Jumat, 17 Oktober 2025

WASIAT SAYYIDINA ALI RA

 

Wasiat Sayyidina Isa ‘Alaihissalam: Jangan Banyak Bicara Tanpa Mengingat Allah

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat satu riwayat yang berisi wasiat atau nasihat yang diberikan Nabi Isa kepada para pengikutnya. Berikut riwayatnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا هَاشِمٌ، أَخْبَرَنَا صَالِحٌ، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي الْجَلْدِ أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَوْصَى الْحَوَارِيِّينَ:

لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَقْسُوَ قُلُوبُكُمْ، وَإِنَّ الْقَاسِيَ قَلْبُهُ بَعِيدٌ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَكِنْ لَا يَعْلَمُ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى ذُنُوبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ وَلَكِنَّكُمُ انْظُرُوا فِي ذُنُوبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيدٌ، وَالنَّاسُ رَجُلَانِ: مُعَافًى وَمُبْتَلًى، فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ فِي بَلِيَّتِهِمْ، وَاحْمَدُوا اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ.

Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Hasyim bercerita, Shaleh mengabarkan padaku, dari Abu ‘Imran al-Jauniy, dari Abu al-Jald, bahwa sesungguhnya Isa bin Maryam ‘alaihissalam berwasiat kepada hawari-hawarinya (para sahabat/murid):

“Janganlah kalian banyak bicara tanpa mengingat Allah ‘Azza wa Jalla, karena hati kalian akan membatu. Sesungguhnya orang yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak mengetahuinya. Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah budak. Manusia itu ada dua: (1) orang yang diberi kesehatan, dan (2) orang yang diuji (dengan musibah). Maka, berkasih sayanglah pada orang-orang yang diuji karena musibah (yang menimpa) mereka, dan pujilah Allah atas (anugerah) sehat (yang diberikan-Nya).”
(Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 73)

Nasihat Sayyidina Isa ‘alaihissalam di atas adalah penyejuk. Ia tak menyukai kekerasan. Ucapannya adalah penanda bahwa perkataan tanpa hati yang tertaut dengan Allah mudah tergelincir dan menggelincirkan, apalagi jika perkataan itu berjumlah banyak. Karena itu, ia menempatkan dzikir (ingat kepada Allah) sebagai pembatasnya.

Ia takut perlahan-lahan hati manusia akan mengeras. Ketika hati sudah mengeras, ia akan jauh dari Allah, tapi mereka tidak merasakannya. Sayyidina Isa berkata:

“Sesungguhnya orang yang membatu hatinya jauh dari Allah ‘Azza wa Jalla, tetapi dia tidak mengetahuinya.”

Kata “lā ya’lamu” — “tidak mengetahuinya” — ini amat berbahaya, karena mereka tidak merasa jauh dari Allah, bahkan terkadang merasa dekat dengan-Nya. Akibatnya, mereka mudah menilai orang lain, apalagi jika yang dinilai adalah seorang pendosa, maka mereka akan berlagak seakan-akan seperti tuhan. Ini yang ditakuti Sayyidina Isa dari murid-muridnya, para hawariyyin, karena mereka adalah para pencari ilmu, pelajar kebenaran.

Mereka mempelajari ilmu yang membedakan antara kebaikan dan keburukan, sehingga sangat jelas bagi mereka mana amal, mana dosa; mana pendosa, mana ahli ibadah. Karena itu, Sayyidina Isa menambahkan:

“Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seakan-akan kalian adalah tuhan. Sebaliknya, kalian harus memandang dosa-dosa kalian seakan-akan kalian adalah budak.”

Nasihat ini digunakan untuk menghidupkan kesadaran spiritual mereka. Sayyidina Isa ingin menjauhkan murid-muridnya dari perasaan unggul dalam amal, yang bisa menyebabkan kebencian terhadap pelaku dosa, bukan terhadap dosanya.

Ketika kebencian telah membumbung, kasih sayang akan tenggelam. Untuk menghindari itu, Sayyidina Isa menekankan pentingnya melihat ke dalam diri, menelusuri lekuk-lekuk jiwa, dan meraba terbolak-baliknya hati.

Dengan menyebut “budak”, Sayyidina Isa mengembalikan manusia ke tempatnya, sebagai makhluk yang dinilai, bukan yang menilai. Karena hanya Allah-lah yang berhak menilai.

Dalam satu riwayat lain, dikatakan:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ قَالَ: أَوْحَى اللَّهُ إِلَى عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا عِيسَى، عِظْ نَفْسَكَ، فَإِنِ اتَّعَظْتَ فَعِظِ النَّاسَ، وَإِلَّا فَاسْتَحِ مِنِّي.

“Abdullah bercerita, ayahku bercerita, Sayyar bercerita, Ja’far bercerita, Malik bin Dinar bercerita kepada kami, ia berkata: “Allah mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam: Wahai Isa, nasihatilah dirimu sendiri terlebih dahulu. Jika engkau sudah menasihati dirimu, maka nasihatilah manusia. Jika belum, maka malulah kepada-Ku.”
(Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 71)

Nabi yang tugas utamanya menyampaikan wahyu pun diperintahkan untuk menasihati dirinya sendiri terlebih dahulu, apalagi kita. Seringkali, kita terlalu sibuk menilai orang lain, hingga lupa menilai diri sendiri. Padahal setiap manusia memiliki sisi baik dan buruk.

Sebaik-baiknya manusia pasti pernah berdosa, dan seburuk-buruknya manusia pasti pernah berbuat baik. Jika untuk memberi nasihat saja harus menasihati diri dahulu, maka untuk menilai pun seharusnya demikian — bahkan lebih berat lagi tanggung jawabnya.

Sayyidina Isa melanjutkan bahwa manusia itu terbagi dua:

Orang yang diberi kesehatan (mu’âfan)

Orang yang sedang diuji dengan musibah (mubtalân)

Dua kategori ini bukan predikat tetap, tapi perputaran roda kehidupan. Hari ini sehat, besok diuji. Hari ini diuji, kelak diberi kemudahan. Karena itu, Sayyidina Isa berkata:

“Maka berkasih sayanglah pada orang-orang yang diuji karena musibah yang menimpa mereka, dan pujilah Allah atas nikmat sehat yang diberikan-Nya.”

Beliau ingin membentuk iklim kasih sayang, bukan iklim saling hujat. Menurut Sayyidina Isa, keberuntungan bukan alat untuk menghina, dan kemalangan bukan alasan untuk menyesali hidup secara berlebihan.

Kata mu’âfan dan mubtalân hanyalah status sementara. Setiap orang akan mengalami keduanya. Maka, ia mengajak kita melihat orang lain dengan kaca mata empati, bukan dari seberapa “tinggi atau rendah” kondisi mereka.

Tujuannya adalah membangun budaya saling asuh, saling tolong-menolong, dan tumbuh bersama dalam ridha Allah.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb.

✍️ Muhammad Afiq Zahara
Alumnus PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

0 komentar:

Posting Komentar