AFIYAH
Dalam sebuat riwayat hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh Syaikh Nawawi dalam kitab Nashoihul ibad, Rosul menjelaskan makna afiyah :
وقال رسول الله: العافية على عشرة أوجه، خمسة فى الدنيا وخمسة فى الآخرة؛ فأما التي فى الدنيا فهي العلم، والعبادة، والرزق من الحلال، والصبر على الشدة، والشكر على النعمة، وأما التي فى الآخرة فإنه يأتيه ملك الموت بالرحمة واللطف، ولا يروعه منكر ونكير فى القبر، ويكون آمنا فى الفزع األكبر، وتمحى سيئاته وتقبل حسناته، ويمر على الصراط كالبرق الالمع ليدخل الجنة فى السلامة.
Rasulullah bersabda : “Al-Afiyah” itu terbagi sepuluh macam. Lima macam di dunia dan lima macam lagi di akhirat. Lima yang di dunia adalah : ilmu, ibadah, rejeki yang halal, sabar atas penderitaan atau ketika sulit, dan bersyukur atas segala nikmat. Sedangkan lima yang di akhirat adalah : didatangi malaikat maut dengan kasih sayang dan lembut, tidak dikagetkan atau ditakuti oleh malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur, aman dari segala ketakutan, dihapus segala kesalahan dan diterima segala amal kebaikan, dan dapat melewati “siroth” seperti kilat untuk masuk surga dengan selamat.
MAKNA 'AFIYAT
Lima kriteria afiat di dunia, menurut Rasulullah. Pertama, gemar mencari dan menambah ilmu. “Salah satu kriteria orang yang afiat adalah dia selalu gemar mencari dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu Islam. Jadi, jangan bicara afiat kalau alergi datang ke tempat pengajian atau majelis ta’lim,” ujarnya.
Ia lalu mengutip kitab Al-Hikam yang ditulis Ibnu ‘Athoilah, “Ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa memancarkan cahaya di dalam hati dan sekaligus bisa membersihkan penyakit-penyakit hati.”
Kedua, karakter lain orang yang afiat adalah selalu gemar beribadah. Termasuk ke dalamnya shalat fardhu berjamaah. “Jadi, kalau orang bicara afiat namun beribadah masih malas, itu bohong,” tegas Taufiqurrohman.
Karekater ketiga orang yang afiat adalah selalu mencari rezeki yang halal. “Dia berusaha sungguh-sungguh mencari rezeki yang halal, dan menjauhkan dirinnya dari rezeki yang syubhat apalagi haram,” ujar Taufiqurrohman.
Kerakter keempat orang yang afiat adalah selalu bersabar dalam segala keadaan atau menghadapi segala macam ujian yang Allah berikan. “Seperti kata Nabi, sabar di sini mencakup tiga hal, yakni sabar dalam beribadah, sabar dalam menghindarkan diri dari kemaksiatan yang ada di depan mata, dan sabar dalam menghadapi musibah,” tutur da'i yang juga dikenal sebagai "Ustaz Pantun".
Adapun karakter kelima orang yang afiat adalah selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan. “Kalau kelima kriteria tadi dilaksanakan, maka orang tersebut patut disebut orang yang afiat di dunia. Dan di akhirat nanti, ia pun akan memperoleh afiat,” papar Taufiqurrohman.
Dalam kitabnya Nashoihul 'Ibad, Syeikh Nawawi Al Bantani mengutip penjelasan Rosulullah saw tentang hakekat 'afiat. Ada sepuluh makna 'afiat, lima di dunia dan lima lagi di akherat.
Makna Pertama, 'afiat itu bermakna bertambahnya ilmu kita. Hal ini akan kita raih kita manakala kita belajar. Belajar membuat kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Cakrawala kita meluas sehingga kita bisa memilih tindakan yang tepat tatkala berhadapan dengan sebuah masalah. Sayangnya, tak banyak orang yang menyadari hal tersebut. Mereka lebih suka berinvestasi untuk perut ke bawah ketimbang berinvestasi untuk dada ke atas. Walhasil, mereka tak pernah risau manakala hari berlalu tanpa bertambahnya ilmu.
Kedua, 'afiat itu bermakna bertambah amal kita. Tak ada gunanya ilmu yang banyak jika tak pernah diamalkan. Ilmu itu memperluas cakrawala kita, namun belum tentu menambah kualitas hidup kita. Karena itulah, Rumi, sang penyair sufi, membagi ilmu menjadi dua jenis, yaitu ilmu buatan dan ilmu hakiki. Ilmu pertama hanya berhenti sebatas pemahaman, sedangkan ilmu kedua menuntun pelakunya dalam kebijaksanaan. Adalah lebih baik memiliki ilmu yang sedikit tapi kita mengamalkannya, daripada memiliki ilmu yang banyak tapi hanya sedikit yang kita amalkan.
Ketiga, 'afiat juga berarti memperoleh rejeki yang halal. Apalah artinya harta yang berlimpah jika kita memperolehnya dengan cara yang haram. Terkait hal ini, saya teringat satu kisah menarik dari Imam Al Ghazali dalam master piece-nya, Ihya' Ulumuddin.
Suatu hari, Sarri Al Saqoti membeli sekarung buah kenari seharga 60 dirham. Dia hendak menjualnya kembali seharga 65 dirham. Tiba - tiba, situasi ekonomi bergejolak. Harga sekarung buah kenari naik menjadi 90 dirham. Saat itu, seorang pembeli yang shaleh hendak membeli buah kenari yang dijual Al Saqoti. Dia bermaksud membelinya susuai harga pasaran saat itu, 90 dirham. Namun, Al Saqoti bersikukuh untuk tetap menjualnya seharga 65 dirham. Akhirnya, transaksi itu batal diwujudkan karena masing - masing pihak tidak ingin menzalimi satu dengan yang lainnya.
Tengoklah, betapa hati - hatinya generasi terdahulu dalam memperoleh rejeki. Mereka tidak memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri. Mereka mengedepankan akhlak dalam bermuamalah karena menyadari bahwa rejeki yang halal akan mendatangkan keberkahan dalam hidupnya.
Keempat, âafiat itu bermakna bertambahnya syukur kita. Secara sederhana, menurul Al Ghazali, syukur artinya mengagungkan Allah atas nikmat yang dilimpahkan-Nya. Syukur sejati lahir dari kesadaran bahwa segala karunia yang kita nikmati berasal dari Allah, walaupun nampaknya kita peroleh melalui usaha yang kita lakukan.
Kesadaran ini selanjutnya menimbulkan cinta yang dalam kepada Sang Khalik. Karunia yang dilimpahkan-Nya tak sebanding dengan ibadah yang kita lakukan. Tengoklah, betapa sholat sering kita tunaikan sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Betapa sedekah kita sangat sedikit. Dan betapa puasa yang kita lakukan jauh dari kesempurnaan. Walau demikian, Allah dengan segala cinta kasih-Nya membalas amal kita yang cacat itu dengan nikmat-Nya yang tak terhitung. Alhasil, lisan kita akan senantiasa memuji Allah. Kita juga tak merasa berat menjalankan sholat, puasa, zakat, dan ibadah - ibadah lainnya karena memandang berbagai ibadah tersebut sebagai manifestasi cinta kita kepada Allah.
Akhirnya, yang keempat, âafiat itu bermakna bertambahnya kesabaran kita. Sabar itu mudah dipelajari karena banyak kitab dan buku yang telah membahasnya. Tak terkecuali buku ini. Namun, sabar itu tak mudah dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia itu secara naluriah mudah berkeluh kesah. Bahkan, ketika dia sudah memperoleh karunia yang berlimpah, tetap saja ada hal - hal kecil yang dikeluhkannya. Bila Allah menurunkan hujan, dia menggurutu karena pakaiannya basah atau jemurannya tak kering. Bila Allah berikan terik cahaya matahari, dia kesal karena udara terasa panas dan keringatnya bercucuran. Pendek kata, manusia itu memang makhluk yang tak pandai berterimakasih.
Bila perilaku kita masih ditandai kecenderungan semacam ini, artinya kesabaran belum terpatri kuat dalam diri kita. Kita tak layak mengatakan, saya sehat wal âafiatâh
ARTI DOA 'AAFIYAH
0 komentar:
Posting Komentar