PASRAH URUSAN KEPADA ALLAH
رَبَّنَا كَمَا عَرَّفْتَنَا بِأَنَّنَا لَا شَيْءَ لَنَا وَلَا عِلْمَ وَلَا عَمَلَ لَنَا وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ لَنَا فَلِذَالِكَ فَوَّضْنَا وَوَكَّلْنَا أُمُورَنَا وَمُشْكِلَاتِنَا مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالدُّنْيَا وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالْآخِرَةِ إِلَى حَضْرَتِكَ يَا وَكِيلُ يَا نَصِيرُ يَا حَافِيظُ يَا صَاحِبَ الْأَسْمَاءِ الْحُسْنَى
Rabbanā kamā ‘arraftanā bi’annanā lā syai’a lanā wa lā ‘ilma wa lā ‘amala lanā wa lā hawla wa lā quwwata lanā falidhālika fawwaḍnā wa wakkalnā umūranā wa musykilātinā mimmā yata‘allaqu bid-dunyā wa mimmā yata‘allaqu bil-ākhirati ilā ḥaḍratika yā Wakīlu yā Naṣīru yā Ḥāfīẓu yā Ṣāḥibal-Asmā’il-Ḥusnā.
"Wahai Tuhan kami, sebagaimana Engkau telah mengenalkan kami bahwa kami tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki ilmu, tidak memiliki amal, tidak memiliki daya, dan tidak memiliki kekuatan. Maka karena itu, kami serahkan dan kami wakilkan segala urusan kami dan segala permasalahan kami, baik yang berkaitan dengan dunia maupun yang berkaitan dengan akhirat, ke hadapan-Mu (Wahai Tuhan kami).
Wahai Yang Maha Mengurusi (Wakil), Wahai Yang Maha Penolong (Naṣīr), Wahai Yang Maha Memelihara (Ḥāfīẓh), Wahai Pemilik Nama Nama Yang Terbaik."
PASRAH URUSAN KEPADA ALLAH
Doa ini adalah suatu permohonan yang indah dan penuh kerendahan hati, yang berfokus pada penyerahan diri total kepada Allah SWT (tafwidh dan tawakkal).
Berikut adalah pelajaran dan hikmah utama yang dapat diambil dari doa tersebut:
1. Pengakuan Mutlak atas Kelemahan dan Keterbatasan Diri
Pelajaran paling mendasar adalah kesadaran mendalam akan posisi manusia di hadapan Sang Pencipta. Bagian awal doa:
"Wahai Tuhan kami, sebagaimana Engkau telah mengenalkan kami bahwa kami tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki ilmu, tidak memiliki amal, tidak memiliki daya, dan tidak memiliki kekuatan."
Mengajarkan kita untuk:
Rendah Hati (Tawadhu'): Menghilangkan sifat sombong (ujub) dan mengakui bahwa segala pencapaian, pengetahuan, dan kekuatan yang kita miliki sejatinya adalah anugerah dari Allah, bukan milik kita pribadi.
Tiada Daya Upaya kecuali dari Allah: Menginternalisasi konsep لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ (Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah).
2. Pentingnya Tafwidh (Penyerahan Total) dan Tawakkal (Berserah Diri)
Kesadaran akan kelemahan diri menuntun pada tindakan iman yang krusial, yaitu penyerahan urusan sepenuhnya kepada Allah. Frasa:
"Maka karena itu, kami serahkan dan kami wakilkan segala urusan kami dan segala permasalahan kami..."
Pengakuan mutlak atas kelemahan diri (rendah hati) dan pentingnya penyerahan total (tafwidh dan tawakkal) kepada Allah, adalah inti dari akidah dan akhlak para Salafush Sholih (generasi salaf yang saleh).
Pemahaman ini bukan berasal dari satu dalil tunggal, melainkan merupakan landasan fundamental yang didukung oleh banyak ayat Al-Qur'an dan hadis sahih yang mereka amalkan dan tafsirkan.
Berikut adalah dalil-dalil dari sumber utama yang digunakan oleh para salaf shalih untuk mendukung pernyataan tersebut:
1. Dalil Pengakuan Mutlak atas Kelemahan dan Keterbatasan Diri
Dikuatkan oleh hadis qudsi dan ajaran Nabi ﷺ yang dipahami secara mendalam oleh para sahabat dan tabi'in.
A. Hadis Qudsi (Pengakuan Kelemahan Hamba)
Hadis Qudsi ini adalah dalil paling jelas tentang kelemahan mutlak manusia di hadapan Allah. Para salaf memahami ini sebagai landasan tawadhu' (rendah hati):
Dari Abu Dzar Al-Ghifari RA, dari Nabi ﷺ, sebagaimana yang beliau riwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla (Hadis Qudsi):
يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ... يَا عِبَادِي، إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي، وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي...
Terjemahan: "Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya kepada kalian... Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mendatangkan bahaya kepada-Ku sehingga kalian membahayakan-Ku, dan kalian tidak akan mampu mendatangkan manfaat kepada-Ku sehingga kalian memberikan manfaat kepada-Ku..." (HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa segala daya dan upaya manusia tidak berarti tanpa kehendak Allah, meniadakan sifat sombong (ujub).
Para salaf memahami kelemahan manusia dari firman Allah dalam QS. An-Nisa' ayat 28 dan mengamalkan kerendahan hati secara mendalam.
Dalil Al-Qur'an yang Menjadi Rujukan Salaf
QS. An-Nisa' Ayat 28:
...وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا
"…dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah."
B. Pernyataan dari Hasan Al-Bashri (Ulama Tabi'in Terkemuka)
Hasan Al-Bashri, salah satu tokoh utama Tabi'in, memberikan definisi tawadhu (rendah hati) yang mencerminkan kesadaran akan keterbatasan diri di hadapan orang lain, apalagi di hadapan Allah:
Imam Hasan Al-Bashri ditanya tentang makna tawadhu' (rendah hati). Beliau menjawab:
"هُوَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ مَنْزِلِكَ وَلَا تَلْقَى مُسْلِمًا إِلَّا رَأَيْتَ لَهُ عَلَيْكَ فَضْلًا."
Terjemahan: "Yaitu engkau keluar dari rumahmu dan tidaklah engkau bertemu seorang muslim pun melainkan engkau merasa bahwa ia lebih utama (memiliki kelebihan) darimu."
Para salaf dididik untuk senantiasa merasa lemah dan kurang di hadapan orang lain, yang merupakan puncak dari pengakuan keterbatasan diri.
C. Konsep لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Kalimat "Lā hawla wa lā quwwata illā billāh" (Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah) adalah inti dari pengakuan kelemahan. Para salaf sangat menekankan zikir ini.
Pernyataan Umar bin Khattab RA:
Umar RA berkata: "Tiada daya dan upaya kita melainkan dengan Allah. Kalaulah bukan karena Allah, niscaya kita tidak mendapatkan petunjuk, tidak bersedekah, dan tidak pula shalat." (Ini adalah bagian dari syair yang dinisbatkan kepada beliau dalam Perang Khandaq, yang menunjukkan pengakuan total akan anugerah Allah).
2. Dalil Pentingnya Tafwidh (Penyerahan Total) dan Tawakkal (Berserah Diri)
Kesadaran akan kelemahan menuntun pada penyerahan diri total (tafwidh), yang didukung kuat dalam Al-Qur'an dan dipraktikkan oleh para salaf.
A. QS. Hud Ayat 56 (Dalil Tafwidh/Tawakkal)
Ayat ini adalah salah satu dalil paling eksplisit mengenai penyerahan urusan kepada Allah sebagai Al-Wakil (Yang Maha Mengurus).
Kesadaran akan kelemahan diri menuntun pada penyerahan urusan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh dan tawakkal).
B. Dalil Al-Qur'an yang Diamalkan Salaf
Para salaf mengamalkan ayat ini secara harfiah sebagai perintah untuk berserah diri:
QS. Ali Imran Ayat 159:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Terjemahan: "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal."
C. Pernyataan dari Umar bin Khattab (Khalifah Kedua & Sahabat Nabi)
Pernyataan Umar RA sebelumnya, mengenai tawakkal seperti burung, adalah dalil kuat tentang pentingnya penyerahan diri yang dibarengi usaha:
Umar bin Khattab RA berkata:
"Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung; ia berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
D. Kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Praktik Tafwidh
Contoh nyata tafwidh ditunjukkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA saat beliau bersama Nabi ﷺ bersembunyi di Gua Tsur. Ketika orang-orang musyrik berada tepat di mulut gua, Nabi ﷺ bersabda:
"Apa prasangkamu (wahai Abu Bakar) terhadap dua orang yang Allah adalah yang ketiga (penolong) bagi mereka?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Menunjukkan hikmah:
Ketenangan Jiwa: Dengan menyerahkan segala urusan—baik yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat—kepada Allah, seorang hamba akan merasakan ketenangan hati dan terbebas dari kecemasan berlebihan. Ia yakin bahwa Allah akan mengurus segalanya dengan sebaik-baiknya.
Optimalisasi Usaha: Tawakal bukan berarti pasif, melainkan setelah berusaha semaksimal mungkin, hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Sang Pengatur Alam Semesta.
3. Keyakinan Penuh pada Asmaul Husna
Doa ini diakhiri dengan permohonan yang spesifik, memanggil Allah dengan Nama-nama-Nya yang indah dan relevan dengan permohonan penyerahan diri:
"Wahai Yang Maha Mengurusi (Wakīl), Wahai Yang Maha Penolong (Naṣīr), Wahai Yang Maha Memelihara (Ḥāfīẓ), Wahai Pemilik Nama Nama Yang Terbaik."
Mengenai ketenangan jiwa yang dihasilkan dari penyerahan diri (tawakkal), optimalisasi usaha (tidak pasif), dan keyakinan pada Asmaul Husna, semuanya didukung kuat oleh pemahaman dan praktik Salafush Sholih.
Berikut adalah dalil-dalil dan perkataan dari generasi salaf yang mendukung setiap poin tersebut:
1. Ketenangan Jiwa (Sakinah) Melalui Tafwidh dan Tawakkal
Keyakinan ini bersumber langsung dari Al-Qur'an yang mereka amalkan, yang menjanjikan ketenangan bagi orang yang berserah diri.
A. Dalil Al-Qur'an (QS. At-Talaq Ayat 3)
Ayat ini adalah salah satu landasan utama ketenangan jiwa bagi orang yang bertawakkal, yang menjadi pegangan para salaf:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Terjemahan: "Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."
Pemahaman Salaf: Jika Allah sudah "mencukupkan" (menjadi hasb) urusan seorang hamba, maka tidak ada lagi ruang untuk kecemasan atau kegelisahan. Ketenangan jiwa otomatis didapatkan dari jaminan kecukupan ini.
B. Pernyataan dari Abdullah bin Abbas (Sahabat Nabi & Ahli Tafsir)
Ibnu Abbas, sepupu Nabi dan salah satu ahli tafsir generasi pertama, menekankan bahwa jaminan Allah ini memberikan ketenangan:
Ibnu Abbas RA menafsirkan ayat [QS. At-Talaq: 3] di atas, beliau berkata: "Allah akan mencukupi urusan dunianya dan akhiratnya, yang paling penting bagi dirinya."
Jaminan ini, yang dipahami oleh Ibnu Abbas, menghasilkan ketenangan hati yang menghilangkan kecemasan berlebihan.
2. Optimalisasi Usaha (Tidak Pasif)
Para salaf memahami bahwa tawakkal adalah perbuatan hati, sementara usaha adalah perbuatan fisik yang wajib dilakukan. Mereka menolak keras sikap pasif (malas-malasan).
A. Hadis yang Diamalkan Umar bin Khattab RA (Optimalisasi Usaha)
Umar bin Khattab RA sering menekankan pentingnya usaha, mengoreksi pemahaman yang salah tentang zuhud atau tawakkal pasif:
Umar bin Khattab RA berkata: "Janganlah salah seorang di antara kalian duduk (berdiam diri) dari mencari rezeki seraya berdoa: 'Ya Allah, berilah aku rezeki', padahal dia mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak."
Pernyataan Umar ini adalah dalil eksplisit dari salaf bahwa tawakkal harus disertai dengan optimalisasi usaha (melakukan sebab/ikhtiar), bukan pasif.
B. Pernyataan dari Sufyan Ats-Tsauri (Ulama Tabi'ut Tabi'in)
Sufyan Ats-Tsauri, seorang imam besar di Kufah, menyamaratakan antara orang yang bertawakkal dan orang yang bekerja keras:
"Bukanlah tawakkal jika engkau tidak berusaha (mencari penghidupan), justru orang yang bekerja keras itulah orang yang bertawakkal."
(Dinukil dalam kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali)
3. Keyakinan Penuh pada Asmaul Husna (Al-Wakil, An-Nasir, Al-Hafizh)
Dalil bahwa penyerahan diri secara spesifik memanggil nama-nama tersebut didukung oleh praktik Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh para salaf.
A. Memanggil Al-Wakil (Yang Maha Mengurusi)
Konsep penyerahan diri total kepada Al-Wakil diajarkan langsung dalam kisah Nabi Ibrahim AS, yang menjadi teladan bagi salaf:
Dari Abdullah bin Abbas RA:
"Hasbunallahu wa ni'mal wakil" (Cukuplah Allah bagi kami sebagai sebaik-baik Pengurus urusan)
"...diucapkan oleh Ibrahim AS ketika dilemparkan ke dalam api, dan diucapkan oleh Muhammad ﷺ ketika orang-orang (musyrikin) berkata: 'Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,' maka perkataan itu menambah keimanan mereka..." (HR. Bukhari)
Mengucapkan "Al-Wakil" adalah praktik salaf untuk menunjukkan keyakinan penuh bahwa Allah akan mengurus segalanya.
B. Memanggil An-Nasir (Yang Maha Penolong) dan Al-Hafizh (Yang Maha Memelihara)
Pemanggilan nama-nama ini adalah inti dari doa perlindungan para salaf, yang memahami bahwa pertolongan dan penjagaan hanya datang dari Allah.
Doa Nabi Yusuf AS (QS. Yusuf: 64) yang menjadi teladan salaf:
...فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا ۖ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Terjemahan: "Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga (Al-Hafizh), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang."
Saat menghadapi ketakutan akan kehilangan atau bahaya, para salaf merujuk kepada Allah sebagai Al-Hafizh dan An-Nasir, menunjukkan pemahaman mendalam mereka akan sifat-sifat tersebut.
Merujuk pada penafsiran mereka terhadap QS. Al-A'raf ayat 180 dan riwayat-riwayat atsar (perkataan atau perbuatan) yang dinukilkan dari mereka.
Berikut adalah dalil dan pemahaman dari ulama salaf yang berkesesuaian dengan pernyataan tersebut:
Dalil Asasi (Dasar)
Landasan utama bagi para salaf adalah ayat Al-Qur'an:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu." (QS. Al-A'raf: 180)
Atsar dan Pemahaman Ulama Salaf
Para ulama salaf memahami perintah "bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu" sebagai kewajiban untuk berlaku sopan (beradab) dalam berdoa, yaitu dengan memilih nama yang sesuai konteks.
1. Pernyataan dari Qatadah (Ulama Tabi'in)
Qatadah bin Di'amah as-Sadusi, seorang ulama Tabi'in terkemuka dan ahli tafsir, menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman yang mendukung pernyataan Anda:
قَتَادَةُ في قوله تعالى: {فَادْعُوهُ بِهَا}: قَالَ: "ادْعُوا اللَّهَ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى الْمُنَاسِبَةِ لِطَلَبِكَ".
Terjemahan: "Qatadah, mengenai firman Allah Ta'ala: {Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu}, berkata: 'Berdoalah kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang baik (Asmaul Husna) yang sesuai dengan permintaanmu'."
Pernyataan Qatadah ini dinukilkan oleh banyak ahli tafsir (termasuk Ibnu Katsir dan Ath-Thabari dalam kitab tafsir mereka) sebagai penafsiran standar dari ayat tersebut. Ini adalah dalil yang sangat eksplisit dari generasi salaf.
2. Praktik Doa dari Anas bin Malik (Sahabat Nabi)
Dalil praktik dari generasi salaf menunjukkan bahwa mereka mencontoh Nabi ﷺ dalam menggunakan nama yang relevan. Anas bin Malik, pelayan Nabi ﷺ dan salah satu sahabat mulia, meriwayatkan sebuah doa yang sering digunakan Nabi ketika ditimpa kesusahan:
Dari Anas bin Malik RA, bahwa Nabi ﷺ apabila ditimpa suatu kesusahan (perkara penting), beliau berdoa:
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ
"Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Berdiri Sendiri (Mengurus segala urusan makhluk-Nya), dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, dan ia berkata hadis hasan sahih)
Dalam doa ini, Nabi ﷺ secara spesifik memanggil Al-Hayyu dan Al-Qayyum karena dua nama tersebut mengandung makna kekuasaan, pengaturan, dan pertolongan yang sangat dibutuhkan saat menghadapi kesusahan—ini adalah bukti aplikatif dari pernyataan yang Anda maksud. Para salaf meniru cara berdoa ini.
KESIMPULAN
Dalil yang mendukung pernyataan tersebut berasal dari:
Tafsir Qatadah (Tabi'in) terhadap QS. Al-A'raf: 180 yang memerintahkan pemilihan nama Allah yang sesuai dengan permintaan.
Praktik (Sunnah) Nabi ﷺ yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik, yang menunjukkan pemilihan nama Allah yang relevan dengan hajat (kebutuhan) saat berdoa.
1. Penafsiran Terhadap Makna "Asmaul Husna"
Para ulama salaf menekankan bahwa "Al-Husna" (yang terbaik) pada nama-nama Allah bukan hanya berarti indah didengar, tetapi sempurna maknanya, menunjukkan sifat-sifat keagungan dan kekuasaan mutlak Allah.
1. Sufyan bin Uyaynah (Ulama Tabi'ut Tabi'in):
Beliau adalah salah satu ulama besar di Makkah pada zamannya. Ketika menafsirkan hadis tentang 99 nama Allah, beliau menekankan bahwa "menghitung" (ihsha') nama-nama tersebut tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami maknanya dan mengamalkannya dalam keyakinan.
Sufyan bin Uyaynah berkata: "Bukanlah ihsha' (menghitung nama-nama itu) dengan sekadar menghafal hurufnya saja, akan tetapi ihsha' adalah mengamalkan maknanya."
(Dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim dan ulama lain dari generasi setelahnya yang meriwayatkan dari salaf)
Pernyataan ini secara langsung mendukung ide bahwa mengetahui nama seperti Al-Qadir (Yang Maha Kuasa) atau Al-Wakil (Yang Maha Mengurusi) harus diiringi dengan keyakinan penuh akan kemampuan-Nya (mengamalkan maknanya).
2. Dalil dari QS. Fussilat Ayat 30 (Penegasan Iman)
Para salaf memahami bahwa iman mencakup keyakinan terhadap sifat-sifat Allah, yang tertuang dalam Asmaul Husna. Ayat ini menjadi landasan:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Terjemahan: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu." (QS. Fussilat: 30)
Pemahaman Salaf:
Istiqamah di sini, menurut para sahabat dan tabi'in (seperti yang ditafsirkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Mujahid RA), berarti mengikhlaskan tauhid kepada Allah dan berpegang teguh pada keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya Rabb yang mengurus segala urusan. Keyakinan inilah yang menghilangkan rasa takut dan sedih terhadap masalah dunia.
3. Praktik Tawakkal (Berserah Diri)
Keyakinan yang Anda sebutkan adalah esensi dari tawakkal, yang merupakan ajaran utama salaf.
Umar bin Khattab RA (Khalifah Kedua):
"Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung; ia berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)
Pernyataan Umar ini adalah dalil bahwa penegasan iman (tawakkal yang benar) terhadap sifat Allah sebagai Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) secara otomatis menyelesaikan masalah (lapar).
RINGKASAN
Pemahaman salaf yang diungkapkan melalui:
Tafsir Sufyan bin Uyaynah tentang pentingnya mengamalkan makna Asmaul Husna, bukan sekadar menghafal.
Konsep Istiqamah dan Tawakkal yang diajarkan dan dipraktikkan oleh para sahabat, yang menunjukkan keyakinan penuh bahwa Allah memiliki kapasitas penuh untuk menyelesaikan semua masalah.
*
.jpeg)






0 komentar:
Posting Komentar