BERDAKWAH IKHLASH KEPADA ALLAH
Berdakwah lillāhi Ta‘ālā berarti tidak menjadikan diri sebagai ukuran keberhasilan.
Hasil atau tidak hasil adalah urusan dan petunjuk Allah semata.
Seorang da’i tidak marah ketika dakwahnya tidak diterima atau mendapat cacian, karena yang penting baginya adalah agar ajaran Allah dan Rasulullah tetap dapat tersampaikan dengan baik dan benar.
Ia tidak berharap pujian, bayaran, atau kehormatan apapun. Tidak pula berputus asa karena celaan dan hinaan.
Penolakan dan penentangan ia hadapi dengan kasih sayang dalam dakwahnya.
Berdakwah memang tidak semudah membalik telapak tangan, sebab ia membela agama Islam atas nama Allah.
Namun semua berhasil atau tidaknya dakwah itu, bukan dirinya sendiri yang dapat menentukan. Sebab semuanya hanya didapatkan dari pertolongan Allah.
Sehingga terbangun baginya keteguhan hati untuk selalu bersabar dan rela menanggung tantangan itu.
Ia pun akan mudah bersyukur di tengah kesulitan yang dihadapinya, sebab ia yakin bahwa usahanya tidak disia-siakan Allah. Allah yang memberinya kesempatan berdakwah, dan yakin pula akan memperoleh pahala terbaik dari-Nya.
Ia marah hanya ketika agama Allah dihina dan dilecehkan, bukan karena nasihat pribadinya tidak diikuti.
Bahkan ia memastikan dirinya untuk selalu mendoakan sesama muslim. Agar siapa pun yang didakwahinya diberi petunjuk oleh Allah dan mengikuti Rasulullah Muhammad ﷺ.
Ketika dakwah tersampaikan dan diterima manusia, kegembiraan dan kebanggaannya hanya tertuju kepada Allah dan Rasulullah. Sebab hanya Allah yang menyampaikan petunjuk itu kedalam hati manusia.
Dan jika ada manusia yang patut menerima tanda jasa, maka Rasulullah yang berhak mendapatkannya. Ia selalu sadar bahwa keberhasilannya itu adalah ketentuan dari Allah jua adanya.
Dan menjadi karunia Allah atasnya, karena Allah jadikan dirinya sebagai lantaran petunjuk Allah bagi ummat Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai seorang pendakwah Islam, kita juga akan merasakan bagaimana kesulitan, kesedihan, ketakutan, dan kehilangan seorang Nabi Muhammad ﷺ dalam dakwahnya. Bahwa apa yang kita rasakan tidaklah setara dengan apa yang dirasakan oleh Nabi Muhammad ﷺ .
Bahkan untuk bisa dikatakan secuil pun dari penderitaan Nabi, tidak akan sampai. Kuatkan hati dalam bersabar beramar makruf nahi munkar.
Mari Kita Uraikan Secara Luas
“Berdakwah lillāhi Ta‘ālā ialah seorang hamba tidak menjadikan dirinya sebagai timbangan bagi berhasil atau tidaknya dakwah, karena segala hasil semata-mata berada di bawah kehendak dan petunjuk Allah.”
Nabi ﷺ bersabda:
« إِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ، وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ »
“Sesungguhnya engkau hanya berkewajiban menyampaikan, dan perhitungan menjadi urusan Kami.” (HR. Ath-Thabarani)
Al-Fudhayl bin ‘Iyadh berkata:
“عَلَيْكَ بِإِصْلَاحِ قَلْبِكَ، وَأَمَّا الْهِدَايَةُ فَهِيَ لَيْسَتْ إِلَيْكَ.”
“Tugasmulah membenahi hatimu; adapun hidayah, bukan engkau yang menentukannya.”
“Seorang da’i tidak marah ketika dakwahnya tidak diterima atau mendapat cacian, karena yang penting baginya adalah agar ajaran Allah dan Rasulullah tetap dapat tersampaikan dengan baik dan benar.”
“Bersabarlah engkau atas apa yang mereka ucapkan, dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (Al-Muzzammil: 10)
Rasulullah ﷺ bersabda:
« يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا »
“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari–Muslim)
Imam Ahmad berkata:
“الدَّاعِي يَحْتَمِلُ أَذَى النَّاسِ لِيُبَلِّغَ دِينَهُمْ.”
“Seorang da’i menanggung gangguan manusia demi menyampaikan agama mereka.”
“Ia tidak berharap pujian, bayaran, atau kehormatan apapun. Tidak pula berputus asa karena celaan dan hinaan.”
﴿ وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴾
“Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun. Upahku tidak lain hanyalah dari Rabb sekalian alam.”
(Hud: 51)
﴿ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴾
“Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (Al-Insān: 9)
﴿ فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ ﴾
“Maka bersabarlah engkau atas apa yang mereka ucapkan.” (Thāhā: 130)
Ayat ini menekankan tidak runtuh oleh hinaan dan ucapan manusia.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« لَا يَرْجُوَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا رَبَّهُ، وَلَا يَخَافَنَّ إِلَّا ذَنْبَهُ »
“Janganlah salah seorang dari kalian berharap kecuali kepada Rabb-nya, dan jangan takut kecuali terhadap dosanya.” (HR. Thabarani)
Ibnul Qayyim berkata:
“أَخْلَصُ الْعَمَلِ مَا لَا تَطْلُبُ عَلَيْهِ ثَنَاءً وَلَا خَوْفًا مِنْ ذَمٍّ.”
“Amal yang paling ikhlas ialah amal yang tidak engkau harapkan pujian darinya dan tidak pula engkau takut terhadap celaan.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
« إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ »
“Amal itu hanyalah (dinilai) dengan niatnya.”
(HR. Bukhari–Muslim)
Hadis ini digunakan oleh ulama bukan sekadar untuk niat, tetapi juga untuk menolak:
• niat ingin dipuji,
• niat ingin dihormati,
• niat ingin dibayar.
« لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَلَا مَنْ خَذَلَهُمْ »
“Tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang dan merendahkan mereka.”
(HR. Muslim)
Ibnul Qayyim berkata:
“مَنِ ابْتَغَى فِي عَمَلِهِ ثَنَاءَ النَّاسِ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ ثَوَابٌ.”
“Siapa yang mencari pujian manusia dari amalnya, maka ia tidak mendapat balasan dari Allah.”
Imam Ahmad berkata:
“مَنْ عَرَفَ النَّاسَ، اسْتَرَاحَ.”
“Siapa yang mengenal hakikat manusia, ia akan tenang.”
— maksudnya: tidak berharap pujian, dan tidak tergoncang oleh hinaan.
Al-Fudhayl bin ‘Iyadh berkata:
“تَرْكُ الْعَمَلِ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ مِنْ أَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ.”
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’; beramal untuk manusia adalah syirik.”
— sangat tepat untuk menolak dua hal:
(1) berharap pujian, dan
(2) goyah karena celaan.
﴿ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴾
“Kami tidak mengharapkan balasan maupun ucapan terima kasih dari kalian.” (Al-Insān: 9)
﴿ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ ﴾
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku.” (Al-Mā’idah: 44)
﴿ فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ ﴾
“Bersabarlah engkau atas apa yang mereka ucapkan.” (Thāhā: 130)
Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn:
“الإخلاص أن يكون عملك كلُّه لله، فلا يفرح بمدح الناس ولا يحزن بذمهم.”
“Ikhlas ialah ketika seluruh amalmu hanya untuk Allah; engkau tidak gembira karena pujian manusia dan tidak bersedih karena celaan mereka.”
“Penolakan dan penentangan ia hadapi dengan kasih sayang dalam dakwahnya.”
﴿ فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ﴾
“Maka dengan rahmat dari Allah engkau bersikap lemah lembut kepada mereka; dan seandainya engkau kasar lagi keras hati, niscaya mereka menjauh dari sekitarmu.” (Āli ‘Imrān: 159)
﴿ ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ﴾
“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Naḥl: 125)
« اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ »
“Ya Allah, berilah hidayah kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (Bukhari–Muslim)
Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’:
“لَا يَبْلُغُ الدَّاعِي رُتْبَةَ النُّصْحِ حَتَّى يَرْحَمَ مَنْ يُخَالِفُهُ.”
“Seorang da’i tidak mencapai derajat nasihat yang benar hingga ia mengasihi orang yang menentangnya.”
Baik, saya susun dalam gaya kitab, tanpa judul, tanpa penjelasan tambahan, dengan dalil Qur’an, hadis, dan perkataan Imam al-Ghazālī yang paling tepat, semuanya ditempel langsung.
“Berdakwah memang tidak semudah membalik telapak tangan, sebab ia membela agama Islam atas nama Allah. Namun semua berhasil atau tidaknya dakwah itu, bukan dirinya sendiri yang dapat menentukan. Sebab semuanya hanya didapatkan dari pertolongan Allah. Sehingga terbangun baginya keteguhan hati untuk selalu bersabar dan rela menanggung tantangan itu.”
﴿ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ﴾
“Tidaklah ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah.” (Hūd: 88)
﴿ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ﴾
“Dan Allah-lah yang akan melindungimu dari (gangguan) manusia.” (Al-Mā’idah: 67)
﴿ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ﴾
“Engkau tidak dapat memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qaṣaṣ: 56)
« مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ »
“Barangsiapa Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menimpakan ujian kepadanya.” (Bukhari)
« وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ »
“Ketahuilah bahwa pertolongan (Allah) bersama kesabaran.” (HR. Ahmad)
Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’:
“مَا ثَبَتَ الدَّاعِي إِلَّا بِصِدْقِ التَّوَكُّلِ، فَإِنَّ النَّصْرَ لَا يَكُونُ إِلَّا مِنَ اللهِ.”
“Tidak teguh seorang da’i kecuali dengan kejujuran tawakalnya, karena kemenangan itu tidak datang kecuali dari Allah.”
Dan beliau juga berkata:
“الصَّبْرُ أَصْلُ الطَّرِيقِ، وَمَنْ لَا صَبْرَ لَهُ لَا طَرِيقَ لَهُ.”
“Sabar adalah pokok perjalanan (agama); siapa yang tidak memiliki sabar, maka ia tidak memiliki jalan.”
“Ia pun akan mudah bersyukur di tengah kesulitan yang dihadapinya, sebab ia yakin bahwa usahanya tidak disia-siakan Allah.”
﴿ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا • وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ﴾
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak ia sangka.” (Aṭ-Ṭalāq: 2–3)
﴿ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴾
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (At-Tawbah: 120)
﴿ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ﴾
“Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kalian.” (Ibrāhīm: 7)
« عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ »
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya adalah kebaikan baginya.” (Muslim)
Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’:
“مَنْ عَلِمَ أَنَّ ثَوَابَهُ عَلَى اللهِ لَمْ يَضِقْ صَدْرُهُ بِالْبَلَاءِ، وَشَكَرَ فِي الشِّدَّةِ كَمَا يَشْكُرُ فِي الرَّخَاءِ.”
“Siapa yang mengetahui bahwa balasannya di sisi Allah, tidak sempit dadanya karena ujian, dan ia bersyukur dalam kesempitan sebagaimana ia bersyukur dalam kelapangan.”
Allah yang memberinya kesempatan berdakwah, dan ia yakin pula akan memperoleh pahala terbaik dari-Nya. Sebab Allah berfirman,
﴿ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا ﴾
“Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Kahf: 30)
Dan firman-Nya,
﴿ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ﴾
“Apa saja kebaikan yang kalian persembahkan untuk diri kalian, niscaya kalian dapati di sisi Allah.”
(QS. Al-Baqarah: 110)
Nabi ﷺ bersabda pula,
« الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ، وَمَا وَالَاهُ، وَعَالِمًا، أَوْ مُتَعَلِّمًا »
“Dunia itu terlaknat dan terlaknat apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan segala yang mengikutinya, serta orang 'alim atau penuntut ilmu.” (HR. Tirmidzi)
Maka cukuplah bagi seorang da’i kemuliaan bahwa ia sedang berada dalam salah satu 'amal yang tidak pernah sia-sia di sisi Allah, meskipun manusia menolaknya. Sebagaimana perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah,
« كَفَى بِالعِلْمِ شَرَفًا أَنْ يَدَّعِيهِ مَنْ لَيْسَ مِنْ أَهْلِهِ، وَيَفْرَحَ إِذَا نُسِبَ إِلَيْهِ »
“Cukuplah ilmu itu mulia, hingga orang yang bukan ahlinya pun mengakuinya, dan ia gembira jika disandarkan kepadanya.”
Seorang da’i mengerti bahwa pahala bukan dari banyaknya yang menerima, namun dari ketulusan dalam menyampaikan. Seperti ucapan Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu,
« عَلَيْكَ بِالصِّدْقِ، وَإِنْ رَأَيْتَ النَّاسَ يَهْلِكُونَ »
“Hendaklah engkau tetap jujur (dalam beramal), sekalipun engkau melihat manusia binasa.”
Dan ia meyakini sabda Rasulullah ﷺ,
« لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الحَقِّ… »
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tampak di atas kebenaran…”
(HR. Muslim)
Maka ia merasa cukup dengan ilmu, amal, dan pahala yang dijanjikan Allah, sekalipun manusia tidak melihat dan tidak menilai. Sebab Rabb-nya melihat semua usaha yang disembunyikan maupun yang tampak.
Ia marah hanya ketika agama Allah dihina dan dilecehkan, bukan karena nasihat pribadinya tidak diikuti.
Sebab Allah memuji hamba-hamba-Nya yang marah karena agama-Nya, bukan karena kepentingan diri. Allah berfirman tentang para sahabat,
﴿ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ﴾
“Mereka keras terhadap orang-orang kafir (yang memerangi dan menghina agama), namun penuh kasih sayang sesama mereka.”
(QS. Al-Fath: 29)
Dan Allah mencela orang yang membela dirinya sendiri, bukan agama-Nya, dengan firman-Nya,
﴿ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ ﴾
“Semoga Allah memerangi mereka; bagaimana bisa mereka dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. At-Taubah: 30)
Rasulullah ﷺ adalah teladan terbesar: beliau tidak pernah marah karena dirinya dilecehkan, tetapi beliau marah hanya ketika batas-batas Allah dilanggar. Dalam hadits sahih disebutkan,
« مَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِنَفْسِهِ قَطُّ، إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ، فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا »
“Rasulullah ﷺ tidak pernah membalas karena kepentingan dirinya, kecuali bila kehormatan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas demi Allah.” (HR. Bukhari & Muslim)
Inilah sifat para da’i yang mewarisi akhlak kenabian. Mereka tidak tersinggung jika pribadi mereka diremehkan, karena dakwah bukan perkara kehormatan diri. Tetapi hati mereka menyala dengan ghairah, apabila agama Allah dihina. Seperti perkataan Imam Malik rahimahullah,
« كُلُّنَا رَادٌّ وَمَرْدُودٌ عَلَيْهِ إِلَّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ ﷺ »
“Setiap orang bisa diterima dan bisa ditolak pendapatnya, kecuali pemilik kubur ini (Nabi ﷺ).”
Maka seorang da’i memahami bahwa penolakan terhadap dirinya tidak pantas dijadikan alasan untuk marah. Namun bila yang ditolak adalah syariat Allah, ia akan membela dengan ilmu, adab, dan ketegasan yang diridhai Allah.
Bahkan ia memastikan dirinya untuk selalu mendoakan sesama muslim. Agar siapa pun yang didakwahinya diberi petunjuk oleh Allah dan mengikuti Rasulullah Muhammad ﷺ.
Doa adalah senjata para da’i, dan petunjuk tidak berada di tangan manusia. Allah berfirman kepada Nabi-Nya yang paling mulia,
﴿ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ﴾
“Engkau tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash: 56)
Karena itu, doa menjadi tanda keikhlasan da’i. Ia memohonkan kebaikan bagi saudara-saudaranya sebagaimana Rasulullah ﷺ memohonkan kebaikan bagi umatnya. Dalam hadits disebutkan,
« دَعْوَةُ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ »
“Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya adalah doa yang mustajab.”
(HR. Muslim)
Dan Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan mendoakan umatnya, bahkan dalam shalatnya. Sebagaimana riwayat,
« اللَّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ »
“Ya Allah, berilah hidayah kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
(HR. Ahmad)
Begitulah sifat para da’i yang mengikuti jejak beliau. Mereka memohonkan petunjuk agar hati orang yang didakwahinya dibukakan oleh Allah. Seperti perkataan Imam Fudhail ibn ‘Iyadh rahimahullah,
« الْمُؤْمِنُ يَسْعَى فِي هِدَايَةِ النَّاسِ وَيَدْعُو لَهُمْ »
“Seorang mukmin itu berusaha memberi hidayah kepada manusia dan selalu mendoakan mereka.”
Maka bukan kemarahan dan celaan yang ia utamakan, tetapi doa yang lembut dan penuh kasih, agar Allah menjadikan mereka pengikut Rasulullah ﷺ dengan sebenar-benarnya petunjuk.
Ketika dakwah tersampaikan dan diterima manusia, kegembiraan dan kebanggaannya hanya tertuju kepada Allah dan Rasulullah. Sebab hanya Allah yang menyampaikan petunjuk itu ke dalam hati manusia.
Allah berfirman,
﴿ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ ﴾
“Namun Allahlah yang membuat kalian mencintai iman dan menjadikannya indah di dalam hati kalian.” (QS. Al-Ḥujurāt: 7)
Dan firman-Nya,
﴿ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ﴾
“Seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya semua orang yang di bumi beriman seluruhnya.” (QS. Yūnus: 99)
Rasulullah ﷺ pun menegaskan bahwa petunjuk tidak berada di tangan makhluk,
« إِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ، وَاللَّهُ يُعْطِي »
“Aku hanyalah pembagi, sedangkan Allah-lah yang memberi.”
(HR. Bukhari)
Dan para ulama berkata sebagaimana ucapan Ibn ‘Aṭā’illah,
« مَا دَلَّكَ عَلَيْهِ سِوَى هُوَ، وَلَا وُصُولَ إِلَيهِ إِلَّا بِهِ »
“Tidak ada yang menunjukimu kepada-Nya selain Dia, dan tidak ada yang dapat menyampaikanmu kepada-Nya kecuali Dia.”
Maka ia sadar sepenuhnya bahwa diterimanya dakwah bukanlah karena kefasihan atau upayanya, tetapi semata-mata karena Allah yang membuka pintu hati manusia.
Sebab hanya Allah yang menyampaikan petunjuk itu ke dalam hati manusia. Dan jika ada manusia yang patut menerima tanda jasa, maka Rasulullah yang berhak mendapatkannya.
Allah berfirman,
﴿ مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ ﴾
“Tidak ada kewajiban atas Rasul selain menyampaikan.”
(QS. Al-Mā’idah: 99)
Dan Allah menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai satu-satunya jalan petunjuk bagi seluruh makhluk,
﴿ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴾
“Dan sungguh engkau (wahai Muhammad) benar-benar memberi petunjuk menuju jalan yang lurus.”
(QS. Asy-Syūrā: 52)
Rasulullah ﷺ bersabda,
« إِنَّمَا أَنَا قَاسِمٌ وَاللَّهُ يُعْطِي »
“Aku hanyalah pembagi, sedangkan Allah-lah yang memberi.”
(HR. Bukhārī)
Dan beliau bersabda,
« فَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا »
“Barang siapa meneladankan satu sunnah yang baik dalam Islam, ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya.” (HR. Muslim)
Karena itu seluruh pahala petunjuk yang mengalir kepada umatnya kembali menjadi kemuliaan bagi beliau, sebagaimana ucapan para ulama salaf:
« كُلُّ خَيْرٍ نَحْنُ فِيهِ فَأَصْلُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ »
“Setiap kebaikan yang kita lakukan, asalnya adalah dari Rasulullah ﷺ.”
Maka tidak layak bagi seorang da’i menisbatkan keberhasilan kepada dirinya, sebab seluruh hidayah dari Allah, dan seluruh jasa kebaikan kembali kepada Rasulullah ﷺ yang membawa petunjuk itu pertama kali.
Ia selalu sadar bahwa keberhasilannya itu adalah ketentuan dari Allah jua adanya. Dan menjadi karunia Allah atasnya, karena Allah jadikan dirinya sebagai lantaran petunjuk Allah bagi ummat Nabi Muhammad ﷺ. Sebab Allah-lah yang menakdirkan siapa yang beramal, siapa yang diberi taufiq, dan siapa yang dijadikan sebab bagi datangnya kebaikan. Allah berfirman,
﴿ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ﴾
“Tidaklah taufiq bagiku kecuali dengan (pertolongan) Allah.”
(QS. Hūd: 88)
Dan firman-Nya,
﴿ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ﴾
“Allahlah yang memilih dan mengkhususkan rahmat-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. Al-Baqarah: 105)
Rasulullah ﷺ bersabda,
« وَاللَّهُ الْهَادِي »
“Dan Allah-lah yang memberi hidayah.”
(HR. Bukhārī)
Dan termasuk nikmat terbesar adalah dijadikan Allah sebagai perantara hidayah bagi manusia. Rasulullah ﷺ bersabda kepada ‘Ali radhiyallāhu ‘anhu,
« فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا، خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ »
“Demi Allah, sungguh Allah memberi hidayah kepada satu orang melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah (harta terbaik).” (HR. Bukhārī)
Karena itu para ulama berkata,
« لَا يَرَى الدَّاعِي نَفْسَهُ صَاحِبَ فَضْلٍ، بَلْ يَرَاهَا مَحَلَّ فَضْلٍ »
“Seorang da’i tidak melihat dirinya sebagai pemilik keutamaan, namun melihat dirinya sebagai tempat Allah meletakkan karunia-Nya.”
Maka keberhasilan dakwah tidak membuatnya bangga kepada diri, tetapi membuatnya semakin tunduk, karena ia tahu bahwa Allah telah memuliakannya dengan menjadikannya jalan sampainya petunjuk kepada umat Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai seorang pendakwah Islam, kita juga akan merasakan bagaimana kesulitan, kesedihan, ketakutan, dan kehilangan seorang Nabi Muhammad ﷺ dalam dakwahnya. Bahwa apa yang kita rasakan tidaklah setara dengan apa yang dirasakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan untuk bisa dikatakan secuil pun dari penderitaan Nabi, tidak akan sampai. Kuatkan hati dalam bersabar beramar makruf nahi munkar.
Allah Ta‘ālā berfirman,
﴿ لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴾
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan kebaikan bagi kalian, dan terhadap orang beriman ia amat penyantun lagi penyayang.” (QS. At-Taubah: 128)
Dan firman-Nya,
﴿ وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا ﴾
“Sungguh telah didustakan para rasul sebelum engkau, maka mereka bersabar atas pendustaan dan gangguan itu.”
(QS. Al-An‘ām: 34)
Rasulullah ﷺ sendiri bersabda,
« لَقَدْ أُوذِيتُ فِي اللَّهِ مَا لَمْ يُؤْذَ أَحَدٌ »
“Aku telah disakiti di jalan Allah dengan apa yang tidak pernah dialami oleh seorang pun.”
(HR. Tirmidzī)
Imam Ibnul Qayyim berkata,
“ما ناله أحدٌ من أذى الخلق في الله إلا وله بنصيبٍ من ميراث الأنبياء.”
“Tidaklah seseorang diberi cobaan karena Allah, kecuali ia sedang mendapat bagian dari warisan para nabi.”
Imam al-Ghazālī berkata dalam Iḥyā’:
“من أراد أن يكون من ورثة الأنبياء فلا يطمع أن يسلم من بلائهم.”
“Siapa yang ingin menjadi pewaris para nabi, jangan berharap ia selamat dari cobaan seperti cobaan mereka.”
Imam Sufyān ats-Tsaurī berkata,
“إذا رأيتَ الداعيةَ يُؤذى فاعلم أنه على أثر النبيين.”
“Jika engkau melihat seorang da’i disakiti, ketahuilah bahwa ia sedang berada di atas jejak para nabi.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata,
“طريق الأنبياء كله صبر على الأذى، فمن لم يصبر فليس على طريقهم.”
“Jalan para nabi seluruhnya adalah kesabaran atas gangguan. Barang siapa tidak sanggup bersabar, ia tidak berada di jalan mereka.”
Dan Imam al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ berkata,
“من أحبَّ النبيَّ ﷺ صبر على سنته، ومن صبر على سنته نال ميراثه.”
“Siapa yang mencintai Nabi ﷺ pasti bersabar mengikuti sunnahnya, dan siapa bersabar mengikuti sunnahnya akan memperoleh warisannya.”
.jpeg)






0 komentar:
Posting Komentar