اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلَامُ فَحَيِّنَارَبَّنَا بِالسَّلَامِ وَاَدْخِلْنَا الْـجَنَّةَ دَارَ السَّلَامِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَاالْـجَلَالِ وَاْلإِكْرَام
Allahumma antassalam, waminkassalam, wa Ilaika ya'udussalam fahayyina rabbana bissalam wa-adkhilnal jannata daras salaam tabaarakta rabbanaa wata'aalayta yAa dzaljalaali wal ikraam.
Artinya: "Ya Allah, Engkau sumber keselamatan dan dari pada-Mulah datangnya keselamatan dan kepada-Mu kembalinya keselamatan. Maka hidupkanlah kami wahai Tuhan, dengan selamat sejahtera dan masukkanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan. Maha banyak anugerahMu dan Maha Tinggi Engkau Wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan.
KESELAMATAN
Doa ini adalah salah satu doa dan dzikir penting yang biasa dibaca setelah salat fardu. Doa ini padat makna dan mengandung banyak pelajaran serta hikmah mendalam bagi seorang Muslim yang merenungkannya.
Berikut adalah pelajaran dan hikmah yang terkandung dalam doa tersebut:
1. PENGAKUAN KETAUHIDAN
Pelajaran paling mendasar adalah penegasan kembali keyakinan tauhid (mengesakan Allah). Frasa:
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ
(Ya Allah, Engkau sumber keselamatan, dan dari pada-Mulah datangnya keselamatan)Mengajarkan kita bahwa keselamatan mutlak di alam semesta ini hanya berasal dari Allah SWT. Tidak ada entitas lain yang bisa memberikan keselamatan hakiki. Kita mengakui bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna, bersih dari segala aib dan kekurangan (As-Salam, salah satu Asmaul Husna).
2. PENGAKUAN ATAS KEDAULATAN MUTLAK ALLAH
Frasa:
وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلَامُ
(dan kepada-Mu kembalinya keselamatan)Menegaskan bahwa segala urusan, termasuk keselamatan di dunia dan akhirat, akan kembali kepada hukum dan kehendak Allah semata. Ini menanamkan sikap tawakal (berserah diri) penuh kepada-Nya, karena Dialah penguasa tunggal atas segala sesuatu.
3. PERMOHONAN HIDUP YANG PENUH KEBERKAHAN
Permohonan:
فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ
(Maka hidupkanlah kami wahai Tuhan, dengan selamat sejahtera)Adalah doa agar Allah memberikan kehidupan di dunia yang damai, tentram, terhindar dari musibah besar, dan penuh keberkahan. Ini mencakup keselamatan fisik, mental, dan spiritual (Islam dan Iman) selama menjalani kehidupan di dunia.
4. VISI AKHIRAT: SURGA SEBAGAI "DARUS SALAM"
Doa ini mengarahkan pandangan orang beriman pada tujuan akhir penciptaan, yaitu kehidupan abadi di surga:
وَاَدْخِلْنَا الْـجَنَّةَ دَارَ السَّلَامِ
(dan masukkanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan)Surga disebut sebagai Darus Salam (Negeri Keselamatan/Kedamaian Abadi), di mana tidak ada lagi rasa takut, sedih, penyakit, atau kematian. Hikmahnya, doa ini memotivasi kita untuk menjadikan surga sebagai target utama, dan menjadikan ibadah serta amal saleh di dunia sebagai jalannya.
Pernyataan Hasan al-Bashri:
"Ad-dunyā dāru ‘amal, wal ākhiratu dāru jazā’in"
(Dunia adalah negeri tempat beramal, dan akhirat adalah negeri tempat pembalasan).
[Diriwayatkan dalam Hilyat al-Auliya]
Tafsir Ibnu Abbas RA (Sahabat Nabi):
Ketika menafsirkan QS. Fatir ayat 34: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami...", Ibnu Abbas dan ulama salaf lainnya sepakat bahwa ini merujuk pada penghapusan segala kesedihan dan kepedihan di surga.
Pernyataan Lain yang Umum di Kalangan Tabi'in:
Banyak riwayat dari Tabi'in (seperti yang dicatat dalam kitab tafsir klasik) yang menjelaskan bahwa di surga, seseorang tidak akan pernah sakit kepala, tidak akan lelah, dan tidak akan buang air. Ini menguatkan poin "tidak ada lagi penyakit".
Hadis Riwayat Abu Sa'id al-Khudri dan Ibnu Umar RA (Sahabat Nabi):
Mereka meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW sabda yang secara eksplisit menyatakan:
"Wahai penduduk surga, kekallah kalian dan tidak ada kematian lagi. Dan wahai penduduk neraka, kekallah kalian dan tidak ada kematian lagi."
Pernyataan ini adalah bukti paling kuat dari keyakinan salaf bahwa surga adalah tempat yang abadi.
"Wahai para pemuda, hendaklah kalian mencari akhirat. Karena seringkali kita melihat para pencari akhirat mendapatkan dunia. Dan kita tidak pernah melihat para pencari dunia mendapatkan akhirat bersamanya."
Qatadah bin Di'amah (Tabi'in, ahli tafsir):
"Ad-daru as-salām: al-jannatu" (Negeri keselamatan: adalah surga).
Mujahid bin Jabir (Tabi'in, murid Ibnu Abbas):
Ketika menafsirkan “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya” (QS. Al-Hijr: 48), beliau berkata: "La nasaba fīhā wa lā waṣaba" (Tidak ada kepayahan di dalamnya dan tidak ada penyakit di dalamnya).
Hasan al-Bashri (Tabi'in, ulama besar):
"Ad-dunyā dāru ‘amal, wal ākhiratu dāru jazā’in" (Dunia adalah negeri tempat beramal, dan akhirat adalah negeri tempat pembalasan).
Kumpulan Jawaban yang Disetujui Mengenai "Visi Akhirat: Surga sebagai Dar as-Salam"
1. Kesesuaian Substansi dengan Akidah Salaf
Yang sepenuhnya sesuai dengan keyakinan dan ajaran salaf as-salih (generasi awal umat Islam yang saleh: Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in).
QS. Yunus ayat 25: "Dan Allah menyeru (manusia) ke Dar as-Salam (tempat kediaman yang damai/surga)..."
Ketiadaan Kematian, Ketakutan, dan Kesedihan: Ini adalah konsensus (ijma') para salaf yang diambil dari banyak hadis dan ayat Al-Qur'an. Mereka meyakini hadis sahih (riwayat Bukhari dan Muslim) yang menyebutkan bahwa kematian akan disembelih, menegaskan bahwa tidak ada lagi kematian di surga.
Mujahid bin Jabir (Tabi'in, murid Ibnu Abbas):
Ketika menafsirkan “Mereka tidak merasa lelah di dalamnya” (QS. Al-Hijr: 48), beliau berkata: "La nasaba fīhā wa lā waṣaba" (Tidak ada kepayahan di dalamnya dan tidak ada penyakit di dalamnya).
[Diriwayatkan dalam Tafsir Al-Baghawi]
Hasan al-Bashri (Tabi'in, ulama besar):
"Ad-dunyā dāru ‘amal, wal ākhiratu dāru jazā’in" (Dunia adalah negeri tempat beramal, dan akhirat adalah negeri tempat pembalasan).
[Diriwayatkan dalam Hilyat al-Auliya]
5. PENGAGUNGAN (TA'ZHIM) DAN RASA SYUKUR
Bagian penutup:
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَا الْـجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
(Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau Wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan)
Merupakan penutup doa dengan pujian dan pengagungan kepada Allah. Ini mengajarkan adab berdoa, di mana setelah meminta (doa), kita mengagungkan dan memuji Dzat yang kita mintai. Kita mengakui keagungan (Jalal) dan kemurahan hati (Ikram) Allah yang tak terhingga.
Berikut adalah pernyataan langsung dari Al-Qur'an, Hadis, dan Salaf as-Salih yang berkaitan dengan PENGAGUNGAN (TA'ZHIM) DAN RASA SYUKUR menggunakan redaksi yang Anda berikan sebelumnya, tanpa analisis tambahan:
PENGAGUNGAN (TA'ZHIM) DAN RASA SYUKUR
Doa:
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَا الْـجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Sumber Hadis (Doa dan Dzikir Setelah Shalat Fardhu):
Hadis riwayat Imam Muslim dari Tsauban RA, Rasulullah SAW ketika selesai shalat mengucapkan istighfar tiga kali, lalu membaca:
"Allahumma Antas-Salam, wa minkas-Salam, tabarakta Ya Dhal-Jalali wal-Ikram"
(Ya Allah, Engkau Maha Pemberi Keselamatan, dan dari-Mu keselamatan, Maha Suci Engkau/Maha banyak anugerah-Mu, wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan).
Ayat Al-Qur'an Mengenai Pengagungan (Jalal dan Ikram):
Frasa "Dzul Jalali wal-Ikram" (ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ) digunakan langsung oleh Allah dalam Al-Qur'an untuk mengagungkan Dzat-Nya:
"Wajah Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan (Al-Jalal wal-Ikram) tetap kekal." (QS. Ar-Rahman: 27)
Pernyataan Salaf Mengenai Adab Berdoa (Memuji Allah):
Ulama salaf dan para ahli hadis, seperti yang diriwayatkan dalam kitab-kitab adab, mengajarkan adab berdoa dengan memuji Allah terlebih dahulu, sesuai dengan ajaran Nabi SAW.
Dari Fudhalah bin Ubaid RA (Sahabat Nabi):
"Ketika Rasulullah SAW duduk, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki, lalu ia shalat dan berdoa: 'Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku'. Maka Rasulullah SAW bersabda: 'Engkau tergesa-gesa wahai orang yang shalat. Apabila engkau shalat (berdoa), maka mulailah dengan memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bershalawatlah kepada Nabi, kemudian berdoalah sesukamu'."
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Pernyataan Lain (Substansi Syukur):
Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya (Allah).
1. Dari Ibnu Abbas RA (Sahabat Nabi)
Ibnu Abbas RA adalah salah satu ahli tafsir terkemuka dari kalangan sahabat. Penafsirannya terhadap "Dzul Jalali wal-Ikram" berfokus pada makna keagungan dan kemuliaan Allah.
Tafsir Ibnu Abbas RA (tentang QS. Ar-Rahman: 27):
Beliau menafsirkan Dzul Jalali wal-Ikram sebagai: "Dhul 'adhamati wa al-kibriya'i" (Pemilik keagungan dan kebesaran).
2. Dari Qatadah bin Di'amah (Tabi'in)
Qatadah adalah ahli tafsir dari generasi Tabi'in.
Pernyataan Qatadah (tentang QS. Ar-Rahman: 27):
"Dhu al-'adhamah wa al-kibriya'i wa al-ikram minhu li-awliya'ihi" (Pemilik keagungan dan kebesaran, dan kemuliaan dari-Nya untuk para wali-Nya/kekasih-Nya).
3. Dari Mujahid bin Jabir (Tabi'in)
Mujahid adalah murid Ibnu Abbas RA.
Pernyataan Mujahid (tentang QS. Ar-Rahman: 27):
Beliau menafsirkan Al-Jalal sebagai: "Al-'adhamah" (Kebesaran/Keagungan).
4. Dari Ikrimah (Tabi'in, Maula Ibnu Abbas)
Ikrimah juga seorang ulama besar dari kalangan Tabi'in dan ahli tafsir.
Pernyataan Ikrimah (tentang QS. Ar-Rahman: 27):
Beliau memiliki penafsiran serupa yang menekankan sifat keagungan dan kemuliaan Allah yang kekal.
5. Dalil dari Sunnah yang Menjadi Rujukan Salaf
Doa dan pujian tabarakta rabbana ini diajarkan langsung oleh Nabi SAW dan diamalkan oleh para salaf.
Hadis Riwayat Tsauban RA (Sahabat Nabi):
"Ketika Rasulullah SAW selesai shalat, beliau beristighfar tiga kali, lalu mengucapkan: 'Allahumma Antas-Salam, wa minkas-Salam, tabarakta Ya Dhal-Jalali wal-Ikram'."
[Diriwayatkan oleh Imam Muslim]
RINGKASAN HIKMAH
Secara ringkas, doa ini mengajarkan:
Kerendahan Hati: Mengakui bahwa manusia lemah dan butuh keselamatan dari Allah.
Ketergantungan Total: Menggantungkan keselamatan dunia dan akhirat hanya kepada Allah.
Prioritas Akhirat: Menjadikan surga (Darus Salam) sebagai tujuan hidup utama.
Adab Berdoa: Memulai doa dengan pujian dan menutupnya dengan pengagungan kepada Allah SWT.
*
Mana pernyataan tekstual (bukan Analisis AI) dari Ulama' Salaf Sholih abad 1 sampai 3 Hijriyyah yang mendukung pernyataan ini :
VISI AKHIRAT: SURGA SEBAGAI "DARUS SALAM"
Doa ini mengarahkan pandangan orang beriman pada tujuan akhir penciptaan, yaitu kehidupan abadi di surga:
وَاَدْخِلْنَا الْـجَنَّةَ دَارَ السَّلَامِ
(dan masukkanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan)
Surga disebut sebagai Darus Salam (Negeri Keselamatan/Kedamaian Abadi), di mana tidak ada lagi rasa takut, sedih, penyakit, atau kematian. Hikmahnya, doa ini memotivasi kita untuk menjadikan surga sebagai target utama, dan menjadikan ibadah serta amal saleh di dunia sebagai jalannya.
*
Mana pernyataan tekstual (bukan Analisis AI) dari Ulama' Salaf Sholih abad 1 sampai 3 Hijriyyah yang mendukung pernyataan ini :
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَا الْـجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
(Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau Wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan)
Merupakan penutup doa dengan pujian dan pengagungan kepada Allah. Ini mengajarkan adab berdoa, di mana setelah meminta (doa), kita mengagungkan dan memuji Dzat yang kita mintai. Kita mengakui keagungan (Jalal) dan kemurahan hati (Ikram) Allah yang tak terhingga.
Pernyataan yang Anda sampaikan mengenai frasa تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَا الْـجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau Wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan) adalah benar, dan didasarkan pada ajaran Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dan diamalkan oleh para Ulama Salafush Shalih abad 1-3 Hijriyah.
Namun, frasa lengkap yang Anda kutip ("tabārakta rabbanā wa ta'ālaita") sering muncul dalam konteks yang sedikit berbeda dalam riwayat salat, sementara frasa "yā dzal-jalāli wal-ikrām" adalah bagian yang baku dari zikir setelah salat. Kedua frasa tersebut adalah bentuk pujian dan pengagungan yang diajarkan dalam sunnah.
Berikut adalah pernyataan tekstual dari ulama salaf atau hadis yang mereka jadikan rujukan:
1. Landasan Tekstual dari Hadis Nabi SAW (Rujukan Utama Salaf)
Generasi Salaf mengamalkan frasa "yā dzal-jalāli wal-ikrām" berdasarkan hadis sahih yang mereka riwayatkan dan catat dalam kitab-kitab induk hadis. Ini adalah dalil paling kuat bagi mereka.
Hadis Riwayat Muslim (dari Aisyah RA):
Ini adalah kelanjutan dari hadis zikir setelah salat yang telah disebutkan sebelumnya, yang mereka amalkan secara tekstual:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا سَلَّمَ لَمْ يَقْعُدْ إِلاَّ مِقْدَارَ مَا يَقُولُ: « اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ »
(...Tabārakta yā dzal-jalāli wal-ikrām)
— [Shahih Muslim, Hadis No. 592]
Mereka memahami bahwa pengucapan "Tabārakta yā dzal-jalāli wal-ikrām" tepat setelah salat merupakan adab mengagungkan Allah setelah ibadah, sebelum beranjak.
2. Pengakuan Keagungan Allah (Al-Jalal wal-Ikram)
Para ulama salaf menerima nama dan sifat Allah (Dzul Jalali wal Ikram) sebagaimana adanya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, tanpa takwil (penafsiran berlebihan) atau tahrif (penyelewengan makna).
Pernyataan Tekstual dari Imam Ibnul Mubarak (Wafat 181 H):
Imam Abdullah Ibnul Mubarak, seorang ulama besar dari generasi Tabi'ut Tabi'in, terkenal karena ketelitiannya dalam akidah dan hadis. Mengenai adab berdoa dan mengagungkan Allah, beliau menekankan pentingnya memuji Allah terlebih dahulu, yang sejalan dengan poin Anda:
"Sesungguhnya suatu kaum pernah berdoa kepada Allah, lantas Allah memberikan mereka apa yang mereka minta, dan itu bukanlah karena doa mereka, melainkan karena pujian dan pengagungan mereka kepada Allah Ta'ala."
(Diriwayatkan dari Abdullah Ibnul Mubarak dalam kitab Adab)
Pernyataan ini adalah pernyataan tekstual dari ulama Salaf abad ke-2 H yang secara langsung mendukung poin Anda bahwa adab berdoa melibatkan pengagungan (seperti frasa Dzal Jalali wal Ikram) kepada Dzat yang dimintai.
3. Makna "Tabārakta"
Mengenai makna "Tabārakta" (Maha banyak anugerah/kebaikan-Mu), ulama salaf memahami ini sebagai pujian atas kemuliaan dan ketinggian Allah.
Pernyataan Tekstual dari Imam Abu Hanifah (Wafat 150 H):
Dalam fikih mazhab Hanafi, bacaan Subhanakallahumma (doa istiftah) dalam salat diakhiri dengan pujian yang serupa maknanya, yang menunjukkan adab pengagungan kepada Allah di awal ibadah:
"...wa tabārakasmuka wa ta’ālā jadduka wa lā ilāha ghairuk" (Maha Suci nama-Mu, Maha Tinggi keagungan-Mu, dan tiada Tuhan selain Engkau).
*— [Al-Mabsut oleh As-Sarakhsi, menukil mazhab Abu Hanifah]
Frasa "ta’ālā jadduka" (Maha Tinggi keagungan-Mu) menguatkan bahwa pengakuan ketinggian dan keagungan Allah adalah bagian integral dari ibadah dan doa, yang diamalkan oleh Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya sejak abad ke-2 Hijriah.
Secara ringkas, pernyataan Anda didukung oleh praktik (sunnah amaliyah) para salaf yang didasari oleh hadis sahih, serta pernyataan eksplisit dari ulama mereka mengenai pentingnya pujian dan pengagungan dalam adab menghadap Allah SWT.
.jpeg)






0 komentar:
Posting Komentar