Tujuan Riya’ menurut al-Ghazali?
5. Apa akibat dari riya’?
6. Bagaimana cara menghilangkan riya’?
7. Apa penyebab dari riya’?
                                                         
C. Batasan Masalah
Berdasarkan  latar belakang di atas, penulis  hanya akan mengambil satu
tokoh saja, yaitu al-Ghazali. Ia adalah seorang sufi besar yang nama dan ajaran
tasawufnya sudah menyebar luas keseluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun,
ajaran tasawuf al-Ghazali yang akan dibahas oleh penulis ialah yang berkaitan
dengan masalah riya’. Penulis merasa sangat tertarik untuk membahas
permasalahan-permasalahan tentang riya’ ini, karena belum ada karya yang
meneliti secara khusus tentang riya’ menurut al-Ghazali. Oleh sebab itu, penulis
perlu memberikan batasan pada permasalahan yang akan dikaji dan diteliti agar
pembahasannya tidak melebar jauh. Adapun batasan yang akan dikaji oleh penulis
ialah konsep riya’ menurut al-Ghazali.
 

BAB  II 
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup al-Ghazali
Di kalangan umat Islam, nama al-Ghazali tidak begitu asing bagi telinga
mereka.  Mereka membicarakan al-Ghazali bagaikan mengunjungi orang tua yang
telah lama dikenal, namun tetap menyimpan segi kerahasiaan, jika tidak dapat
disebut sebuah misteri. Nama tokoh yang satu ini menjadi buah bibir
perbincangan harian di kalangan masyarakat Muslim.
Al-Ghazali memang tidak pernah terlepas dari siapa pun yang ingin
memahami tentang ilmu agama Islam yang secara luas dan dalam. Ia terkait erat
dengan proses pengukuhan paham yang berbasis Sunni. Di luar madzhab
Hambali. Dan karena di bidang fiqh al-Ghazali adalah seorang pengikut madzhab
Syảfi’i, maka nama pemikir besar itu lebih lagi tidak dapat dilepaskan dari dunia
pemikiran dan pemahaman Islam di Indonesia, sebab hampir kaum Muslim di
Indonesia itu bermadzhabkan imam Syảfi’i.1
Nama lengkap imam al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, beliau dilahirkan di tanah Thus (Khurasan) pada tahun 405 H
yang bertepatan dengan tahun 1058 M.2  Nama Muhammad yang ada di depannya
                                                         
1Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997),
h.79-80.
2Moh. Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956). h.7.
13

ialah namanya sendiri, nama ayahnya, dan nama kakeknya, dan setelah itu
diatasnya lagi bernama Ahmad.3
Sebutan nama laqob (julukan nama) dalam kalangan umat Islam zaman
dahulu yang menghubungkan nama seseorang kepada nama keluarganya seperti
ayahnya, kakeknya itu sudah menjadi tradisi bagi kalangan umat Islam zaman
klasik. Nama seorang anak akan memakai kata “ibnu” dan diakhirnya akan
menyebutkan nama ayahnya atau nama kekeknya. Seperti nama ibnu Siena, ibnu
Rusyd, ibnu Khaldun, dan nama yang lainnya. Berbeda dengan al-Ghazali nama
yang dipakainya dari nama tempat kelahirannya, yakni al-Ghazalah.
Sama halnya seperti tokoh-tokoh Islam lainnya, seperti al-Kindi yang
berasal dari al-Kindah, al-Farabi yang berasal dari al-Farab. Dan ada pula yang
dihubungkannya kepada pekerjaan setiap harinya, misalnya al-Qaffal (tukang
kunci), al-Khayyam (pembuat khaimah) dan sebutan nama yang lainnya.
Nama-nama  seorang tokoh  besar yang dihubungkan kepada keturunannya,
pada pekerjaannya, atau pada tanah kelahirannya itu merupakan sebuah
kebanggan yang menaikkan derajat nama keluarga, keturanan, dan tanah
kelahirannya. Sehingga nama keluarga, pekerjaan, dan tanah kelahirannya
menjadi populer dikalangan dunia.4
Al-Ghazali lahir dari keluarga sangat miskin, ayahnya adalah seorang yang
sangat mencintai ilmu dan mempunyai cita-cita  sangat besar. Ayah al-Ghazali
selalu berdoa kepada Allah agar dianugerahi seorang anak-anak yang alim,
                                                         
3Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 27-
29.
4Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 28-29.
14

mempunyai wawasan luas, dan mempunyai banyak ilmu. Baik ilmu agama
maupun ilmu-ilmu yang lainnnya.
Alangkah bahagia hati ayah al-Ghazali ketika doanya dikabulkan oleh Allah. 
Beliau dikaruniai dua anak laki-laki. Anak pertama diberi nama Muhammad yang
kemudian mendapat gelar “Abu Hamid”, dan dia adalah Imam al-Ghazali.
Kemudian anak kedua diberi nama Ahmad yang kemudian mendapatkan gelar
”Abu al-Futủh”, dan beliau ini adalah seorang ulama yang ahli dalam da’wah.
Yang di kemudian hari terkenal dengan sebuatan seorang “Mujidduddỉn”.5
Ayah al-Ghazali adalah seorang penenun bulu dan pedagang yang
mempunyai sebuah tokoh, beliau meninggalkan kedua puteranya, yakni ketika
Muhammad dan Ahmad masih dalam usia kanak-kanak. Kemiskinan keluara al-
Ghazali tidak bisa diragukan lagi.6 Oleh sebab itu kedua putranya dididik sendiri.
Pada masa kecilnya, ayahnya merasa mempunyai tanggung jawab yang
besar untuk memberikan sebuah pengajaran dan pendidikan kepada  al-Ghazali
dan saudara kandungnya, yakni Akhmad. Namun, keinginannya tidak dapat
terwujudkan, karena belum beberapa lama, ayahnya wafat berpulang
kerahmatullah. Mungkin karena terlalu keras kerjanya demi untuk mencari nafkah
buat keluarganya sehingga ayahnya sering sakit-sakitan hingga akhirnya
meninggal dunia.
Sebelum meninggal, ayahnya berpesan kepada kedua anaknya supaya
mereka berdua meneruskan belajarnya kepada salah seorang sahabatnya (seorang
yang ahli dalam bidang tasawuf) yakni syaikh Ahmad Arrozakony.  Ayah al-
                                                         
5Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 29.
6Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup al-Ghazali, h. 31.
15

Ghazali pernah berkata kepada sahabatnya itu, katanya: ,,, “Saya sangat menyesal
tentang pelajaran kedua anak saya dan saya ingin mewujudkankan apa yang
sudah menjadi pertanggung jawaban saya terhadap kedua anak saya ini. Ajarlah
dan didiklah mereka berdua dan laksanakan pertanggung jawaban saya terhadap
mereka berdua itu.” Itulah permohanan ayah al-Ghazali kepada sahabatnya agar
mau mendidik dan mengajari kedua anaknya tersebut.
Baru setelah ayahnya meninggal dunia, al-Ghazali dan Ahmad pergi kepada
guru sahabat ayahnya, mereka berdua menuruti wasiat ayahnya. Gurunya pun
sangat bahagia menyambut kedatangan al-Ghazali dan saudara kandungnya
dengan tangan terbuka. Mereka berdua belajar membaca dan menulis. Jadi, pada
masa kecilnya al-Ghazali belajar membaca dan menulis juga mempelajari ilmu
fikih di negerinya sendiri.7
Setelah beberapa lamanya mendidik dan mengasuh al-Ghazali dan
saudaranya, gurunya tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan
hidup al-Ghazali dan Ahmad, ia menganjurkan agar mereka berdua dimasukkan
kedalam madrasah untuk memperoleh sebuah pengetahuan yang baru, juga agar
bisa memperoleh sebuah santunan untuk kebutuhan hidupnya.8
B. Pendidikan al-Ghazali
Pada masa itu, madrasah-madrasah tidak ada yang memunguti biaya sepeser
pun. Oleh sebab itu para orang tua berbondong-bondong untuk menyekolahkan
anak-anaknya untuk belajar di madrasah-madrasah. Termasuk al-Ghazali dan
saudaranya ikut mendaftarkan diri di sebuah madrasah tempat kelahirannya. Dan
                                                         
7Moh Syah Doa, Rahasia Alam Kebatinan, (Jakarta: AB. Sitti Syamsiyah, 1956), h.7.
8Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), h. 78.
16

kesempatan ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk belajar sampai ke perguruan
yang lebih tinggi.
Pada masa itu, di kota Thus banyak para ulama dan ilmuwan yang
memberikan beasiswa kepada setiap pelajar yang tidak mampu untuk membiayai
pendidikannya. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh al-Ghazali dan
saudaranya. Atas saran sahabat ayahnya, al-Ghazali menemui seorang ilmuwan
Muslim yang kaya raya  bernama syaikh Ahmad bin Muhammad Razkafi untuk
mendapatkan beasiswa. Setelah memperoleh beasiswa, al-Ghazali belajar di kota
tersebut selama bertahun-tahun.9
Setelah diterima di madrasah yang ada di tanah kelahirannya, al-Ghazali
belajar ilmu fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain kepada Ahmad al-Radzkani di
Thus, juga al-Ghazali belajar kepada Abu Nashr al-Isma’ili di Jurjan. Setelah itu,
al-Ghazali kembali lagi ke thus, dan selama tiga tahun berada di tempat
kelahirannya, ia mengkaji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar ilmu
kesufian kepada Yusuf al-Nassaj (w. 478 H).10
Al-Ghazali mulai belajarnya kepada seorang sufi besar yang memberikan
pelajaran tentang ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, juga kepada gurunya ia belajar
tentang ilmu tasawuf. Ia kemudian belajar ilmu syariah kepada Syekh Ahmad at-
Tusi, lalu ia pergi lagi ke Jurjan untuk belajar kepada Syekh Abu Nasr.
Setelah pulang dari Jurjan, al-Ghazali kembali lagi ke Thus, ia mengabdikan
dirinya untuk mempelajari ilmu kesufian dan pada tahun 1078 M, ia diterima di
                                                         
9Ikhwan Fauzi, Cendekiawan Muslim Klasik, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h. 2-3.
10Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 78.
17

Madrasah Nizamiyyah di kota Nishapur dan menjadi murid kepala sekolahnya sendiri, yakni Syeikh Abu al-Ma’ali, seorang syekh dari Harảmain.
Dibawah bimbingan Syaikh Ma’ali, al-Ghazali belajar ilmu agama, filsafat, dan hukum alam. Semua orang yang ada di Madrasah Nizamiyyah merasa kagum tentang pengetahuan al-Ghazali yang begitu mendalam ditambah lagi oleh kejeniusan otak al-Ghazali. Tanpa ada rasa malu dan rasa iri, gurunya mengakui kepandaian muridnya tersebut sambil berkata kepada al-Ghazali, “Engkau telah mengalahkan aku selagi hidup, paling tidak engkau bisa menunggu aku sampai
meninggal”. 11

Itulah ucapan gurunya yang begitu sangat rendah diri mengakui keunggulan ilmu muridnya.
Di sisi lain, gurunya merasa sangat bangga atas prestasi yang telah diperoleh oleh al-Ghazali. Walaupun al-Ghazali sudah memperoleh kemasyhuran namanya,
namun ia tetap setia terhadap gurunya tersebut dan tidak mau meninggalkannya sampai gurunya wafat pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini  wafat, ia sempat memperkenalkan al-Ghazali kepada Nizham al-Mulk, seorang perdana menteri 
Sultan Saljuk Maliksyah. Nizham al-Mulk adala pendiri madrasah-madrasah di
Nizhamiyah. 12

Nizham al-Mulk adalah sebuah gelar kehormatan yang  diberikan oleh Bani Saljuk. Nama aslinya ialah Abu Ali Hasan ibn Ali ibn Ishaq at-Thusi yang lahir di Nauqan pada tahun 408 H. Di usianya yang masih sangat mudah, yakni 11 tahun, ia  dibimbingan ayahnya sendiri tentang belajar bahasa Arab dan ilmu-ilmu keagamaan. Ia juga belajar sastra Arab dan fiqh yang bermadzhab Syafi’i.13

Pada bulan Jumadil Awal tahun 484 H, al-Ghazali diperintah oleh Nizham al-Mulk agar pergi ke Baghdad untuk menjadi seorang guru besar di Madrasah Nizhamiyah. Pada saat itu usia al-Ghazali masih sangat mudah, 34 tahun. Tetapi ia sudah memperoleh kedudukan yang sangat penting di Madrasah Nizhamiyah. Hingga banyak muridnya dari berbagai kalangan yang mengikuti kajiannya,
hingga muridnya mencapai sekitar 300.14

Ketika al-Ghazali sudah menjabat sebagai seorang guru besar, ia mengalami kekosongan jiwa di dalam dirinya yang menyebabkan dirinya tidak betah untuk tinggal di Baghdad. Kemudian al-Ghazali melepaskan jabatannya dan pergi ke Syiriah untuk mencari ketenangan batin dengan cara berkhalwat (menyendiri sambil merenung) dan melakukan riyadhah (latihan kebatinan). Ia melakukan ini setelah ia bergelut dengan keraguan di dalam dirinya yang tidak berkunjung selesai. Dan konflik kejiwaan antara kesibukan urusan dunia dengan kepentingan akhirat. Ia melepaskan jabatannya agar bisa khusủ’ menjalankan shalat dan memerangi hawa nafsunya.

Al-Ghazali sendiri mengemukan corak mengapa ia menjauhkan dirinya dari kegemerlapan dunia dan mengisahkan perjalanan spiritualnya tentang menjauhkan
dirinya dari orang lain kemudian memfokuskan dirinya untuk menjalankan ibadah. Ketika al-Ghazali sedang menggeluti menjadi seorang guru,  ia mendapatkan keikhlasan kerja, bahkan ia sendiri terkecoh oleh kecintaan terhadap harta dan tahta. Konflik batin yang terus –menerus menghantui dirinya. Ketika ia ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai guru besar, hasrat duniawi menariknya pada sebuah jabatan.

Pada saat  al-Ghazali sedang terjebak dalam keraguan terus-menerus, antara
keinginan duniawi dan kepentingan akhirat, sekitar enam bulan lamanya, saat itu bertepatan dengan bulan rajab tahun 488 H. Pada saat itu keadaan al-Ghazali semakin memburuk melampaui kemampuannya. Lidah terasa kaku dan tidak bisa menyampaikan matakuliah kepada para muridnya. Namun, ia terus berusaha untuk tetap mengajar para muridnya, walaupun hanya sehari sekedar untuk menghilangkan kegundahan hatinya. Namun lida tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang sesuai dengan perasaan di dalam hatinya. Keadaan yang seperti ini membuat al-Ghazali semakin merasa sedih. Oleh sebab itu, al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan kepergiannya itu tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.15

Setelah berkelana ke semua kota-kota untuk mencari pengetahuan untuk menenangkan batinnya, al-Ghazali dirundung rindu atas kampung halamannya. Ia ingin kembali ke kota kelahirannya. Pada saat itu, para pejabat tinggi Khalifah Abbasiyah dan pemerintahan Saljuk mengundangnya. Namun, ia tetap pada pendiriannya untuk kembali ke Ghazalah. 
Setelah berada di Ghazalah, al-Ghazali kemudian menikah dan dikaruniai tiga orang anak perempuan dan satu anak laki-laki. Al-Ghazali mengisi kegitan sehari-harinya dengan mengajar dan menulis sebuah buku. Buku-buku yang ia tulis mencapai 300 judul. Beliau pun mendirikan sebuah asrama bagi para pelajar yang datang dari luar kota.
Adapun al-Ghazali wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau bertepatan dengan tahun 1111 M. Sebelum ia wafat, al-Ghazali meminta kepada para kerabatnya untuk dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk mengangkut jenazah. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, al-Ghazali sempat menatap keranda jenazah itu sambil berkata, “apapun perintah Allah, aku siap melaksanakannya.” Setelah berkata seperti itu, al-Ghazali menghembuskan
nafas terakhirnya. Dan ia disemayamkan di kota Thus, Iran.16

C. Pengaruh al-Ghazali Terhadap Tasawuf

Tidak dapat diragukan lagi yang menjadi permasalahan sasaran kritik al-Ghazali adalah para filosof klasik. Dalam sebuah karyanya al-Munqidz min al-Dlalảl, al-Ghazali mengatakan bahwa, setelah dirinya mengupas tuntas tentang pemikiran para filosof, para teolog, dan golongan bathiniyah, ia masih belum puas memperoleh jalan menuju keyakinan yang hakikat. Menurut al-Ghazali, “kebenaran yang hakiki hanya bisa diperoleh melalui jalan tasawuf”. Di jalan tasawuflah ia baru bisa mengenal sesuatu secara yakin, sebagaimana yang dikatakannya sendiri. Kaum sufi adalah sosok seorang yang menempuh di jalan
Allah, dan itu adalah sebaik-baiknya jalan. Jalan yang mereka gunakan ialah jalan yang benar, dan akhlak mereka ialah akhlak yang suci.17

Imam al-Ghazali bukanlah orang yang pertama kali mendapat gelar seorang sufi. Ia juga bukan seorang perintis dan peletak dasar ilmu tentang tasawuf.  Jauh sebelum al-Ghazali menulis tentang kitab-kitab tasawuf, pada abad sebelumnya sudah muncul beberapa ulama yang bergelut dengan ilmu tasawuf. Pada abad kedua Hijriyah, para sufi muncul dari daerah-daerah seperti Kufa, Bashrah, Madinah, Khurasan, dan Mesir.18

Namun, walaupun al-Ghazali bukan seorang perintis dan peletak dasar
dalam ilmu tasawuf, tetapi al-Ghazali sebenarnya sudah pernah menjalani kehidupan tasawuf ketika ia masih berusia sangat  muda, akan tetapi ia masih belum yakin untuk menjalani  kehidupan tasawufnya. Baru setelah ia pergi meninggalkan Baghdad pada bulan dzulhijjah 488 H atau 1095 M, ia merasa yakin untuk menjalani tasawuf. Namun, al-Ghazali baru menjalani dan mempraktekkan ketasawufannya ketika ia berada di Syria.
Setelah berada di Syria selama dua tahun, ia  menjalani dan mempraktekkan tasawufnya di dalam Masjid Umaiyah, kemudian ia pindah lagi ke Yerussalem untuk melakukan hal yang sama di Masjid Umar dan monument suci The Dome of The Rock. Setelah menziarahi makam Nabi Ibrahim di Hebron, ia baru pergi untuk menunaikan ibadah haji, kemudian  ia kembali menjalani kehidupan sufinya di
Mekkah dan Madinah.19

Al-Ghazali mempunyai intelektualitas yang sangat luas dan mendalam. Ia memiliki intelektualitas yang berbeda-beda pada masanya, dan mampu menguasainya dengan sangat mengherankan. Itu semua tampak dari karya-karya yang telah ditulisnya. Al-Ghazali membangun sebuah tasawuf Sunni yang didirikan atas dasar akidah Ahlussunnah wa al-Jama’ah, dan berusaha menjauhkannya dari pengaruh
Gnostis dari berbagai macam pemikiran yang telah mempengaruhi para filsuf
Muslim, Ismailiyyah (salah satu sekte dari Syiah), Ihwan ash-Shafa’, dan yang lainnya. Ia juga menjauhkan wilayah tasawuf dan konsep ketuhanan Aristoteles, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teori emanasi dan penyatuan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali beralirkan Islam murni.

Al-Ghazali sangat merasa kagum terhadap para sufi-sufi klasik, terutama pada sufi abad ketiga dan keempat hijriyah yang beraliran Sunni. Ia mengambil keilmuan kesufiannya dari Harits al-Muhasibi, dan sangat mengaguminya seperti
yang telah dikemukakan oleh Ibn Ibad Randi dalam kitab Syarakh Himak. 

“Imam Abu Abdillah al-Harits al-Muhasibi, menulis sebuah kitab
yang berjudul Nasbaih, yang di dalamnya mengandung pemikiran-
pemikiran tentang hawa nafsu dan kejelekan-kejelekannya secara
menyeluruh, dan sekaligus mengkaji kesunnahan secara menyeluruh sebagaimana yang telah dilakukan para pendahulu kita, serta melakukan penelitian dan melihat segala sesuatu yang yang bisa memperbaiki perbuatan, kondisi, dan jiwa mereka, serta menjaga kesucian hati, dan menekankan kehati-hatian agar tidak terjerumus dalam dosa.”20

Imam al-Ghazali memberikan pujian terhadap al-Muhasibi  dalam salah satu bab di kitabnya (Ihya’) dan bahkan mengemukakannya secara leterlek, setelah memuji penulisannya, kemudian ia menjelaskan kepada orang-orang yang belum mengetahuinya tentang keilmuan dan keutamaannya, ia mengatakan: “Al-Muhasibi merupakan orang yang sangat memumpuni dalam bidang mu’ammalah. Pembahasannya tentang cela-cela yang ada di dalam jiwa, penyakit-penyakit dalam amal perbuatan, dan segala sesuatu yang bisa merusak amal ibadah, telah mendahului orang-orang yang membahas permasalahan tersebut.”21

Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan dominasinya nuansa akhlak dalam tasawuf al-Ghazali. Perhatiannya terhadap tasawuf sebagaimana al-Muhasibi dan sufi-sufi kurun ketiga dan keempat, adalah tentang nafs (jiwa atau hawa nafsu). Manusia, dan bahaya-bahayanya mekanisme melakukan pembinaan terhadap akhlaknya. Secara keseluruhan, tasawufnya adalah berkenaan dengan sebuah pembinaan akhlak.22

Sebelumnya al-Ghazali sangat tidak suka terhadap tasawuf. Ia tidak mempercayai tentang maqam-maqam (tingkatan-tingkatan), kondisi-kondisi spiritual, dan penyingkapan hijab (kasyf) yang banyak digunakan oleh kalangan para sufi. Apalagi ia melihat sendiri bagaimana cara hidup golongan sufi pada masa itu, yang tampak jelas anti intelektual. Namun, setelah mempelajari kitab-kitab tasawuf dari berbagai para tokoh-tokohnya sendiri, al-Ghazali mengetahui bahwa sebenarnya para sufi itu telah melenceng dari  apa yang telah digariskan oleh para sufi-sufi yang lurus.”Penempuh jalan Tuhan,” demikian menurut al-Ghazali.

Selain itu, al-Ghazali juga mengkritisi para sufi di masa itu yang tidak mau mempelajari ilmu lahiriah. Padahal ilmu lahiriah seperti fiqh dan syar’i lain sangat membantu meluruskan seorang salik (Pejalan menuju Tuhan) untuk menimbang kelurusan jalan yang ia tempuhnya. Hal ini dibuktikan, di antaranya, ia  memulainya di dalam kitab ihya’ ‘Ulủmuddỉn dengan bab ilmu, yang berisi anjuran dan sangat penting mempelajari berbagai macam ilmu.

Al-Ghazali mengatakan di dalam kitabnya tersebut: “Tipu daya di jalan menuju Allah sedemikian begitu banyak macamnya, tidak bisa dihitung….”, kemudian al-Ghazali melanjutkan sesudah beberapa uraian : “….Semua itu disebabkan karena kekeliruan  dan was-was yang diletakkan oleh setan, karena mereka sibuk dengan bermujahadah sebelummenguasai ilmu; karena mereka tidak mengikuti seorang guru yang bertakwa lagi berilmu, yang pantas untuk dijadikan teladan.”23

Setelah mengkaji pemikiran teologi, filsafat, dan ajaran Batiniyyah, al-Ghazali memberi sebuah kesimpulan bahwa tasawuflah sebuah jalan yang bisa
mengantarkan manusia untuk menuju ke jalan Tuhan, dan golongan para sufilah yang paling nyata dalam mencari sebuah kebenaran. Jalan para sufi ialah kombinasi (gabungan) antara ilmu dan amal, dan buahnya adalah sebuah moralitas.

Dengan demikian, menurut pendapat al-Ghazali, mempelajari ilmu para sufi melalui karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkan ilmunya. Kemudian al-Ghazali menyatakan bahwa keistimewahan dan kelebihan
khusus hanya milik para sufi tidak mungkin keistimewahan dan kelebihan khusus tersebut dicapai hanya melalui belajar, tetapi harus melalui ketersingkapan batin (kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian tabiat-tabiat. Bagi al-Ghazali tasawuf adalah sebuah pengalaman yang nyata.24

D. Karya-karya  al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang ulama yang sangat menguasai dalam segala hal bidang tentang ilmu agama. Begitu juga ia adalah seorang ulama yang sangat produktif dalam hal tulis-menulis. Oleh sebab itu, beliau mempunyai beberapa karya dalam segala bidang agama. Seperti dalam bidang tasawuf, filsafat, fikih, dan bidang ilmu agama lainnya. Namun penulis hanya akan mencantumkan beberapa karya beliau yang fenomenalnya saja.

Dalam bidang tasawuf beliau menulis kitab Ihyả’ ‘Ulủmuddỉn
(Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), Kitab ini terdiri dari empat jilid. Jilid yang pertama menjelaskan tentang masalah ibadah (al-‘Ibảdah). Jilid yang kedua menjelaskan tentang masalah yang berkaitan tentang perilaku (al-‘Ảdat). Jilid yang ketiga menjelaskan tentang menjelaskan masalah yang membinasakan (al-Muhlikah). Dan jilid yang keempat berisi tentang menjelaskan masalah yang menyelamatkan (al-Munjiyah).

Kitab Minhảj al-‘Ảbidỉn (Jalan para Ahli Ibadah)  membahas tentang
masalah ibadah, etika, dan masalah tentang  tasawuf. Adapun kitab Kaimiyyah al-Sa’ảdah (Metode Kebahagiaan) menjelaskan tentang manusia, Tuhan, dan masalah pernikahan. l

Dalam bidang filsafat, beliau menulis al-Tahảfut al-Falảsifah (Kerancauan pemikiran para Filusuf).  Kitab ini berisi tentang kritikan al-Ghazali terhadap para filusuf Islam sesudahnya yang mengatakan tentang tidak adanya hari kebangkitan,
ketidaktahuan Tuhan tentang masalah juz’i, dan tentang masalah kekekalan alam.
Adapun kitab Munqỉdz min al-dlalảl (Pembebasan dari Kesesatan). Kitab ini
membicarakan tentang golongan yang mengingkari terhadap segala ilmu,
membicarakan tentang keberhasilan ilmu filsafat, dan pembahasan yang lainnya.

BAB III
TEORI RIYA’ MENURUT TOKOH SUFI

A.  Abdul Qodir al-Jailani

Penulis belum menemukan secara langsung syaikh Abdul Qadir Jailani mendefinisikan istilah riya’.  Namun di dalam kitabnya al-Fathul al-Rabbani beliau menjelaskan tentang orang yang melakukan berbuat riya’.

Beliau mengatakan, orang yang berbuat riya’ adalah:

Orang Yang Memakai Pakaian Yang Bersih Tetapi Hatinya Kotor.

Ia hidup berzuhud menjauhi hal-hal yang diperbolehkan dan bermalas-malasan dalam berusaha.

Ia mencari makannya dengan berhutang kepada orang lain.

Ia tidak mempunyai sifat wara’. Ia memakan sesuatu yang sudah jelas-jelas haram.

Ia juga pandai menyimpan rapat sifat keburukannya di hadapan orang biasa, namun ia dapat
terbongkar di hadapan orang yang mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Kezuhudan dan ketaatannya hanya terlihat di luar saja.

Yang dimaksud dengan zuhud ialah meninggalkan keinginan dari segala sesuatu karena mengikuti keinginan lain pada sesuatu yang lebih baik.

Misalnya orang tidak mau mengambil tanah tetapi ia mengambil uang karena lebih berharga daripada tanah, maka orang yang seperti ini tidak melakukan zuhud.

Orang yang seperti ini menurut Abdul Qodir, dari lahirnya ia adalah
seorang yang pemakmur rumah Tuhan, namun batinnya bobrok.

Beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan ini. Ketaatan kepada Tuhan itu harusnya dengan hati, bukan dengan formalitas ucapan dan tingkah laku. Semua hal di atas terkait dengan Perbuatan Hati, Nurani, Dan Dimensi Ma'nawi.3

Kemudian beliau juga mengecam seseorang yang melakukan riya’ dengan menggunakan sifat wara’. Kebanyakan orang banyak mengaku seorang yang wara’ tetapi menurut beliau hanya di lisannya saja, namun hatinya durjana.
Lisannya merangkai pujian-pujian terhadap Tuhan, namun di hatinya ada sifat menentangnya. Penampilan lahirnya bagaikan seorang yang Muslim, namun
batinnya adalah seorang yang kafir. Lahirnya mengesakan Tuhan, namun batinnya menyekutukan Tuhan. Jika seseorang telah melakukan perbuatan seperti ini, maka setan benar-benar telah bersemayam di dalam hatinya, bahkan hatinya dijadikan
sebagai tempat tinggalnya setan.4

Menurut beliau lagi, kalian hanya berbicara dengan mulut kalian semata, bukan dengan hati kalian. Kalian sebenarnya adalah orang-orang yang menentang
firman-Nya, para nabi, dan para pengikut-pengikutnya yang sesungguhnya merupakan pengganti dan pewaris para nabi. Kalian lebih merasa bangga dengan pemberian dan pujian makhluk (manusia) daripada anugerah dari Tuhan. Ucapan
kalian tidak akan didengar oleh Tuhan hingga kalian bertaubat dengan setulus dan keteguhan serta menerima ketentuan dan keputusan secara total.5

Celakalah diri kalian! Itulah ucapan laknat beliau terhadap orang yang
amal perbuatannya hanya untuk diperlihatkan dihadapan orang lain. Kemudian beliau melanjutkan, bagaimana kalian rusak akhirat kalian hanya karena keduniawian. Bagaimana kalian rusak ketaatan pada junjungan kalian „Azza wa
Jalla dengan ketundukan kalian terhadap hawa nafsu, setan, dan manusia.6

Menurut beliau, kalian adalah seorang pembohong dalam segala keadaan kalian. Kalian sendiri tidak mengetahui jalan menuju Tuhan, lalu bagaimana kalian mau mengajak selain diri kalian menuju ke Tuhan? Kalian sudah dibutakan
oleh hawa nafsu, tabi’at, kecintaan diri kalian terhadap dunia, ambisi
kepemimpinan, dan syahwat kesenangan kalian.7

Oleh sebab itu, beliau menyuruh untuk meninggalkan perbuatan riya’. Beliau mengatakan, jika kalian memang memiliki sebuah pengetahuan dan keberkahannya, tentu kalian tidak akan melangkah menuju pintu-pintu pembesar
hanya untuk menuruti kebahagiaan nafsu dan syahwat kalian. Seorang yang berpengetahuan tidak akan melangkahkan kedua kakinya untuk berjalan menuju
pintu-pintu makhluk (manusia).
Seorang yang zuhud juga tidak akan menggerakkan kedua tangannya untuk mengambil harta-harta kekayaan manusia. Sedangkan seorang pencinta
Tuhan tidak akan mengarahkan pandangan kedua matanya untuk melihat selain-Nya.8

Telanjangilah diri kalian dari segala yang ada pada diri kalian hingga
Tuhan memakaikan kepada kalian pakaian yang tiada pernah tergantikan karena rusak. Tinggalkanlah pakaian kalian hingga Tuhan membungkus diri kalian dengan sebuah pakaian. Tinggalkanlah baju syahwat, kelembutan, ‘ujub
(membanggakan diri), dan kecintaan kalian agar diterima manusia dan mendapat
pujian (riya’) dan diberi hadiah dari mereka.

Jika kalian meninggalkan semua perbuatan seperti ini, ia mengatakan, kalian akan melihat tangan-tangan kelembutan-Nya untuk menjemput kalian,
kasih-Nya akan memeluk kalian, serta nikmat dan anugerah-Nya akan membungkus dan merengkuh kalian ke dalam-Nya. Kalian harus menuju-Nya.9

B. Abu Ja’far

Syaikh Abu Ja’far adalah seorang guru dari seorang sufi besar abad ke-3 H, yakni al-Muhảsibi. Walaupun beliau tidak secara langsung menulis hasil pemikirannya, namun pemikiran-pemikirannya itu ditulis oleh muridnya tersebut.
Di antara pemikirannya yang ditulis oleh muridnya adalah tentang riya’.
Beliau memberi pengertian riya’ ialah suka mendapatkan pujian dari orang banyak atas perbuatan baik yang telah ia lakukan.10

Riya’ adalah salah satu
penyakit hati yang bisa menyerang setiap orang yang beramal dan beribadah.
Penyakit yang satu ini bisa merusak bahkan menghancurkan nilai amal ibadah seseorang, walaupun seseorang tersebut sudah banyak melakukan amal perbuatan dan ibadah, namun semuanya akan menjadi tidak berharga. Orang tersebut tidak
mendapatkan balasan dari Tuhan, yakni ia tidak bisa merasakan hasil atau buah dari apa yang telah ia kerjakan baik di dunia maupun di akhirat.11

Sumber dari sifat riya’ menurut beliau ialah mencintai dunia.12

Dunia memiliki dua sisi, yakni sisi lahir dan sisi batin. Sisi batin dunia menurut beliau ialah menuruti ajakan hawa nafsu, seperti sombong, dendam, iri hati, riya’, buruk sangka, jelek nurani, cari muka, suka dipuji, cinta harta, bersaing dalam kekayaan,
saling membanggakan dirinya, dan cinta kedudukan. Adapun sisi lahirnya ialah harta, pakaian, rumah, pelayan, kendaraan, dan semua materi yang mendatangkan
kenikmatan sesaat. Para pecinta dunia hanya akan mendapatkan celaan dan memutuskan dirinya dari akhirat.13
Menurut al-Muhảsibih, kecintaan terhadap dunia sebuah pangkal dari setiap yang bertentangan dengan akhirat, dan yang menjadi sasaran empuk dari tipu daya setan untuk merusak umat dan menyia-nyiakan batasan-batasan hukum agama.

Al-Muhảsibi melanjutkan, cinta dunia merupakan pangkal dari bencana dan sumber dari setiap kesalahan. Bermula dari sinilah para manusia mengabaikan
hak-hak Tuhan dan menelantarkan hukum-hukum-Nya, berupa perintah shalat, puasa, zakat, serta seluruh kewajiban yang lainnya.14

Menurut beliau, ketika seseorang sudah menggandrungi dunia, maka ia akan lebih senang untuk tinggal bersamanya. Ia ingin tinggal di dunia selama-lamanya, mempopulerkan kedudukannya, mendapatkan pujian, dan namanya akan selalu disebut dengan kebaikan. Ia juga ingin membangun citra kelompoknya di
kalangan para pengikutnya agar namanya semakin terkenal.15

Al-Muhảsibi melarang manusia agar jangan sampai terpedaya oleh setan dan wakil-wakilnya di antara manusia hanya karena alasan yang lemah di sisi Tuhan. Sesungguhnya mereka itu adalah orang yang rakus terhadap dunia lalu mereka mencari-cari alasan untuk diri mereka.16

Menurut beliau, ada tiga hal yang menjadi tanda orang yang berbuat riya’, yakni jika berada di tengah orang banyak ia akan giat, jika ia sendirian maka ia merasa malas untuk mengerjakannya, dan terakhir ingin mendapatkan pujian dalam segala tindakan.17

Sedangkan Sayyid Muhammad Nuh memperkuat pendapat beliau tentang tanda orang yang melakukan perbuatan riya’. Ia juga membagi tanda orang yang
berbuat riya ada tiga pula. Di antaranya:

Pertama, Rajin dan melipat gandakan ketika sedang mengerjakan perbuatan amal baik bila ia mendapat pujian, tetapi ia akan malas mengerjakannya
dan enggan melakukan amal baik kalau tidak mendapatkan pujian.

Kedua, rajin dan suka melipat gandakan perbuatan baik jika ia berada di antara kerumuan orang banyak, tetapi ia merasa malas berbuat kebaikkan ketika
sedang sendirian atau jauh dari kerumuan orang banyak.

Ketiga, tidak melanggar larangan Tuhan jika berada di antara orang
banyak, tetapi ia akan melanggarnya ketika ia sedang berada sendirian atau jauh
dari orang banyak.18

Faktor yang menjadi penyebab seseorang yang melakukan riya ialah karena kurangnya pengetahuan tentang Tuhan. Orang yang bodoh atau kurang
mengenal Tuhan bisa menjadi penyebab seseorang tidak mengagungkan atau menghormati hukum-hukum Tuhan, Ia menganggap kalau dirinya mampu
memberikan kerusakan dan kemaslahatan. Dari sini ia pun cenderung ingin memperlihatkan (riya’) amal perbuatan baiknya kepada orang-orang, agar orang
lain memberikan sesuatu terhadap dirinya.

Perbuatan tamak juga bisa menjadi faktor penyebab seseorang untuk berbuat riya’. Tamak terhadap materi yang ada pada diri orang lain dan
menginginkan dunia bisa membuat seseorang berbuat pamer (riya’). Agar orang
lain mempercayainya, hati orang lain menjadi lunak, dan akhirnya mereka memberikan sesuatu terhadap dirinya. Ia pun akan memperlihatkan amal baiknya.19

C. Ibnu ‘Ata’illah

Sebagaimana halnya syaikh abdul Qadir al-Jailani yang secara langsung memberikan sebuah pengertian secara khusus tentang riya’, Ibnu “ata’illah pun tidak memberikan pengertian secara jelas. Namun di dalam kitabnya, beliau menyebutkan istilah tentang riya’. Beliau mengatakan, terkadang riya’ itu masuk
di dalam diri anda sekiranya orang lain tidak melihat kepada diri anda.20

Menurut syaikh Muhammad bin Ibrahim seorang ulama yang mensyarakhi (memberikan penjelasan) kitab al-Hikam Ibnu ‘Ata’illah menjelaskan, maksud
dari Ibnu ‘Ata’illah itu adalah anda ada di sebuah tempat tetapi manusia tidak melihat diri anda di tempat tersebut.

Menurut Muhammad bin Ibrahim, riya’ itu ada dua macam. Yakni riya’ al-Jalỉ (riya’ yang jelas) dan riya’ al-Khảfi (riya’ yang samar). Pertama riya yang
jelas ialah seseorang yang melakukan perbuatan amal ketika berada di hadapan orang lain.
Kedua riya’ yang samar ialah seseorang yang melakukan perbuatan riya’ tetapi ia menyamarkan perbuatannya tersebut ketika ia berada di hadapan orang lain.21

Kemudian Ibnu ‘ata’illah memberi perumpamaan tentang seseorang yang berbuat amal harus tanpa ada keinginan lain. Ia mengatakan, janganlah anda berangkat dari satu keadaan menuju keadaan yang lainnya. Maka jadilah anda
seperti hewan keledai penarik gilingan. Ia berjalan sedang jalan yang ia tempati adalah sebuah tempat yang ia mulai berangkat.22

Siapa saja yang melakukan perbuatan amal baik, maka hendaknya mereka menyandarkan perbuatannya itu hanya karena Tuhan semata, dan bukan karena
yang lainnya, termasuk mengharapkan surga. Karena surga juga termasuk makhluk Tuhan. Oleh sebab itu, untuk menghindari perbuatan riya’ maka
seseorang yang melakukan perbuatan baik harus menanamkan sifat ikhlas.
Kemudian Labib Mz mengutip ucapan al-Muhảsibi. 

“Ikhlas adalah menuju Tuhan dengan cara mentaatinya, tidak ada yang lain dikehendaki selain-Nya.

Adapun riya‟ itu terbagi menjadi dua macam. Riya‟ mentaati Tuhan tapi karena manusia, dan tujuannya karena manusia dan
Tuhannya, keduanya termasuk perbuatan amal”.23

Itulah pernyataan Ibnu ‘Ata’illah mengenai tentang riya’. Riya’ yang
dimaksud oleh beliau terkadang tanpa bisa diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu kita harus berhati-hati terhadap riya’ yang samar seperti ini. Kalau tidak
berhati-hati, maka ia bisa celaka.

BAB IV
PANDANGAN RIYA’ MENURUT AL-GHAZALI

A. Pengertian Riya’

Riya‟ berasal dari kata ru’yah yang artinya melihat, sementara sum’ah
berasal dari kata samả‟ yang artinya mendengar.1 Sedangkan al-Ghazali memberikan sebuah pengertian tentang riya‟  adalah mencari kedudukan di dalam
hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka tentang beberapa hal yang sifatnya kebaikan.2

Di dalam kitab yang lainnya, al-Ghazali mendefinisikan riya‟
adalah mencari sebuah kemasyhuran atau ketenaran dan kedudukan dengan menggunakan ibadah.3  Di dalam kitab minhảj al-‘Abidỉn, al-Ghazali memberi
pengertia riya‟ ialah seseorang mengerjakan sesuatu tetapi hanya ingin memperoleh kemanfaatan dunia dengan jalan melakukan ibadah.4

Pengertian riya‟
yang dijelaskan oleh al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ dan kitab yang lainnya artinya sama, yakni memperlihatkan kebaikan, pangkat, kedudukan di hati
manusia menggunakan dengan amal-amal perbuatan selain ibadah, dan terkadang juga memakai dengan amal ibadah.5
 
Jadi al-Ghazali mendefinisikan riya‟ itu dikhususkan dengan hukum kebiasaan untuk mencari kedudukan di hati manusia dengan cara ibadah dan diperlihatkannya.6

Sedangkan menurut Abdullah bin Husain, riya‟ adalah melakukan amal perbuatan karena manusia.7 Intinya, riya‟ adalah sebuah
perbuatan yang dilakukan dihadapan seseorang atau orang banyak tetapi ia mempunyai tujuan agar memperoleh perhatian dan pujian dari mereka. 

Jadi, penulis menyimpulkan tentang pengertian riya‟ ialah beramal melakukan perbuatan baik tapi ingin diperlihatkan di depan orang lain agar apa yang telah ia lakukan itu memperoleh perhatian dan pujian dari manusia.

Adapun riya‟ menurut Muhammad Ali Ba‟athiyah adalah mencari sebuah kedudukan dan kemuliaan di hadapan manusia dengan menggunakan perbuatan-
perbuatan yang berkaitan dengan urusan akhirat. Misalnya mendirikan shalat, berpuasa, bershadaqah, berhaji, dan membaca al-Qur‟an agar memperoleh pujian dan kemuliaan dari orang yang melihatnya.8

Sedangkan al-Ghazali menjelaskan lagi tentang pengertian riya‟ ialah
keinginan manusia akan kedudukan di hati manusia dengan menaati Tuhan. Maka manusia yang berbuat riya‟ seperti itu adalah manusia yang beribadah dengan memperlihatkan ibadahnya dihadapan manusia.9

Riya‟ adalah satu di antara dua perbuatan syirik, yakni sebuah perbuatan syirik yang samar. Perbuatan riya‟ ini bersumber dari rasa keinginan seseorang
memperoleh perhatian dari sesama makhluk sehingga sehingga orang tersubut bisa memperoleh jabatan, kedudukan, dan sanjungan dari orang lain.10

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi, riya‟ adalah syirik yang tersembunyi. Kemudian beliau mengutip sebuah hadis nabi, “hindarilah syirik kecil”. Lalu para sahabat bertanya, “apa syirik kecil itu?”Nabi menjawab, riya’. Ia
adalah salah satu dari dua syirik.”
Asal timbulnya sifat syirik ialah karena mencari simpati atau perhatian di dalam hati manusia dengan cara menonjolkan sifat-sifat baiknya agar memperoleh kedudukan dan sanjungan agar ia memperoleh keseganan di antara manusia.11

Penyakit hati yang sangat buruk yang menimpa pada diri manusia ialah kemusyrikan. Karena memberikan sebuah rububiyah kepada yang tidak mempunyai hak menerimanya dan memberikan berbagai macam ubudiyah
(ibadah) kepada yang tidak berhak untuk mendapatkannya.
Seseorang bisa saja terkena penyakit kemusyrikan yang tersembunyi, yaitu riya‟ sehingga manusia melihatnya mengerjakan segala sesuatu amal perbuatan
seolah-olah beribadah kepada seseorang atau masyarakat, kemudian dari sinilah ia
mulai terjerumus ke dalam sifat riya‟ yang sangat berbahaya juga membawa dampak yang sangat negatif terhadap orang yang melakukannya.

Masalah yang terbesar diupayakan oleh manusia adalah keselamatan
dirinya di samping Tuhan. Sementara itu, banyak sekali nash yang menerangkan kebinasaan orang yang beramal tidak ikhlas untuk mencari keridhaan Tuhan.

Dalam buku Sa‟id Hawa, ada sebuah hadis shahih yang menyebutkan tiga orang
yang pertama kali menjadi bahan bakar api neraka dari golongan orang-orang yang berbuat maksiat, yaitu orang yang riya‟ dengan jihadnya, orang yang riya‟
dengan ilmunya, dan orang yang riya‟ karena kedermawanannya.12

Riya‟ menurut al-Ghazali ada dua, yang pertama riya‟ khusus. Riya‟ ini hanya bertujuan untuk mencari keuntungan dunia saja tanpa diimbangi dengan tujuan akhirat. Sedangkan riya‟ yang kedua ialah riya‟ campuran. Riya‟ ini
mempunyai tujuan dunia dan akhirat. Jadi, riya‟ yang khusus itu tidak dimiliki oleh orang-orang yang makrifat.

Adapun menurut gurunya, al-Ghazali mengatakan, riya‟ yang khusus itu tidak akan terjadi pada orang yang makrifat dalam keadaan sadar akan akhirat, tetapi terjadinya itu ketika dalam keadaan lengah. Sedangkan riya‟ campuran itu bisa menghilangkan seperempat bagian pahala.13

Adapun di kitab lainnya al-Ghazali membagi riya‟ menjadi tiga.

Pertama
riya‟ yang jelas, yakni riya‟ yang mendorong terwujudnya sesuatu amal perbuatan hingga ia merasakan kalau tidak adanya riya‟ tidak ada rasa kesenangan dalam melakukan amal perbuatan.14

Kedua
riya‟ yang samar, yakni riya‟ yang tidak mampu untuk mewujudkan
amal perbuatan tetapi ia merasakan kesenangan ketika melakukan amal perbuatan,
sehingga orang yang memiliki riya‟ yang semacam ini akan menjadi lemah semangatnya dalam melakukan amal tanpa adanya riya‟ tersebut.

Misalnya orang yang melakukan shalat tahajjud diwaktu malam hari, apabila ia kedatangan tamu maka ia akan semangat melakukan shalat tahajjudnya.
Yang lebih samar dari tingkatan ini bahwa perbuatan tersebut tidak menambah semangat, tetapi jika ia sedang melakukan shalat tahajjud kemudian dilihat oleh orang lain, ia merasa bahagia dan di dalam dirinya ada rasa sangat puas.
Hal yang semacam ini menunjukkan kalau riya‟ tersebut berada di tengah-tengah hati seserang sebagaimana terpendamnya api dibawah rasa cinta, sehingga terbukalah rasa kesenangan daripadanya ketika diperlihatkan. Sedangkan hatinya
sudah lupa terhadap kecintaan itu.15

Ketiga
riya‟ yang samar, riya‟ ini tidak merasa senang kalau orang lain
melihatnya, akan tetapi riya‟ itu terjadi biasanya ketika memulai salam. Dan ia merasa heran terhadap orang yang berbuat jahat terhadap dirinya dan tidak mau
bertoleransi di dalam perdagangan serta ia tidak mau menghormatinya.

Hal yang seperti ini menunujukkan amal perbuatannya diberikan hanya kepada manusia; seolah-olah ia memberikan penghormatan kepada manusia
dengan perbuatan ibadah dengan menyembunyikan sifat riya‟ itu terhadap manusia.16

Sifat riya‟ itu terkadang datang pada saat berniat untuk mengerjakan ibadah, tetapi rasa riya‟ itu tidak menghilangkan kesadaran dirinya dari golongan
ibadahnya, melainkan hanya semata-mata hanya untuk memperoleh kesenangan dirinya sendiri dalam menjalankan ibadah yang tidak memberi pengaruh sama sekali pada pelaksanaan ibadah tersebut. Kecuali hanya bisa menambah bagusnya
saja, maka perasangka yang kuat menyatakan bahwa ibadahnya tidak rusak, sedangkan kewajibannya terlaksanakan.17

Menurut al-Ghazali, kalau saja orang-orang menyadari akan perbuatan-perbuatan yang telah mereka kerjakan, maka mereka akan memaklumi bahwa kebanyakan ilmu-ilmu yang mereka peroleh dan ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan sesungguhnya dihasilkan dari dorongan riya‟. Karena kesukaannya mencari pengaruh agar orang lain memuji dirinya adalah termasuk memperturutkan hawa nafsu, dan disebabkan oleh perbuatan seperti inilah banyak
manusia yang hancur binasa.18

Hawa nafsu selalu mengajak manusia untuk berbuat riya‟ dengan memperindah amal dan merasa senang kepadanya, sedangkan kebencian terhadap
perbuatan riya‟ akan mengajak untuk menolak dan berpaling dari padanya. Dalam masalah ini kekuatan manusia akan tergerak untuk mengikuti dorongan yang lebih kuat. Andai saja kebencian terhadap riya‟ lebih kuat sehingga bisa mencegah datangnya perbuatan riya‟ kedalam amal perbuatan dan menemani amal ibadah yang sedang dikerjakan; artinya amal ibadah manusia tidak akan bertambah juga tidak akan berkurang karena riya‟.19

Oleh sebab itu, al-Ghazali mekankan agar sifat riya‟ itu dihilangkan. Karena sifat riya‟ benar-benar bisa menghilangkan semua amal perbuatan baik
dan merupakan menjadi sebab kemurkaan serta mendatangkan kebencian Tuhan terhadap siapa saja yang melakukan riya‟.
Riya‟ merupakan sebuah sifat perusak jiwa dan hati yang sangat besar. Oleh sebab itu, keadaannya memang benar-benar nyata sangat membahayakan. Oleh karena itu, keberadaan riya‟ yang ada di dalam diri seseorang harus
dilenyapkan sama sekali hingga ke akar-akarnya dari dalam hati.20

B. Tujuan Riya’

Al-Ghazali mengatakan, orang yang berbuat riya‟ itu pasti mempunyai tujuan dan maksud yang terkandung di dalam hatinya. Ia melakukan perbuatan
riya‟ adakalanya sebab menginginkan untuk memperoleh harta, kedudukan, kemasyhuran ataupun hal-hal yang lainnya. Inipun ada pula tingkatan-
tingkatannya.21

Pendapat  Sa‟id Hawa juga tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali. Sa‟id mengatakan, manusia yang melakukan perbuatan riya‟ pasti
mempunyai tujuan yang tertentu. Ia melakukan perbuatan riya‟ adakalanya bertujuan untuk mendapatkan harta, kedudukan, atau tujuan-tujuan yang lainnya.22

Tetapi penulis akan menulis tujuan riya‟ di sini menurut pandangan al-Ghazali.

Tujuan yang pertama menurut al-Ghazali adalah ia melakukan riya‟ tapi punya maksud untuk bermaksiat, seperti seseorang yang memamerkan ibadahnya,
menunjukkan ketaqwa dan kewara‟annya, sedangkan tujuannya ialah supaya orang lain menganggap bahwa ia adalah seorang yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, ia diharapkan agar bisa diangkat menjadi kepala daerah atau diserahi untuk membagi-bagikan harta zakat, namun tujuannya ialah hendak untuk menyalah gunakan kekuasaannya atau mencurinya.

Juga agar ia diberi sebuah titipan, lalu digelapkan atau supaya dapat
berhubungan dengan wanita dan bisa bersenang-senang dengan jalan yang curang dan penuh dengan kemesuman dan lain-lain sebagainya. Demikian pula seperti
orang yang menghadiri majlis ilmiah ataupun nasehat, tetapi tujuannya hanyalah untuk melihat kaum perempuan atau orang-orang banci yang ia sukai.

Semuanya itu menurut al-Ghazali adalah seburuk-buruknya perbuatan riya‟ kepada Tuhan, sebab ketaatan terhadap Tuhan dijadikan sebagai bahan untuk
bermaksiat kepada-Nya, dijadikan terhadap kesucian agama. Agaknya dapat digolongkan ke dalam hal ini adalah seseorang yang melakukan kemaksiatan
secara terus-menerus, tetapi di luarnya ia menunjukkan ketakwaan dan dengan demikian hilanglah orang lain bahwa ia terus-menerus melakukan kemaksiatan tadi.23

Sa‟id menguatkan pendapat al-Ghazali, tujuan ini dianggapnya yang paling berat, yakni seseorang melakukan perbuatan riya‟ tapi untuk bisa melakukan perbuatan maksiat. Seperti orang yang riya‟ dengan ibadahnya dan
menampakkan ketakwaan dengan memperbanyak amalan-amalan sunnah dan menahan diri dari memakan makanan yang syubhat, tetapi tujuannya agar bisa
dikenal sebagai orang yang amanah. Kemudian ia mengurusi masalah peradilan, wakaf, harta anak yatim, pembagian zakat atau shodaqoh untuk mengambil
sebagian dari apa yang bisa diambilnya.

Terkadang sebagian mereka ada yang mengenakan pakaian layaknya seorang sufi, berpenampilan khusyu‟, berbicara penuh hikmah seperti orang
memberikan nasehat dan peringatan, tetapi ia tujuannya hanya untuk dicintai oleh seorang perempuan, lalu ia melakukan perbuatan dosa.24

Adapun tujuan riya‟ menurut Ahmad Farid ialah bermaksud untuk menutupi kemaksiatan yang telah ia lakukannya, seperti orang yang dilihat ibadahnya lantas ia menampakkan ketakwaan dan kewara‟annya. Tujuannya
adalah untuk dikenal orang lain sebagai orang yang mempunyai amanah, kemudian ia merasa akan diberikan kedudukan karena sifatnya tersebut. Atau bisa
saja karena sifatnya itu ia akan diberikan sejumlah uang secara tersembunyi.
Orang mempunyai sifat riya‟ seperti ini adalah orang yang sangat dibenci Tuhan, karena ia menjadikan ketaatan sebagai jalan menuju kemaksiatan.25

Semua perbuatan tersebut, perbuatan riya‟ yang terburuk yang dilakukan terhadap Tuhan. Sebab ketaatan kepada Tuhan dijadikan sebagai sarana untuk melakukan kemaksiatan terhadap-Nya. Juga termasuk ke dalam golongan di atas adalah orang yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, tetapi mereka
menutupinya dengan menunjukkan ketakwaannya agar ia dapat menolak dugaan negatif yang ditunjukkan kepada dirinya.26

Tujuan yang kedua menurut al-Ghazali ialah, mempunyai keinginan untuk memperoleh keduniaan seperti harta atau ingin mengawini seorang perempuan
yang cantik juga seorang bangsawan. Ia akan memperlihatkan ilmu yang ia miliki
serta ibadah-ibadah yang berat-berat agar ia bisa diterima lamarannya atau diberi harta yang dimaksudkan. Inipun riya yang terlarang sekali, sebab dengan berbakti kepada Tuhan itu digunakan untuk mencari benda kedunawian dan kehidupan
sementara. Namun dosa dari golongan ini menurut al-Ghazali masih dibawah dosa golongan yang pertama.27

Sa‟id memperkuat pendapat al-Ghazali. Ia mengatakan, tujuan melakukan riya‟ hanya untuk mendapatkan bagian dunia yang dibolehkan, misalnya harta
atau menikahi perempuan cantik atau perempuan yang mempunyai kedudukan yang mulia. Seperti orang yang menampakkan kesedihannya, tangisan dan sibuk
memberikan nasehat dan peringatan agar diberikan harta dan bisa menikahi dengan seorang perempuan, kemudian ia bermaksud untuk menikahi perempuan tersebut atau bahkan ia bertujuan untuk menikah perempuan mulia secara umum.
Atau seperti orang yang ingin menikahi seorang anak perempuan yang ahli dalam agama yang ahli beribadah,. Kemudian ia menampakkan ilmu dan ibadahnya agar dinikahkan dengan anak perempuannya. Ini adalah perbuatan riya‟ yang terlarang
karena merupakan perbuatan mencari kesenangan hidup dunia melalui ketaatan terhadap Tuhan. Tetapi tingkatan tujuan perbuatan riya‟ semacam ini masih dibawah tingkatan perbuatan riya‟ yang pertama. Sebab apa yang ia cari dengan melakukan perbuatan yang dibolehkan.28

Begitu juga Ahmad Farid menjelaskan tujuan riya‟ yang kedua ini yakni ingin mendapatkan dunia, misalnya ingin memperoleh harta atau agar ia bisa dinikahkan dengan seseorang perempuan. Ia akan menampakkan ilmu dan
ibadahnya agar disukai di dalam pernikahannya juga agar ia diberikan sebuah harta. Riya‟ yang seperti ini sangat terkutuk, tetapi lebih ringan dari riya‟ yang
pertama, karena ia meminta kesenangan dunia melalui cara ketaatan kepada Tuhan.29

Tujuan riya‟ yang ketiga menurut al-Ghazali ialah bukan untuk
memperoleh atau ingin mengawini perempuan, tetapi ia memperlihatkan amal ibadahnya dengan cara yang sangat baik. Ia bermaksud agar jangan ada orang
yang menganggap dirinya kurang, sehingga orang-orang menyangka bahwa ia bukan termasuk golongan yang ahli zuhud atau golongan yangkhusus.
Ia merasa takut derajatnya disamakan dengan kebanyakan orang. Seperti orang yang biasanya biasanya berjalan dengan cepat-cepat, tetapi setelah ada
orang lain yang melihat dirinya, tiba-tiba ia berjalan dengan sangat berlahan sekali dan ia pun merubah gaya berjalannya dengan cara yang baik. Tujuannya agar tidak dinamakan orang yang tergesa-gesa, dan ia agar dianggap sebagai orang yang tenang dan khusyu‟ dalam berperilaku.30

Sa‟id juga mengatakan, riya‟ yang ketiga ini tidak ada tujuannya untuk mendapatkan harta atau pernikahan, tetapi ia menampakkan perbuatan ibadahnya karena ia mempunyai rasa takut dipandang kurang atau dianggap sebagai orang khusus dan zuhud, atau ia mempunyai rasa takut dianggap sebagai orang biasa. Seperti orang yang berjalan tergesah-gesah, lalu setelah  dilihat oleh orang lain ia
berjalannya biasa saja agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak mempunyai wibawa. 31

Farid menguatkan pendapat al-Ghazali dan Sa‟id, riya yang tidak dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu, seperti ingin mendapatkan harta atau
ingin dinikahkan. Akan tetapi ia menampakkan ibadahnya karena ia merasa takut kekurangannya terlihat oleh orang lain, dan tidak dianggap sebagai orang yang
memiliki kekhususan dalam ibadah dan kezuhudan, sehingga ia akan dianggap sebagai orang awam pada umumnya.32

Termasuk riya‟ yang tidak ada tujuan untuk mendapatkan harta dan mengawini ialah sebagaimana yang dikatakan oleh al-Ghazali lagi, orang yang habis ketawa terbahak-bahak atau sedang bersenda gurau, kemudian karena
merasa takut dilihat orang dengan pandangan penghinaan, lalu segera diikutinya perbuatan tadi dengan membaca istighfar atau bernafas yang sangat panjang serta menunjukkan seolah-olah ia merasa sangat sedih karena telah melakukan perbuatan seperti tadi.33

Tujuan membaca istighfar dan menarik nafas sangat panjang tersebut menurut al-Ghazali  hanyalah sebagai cara untuk mencari alasan agar tidak
memperoleh ejekan atau hinaan dari orang-orang. Juga ia bermaksud supaya dianggap sebagai orang yang khusyu‟, berwibawa, tenang, dan tentram.34

Perbuatan-perbuatan riya‟ tersebut merupakan tindakan-tindakan riya‟
akan akan mendatang kerugian dan bencana bagi dirinya sendiri. Apabila semuanya itu dilakukan oleh seseorang, maka semuanya itu akan menguatkan sifat riya‟ yang ada di dalam hatinya.

Oleh sebab itu, seseorang harus ikhlas dalam mengerjakan segala
perbuatannya, karena orang yang mengerjakan dengan niat ikhlas, bagaimanapun pandangan orang lain terhadap dirinya tidak akan dihiraukannya. Ia melakukan
amal ibadahnya hanya mencari keridhaan Tuhan. Demikianlah tingkatan-tingkatan tujuan riya‟ dari berbagai golongan orang
yang suka melakukan perbuatan riya‟. Mereka semua dimurkai dan tidak diridhai oleh Tuhan. Kiranya perlu untuk ketahui bahwa perbuatan riya‟ itu merupakan
perkara yang paling membinasakan.35

C. Tingkatan-tingkatan Riya’

Manusia yang melakukan perbuatan riya‟ biasanya mempunyai penyabab
yang ia gunakan untuk diriya‟kan. Biasanya manusia yang berbuat riya‟ karena ia mempunyai kelebihan-kelebihan yang ada di dalam dirinya. Seperti mempunyai
ilmu yang tinggi, harta yang banyak, dan kelebihan-kelebihan yang lainnya. Namun al-Ghazali mengelompokkan sesuatu yang menjadi penyebab riya‟ ke dalam lima bagian. Yakni, kelompok yang dipergunakan oleh manusia untuk
melakukan berhias diri kepada manusia. Misalnya, anggota badan, pakaian, ucapan, perbuatan, pengikut, dan hal-hal yang ada di luar tadi. Dan penulis akan
memaparkatan kelompok-kelompok yang diriya‟kan tersebut.

1. Riya‟ dalam urusan agama dengan menggunakan anggota badan.

Riya‟ yang demikian menurut al-Ghazali adalah memperlihatkan keadaan kurus dan pucat agar agar ia disangkanya orang yang keras berijtihad, besar prihatinnya terhadap urusan agama, serta menang takutnya pada akhirat. Dengan keadaan kurus ia menunjukkan kalau ia sedikit makannya dan dengan
kepucatannya ia ingin menunjukkan kalau ia kurang tidur malam,dan dengan banyak berijtihad ia ingin menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang sangat prihatin terhadap agama.36

Sedangkan menurut Ahmad Farid, riya‟ yang menampilkan badan di
dalam agama adalah dengan memperlihatkan lekukan tubuh kepada orang lain agar ia diperhatikan seolah-olah ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agama, juga agar ia dilihat sebagai orang yang memiliki rasa sedih dan takut terhadap kehidupan akhirat.37

Begitu juga yang dikatakan oleh Nawawi tentang manusia yang
melakukan riya‟ dalam agama yang menonjolkan anggota badan seperti muka pucat dan rambut acak-acakan. Padahal ia sendiri sebenarnya ingin menunjukkan
kalau dirinya adalah seorang yang sangat memikirkan masalah agama. Sehingga ia tidak ada waktu untuk menyisir rambut.38

Dengan demikian, al-Ghazali mengatakan, manusia yang berbuat riya‟ dengan rambut yang tidak terurus secara rapi. Tujuannya hanyalah untuk
menunjukkan pada penenggelaman lebih dalam cita-citanya pada agama.
Sehingga ia tidak ada kesempatan untuk menyisir rambutnya. Cara-cara seperti ini jika telah ditampakkan dan diperlihatkan, maka manusia akan mencari petunjuk dengan cara-cara tersebut untuk urusan-urusan yang diinginkannya. Oleh sebab
itu, maka nafsu akan mendorongnya untuk memperlihatkan cara-cara tersebut
agar memperoleh kesenangan untuk dirinya.39

Hampir senada dengan ini, mengecilkan suara, membiarkan matanya menjadi cekung dan bibirnya menjadi kering bertujuan untuk menunjukkan kalau
ia selalu melakukan puasa. Juga wibawa syari‟atlah yang membuat suara dirinya menjadi kecil, serta karena laparlah yang membuat tubuhnya menjadi lemah dan
lunglai.40

Ibnu Qudamah juga mengatakan riya‟ dalam agama tidak berbeda jauh dengan pendapat ulama lainnya. Ia mengatakan, riya‟ dalam agama ialah memperlihatkan kelemahan dan kepucatan untuk menunjukkan bahwa hal itu karena ia mengerjakan kerasnya dalam menjalankan ibadah, serta rasa takutnya tentang kehidupan di akhirat sangat tinggi. Begitu juga memperlihatkan rambut yang kusut untuk diketahui oleh manusia bahwa dirinya adalah seorang yang sibuk dalam urusan agama, sehingga ia tidak sempat untuk menyisir rambut.
Oleh sebab itu, Ibnu Qudamah mengutip ucapan Nabi Isa as di dalam kitabnya, “Bila salah seorang di antara kalian berpuasa, maka hendaknya ia meminyaki rambut dan menyisirnya.” Hal itu karena orang yang sedang
melakukan puasa dikhawatirkan terkena penyakit riya‟. Perbutan seperti ini adalah riya‟ dari arah badan bagi ahli agama.41
                                                         
Begitulah perbuatan riya‟ yang dikatakan oleh al-Ghazali bagi orang-orang yang yang ahli di dalam bidang keagamaan. Sedangkan orang-orang yang
keduniawian bersikap riya‟nya dengan memamerkan gemuknya badan, wajah yang tampan dan cantik, dan anggota tubuh yang otot-otonya kekar dan seimbang.42

2. Riya‟ dengan tingkah laku dan pakaian Riya‟ dalam tingkah laku dan pakaian seperti rambut yang tidak pernah disisir, mencukur kumis, menundukan kepala ketika sedang berjalan, pelan-pelan
ketika bergerak, menetapkan bekas sujud pada dahi, memakai pakaian tebal, memakai pakaian bulu, menyingsingkan pakaian yang dekat dengan betis, dan
yang lain-lainnya. Semuanya itu bisa digunakan untuk melakukan perbuatan riya‟ agar dirinya bisa disebut sebagai seorang yang taat dan sebagai seorang yang sudah berada pada keadaan yang mengikuti hamba-hamba Tuhan yang shalih.43

Ahmad Farid juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali tentang riya‟ yang berupa tingkah laku dan pakaian. Ia mengatakan, menyisir rambut, menegakkan kepala ketika sedang berjalan, bersikap santai ketika sedang berjalan, dan membiarkan bekas sujud menempel di wajahnya. Itu semua adalah perbuatan riya‟ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian. Dan ia mengharapkan orang lain melihat dirinya.44
                                                         
Termasuk perbuatan riya‟ yang berbentuk tingkah laku dan pakaian lagi ialah memakai pakaian-pakaian yang bertambal-tambal, melakukan shalat di atas sajadah, memkai pakaian bagus yang bisa menyerupai ahli tasawuf. Manusia yang melakukan tingkah laku dan cara berpakaian seperti itu adalah manusia yang hatinya kosong dari pengetahuan, dengan tujuan agar manusia lain menyangka
dirinya termasuk dari orang yang memiliki ilmu.45

Orang yang melakukan riya‟ dengan cara berpakaian seperti ini, menurut al-Ghazali mempunyai beberapa taraf pula. Ada yang mencari tempat di dalam hati
manusia shaleh dengan memamerkan sikap zuhudnya, serta berpakaian baju yang
kotor, pendek, kasar, dan compang-camping pakaiannya. Ia bermaksud bersikap riya‟ dengan memperlihatkan kalau dirinya tidak terlalu memperdulikan keduniaan.46

Hal yang seperti ini ditegaskan pula oleh Ibnu Quddamah. Seseorang yang melakukan perbuatan riya‟ dari arah penampilan ini juga bertingkat-tingkat. Di antara mereka ada yang mencari kedudukan di sisi orang-orang baik dengan menampilkan kezuhudan melalui pakaian yang bertambalan, kasar, dan kotor.
Tujuannya agar ia disangka sebagai orang yang zuhud dalam keduniawian.

Seandainya orang yang seperti ini diminta untuk memakai pakaian setengah bersih yang dipakai oleh golongan ulama shalih, maka hal itu baginya adalah seperti akan disembelih, dia takut orang-orang akan berkata, “dulu ia adalah seorang yang zuhud, namun sekarang ia telah meninggalkan kehidupan zuhudnya.”47

Orang-orang yang melakukan perbuatan riya‟ semacam ini menurut al-Ghazali, hanya sekedar untuk menjaga martabatnya. Sehingga ia menggunakan
dengan cara berpakaian yang tertentu, dan merasa berat untuk berpindah ke atas atau ke bawah karena khawatir dicela oleh orang lain.48

Hal yang seperti ini memang nyata di dalam kehidupan masyarakat, dimana orang-orang akan
berpenampilan dengan mengikuti situasi kehidupan lingkungan masyarakat tersebut.

3. Riya‟ dengan perkataan
Riya‟ dibidang ini menurut al-Ghazali, biasanya dilakukan di dalam sebuah pengajian, memberikan nasehat-nasehat dan memberikan kata-kata bijak,
menghafal hadis-hadis dan perkataan-perkataan para ulama untuk dipakai dalam bertukar pikiran guna untuk memperlihatkan banyaknya ilmu, juga membuktikan dirinya orang yang sangat memperhatikan keadaan para ulama dan orang-orang yang shalih.49

Farid menegaskan pula, riya‟ dengan ucapan maka riya‟ yang biasa digunakan oleh para ahli dalam ilmu agama dengan nasehat-nasehatnya yang baik.
Juga peringatan yang dikatakannya dan kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya itu untuk menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap keadaan
yang ia miliki.50

Kemudian al-Ghazali melanjutkan lagi yang termasuk riya‟ perkataan
ialah bertindak amar ma‟ruf nahi munkar di tengah-tengah orang banyak, memperlihatkan kemarahan terhadap sesuatu yang munkar juga bersedih hati
terhadap terjerumusnya umat manusia kedalam perbuatan dosa. Berbicara dengan suara yang lembut dan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur‟an secara pelan-pelan
agar menonjolkan kecemasan dan kesedihan.
Memperlihatkan keunggulan di dalam masalah ini, dan berdebat dengan tujuan mengalahkan lawan-lawannya agar orang-orang yang menyaksikan kejadian seperti ini mengetahui kalau dirinya adalah orang yang ahli dalam
masalah ilmu agama.

Adapun orang-orang mempunyai harta yang banyak, bertindak riya‟
dengan cara lisan. Dengan menghafalkan lagu-lagu dan pepatah-pepatah, serta
mengeluarkan kata-kata yang indah, juga menghafalkan kata-kata yang sulit agar
orang-orang pada merasa kagum dan dirinya terlihat sebagai orang yang pandai. Tetapi perbuatan seperti ini bermaksud untuk menarik hati orang lain.51

4. Riya‟ dengan perbuatan
Riya‟ dalam amal perbuatan seperti riya‟ orang yang melakukan shalat dengan berdiri agak lama, memperlambat mengangkat dari sujud dan ruku‟, menundukkan kepalanya, meninggalkan berpaling, memperlihatkan ketenangan dan ketentraman, dan berbuatan amal yang lainnya. 52

Orang melakukan perbuatan
riya‟ seperti ini maka akan kelihatan ketika ia sedang melakukannya. Seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali, orang yang berbuat riya‟ itu
kadang-kadang mempercepat ketika sedang berjalan dalam keadaan sangat butuh.
Oleh sebab itu, jika seseorang dari ahli dalam agama melihat kepada dirinya, maka ia akan kembali pada hormat dan menundukkan kepalanya. Karena ia merasa khawatir kalau suatu saat nanti ia dikatakan pada orang yang tergesah-gesah dan sedikit sekali rasa hormatnya.53

Adapun riya‟ amal perbuatan menurut Farid tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan oleh al-Ghazali. Ia mengatakan, riya‟ dengan amal perbuatan ialah
ia melakukan sebuah perbuatan agar bisa dilihat oleh seseorang ketika sedang shalat yang cukup lama berdirinya, sujud dan ruku‟nya juga dilama-lamakan, juga selalu menundukkan kepala dan tidak pernah menoleh.54

5. Riya‟ dengan banyak massa
Riya‟ yang terakhir menurut al-Ghazali ialah riya‟ dengan banyaknya teman, banyak yang berkunjung ke kediamannya, dan banyak orang yang mau bergaul dengan dirinya. Misalnya orang yang merasa berat ketika dikunjungi oleh seseorang yang ilmunya tinggi dari kalangan para ulama, agar dikatakan bahwa si
fulan itu telah berkunjung ke rumahnya Fulan, atau dikunjungi oleh seseorang yang ahli ibadah yang sangat terkenal.
                                                         
Orang seperti ini, menurut al-Ghazali, merasa dirinya agar dikatakan oleh orang lain, bahwa orang-orang yang ahli dalam agama telah mengambil sebuah
keberkahan setelah mengunjungi dirinya. Dan ahli agama bolak-balik menemui dirinya.55

Adapun menurut pendapat Farid tentang riya‟ dengan persahabatan dan kunjungan seperti halnya orang yang memaksakan dirinya untuk berkunjung ke rumah seorang alim dari kalangan ulama agar ia dikatakan sebagai seorang yang telah berkunjung kerumahnya seorang ulama.56

Jadi menurut penulis pendapat al-
Ghazali dan Farid tentang penyebab riya‟  tidak ada perbedaan. Semua pendapatnya sama.
Inilah sesuatu yang penting tentang mana orang  bersikap riya‟ yang tujuannya ialah untuk mencari kehebatan, kemasyhuran, dan memburu tempat di
hati orang banyak. Namun ada pula orang yang telah merasa cukup dengan keyakinan baik orang lain terhadap dirinya. Sudah berapa banyak para pendeta
yang mengurung dirinya selama bertahun-tahun di dalam biaranya, begitupun beribadah menyingkirkan diri dari keramaian masyarakat ke atas gunung dalam
masa yang begitu lama.57

D. Bahaya Riya’

Al-Ghazali mengatakan, suka berbuat riya‟ (pamer) merupakan syirik yang tersembunyi. Hal ini merupakan dari salah satu bentuk kesyirikan. Bila seseorang
berupaya untuk menarik hati orang agar ia menjadi orang yang berpengaruh dan terhormat, maka ia sudah melakukan kesyirikan.

Cinta terhadap pengaruh merupakan bagian dari mempertuhankan hawa nafsu, dank arena kecintaannya inilah kebanyakan manusia menjadi binasa. Namun, binasanya manusia disebabkan karena perbuatan mereka sendiri. Jika
manusia benar-benar mengetahuinya, tentu mereka akan menyadarinya bahwa karena suka berbuat riya‟ mendorongnya untuk menuntut ilmu dan beramal
dimaksudkan sebagai kepada Tuhan, bukan untuk memperoleh pujian dari sesama manusia; bila manusia suka berbuat riya‟, maka sia-sialah amal perbuatannya.58

Nawawi menguatkatkan pendapat al-Ghazali. Ia mengatakan, cinta
kedudukan termasuk perbuatan yang timbul karena dorongan hawa nafsu yang diikuti dan kebanyakan manusia menjadi binasa karenanya. Maka, seseorang tidak
akan binasa melainkan karena dengan sebab orang lain. Andai saja ornag-orang melakukan bersikap adil, maka ia mengetahui bahwa sebagian besar ilmu dan
ibadahnya yang ia kerjakan di samping amalan-amalan biasa tidak lain disebabkan karena riya‟, perbuatan riya‟ itu termask yang menjadi penyebab hilangnya
pahala.59

Oleh karena itu al-Ghazali mengharamkan sifat riya‟. Menurutnya, orang yang memiliki sifat riya‟ maka di sisi Tuhan ia termasuk orang yang terlaknat
dengan laknat yang sangat keras. Allah lebih memuji orang-orang yang berbuat dengan ikhlas yang meniadakan semua kehendak selain kehendak kerihaan Tuhan. Dan sikap riya‟ merupakan kebalikan dari sifat ikhlas.
Al-Ghazali mengutip ayat al-Qur‟an tentang bahayanya orang-orang yang melakukan perbuatan riya‟. Al-Qur‟an mengatakan yang artinya:

“Maka kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang
lalai dari shalatnya; orang-orang yang berbuat riya’.” (QS. al-Mả‟ủn: 4-6).  

Dalam surat yang lain juga menjelaskan tentang bahyanya riya‟, yang artinya:
“Dan rencana jahat mereka akan hancur”. (QS. al-Fảthir: 10).

Al-Ghazali juga mengutip ucapan sahabat Umar bin Khatab, Umar berkata kepada Mu‟adz bin Jabal-semoga Tuhan meridhai kepada keduanya-ketika Umar
melihat Mu‟adz menangis di samping sebuah kuburan, “apa yang membuat engkau menangis?”

Lalu Mu‟adz menjawab, “Sebuah hadis yang saya dengar dari
pemilik kuburan ini-yang dimaksudkan adalah Rasulullah SAW-dimana beliau pernah bersabda, “sesungguhnya sikap riya’ yang paling rendah nilainya setara dengan syirik”. Hadis ini diriwayatkan oleh imam at-Thabảri.61

Sedangkan menurut Sayyid Muhammad Nuh, orang yang melakukan perbuatan riya‟, maka ia akan tertutup dari hidayah dan pertolongan dari Tuhan.
Hanya Tuhan semata yang memiliki pintu hidayah dan pertolongan. Dan Dia pula yang mempunyai hak untuk menganugerahkan keduanya kepada orang yang Dia kehendaki. Tidak ada keputusan yang bisa ditolak setelah Tuhan telah menetapkan keputusannya, juga tidak ada yang bisa melawan hukum-Nya. Tuhan akan memberikan hidayah dan pertolongan hanya kepada orang yang beramal ikhlas dan tujuan niatnya benar.

Orang yang berbuat riya‟ juga hidupnya akan menjadi sempit dan merasa gelisah. Seseorang yang melakukan riya‟ di manapun ia melakukannya, hal demikian karena ingin mencari perhatian orang banyak dan mengharapkan
imbalan materi dari mereka, terkadang harapan dan keinginannya tidak terwujud
karena tidak sesuai dengan ketetapan dan takdir Tuhan.

Ketika harapan dan keinginanannya tidak terwujud, maka ia hidupnya terasa sempit dan merasa gelisah hatinya. Sebab, ia tidak mendapatkan keridhaan Tuhan dan tidak pula memperoleh hasil yang diharapkan dari orang banyak.62

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan rumusan masalah yang diajukan oleh penulis. Penulis akan menjawab pertanyaan apa riya’ menurut
al-Ghazali? Dan apa bahaya riya’ menurut al-Ghazali?

Riya’ adalah sebuah perbuatan seseorang yang mengerjakan perbuatan baik tetapi ia ingin mendapatkan perhatian atau simpati dari orang lain.
Sedangkan menurut al-Ghazali,  riya’ adalah mencari sebuah kemasyhuran atau ketenaran dan kedudukan dengan menggunakan ibadah. Jadi, riya adalah sebuah
perbuatan seseorang yang berbentuk amal perbuatan ibadah tetapi tujuannya hanya untuk mendapatkan pujian dari orang lain.

Riya’ adalah  sebuah sifat tercela yang ada di dalam diri manusia. Sifat ini mempunyai bahaya yang sangat luar biasa bagi seseorang yang melakukan perbuatan tersebut. Apalagi di zaman sekarang, seseorang tidak menyadari  apa yang ia kerjakan mengandung sebuah unsur tentang riya’.  Sehingga ia bebas
memamerkan apa saja yang ia dianggapnya sebuah kelebihan dirinya sendiri.

Bahaya bagi seseorang yang melakukan perbuata riya’ ialah ia telah melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) yang tersembunyai. Menurut Al-Ghazali sendiri, riya’ adalah syirik yang tersembunyi. Oleh sebab itu, seseorang harus bisa menjaga dirinya kalau ia ingin selamat dari yang namanya syirik.
Karena syirik adalah dosa besar yang tidak ampunan bagi orang yang melakukannya.
62

Kemudian bahyanya riya’ lagi adalah  mengahapus semua amal perbuatan kebaikkan orang tersebuat. Jadi, seseorang yang amal kebaikannya agar tidak
hulang, maka ia harus menjauhi yang namanya perbuatan riya’.

B. Saran-saran
Pembahasan tentang riya’ merupakan sebuah kajian sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena setiap manusia tidak bisa terlepas dari berbagai yang
namanya riya’ atau pamer. Apalagi di zaman yang serba modern ini, pastinya banyak sekali manusia-manusia yang hatinya mempunyai tujuan apa yang ia
lakukan agar dirinya mendapatkan perhatian dan pujian dari orangt lain.
Namun karena keterbatasan penulis dalam membaca dan meneliti tentang masalah riya’ , terutama riya’ dalam pandangan al-Ghazali yang karya-karyanya begitu banyak, sehingga penulis merasa kesulitan untuk membaca dan memahami karya-karya lainnya. Oleh karena itu, penulis memberi saran-saran ini kepada para akademisi dan masyarakat.
Saran yang diarahkan kepada para akademisi,  agar mereka bisa melanjutkan penelitian tentang masalah riya’ menurut al-Ghazali agar memperoleh keterangan-keterang yang lebih jelas dan memperoleh hasil yang
sangat memuaskan. Juga pembahasannya nanti menjadi lebih menarik.
Demikian pula saran kepada masyarakat, agar  masyarakat bisa menjaga hatinya dari sifat yang tercela ini, yakni riya’. Karena riya bukan hanya bisa merusak amal perbuatan saja, tetapi bisa membawa pelaku riya’ melakukan
kemusyrikan.. Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada masyarakat agar menjauhi sifat riya’.

Selesai

0 komentar:

Posting Komentar