KECERDASAN AKAL DALAM BERAGAMA
Anugerah istimewa dari Sang Pencipta kepada setiap manusia adalah AKAL. Ia istimewa karena keunggulan dan keluhurannya. Perbedaan mendasar dengan makluk lainnya itu terletak pada kecerdasan akalnya. Manusia mampu secara relatif maksimal dalam mendayagunakan dengan tepat dan baik kecerdasan akalnya.
Fungsi akalnya terdapat potensi dan aktifitas untuk menimbang, berpikir, menentukan pilihan-pilihan, atau mengambil satu alternatif keputusan atas rangkaian setiap masalah yang datang silih berganti sepanjang hayatnya. Oleh sebab itu, eksistensi manusia sangat ditentukan oleh keberadaan dan kewarasan akalnya.
PERSPEKTIF
Antar manusia sesama berakal dalam segala halnya hanya berbeda pada perspektif yang melingkupinya. Bukan karena manusia lebih berakal dari manusia lain, melainkan karena setiap atau sebagian manusia mengarahkan potensi akalnya itu ke arah atau jalur yang berbeda.
Bisa juga karena tingkat potensi kecerdasan manusia yang berbeda sehingga sebagiannya melihat dengan akurat apa yang tidak terlihat oleh yang lainnya.
Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kehidupan manusia di dunia ini menjadi statis atau dinamis, mundur atau maju, primitif atau berperadaban maju dan seterusnya adalah sangat dipengaruhi oleh aktifitas kecerdasan akal manusia yang terus berpikir, berinovasi, menentukan pilihan, dan atau memiliki kehendak yang berbeda-beda.
SYARAT TAKLIF
Bahkan agama samawi menjadikan akal sebagai syarat taklif (pembebanan hukum), sehingga manusia yang tidak waras akalnya (gila) sama sekali tidak dibebani kewajiban untuk melaksanakan ajaran agamanya. Hal ini menjadi bukti bahwa agama itu sejatinya hanya untuk manusia yang waras akalnya.
Oleh sebab itu pula, maka dalam beragama pun setiap orang berkewajiban menjaga kewarasan akalnya, yakni tidak memahami maksud dan menjalankan agama berdasarkan dorongan hawa nafsunya. Agar terhindar dari bencana.
AGAMA MENGUTAMAKAN KEWARASAN
Maksud baik dari diturunkannya agama di antaranya adalah untuk menjaga kewarasan akal manusia beserta segala potensinya. Ajaran Islam misalnya mengharamkan manusia mengkonsumsi segala zat yang memabukkan, dalam kadar yang sedikit atau banyak adalah untuk tujuan memelihara kewarasan akalnya.
Kewarasan dan kecerdasan akal sangat penting untuk terus menerus dipelihara, karena dengan kecerdasan akalnya itu manusia dapat membedakan mana yang bermanfaat dari yang sia-sia, mana yang benar dari yang bathil, apa yang halal dari yang haram, atau apa yang maslahat (manfaat) dari yang mafsadat (merusak)
AKAL BARU WARAS JIKA TAKLUK KEPADA WAHYU
Lebih-lebih jika akal itu dibimbing oleh wahyu, sedangkan wahyu dari Tuhan itu dipahami dengan sebenar-benarnya oleh akal yang waras lagi berisi ilmu. Dengan demikian, maka akal sehat itu menjadi penerang bagi pemiliknya menuju jalan kebenaran, kebaikan, hidayah dan segala kebajikan dunia dan akhirat.
Agama sangat mengecam manusia yang tidak menggunakan akalnya, dan sebaliknya memotivasi kita untuk banyak berpikir dan merenung agar memperoleh kebenaran yang hakiki, terhindar dari apa saja yang merusak, merugikan, dan apa saja yang bisa nembahayakan diri sendiri dan atau orang lain.
Beragama tanpa kewarasan dan kecerdasan akal berarti beragama dengan cara memperturutkan hawa nafsu yang memerintahkan kepada keseluruhan keburukan dan bahkan mungkin mengarah kepada bencana kemanusiaan. Akal sehat adalah pilar terpenting dalam beragama secara benar, manusiawi, lebih bijak, bermanfaat, dan lebih bermartabat.
BERIBADAH DENGAN HATI DAN AKAL SEHAT
Allah swt berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 18, "Dan, jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menghitungnya (karena banyaknya). Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Penyayang."
Sejatinya, bahwa hakikat ibadah itu adalah untuk melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai Allah swt dengan penuh kepasrahan dan karakter rendah diri kepada Allah. Ibadah merupakan bentuk membangun jalinan komunikasi antara manusia dengan Allah swt (hablum minallah). Hal ini telah ditegaskan Allah swt dalam Surat adz-Dzariyat ayat 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Beribadah itu harus merujuk pada tatanan yang benar, yang dibangun atas rasa cinta dan pengagungan. Beribadah tidak bisa dilakukan secara sembarangan, semaunya sendiri. Tetapi harus mengikuti tuntunan dalam al-Qur’an dan mengikuti petunjuk dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Pernahkah kita merenung tentang praktik beribadah yang kita lakukan sehari-hari? Apakah kita sudah cukup baik dan benar dalam melaksanakan ibadah atau hanya semata-mata menjalankan rutinitas saja? Ataukah masih merindukan untuk mendapatkan nilai tambah dari aspek spiritualitasnya?
Kita sering mendengarkan pengalaman ibadah dari teman-teman atau guru-guru kita sesama Muslim. Sehingga semakin dapat meningkatkan kualitas ibadah diri kita.
Kali ini, hadir, seorang mualaf yang menceritakan pengalaman ibadahnya secara alami. Seorang yang merupakan dosen dan peneliti bidang pendidikan matematika di Universitas Kansas, Amerika Serikat yaitu Jeffrey Lang.
Ia lahir dalam keluarga penganut paham Katolik, pada 30 Januari 1954. Selama perjalanan hidupnya, Jeffrey Lang sering bertanya-tanya yang tak kunjung mendapatkan jawaban, hingga akhirnya pada usia 18 tahun, Jeffrey Lang memutukan menjadi seorang atheis.
Alhamdulillah, akhirnya tidak bertahan lama. Jeffrey Lang berhasil mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaan yang ‘menggelisahkan’ tersebut, saat bekerja sebagai salah seorang asisten dosen di Jurusan Matematika Universitas San Fransisco. Jeffery Lang berhasil menemukan petunjuk bahwa Tuhan itu ada dan nyata. Petunjuk tersebut, ia dapatkan dari beberapa mahasiswanya yang beragama Islam. Subchanallaah.
Jeffrey Lang– sebagaimana dalam sinopsis bukunya, menegaskan bahwa menulis buku memiliki tujuan pertama dan terutama untuk anak-anaknya –untuk menuntut mereka melalui al-Qur’an dalam cara yang mengagumkan dan memperkenalkan mereka kepada Lima Rukun Islam, dengan menekankan spiritualnya ketimbang rutinitas legalistiknya.
Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-An’am ayat 162, “Katakanlah, Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta alam”.
Dengan meresapi makna di balik Rukun Islam, menyeru kepada keimanan, keintiman dalam beribadah, pengalaman menjalankan rukun Islam: saat berpuasa Ramadhan, zakat, haji, dan ditutup dengan bahasan tentang ibadah dan tujuan hidup manusia.
Seorang mualaf yang juga profesor matematika berhasil menjelaskan bahwa ibadah-ibadah ritual merupakan bagian penting dalam ajaran Al-Qur’an untuk meningkatkan kualitas diri manusia.
“Kita perlu meletakkan sedikit akal pada perasaan, agar berjalan lurus, tidak emosi. Kita juga perlu meletakkan sedikit hati, perasaan di dalam akal agar tidak menjadi orang yang arogan,” tuturnya.
Pendiri Pusat Studi Qur’an (PSQ) itu menyebutkan, akal memiliki kelemahan, bisa letih jika terus digunakan dan dapat mengalami kesalahan.
“Oleh karena itu, perlu berhati-hati dan akal perlu pendukung yaitu hati,” tandasnya.
Menurut Prof Quraish, akal juga memiliki bidang garapan tersendiri dan memiliki bidang operasinya sendiri. Sehingga tidak bisa membawa akal untuk mengukur moral karena akal hanya mendukungnya.
“Ada dua hal yang akal tidak dapat kerjakan tapi hati dapat lakukan, yaitu iman dan cinta. Akal tidak dapat berperan dalam hal itu, misalkan memang berperan pasti seorang ibu lebih memilih anak yatim yang gagah dan baik untuk dijadikan anak, daripada memilih anak kandungnya sendiri yang buruk. Di situlah hati berperan,” jelasnya.
ILMU DAN IMAN
“Ada banyak perbedaan ilmu dan iman yang dapat saling menguatkan. Ilmu itu memberi kekuatan pada manusia serta menerangi jalannya. Sedangkan iman itu menerapkan arah untuk memelihara niat suci manusia,” terangnya.
Prof Quraish menambahkan, ilmu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sedangkan iman akan menyesuaikan jati diri manusia dengan diri manusia itu sendiri, sehingga akan sesuai dengan apa yang diimani.
“Ilmu dapat diibaratkan dengan air telaga yang tenang, tetapi seringkali meresahkan. Sedangkan iman seperti air bah, tetapi selalu menenangkan. Karena ilmu adalah hiasan lahir dan iman adalah hiasan batin,” imbuhnya.
Pria asal Sidrap Sulawesi Selatan ini menegaskan, ilmu tanpa iman sama dengan lentera di tangan pencuri. Sedangkan jika iman tanpa ilmu sama dengan kompas di tangan bayi. “Keduanya tidak akan bermanfaat untuk manusia,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar