Rabu, 29 Oktober 2025

BIOGRAFI AL IMAM SYAFI'I


🕌 Catatan Imam Asy-Syafi’i (Muhammad bin Idris asy-Syafi’i)

1. Kelahiran dan Latar Belakang

  • Nama lengkap: Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abd Manaf.
  • Silsilah beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada kakek yang sama, yaitu ‘Abd Manaf.
  • Lahir di Ghazzah (Palestina) pada tahun 105 H / 676 M,
    dan wafat di Mesir pada tahun 204 H / 820 M.
  • Beliau adalah pendiri Mazhab Syafi‘i, salah satu dari empat mazhab besar Ahlus Sunnah wal Jama‘ah.
  • Ibunya bernama Fatimah binti ‘Abdullah, seorang wanita salehah dan cerdas.
  • Ayahnya wafat saat beliau masih bayi, sehingga Asy-Syafi‘i tumbuh sebagai anak yatim yang diasuh ibunya dalam keadaan sederhana.

Perjalanan Awal:

  • Saat berusia 2 tahun, ibunya membawanya ke Makkah agar dekat dengan keluarga besar Bani al-Muththalib, keturunan Nabi SAW.
  • Ibunya berkata:

    “Engkau harus tinggal bersama keluargamu agar menjadi seperti mereka.”

  • Di Makkah, beliau mudah mendapatkan akses pendidikan dari para ulama besar dalam bidang hadis, fiqih, bahasa, dan sastra.

Kecerdasan dan Hafalan:

  • Menghafal Al-Qur’an pada usia 7 tahun.
  • Menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 10 tahun.
  • Dikenal sebagai anak yang tajam ingatan, kuat hafalan, dan cepat memahami.

Pujian Ulama:

  • Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

    “Asy-Syafi‘i ibarat matahari bagi bumi dan kesehatan bagi tubuh — tak ada yang menandingi keduanya.”


2. Pendidikan dan Perjalanan Ilmu

Masa Awal di Makkah

  • Pada mulanya Asy-Syafi‘i mempelajari syair, sejarah (al-ayyām), dan sastra Arab.
  • Beliau sangat menguasai bahasa Arab klasik dan hafal banyak syair jahiliyah.
  • Suatu hari seorang ulama menasihatinya:

    “Orang sepertimu lebih baik menekuni ilmu fiqih.”
    Sejak saat itu, Asy-Syafi‘i mulai fokus belajar fiqih.

Guru Pertama

  • Guru pertamanya adalah Muslim bin Khalid az-Zanji, mufti Makkah.
    Beliau berkata kepada Asy-Syafi‘i muda:

    “Engkau telah dimuliakan di dunia dan di akhirat. Gunakan kecerdasanmu untuk fiqih, karena itu lebih baik bagimu.”

  • Selain itu, beliau juga belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah, seorang ahli hadis terkenal di Makkah.

Ke Madinah

  • Pada usia 13 tahun, Asy-Syafi‘i berangkat ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki.
  • Beliau belajar Al-Muwaththa’ langsung dari Imam Malik dan mempelajari metode istinbath hukum Madinah hingga Imam Malik wafat.
  • Asy-Syafi‘i sangat menghormati gurunya dan tidak pernah berbicara di majelis tanpa izin Imam Malik.

Perjalanan Ilmiah ke Yaman dan Irak

  • Di Yaman, beliau belajar kepada:
    • Matraf bin Mazin
    • Hisyam bin Yusuf (Qadhi kota San‘a)
    • Umar bin Abi Maslamah
    • Al-Laits bin Sa‘d
  • Di Irak, beliau berguru kepada:
    • Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah)
    • Waki‘ bin al-Jarrah al-Kufi
    • Abu Usamah Wahab bin ‘Abdul Majid al-Basri

Beliau memadukan dua pendekatan besar:

  • Madrasah al-Hadits (berbasis riwayat, seperti Imam Malik), dan
  • Madrasah ar-Ra’yi (berbasis akal dan qiyas, seperti Imam Abu Hanifah).

Dari perpaduan ini lahirlah metode Ushul Fiqih Syafi‘i yang seimbang antara nash dan rasionalitas.


3. Guru-Guru dan Murid-Murid

Guru-Guru Imam Asy-Syafi‘i

Di Makkah:

  • Muslim bin Khalid az-Zanji
  • Sufyan bin ‘Uyainah
  • Sa‘id bin al-Khudri
  • Daud bin Abdurrahman al-‘Atthar
  • Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud

Di Madinah:

  • Imam Malik bin Anas
  • Ibrahim bin Sa‘d al-Anshari
  • Abdul Aziz bin Muhammad ad-Dawardi
  • Abdullah bin Nafi‘ as-Saigh

Di Yaman:

  • Matraf bin Mazin
  • Hisyam bin Yusuf (Qadhi San‘a)
  • Umar bin Abi Maslamah
  • Al-Laits bin Sa‘d

Di Irak:

  • Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani
  • Waki‘ bin al-Jarrah
  • Abu Usamah al-Basri

Murid-Murid Imam Asy-Syafi‘i

Murid-muridnya tersebar di berbagai wilayah Islam:

Di Makkah:

  • Abu Bakar al-Humaidi
  • Ibrahim bin Muhammad al-‘Abbas
  • Musa bin Abi al-Jarud

Di Baghdad:

  • Al-Hasan as-Sabah az-Za‘farani
  • Al-Husain bin ‘Ali al-Karabisi
  • Abu Tsaur al-Kulbi
  • Ahmad bin Muhammad al-Asy‘ari

Di Mesir:

  • Hurmalah bin Yahya
  • Yusuf bin Yahya al-Buwaiti
  • Isma‘il bin Yahya al-Muzani
  • Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam
  • Ar-Rabi‘ bin Sulaiman al-Jizi

4. Karya-Karya Imam Asy-Syafi‘i

Beliau menulis banyak kitab dalam bidang fiqih, tafsir, ushul fiqih, dan sastra.
Menurut sebagian ahli sejarah, jumlah karya beliau mencapai lebih dari 13 kitab.

Karya Terkenal

  1. Ar-Risālah

    • Ditulis di Baghdad atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi.
    • Membahas dasar-dasar Ushul Fiqih dan metode istinbath hukum.
    • Menjadi kitab pertama dalam sejarah Islam tentang Ilmu Ushul Fiqih.
  2. Al-Umm

    • Kitab besar dalam bidang fiqih Syafi‘i.
    • Berisi hasil ijtihad dan fatwa beliau dalam berbagai permasalahan hukum.
    • Merupakan pengembangan praktis dari prinsip-prinsip Ar-Risālah.
  3. Al-Musnad

    • Menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan oleh beliau dari para gurunya.
  4. Karya lainnya:

    • Al-Washāyā al-Kabīrah
    • Ikhtilāf Ahlil ‘Irāq
    • Wasiyyat asy-Syafi‘i
    • Jāmi‘ al-‘Ilm
    • Ibtāl al-Istihsān
    • Al-Amālī
    • Mukhtashar ar-Rabi‘ wal-Buwaiti
    • Al-Imlā’

5. Wafat dan Warisan Keilmuan

  • Imam Asy-Syafi‘i wafat di Mesir pada tahun 204 H / 820 M, dalam usia 54 tahun.
  • Dimakamkan di Kairo, dan makamnya hingga kini menjadi salah satu tempat ziarah ilmiah dan spiritual umat Islam.
  • Mazhab Syafi‘i kemudian tersebar luas di Mesir, Yaman, Hijaz, Afrika Timur, Suriah, Nusantara (Indonesia–Malaysia), dan sebagian India.

🟩 Kesimpulan

Imam Asy-Syafi‘i dikenal sebagai pemersatu dua aliran besar fiqih Islam:

  • Madrasah al-Hadits (Hijaz) yang menekankan teks dan riwayat, dan
  • Madrasah ar-Ra’yi (Irak) yang menekankan akal dan qiyas.

Beliau adalah penyusun sistem Ilmu Ushul Fiqih pertama, yang menjadi dasar hukum Islam modern.
Dikenal dengan kecerdasan tajam, kemampuan bahasa Arab yang luar biasa, dan akhlak yang mulia.


Apakah kamu ingin aku lanjutkan untuk membuat versi markdown siap salin ke aplikasi catatan digital (misalnya Notion/Obsidian) dari dua catatan ini — agar tampilannya lebih terstruktur dengan heading dan bullet rapi?

BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH



BAB II – BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH

A. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah

Nama Lengkap:
Abu Hanifah an-Nu‘man bin Tsabit bin Zutha at-Taimi.
Beliau dikenal sebagai Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi — salah satu dari empat mazhab besar dalam Islam.

Asal dan Kelahiran:

  • Keturunan Persia (dari Kabul, Afghanistan).
  • Lahir di Kufah pada tahun 80 H / 699 M, wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M.
  • Hidup di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyyah.

Julukan “Abu Hanifah”:
Ada beberapa pendapat:

  1. Karena beliau memiliki anak bernama Hanifah.
  2. Karena kata hanif berarti condong kepada kebenaran.
  3. Karena selalu membawa tinta (alat tulis) — di Irak “hanifah” berarti tinta.

Sifat dan Kepribadian:

  • Rajin membaca dan mengkhatamkan Al-Qur’an (disebut hingga 60 kali di bulan Ramadhan).
  • Berkulit sawo matang, tinggi, berwajah tampan, berbicara lembut, dan tidak banyak bicara kecuali hal penting.
  • Sangat sopan, berwibawa, dan menjaga diri dari perkara yang tidak bermanfaat.
  • Menyayangi ibu, taat kepada orang tua, dan sering membawa ibunya ke majlis ilmu.
  • Suka berpakaian bersih dan memakai wewangian.
  • Dermawan, suka membantu orang, dan menjenguk yang sakit.
  • Jujur, wara’, cerdas, tekun menuntut ilmu, dan sangat dermawan.
  • Hidup seimbang antara urusan dunia dan akhirat.

B. Pendidikan Imam Abu Hanifah

Awalnya Abu Hanifah adalah pedagang kain sutra, mengikuti jejak ayahnya.
Namun atas saran ulama besar Asy-Sya‘bi, beliau mulai memusatkan diri pada ilmu pengetahuan.

Bidang Ilmu yang Dipelajari:

  • Qira’at (bacaan Al-Qur’an)
  • Hadis
  • Bahasa Arab dan Nahwu
  • Sastra dan Syair
  • Ilmu Kalam (teologi)
  • Fiqih

Beliau terkenal sebagai tokoh rasionalis di Kufah, kota yang menjadi pusat perdebatan keagamaan dan ilmu pengetahuan kala itu.

Guru-Guru Awal:

  • Belajar fiqih dari Hammad bin Abi Sulaiman, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Syuraih al-Qadhi.
  • Belajar selama 18 tahun kepada Hammad, hingga akhirnya menggantikan beliau sebagai pemimpin majlis fiqih di Kufah.
  • Juga belajar ke Hijaz (Mekah & Madinah) untuk memperdalam ilmu hadis dan fiqih.

Ulama yang Pernah Ditemui:
Abu Hanifah sempat bertemu dengan 7 sahabat Nabi yang masih hidup:
Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Watsilah bin al-Asqa‘, Ma‘qil bin Yasar, Abdullah bin Anis, dan Abu Thufail.

Beliau juga berguru kepada lebih dari 200 ulama besar, terutama dari kalangan tabi‘in seperti:

  • Atha’ bin Abi Rabah
  • Nafi‘ maula Ibn Umar
  • Muhammad al-Baqir
  • Amr bin Dinar
  • Rabi‘ah bin Abdurrahman
  • Qatadah, Syu‘bah bin Hajjaj, dan lainnya.

Kecerdasan & Pandangan:

  • Sangat kuat daya ingat dan logikanya.
  • Disebut Imam Malik: “Seandainya tiang masjid itu emas, dan Abu Hanifah mengatakan demikian, pasti ia memiliki hujjahnya.”
  • Terkenal sangat tajam dalam berargumentasi dan bijak dalam mengambil kesimpulan hukum.

C. Guru-Guru Imam Abu Hanifah

Beliau berguru kepada banyak ulama besar, di antaranya:

  1. Abdullah bin Mas‘ud
  2. Ali bin Abi Thalib
  3. Ibrahim an-Nakha‘i
  4. Amir asy-Sya‘bi
  5. Hammad bin Abi Sulaiman (guru utama selama 18 tahun)
  6. Atha’ bin Abi Rabah
  7. Nafi‘ maula Ibn Umar
  8. Salamah bin Kuhail
  9. Qatadah
  10. Rabi‘ah bin Abdurrahman

Dari silsilah keilmuan, sanad keilmuan beliau bersambung hingga kepada sahabat Nabi seperti ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas‘ud.


D. Murid-Murid Imam Abu Hanifah

Beberapa muridnya yang paling terkenal:

  1. Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari) – kemudian menjadi Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) di masa Harun ar-Rasyid.
  2. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani – tokoh besar dalam penyusunan kitab fiqih Mazhab Hanafi.
  3. Imam Zufar bin Hudzail al-Kufi – dikenal sebagai ahli qiyas (analogi hukum).
  4. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluwi – ahli fiqih yang sangat teliti.

Mereka berempatlah yang meneruskan dan menyebarkan pemikiran Imam Abu Hanifah di dunia Islam.


E. Karya-Karya Imam Abu Hanifah

Walaupun sebagian besar pemikirannya dihimpun oleh murid-muridnya, beberapa karya yang dinisbatkan kepada beliau adalah:

  1. al-Fara’id – tentang hukum waris.
  2. asy-Syurut – tentang hukum perjanjian.
  3. al-Fiqh al-Akbar – tentang teologi (ilmu kalam).

Karya murid-murid beliau (dalam Mazhab Hanafi) dibagi menjadi tiga tingkatan:

1. Masā’il al-Ushul (Pokok-pokok hukum):

  • al-Mabsuth
  • al-Jami‘ ash-Shaghir
  • al-Jami‘ al-Kabir
  • as-Sair ash-Shaghir
  • as-Sair al-Kabir

2. Masā’il an-Nawāzil (Kasus baru):

  • Haran an-Niyah
  • Jurj an-Niyah
  • Qais an-Niyah

3. al-Fatāwa wa al-Faqi‘āt (Kumpulan fatwa):

  • Hasil istinbath para ulama Hanafi dari murid-murid Abu Hanifah.

F. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahlur Ra’yi, yaitu yang menggunakan akal dan pertimbangan logis dalam menggali hukum.
Metode yang beliau gunakan:

  1. Al-Qur’an – sumber hukum utama.
  2. As-Sunnah – hadis Nabi SAW (baik qauliyah, fi‘liyah, maupun taqririyah).
  3. Fatwa Sahabat – pendapat sahabat Nabi diutamakan karena mereka langsung berinteraksi dengan Rasulullah.
  4. Qiyas – analogi hukum berdasarkan kesamaan illat.
  5. Istihsan – mengambil hukum yang lebih ringan demi kemaslahatan.
  6. Ijma’ – kesepakatan para ulama mujtahid.
  7. ‘Urf (Adat kebiasaan) – selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

G. Penilaian Para Ulama terhadap Imam Abu Hanifah

Pujian dan Pengakuan:

  • Al-Fudhail bin ‘Iyadh: “Abu Hanifah adalah ahli fiqih, wara’, dermawan, dan sangat menjaga lisannya.”
  • Abdullah bin al-Mubarak: “Kalau bukan karena Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri, aku tidak akan memahami ilmu ini.”
  • Imam Syafi‘i: “Barangsiapa ingin memahami fiqih secara mendalam, hendaklah belajar kepada Abu Hanifah.”
  • Qais bin Rabi‘: “Beliau sabar, sedikit bicara, dan menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik.”

Kritik dan Penilaian Negatif:

  • Imam Muslim dan an-Nasa’i menilai beliau kurang kuat dalam hafalan hadis.
  • Sebagian ulama menuduhnya berpaham Murji’ah (menganggap amal bukan bagian dari iman),
    tetapi penjelasan beliau menunjukkan bahwa iman baginya adalah keyakinan dalam hati dan ucapan dengan lisan — sejalan dengan jumhur Ahlus Sunnah.

Wafat

Imam Abu Hanifah wafat dalam penjara pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) pada usia 70 tahun,
karena menolak jabatan hakim yang ditawarkan oleh penguasa.
Beliau dimakamkan di Baghdad, dan jasadnya dishalatkan oleh ribuan orang.


Kesimpulan Singkat

Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang menggabungkan kedalaman ilmu, kecerdasan logika, dan keluhuran akhlak.
Mazhabnya — Mazhab Hanafi — menjadi mazhab terbesar di dunia Islam Timur (Turki, Asia Tengah, India, Pakistan, dll).
Pemikirannya yang rasional dan terbuka menjadi fondasi penting dalam perkembangan hukum Islam sepanjang zaman.



🕌 Catatan Imam Abu Hanifah (Al-Imam al-A‘zhām al-Kūfī)

1. Kelahiran dan Asal-usul

  • Nama lengkapnya Abu Hanifah an-Nu‘man bin Tsabit.
  • Beliau keturunan Persia yang merdeka, bukan dari budak.
  • Lahir di Kufah, Irak, tahun 80 H / 699 M, pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah).
  • Wafat pada tahun 150 H / 767 M di Baghdad.
  • Dikenal dengan gelar Al-Imam al-A‘zham (Imam Agung) dan pendiri Mazhab Hanafi.

Asal Gelar “Abu Hanifah”:

  • Diberikan karena kesungguhannya beribadah, kelurusan akhlak, dan menjauhi maksiat sejak kecil.
  • Kata Hanifah berarti “lurus dan suci”.
  • Dikisahkan bahwa doa Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib kepada ayahnya (Tsabit) menjadi sebab keberkahan — keturunannya kelak menjadi orang mulia, dan doa itu terwujud dalam diri Imam Abu Hanifah.

Kehidupan Pribadi:

  • Sejak muda sangat cinta ilmu, terutama tentang hukum Islam.
  • Walaupun anak saudagar kaya, beliau hidup sederhana dan menjauhi kemewahan.
  • Sukses sebagai pedagang kain di Kufah, namun hartanya banyak disedekahkan untuk kepentingan umat.
  • Dikenal sebagai ulama Ahlur Ra’yi — pakar fiqih Irak yang menggunakan penalaran (ra’yu) dan qiyas dengan hati-hati.
  • Imam Syafi‘i pernah berkata:

    “Manusia sangat membutuhkan Imam Abu Hanifah dalam bidang fiqih.”


2. Pendidikan dan Perjalanan Ilmu

  • Sejak awal menuntut ilmu, beliau mempelajari berbagai cabang ilmu agama yang berkembang di Kufah: fiqih, hadis, kalam (teologi), sastra Arab, dan qira’at.
  • Kufah pada masa itu adalah pusat ilmu dan budaya, juga tempat perdebatan sengit soal akidah dan hukum Islam.
  • Imam Abu Hanifah mengarahkan perhatian utamanya pada ilmu fiqih, di samping teologi (kalam).

Perkembangan Ilmu:

  • Awalnya belajar qira’at, hadis, nahwu, sastra, syair, dan teologi.
  • Di antara buku karyanya yang mencerminkan bidang ini:
    • Al-Fiqh al-Akbar
    • Ar-Radd ‘ala al-Qadariyyah
    • Al-‘Alim wal-Muta‘allim

Peran Asy-Sya‘bi:

  • Ulama besar Kufah bernama Asy-Sya‘bi mendorong beliau untuk lebih menekuni ilmu, karena kecerdasan dan bakatnya luar biasa.

Madrasah Kufah:

  • Didirikan oleh Abdullah bin Mas‘ud (w. 63 H).
  • Dilanjutkan oleh Ibrahim an-Nakha‘i, lalu Hammad bin Abi Sulaiman, yang menjadi guru utama Abu Hanifah.
  • Imam Abu Hanifah belajar fiqih dan hadis dari Hammad selama 18 tahun, hingga menggantikannya sebagai kepala madrasah setelah wafatnya.

Perjalanan ke Hijaz:

  • Beberapa kali berangkat ke Makkah dan Madinah untuk memperdalam hadis dan fiqih.
  • Fatwa-fatwanya menjadi dasar utama Mazhab Hanafi yang berkembang sampai sekarang.

3. Guru-Guru dan Murid-Muridnya

Guru-Guru

Sebagian besar gurunya berasal dari kalangan tabi‘in, antara lain:

  • Hammad bin Abi Sulaiman – guru utama (18 tahun).
  • Atha’ bin Abi Rabah (w. 114 H).
  • Nafi‘ maula Ibn ‘Umar (w. 117 H).
  • Muhammad al-Baqir
  • Ady bin Tsabit
  • Abdurrahman bin Harmaz
  • Amr bin Dinar
  • Manshur bin Mu‘tamir
  • Syu‘bah bin Hajjaj
  • Salamah bin Kuhail
  • Qatadah
  • Rabi‘ah bin Abdurrahman

Guru-gurunya banyak dari Kufah, Basrah, dan Hijaz, serta termasuk ulama tabi‘in dan tabi‘ut tabi‘in.

Murid-Murid Terkenal

  1. Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari)

    • Menyusun kitab pertama Mazhab Hanafi.
    • Menjadi Qadhi al-Qudhat (Hakim Agung) pada masa khalifah Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Harun ar-Rasyid.
    • Jabatan hakim di seluruh wilayah Islam saat itu dipegang oleh ulama Mazhab Hanafi.
    • Wafat tahun 183 H.
    • Karya penting: Risalah al-Kharaj.
  2. Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani

    • Murid Abu Hanifah dan rekan dekat Abu Yusuf.
    • Penyusun banyak kitab hukum dalam Mazhab Hanafi.
  3. Murid lainnya:

    • Imam Zufar bin Hudzail
    • Imam Hasan bin Ziyad al-Luluwi

4. Karya-Karya Imam Abu Hanifah

Walaupun beliau tidak banyak menulis langsung, sebagian ajarannya dihimpun oleh murid-muridnya.
Beberapa karya penting yang dinisbatkan kepadanya:

  1. Al-Fiqh al-Akbar – membahas akidah dan teologi Islam.
  2. Al-Risalah
  3. Al-Washiyyah
  4. Al-Fiqh al-Absath
  5. Al-‘Alim wal-Muta‘allim

Pemikiran beliau kemudian dihimpun dalam karya-karya muridnya yang membentuk dasar Mazhab Hanafi.


5. Metode dan Prinsip Mazhab Hanafi

Dasar-dasar pengambilan hukum Abu Hanifah meliputi:

  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’ (konsensus ulama)
  4. Qiyas (analogi hukum)
  5. Istihsan (memilih hukum yang lebih ringan demi kemaslahatan)

Ciri khasnya:

  • Menggunakan akal dan logika secara mendalam.
  • Sangat berhati-hati dalam menerima hadis — memastikan sanadnya kuat.
  • Memberikan ruang luas bagi qiyas dan ijtihad, terutama dalam kasus yang belum ada nashnya.

6. Wafat

  • Imam Abu Hanifah wafat dalam penjara Baghdad pada tahun 150 H / 767 M.
  • Usianya 70 tahun.
  • Beliau dipenjara karena menolak jabatan hakim yang ditawarkan khalifah, sebab tidak ingin kompromi terhadap kebenaran.
  • Dimakamkan di Baghdad; ribuan orang menyalatinya.

🟩 Kesimpulan

Imam Abu Hanifah adalah pelopor rasionalisme fiqih Islam.
Mazhabnya menjadi mazhab paling luas pengikutnya di dunia Islam Timur (Turki, Asia Tengah, India, Pakistan, dan sebagian Mesir).
Beliau dikenal karena kecerdasan akal, ketajaman logika, kejujuran, serta kemandirian berpikir — menjadikannya teladan bagi para pencari ilmu hingga kini.



RIWAYAT KEHIDUPAN AL IMAM ABU HANIFAH



🕋 Riwayat Menuntut Ilmu Imam Abu Hanifah

Perjalanan ilmu Imam Abu Hanifah dimulai dari ketertarikannya pada berbagai bidang ilmu seperti qira’at, hadis, nahwu, teologi, hingga fikih, yang kemudian membawanya untuk berguru pada banyak ulama terkemuka.
Beliau berguru selama 18 tahun kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman di Kufah dan mendalami ilmu fikih sebelum akhirnya menjadi seorang ahli fikih dan teologi yang disegani, serta pendiri mazhab Hanafi.


🌿 Awal Menuntut Ilmu

1. Awalnya seorang pedagang
Sebelum mendalami ilmu, Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain sutra. Namun, beliau memiliki ketertarikan kuat terhadap ilmu dan mulai tekun menghafal Al-Qur’an.

2. Memulai dengan berbagai disiplin ilmu
Beliau mempelajari beragam bidang ilmu, termasuk qira’at, hadis, nahwu, sastra, sya’ir, dan teologi (ilmu kalam).

3. Kecenderungan pada ilmu kalam
Pada awalnya, beliau sangat mencintai ilmu teologi dan menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam bidang tersebut. Namun, kemudian beliau mengalihkan fokusnya ke ilmu fikih.


📚 Berguru pada Guru-Guru Utama

1. Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman
Perjalanan intelektual beliau paling signifikan ketika belajar selama 18 tahun kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman di Kufah. Dari gurunya inilah beliau menekuni ilmu fikih hingga mencapai pemahaman yang sangat mendalam.

2. Guru-guru lainnya
Selain Syaikh Hammad, Imam Abu Hanifah juga belajar dari banyak ulama terkemuka pada zamannya, yang sebagian merupakan tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Beberapa di antaranya adalah Ibrahim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas.

3. Belajar dari 4.000 guru
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menuntut ilmu dari sekitar 4.000 ulama sepanjang perjalanan intelektualnya.


🧠 Pengaruh dan Metodologi

1. Pengaruh lingkungan
Kufah pada masa itu merupakan pusat ilmu dan kebudayaan, dengan banyak perdebatan intelektual yang turut membentuk cara berpikir beliau.

2. Metode ra’yu
Ciri khas pemikiran Imam Abu Hanifah adalah penggunaan akal (rasio) dan qiyas (analogi) dalam memecahkan masalah hukum, yang kemudian menjadi karakteristik utama mazhab Hanafi.

3. Diskusi dan muhadlarah
Beliau sering mengajak para muridnya untuk bertukar pikiran dalam diskusi (muhadlarah) mengenai persoalan-persoalan hukum guna memperdalam pemahaman.


📖 Biografi Imam Abu Hanifah

🪶 Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata:

“Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fikih umat ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.”
(Siyar A’lamin Nubala, 6/390)

Syaikh At-Taqi Al-Ghazi berkata:

“Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fikih dunia seluruhnya. Orang-orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan pada masanya belum pernah mata melihat yang semisalnya. Belum ada seorang mujtahid yang mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.”
(Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, hal. 24)

Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha – dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan – inilah yang masyhur.
Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya, Majduddin Al-Fairuzzabadi, dalam Thabaqat Al-Hanafiyah, bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (dibaca Zautha), sebagaimana Sakra.
Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid.)


🌍 Asal Daerah

Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga menyebutkan:

“Terjadi perbedaan pendapat tentang asal daerahnya: ada yang mengatakan dari Kaabil, ada yang menyebut Baabil, Nasaa, Tirmidz, Al-Anbar, dan lainnya.”

Sirajuddin Al-Hindi menambahkan bahwa pendapat-pendapat itu dapat dikompromikan:

“Kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, kemudian ke Tirmidz. Ada pula yang mengatakan bahwa ayahnya lahir di Baabil, lalu dibesarkan di Al-Anbar, dan seterusnya.”
(Lihat juga: Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari, Akhbar Abi Hanifah, hal. 15–16)


🖋️ Julukan dan Gelar

Beliau dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah.
Beliau juga dijuluki Imamul A‘zham, sebagaimana banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti:

  • Manaqib Imam Al-A‘zham Abi Hanifah
  • Al-Khairat Al-Hisan fi Manaqib Al-Imam Al-A‘zham Abi Hanifah An-Nu‘man, dan lainnya.

Terkait dengan seseorang bernama Andi Bangkit (penulis buku Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin), yang menolak fakta bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A‘zham karena menurutnya gelar tersebut hanya untuk khalifah, maka pendapat itu jelas keliru dan mengada-ada.
Sebab, secara historis, gelar Imamul A‘zham tidak terbatas untuk khalifah. Bahkan selain Imam Abu Hanifah, para ulama juga menyebut Imam Asy-Syafi‘i dengan gelar yang sama.

Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi, misalnya, menyusun kitab berjudul:

Manaqib Al-Imam Al-A‘zham Asy-Syafi‘i
(Lihat: Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, hal. 124, Mawqi‘ Al-Warraq)


KELAHIRANNYA

Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Ada pula yang menyebut 61 Hijriyah, sebagaimana dikatakan oleh Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, namun pendapat yang shahih dan masyhur adalah tahun 80 Hijriyah. Hal ini ditegaskan oleh putranya sendiri, Hammad, serta oleh Abu Nu’aim, yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah.

(Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, hlm. 25; Akhbar Abi Hanifah, hlm. 16–17).

Imam Adz-Dzahabi berkata:

“Beliau lahir pada tahun 80 Hijriyah, pada masa shigharush shahabah (para sahabat Nabi yang masih muda), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.”

(As-Siyar, 6/391).

Imam Abu Hanifah juga sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi, di antaranya Abdullah bin Al-Haarits—darinya beliau meriwayatkan hadis—serta Abdullah bin Abi ‘Aufa dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik pada tahun 95 Hijriyah, meriwayatkan hadis darinya, dan sempat bertanya kepadanya tentang sujud sahwi.

(Akhbar Abi Hanifah, hlm. 18–19).

Bahkan, Ismail—cucu Imam Abu Hanifah—meriwayatkan:

وُلِدَ جَدِّي فِي سَنَةِ ثَمَانِينَ، وَذَهَبَ ثَابِتٌ إِلَى عَلِيٍّ وَهُوَ صَغِيرٌ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ، وَنَحْنُ نَرْجُو مِنَ اللهِ أَنْ يَكُونَ اسْتَجَابَ ذَلِكَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِينَا.

“Kakekku dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi menemui Ali bin Abi Thalib ketika masih kecil. Lalu Ali mendoakannya agar diberkahi dirinya dan keturunannya. Kami pun berharap kepada Allah semoga doa Ali Radhiyallahu ‘Anhu itu dikabulkan pada diri kami.”

(As-Siyar, 6/395).


PENDIDIKAN IMAM ABU HANIFAH

Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membentuk sifat, sikap, dan karakter seseorang. Demikian pula halnya dengan Abu Hanifah yang tumbuh di tengah masyarakat yang terbiasa menghafal dan membaca Al-Qur’an. Pada usia enam tahun, ia telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an dengan riwayat bacaan Imam ‘Ashim—salah satu ulama dalam qira’ah sab’ah. Ia menghafal Al-Qur’an di sela-sela waktunya membantu orang tuanya berdagang di pasar.

Pada masa itu, Kufah—wilayah tempat Abu Hanifah menuntut ilmu—menjadi pusat tiga halaqah keilmuan utama:

Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah.

Halaqah yang mengkaji hadis Rasulullah ﷺ, metode pengumpulan, kritik terhadap perawi, dan penilaian terhadap keotentikan riwayat.

Halaqah yang membahas fikih dari Al-Qur’an dan hadis, termasuk penyusunan fatwa atas permasalahan baru yang belum pernah muncul sebelumnya.

Abu Hanifah mempelajari ilmu gramatika Arab (nahwu-sharf), yang membahas kaidah-kaidah kalimat dalam bahasa Arab secara sistematis dan bersifat sima’i (berdasarkan pendengaran). Namun, karena ilmu ini lebih menekankan pada hafalan dan kurang menggunakan rasionalitas, Abu Hanifah yang cerdas dan gemar berpikir logis merasa kurang cocok. Ia pun beralih mendalami dua bidang sekaligus: ilmu fikih dan ilmu kalam.

Abu Hanifah turut aktif dalam berbagai dialog seputar ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Ia juga menghadiri majelis hadis dan periwayatannya, sehingga memiliki kontribusi besar dalam bidang ini.

Perjalanan ilmiahnya semakin mendalam setelah ia bertemu dengan Imam Syu’abi. Melihat kecerdasan Abu Hanifah, Imam Syu’abi menyarankannya untuk lebih fokus menekuni ilmu keislaman tanpa meninggalkan urusan dagang. Saran ini ia ikuti dengan sungguh-sungguh, lalu ia berguru kepada banyak ulama, di antaranya:

Hammad bin Abi Sulaiman al-Ash’ari,

Zaid bin Ali bin Zainal Abidin,

Muhammad al-Baqir Zainal Abidin,

Ja’far ash-Shadiq,

Abdullah bin al-Hasan bin al-Hasan,

Jabir bin Yazid al-Ju’fi,

Ibrahim an-Nakha’i,

Imam asy-Syu’abi, dan lainnya.

Dari sekian banyak guru, yang paling berpengaruh terhadap pemikirannya adalah Hammad bin Abi Sulaiman al-Ash’ari, seorang ahli fikih Kufah. Abu Hanifah belajar darinya selama sekitar 40 tahun, sejak usia 22 tahun, mendalami fikih dan hadis. Pada waktu yang sama, ia juga berguru kepada Ibrahim an-Nakha’i dan Imam asy-Syu’abi.

Setelah menjelajahi berbagai bidang ilmu, Abu Hanifah akhirnya memusatkan perhatian pada ilmu fikih. Ia terus menimba ilmu dari para ulama besar Kufah—kota yang saat itu menjadi pusat keilmuan fikih Irak. Selama 18 tahun, ia berguru kepada Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman. Meski merasa telah cukup, setiap kali berkeinginan untuk mandiri, ia selalu merasakan bahwa dirinya masih memerlukan bimbingan gurunya.


PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH

Melihat perjalanan hidupnya, jelas bahwa kecintaan Abu Hanifah terhadap ilmu merupakan kunci kesuksesannya. Ia menjadi tokoh besar yang memberi pengaruh mendalam terhadap pemikiran keislaman, khususnya dalam hukum Islam (fiqih). Meskipun dikenal sebagai faqih dan mujtahid, ia juga ahli dalam bidang aqidah (ilmu kalam) dan tasawuf.

Bidang Ilmu Kalam

Ilmu pertama yang dikuasai Abu Hanifah adalah ilmu kalam, karena ia hidup di tengah masyarakat yang banyak bergelut dalam bidang ini. Dengan kecenderungan berpikir rasional, kemampuan ra’yu (nalar) Abu Hanifah menjadi ciri khas yang bahkan terbawa hingga ke dalam metode berfiqihnya.

Beberapa pandangan penting beliau dalam ilmu kalam antara lain:

Tentang Iman

Abu Hanifah mengawali perjalanan intelektualnya dalam bidang ilmu kalam (teologi) dengan mengembara ke Basrah—pusat aliran teologi kala itu. Ia mendefinisikan iman sebagai pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Adapun Islam dipahami sebagai penyerahan diri dan ketundukan terhadap perintah serta hukum Allah.

Secara istilah, iman dan Islam berbeda, namun keduanya ibarat dua sisi mata uang. Seseorang tidak bisa disebut mukmin tanpa Islam, begitu pula sebaliknya. Maka, iman tidak cukup hanya di hati atau diucapkan, tetapi harus diwujudkan dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.

Abu Hanifah menolak pandangan kaum Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir dan mengeluarkannya dari komunitas Muslim. Menurutnya, pelaku dosa besar tetaplah mukmin. Dalam Kitab Fiqh al-Akbar, beliau menegaskan bahwa iman tidak terbagi-bagi, tidak bertambah, dan tidak berkurang. Namun, manusia bisa berbeda dalam amal dan perbuatannya.

Tentang Pelaku Dosa

Dalam Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah menegaskan bahwa seorang Muslim tidak menjadi kafir karena dosa, bahkan dosa besar, selama ia tidak menghalalkannya. Dosa tidak menghilangkan iman seseorang.

Perbedaannya dengan kaum Murji’ah terletak pada pemahaman tentang dampak dosa terhadap keimanan. Menurut Abu Hanifah, amal baik tidak akan terhapus selama seseorang wafat dalam keadaan beriman. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikan manusia, dan keputusan akhir—apakah disiksa atau diberi pahala—sepenuhnya di tangan Allah.

Sedangkan kaum Murji’ah berpendapat bahwa seorang mukmin tidak akan disiksa oleh dosa apa pun, bahkan jika hidupnya penuh kefasikan.

Tentang Qadar dan Perbuatan Manusia

Abu Hanifah memahami qadha’ sebagai ketetapan Allah melalui wahyu-Nya, sedangkan qadar adalah segala sesuatu yang terjadi atas kehendak-Nya sebelum makhluk itu tercipta.

Beliau menolak pandangan Mu’tazilah dan Murji’ah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam perbuatan. Menurut Abu Hanifah, tidak ada satu pun perbuatan manusia yang terjadi tanpa kehendak Allah. Namun, kepatuhan dan ketidakpatuhan manusia merupakan pilihan mereka sendiri.

Artinya, perbuatan manusia tidak sepenuhnya dipaksakan oleh takdir, karena Allah memberikan kehendak dan pilihan kepada hamba-Nya. Dalam hal ini, Abu Hanifah juga menolak pandangan Jabariyah, yang menganggap manusia tidak memiliki peran sama sekali dalam perbuatannya.

Apakah kamu ingin aku lanjutkan penyusunan ulang bagian berikutnya (misalnya pemikiran dalam fikih dan tasawuf), dengan gaya bahasa yang sama—mengalir tapi tetap akademis dan setia pada isi aslinya?


Pandangan Abu Hanifah tentang Kebebasan Berkehendak

Pandangan Abu Hanifah mengenai persoalan kebebasan berkehendak tidak jauh berbeda dengan pandangan Al-Asy‘ari. Hanya saja, Al-Asy‘ari menggunakan istilah kasb dan ikhtiar untuk menggambarkan tindakan manusia, sedangkan Abu Hanifah menggunakan istilah ikhtiar dan iradah.


Tentang Khalq al-Qur’an

Dalam hal penciptaan Al-Qur’an (khalq al-Qur’an), pandangan Imam Abu Hanifah lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yakni bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) dan bukan makhluk. Pandangan ini bertentangan dengan kaum Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.

Abu Hanifah berusaha menegaskan keagungan dan superioritas Al-Qur’an atas segala bentuk pemikiran dan pengetahuan manusia. Namun demikian, beliau juga memberikan penjelasan filosofis mengenai esensi dan eksistensi Al-Qur’an. Beliau menyatakan bahwa setiap penyalinan Al-Qur’an—yakni mushaf, tulisan, atau bacaan yang diucapkan manusia—adalah makhluk. Karena itu, tidaklah benar anggapan yang menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.


Ilmu Hukum Islam

Sumber Hukum Islam

Ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas metode penggalian hukum (istinbath al-ahkam) memiliki teori dan objek kajian yang meliputi sumber-sumber hukum Islam. Beberapa pandangan Abu Hanifah dalam bidang ini dapat diketahui dari pernyataannya berikut:

آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم وأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي ومسروق والحسن وعطاء وابن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا.

“Saya mengambil hukum dari Kitabullah apabila terdapat di dalamnya. Jika tidak saya temukan, maka saya mengambil dari Sunnah Rasulullah ﷺ yang sahih dan saya yakini kebenarannya. Apabila tidak saya temukan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ, saya mencari pendapat para sahabat. Saya ambil pendapat mereka yang saya perlukan dan meninggalkan yang tidak saya butuhkan. Saya tidak akan keluar dari pendapat mereka kepada selainnya. Namun, apabila persoalan telah sampai kepada Ibrahim, Syu‘abi, al-Hasan, Atha’, Ibnu Sirin, dan Sa‘id bin al-Musayyib—karena mereka termasuk para mujtahid—maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan tujuh sumber istinbath hukum, yaitu:

  1. Al-Qur’an,
  2. Sunnah,
  3. Ijma’,
  4. Perkataan sahabat,
  5. Qiyas,
  6. Istihsan, dan
  7. ‘Urf (adat).

Kedudukan Hadis Ahad terhadap Qiyas

Secara prinsip, selama tidak ada hal yang melemahkan sebuah hadis, Abu Hanifah tetap berpegang pada hadis, sekalipun hadis tersebut termasuk hadis ahad. Hal ini sesuai dengan ucapannya:

“Seandainya tidak terdapat riwayat (hadis), maka aku akan berpendapat dengan qiyas.” (لولا الرواية لقلت بالقياس)

Namun, sebagian pemerhati pemikirannya merasa bingung ketika menemukan bahwa Abu Hanifah terkadang menggunakan qiyas meskipun ada hadis tentang masalah itu. Akhirnya, para ulama seperti Ibnu Aban dan Fakhr al-Islam menjelaskan bahwa hal itu dilakukan Abu Hanifah dengan mempertimbangkan kredibilitas perawi hadis. Jika perawi dianggap tidak tsiqah, tidak adil, dan tidak faqih, maka beliau lebih mendahulukan qiyas daripada hadis ahad tersebut.


Kedudukan Hadis Mursal

Hadis mursal menurut ahli hadis adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada seorang tabi‘in. Sedangkan menurut ahli fikih, hadis mursal adalah hadis yang sanadnya terputus (munqathi‘). Menurut Abu Hanifah, hadis mursal dapat dijadikan dasar hukum selama kemursalannya terbatas pada mursal tabi‘ at-tabi‘in (generasi setelah tabi‘in), bukan mursal tabi‘in itu sendiri.


Kedudukan Qiyas

Imam Abu Hanifah berkata:

“Kami pertama-tama akan mengambil hukum dari Kitabullah, kemudian dari Sunnah, lalu dari keputusan para sahabat, dan kami melaksanakan apa yang mereka sepakati. Jika mereka berselisih, kami akan menganalogikan satu hukum dengan hukum lainnya dengan melihat persamaan ‘illat antara keduanya, hingga maknanya benar-benar jelas.”

Dari sini dapat dipahami bahwa dominasi ra’yu (nalar) dalam pemikiran Abu Hanifah melahirkan konsep qiyas. Karena Al-Qur’an bersifat universal dan hadis serta ijma’ hanya mencakup masalah yang telah terjadi, maka ketika muncul persoalan baru yang belum memiliki dasar hukum eksplisit, Abu Hanifah menggunakan akal melalui metode qiyas untuk menetapkan hukum.

Selain itu, kecenderungan penggunaan qiyas juga dipengaruhi oleh kondisi Irak pada masa itu, di mana jumlah hadis yang sampai kepada ulama Irak lebih sedikit dibandingkan dengan yang sampai di Madinah. Hal inilah yang membuat para ulama Irak, termasuk Abu Hanifah, lebih banyak menggunakan pendekatan rasional (ahl ar-ra’yi) dalam berijtihad.


Peran dan Prestasi Imam Abu Hanifah

Pada masa hidupnya, berbagai pemikiran dan fatwa Imam Abu Hanifah dicatat oleh para murid dan sahabatnya. Kumpulan tersebut kemudian berkembang menjadi suatu mazhab besar yang dikenal sebagai Mazhab Hanafi. Para ulama Hanafiyah kemudian membagi hasil karya dan riwayat pemikiran beliau ke dalam tiga tingkatan:


1. Tingkat Pertama: Masā’il al-Ushūl (Masalah-Masalah Pokok)

Kumpulan ini dikenal juga dengan nama Zhāhir ar-Riwāyah, yakni pendapat-pendapat Abu Hanifah yang diriwayatkan dengan sanad yang kuat dan sahih melalui murid-murid terdekatnya. Kitab-kitab Zhāhir ar-Riwāyah dihimpun oleh Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan terdiri dari enam kitab utama:

  1. Al-Mabsūth (Terhampar)
    Berisi masalah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, termasuk perbedaan pendapat beliau dengan Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnu Abi Laila. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hafash al-Kabir.

  2. Al-Jāmi‘ ash-Shaghīr (Himpunan Kecil)
    Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima‘ah, dua murid Imam Muhammad. Kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena sistematikanya kurang teratur, kemudian disusun ulang oleh Al-Qadhi Abut Thahir Muhammad bin Muhammad ad-Dabbas.

  3. Al-Jāmi‘ al-Kabīr (Himpunan Besar)
    Sama seperti Al-Jāmi‘ ash-Shaghir, namun pembahasannya lebih luas.

  4. As-Siyar ash-Shaghir (Sejarah Kecil)
    Berisi tentang hukum jihad dan peperangan.

  5. As-Siyar al-Kabīr (Sejarah Besar)
    Membahas berbagai masalah fikih internasional (hukum perang dan hubungan antarnegara).

  6. Az-Ziyādāt
    Tambahan pembahasan yang melengkapi kitab-kitab sebelumnya.

Keenam kitab tersebut kemudian disarikan dalam Mukhtashar al-Kāfī yang disusun oleh Abu Fadhl al-Marwazi.


2. Tingkat Kedua: Masā’il an-Nawādir (Persoalan-Persoalan Langka)

Tingkatan ini mencakup riwayat-riwayat dari para pemuka mazhab yang tidak tercantum dalam Zhahir ar-Riwayah. Koleksinya terdapat dalam karya Imam Muhammad seperti: Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Ar-Riqqiyyat, Al-Makharij fil Hiyal, dan Ziyadat az-Ziyadat (diriwayatkan oleh Ibnu Rustam). Kumpulan ini disebut juga Ghair Zhahir ar-Riwayah karena tidak sekuat riwayat dalam kelompok pertama.


3. Tingkat Ketiga: Al-Fatāwa al-Wāqi‘āt (Kejadian dan Fatwa)

Merupakan kumpulan pendapat para sahabat dan murid Imam Abu Hanifah. Buku pertama dalam kategori ini adalah Al-Nawāzil karya Faqih Abu Laits as-Samarqandi. Setelah itu muncul karya lain seperti Majmū‘ al-Nawāzil wal-Wāqi‘āt oleh al-Nathifi dan Al-Wāqi‘āt oleh Shadr asy-Syahīd Ibnu Mas‘ud.

Selain itu, dalam bidang fikih terdapat kitab Al-Musnad, Al-Makharij, dan Fiqh al-Akbar. Dalam bidang aqidah terdapat Al-Fiqh al-Asghar. Sementara dalam bidang ushul fiqh, pemikiran beliau dijelaskan dalam karya ulama mazhab seperti Ushul as-Sarakhsi karya Asy-Sarakhsi dan Kanz al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul karya Imam al-Bazdawi.

Ada pula kitab Al-Farāidh yang membahas hukum waris, Asy-Syurūth yang memuat masalah muamalah, dan Al-Kharāj karya muridnya, Abu Yusuf, yang menjadi kitab pertama tentang undang-undang perbendaharaan negara.
Riwayat hidup Imam Abu Hanifah banyak dibahas dalam Khabar Abu Hanifah karya Asy-Syaibani dan Abu Hanifah: Hayatuhu, ‘Ashruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah.


Akhir Hayat Imam Abu Hanifah

Beberapa hari setelah dikenakan tahanan rumah, Imam Abu Hanifah jatuh sakit. Penyakitnya semakin parah hingga akhirnya beliau wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera tersebar luas. Ketika khalifah mendengar kabar tersebut, ia berkata:

“Siapa yang dapat memaafkanku darimu, baik saat hidup maupun setelah mati?”

Seorang ulama Kufah berkata,

“Cahaya ilmu telah padam dari kota Kufah. Mereka tidak akan pernah melihat ulama seagung dia untuk selamanya.”

Yang lain menambahkan,

“Kini mufti dan faqih Irak telah tiada.”

Jasad beliau diusung oleh lima muridnya menuju tempat pemandian. Ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi menyiramkan air ke tubuhnya. Lebih dari 50.000 orang menyalatkannya. Salat jenazah dilakukan hingga enam kali, ditutup oleh anaknya, Hammad. Karena banyaknya pelayat, pemakaman baru bisa dilaksanakan setelah waktu Ashar dengan penuh tangis dan kesedihan.

Sebelum wafat, beliau berwasiat agar dikuburkan di Makam al-Khairazan, karena tanahnya diyakini baik dan bukan tanah hasil rampasan.


Disusun oleh: Anas Abdillah, S.Ud


Biografi Imam Abu Hanifah, Pendiri Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah adalah salah satu ulama fikih besar dan imam pertama dari empat mazhab dalam Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Ia adalah pendiri Mazhab Hanafi dalam fikih Islam. Di dunia Islam, beliau dijuluki al-Imam al-A‘zham (Imam Agung) karena keluasan ilmunya dan akhlaknya yang luhur. Imam Abu Hanifah termasuk dalam generasi Tabi‘in.


Profil Singkat Imam Abu Hanifah

Nama lengkap: Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit bin Marzuban al-Kufi (أبو حنيفة النعمان بن ثابت بن مرزُبان الكوفيّ)
Lahir: Rajab 80 H / September 699 M di Kufah, Irak
Wafat: 150 H / 767 M di Baghdad, Irak (usia 68–70 tahun)
Dimakamkan: Masjid Abu Hanifah, Baghdad, Irak
Gelar:

  • Shaykh al-Islam
  • al-Imam al-A‘zham (Imam Agung)
  • Siraj al-A’immah (Pelita Para Imam)

Anak: Hammad dan Hanifah
Karya utama: Al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, Al-Athar
Bidang keilmuan: Fikih dan teologi


A. Riwayat Hidup

Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H (699 M) dan wafat pada tahun 150 H (767 M). Ia hidup di masa dua kekhalifahan besar: 52 tahun pada masa Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa Dinasti Abbasiyah.

Nama aslinya adalah Nu‘man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia (daerah Kabul–Afganistan) dan telah menetap di Kufah sebelum Abu Hanifah lahir. Karena itu, beliau bukan keturunan Arab asli, melainkan Ajam (non-Arab).

Ayahnya adalah seorang pedagang yang saleh, dan keluarga beliau dikenal taat beragama. Sejak kecil, Abu Hanifah sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan dalam beribadah. Gelar “Abu Hanifah” memiliki beberapa riwayat: ada yang mengatakan berasal dari nama putranya, Hanifah; ada pula yang menafsirkan berasal dari kata hanif (cenderung kepada agama yang benar); dan ada juga yang menyebut berasal dari kata hanifah dalam dialek Irak yang berarti “tinta”, karena beliau senantiasa membawa tinta untuk menulis ilmu.

Abu Hanifah dikenal berwibawa, berpenampilan rapi, menyukai kebersihan, dan harum baunya ke mana pun beliau pergi. Ia juga dermawan dan suka menolong siapa pun yang membutuhkan, tanpa memandang kedudukan. Beliau sangat berani menyampaikan kebenaran, bahkan kepada penguasa, tanpa takut cela atau bahaya.


B. Pendidikan

Pada awalnya, Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain seperti ayahnya. Namun, karena kecerdasannya menarik perhatian ulama besar bernama Asy-Sya‘bi, beliau disarankan untuk menekuni ilmu agama. Dari situlah Abu Hanifah mulai serius belajar.

Beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti qira’at, hadis, bahasa Arab, sastra, teologi, dan logika. Namun, akhirnya beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu fikih karena menganggapnya sebagai ilmu yang paling bermanfaat bagi umat.

Di Kufah, pusat ilmu dan budaya saat itu, Abu Hanifah belajar kepada banyak ulama terkemuka, di antaranya Imam Hammad bin Abu Sulaiman, guru yang paling berpengaruh dalam membentuk pemikiran fiqihnya. Setelah gurunya wafat, Abu Hanifah diangkat menjadi kepala madrasah Kufah dan banyak mengeluarkan fatwa.

Beliau juga pernah belajar di Makkah dan Madinah serta bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abi Aufa.

Kecerdasan Abu Hanifah diakui banyak ulama besar, termasuk Imam Malik yang pernah berkata, “Seandainya Abu Hanifah berkata bahwa tiang masjid ini terbuat dari emas, niscaya ia mampu membuktikannya dengan argumen.”


C. Guru-Guru Abu Hanifah

Sebagian besar guru beliau adalah ulama dari kalangan Tabi‘in, di antaranya:

  1. Hammad bin Abu Sulaiman
  2. Amir asy-Sya‘bi
  3. Ibrahim an-Nakha‘i
  4. Atha’ bin Abi Rabah
  5. Nafi‘ Maula Ibnu Umar
  6. Qatadah
  7. Rabi‘ah bin Abdurrahman
  8. Muhammad al-Baqir
    dan lainnya.

D. Murid-Murid Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya:

  1. Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari) – Qadhi Agung pada masa Harun ar-Rasyid.
  2. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani – Penulis banyak karya fiqih Mazhab Hanafi.
  3. Imam Zufar bin Hudzail al-Kufi – Ahli qiyas (analogi hukum).
  4. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy – Ahli fiqih besar.

Mereka inilah yang menyebarkan ajaran dan pemikiran Imam Abu Hanifah hingga dikenal luas di dunia Islam.


E. Karya-Karya Abu Hanifah

Beberapa karya penting beliau antara lain:

  1. Al-Fara’id – tentang hukum waris.
  2. Asy-Syuruth – tentang perjanjian dan akad.
  3. Al-Fiqh al-Akbar – tentang teologi Islam.

Selain karya pribadi, banyak pemikiran beliau dihimpun oleh murid-muridnya dalam berbagai kitab besar Mazhab Hanafi, seperti Al-Mabsuth karya Asy-Syarkhasi dan Al-Jami‘ al-Kabir karya Muhammad asy-Syaibani.

Fiqih Imam Abu Hanifah dikenal rasional dan berpijak pada kebebasan berpikir. Beliau mengajarkan bahwa akal adalah anugerah besar yang harus digunakan untuk memahami syariat dengan bijak.

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H (767 M) dalam usia sekitar 70 tahun. Menurut riwayat, beliau wafat di dalam penjara karena menolak menjadi hakim pada masa Khalifah al-Mansur.


Keunikan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu

  1. Mempelajari Banyak Disiplin Ilmu
    Sebelum mendalami fikih, Imam Abu Hanifah telah mempelajari banyak cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, teologi, dan sastra. Namun akhirnya beliau memilih fikih karena menganggapnya paling bermanfaat bagi masyarakat dan sesuai dengan kebutuhannya.

  2. Menguasai Ilmu Pendukung Fikih
    Abu Hanifah memilih fikih setelah terlebih dahulu menguasai ilmu pendukungnya: Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, dan logika. Dengan dasar itu, beliau mampu berdebat dan membantah pandangan yang menyimpang dengan argumentasi yang kuat.

  3. Beriltizam (Menyantri dengan Konsisten)
    Beliau beriltizam kepada gurunya, Imam Hammad bin Abi Sulaiman, selama 18 tahun. Sikap konsisten ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam mendalami ilmu hingga benar-benar matang sebelum berfatwa.

Tiga keunikan tersebut mencerminkan metode belajar Imam Abu Hanifah yang luar biasa—menggabungkan keluasan ilmu, kedalaman pemahaman, dan kedisiplinan belajar. Cara beliau menuntut ilmu menjadi inspirasi bagi siapa pun yang ingin mencapai keilmuan yang tinggi dan bermanfaat bagi umat.


Teks yang Anda berikan sudah sangat bagus dan lengkap, tetapi saya telah menyusunnya ulang agar lebih rapi, sistematis, dan nyaman dibaca — cocok untuk catatan, buku, atau dokumen biografi ilmiah. Berikut versi yang sudah dirapikan:


Imam Abu Hanifah (Nu‘man bin Tsabit)

Bidang Keilmuan: Fikih dan Teologi
Mazhab: Pendiri Mazhab Hanafi


A. Riwayat Hidup

Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H (699 M) dan wafat pada tahun 150 H (767 M). Ia hidup di dua masa kekhalifahan besar: 52 tahun pada masa Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa Dinasti Abbasiyah.

Nama lengkap beliau adalah Nu‘man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia (Kabul–Afganistan) yang telah menetap di Kufah sebelum beliau lahir, sehingga Abu Hanifah termasuk Ajam (non-Arab).

Ayahnya dikenal sebagai pedagang yang saleh, dan keluarganya hidup dalam suasana ketaatan beragama. Sejak kecil, Abu Hanifah menunjukkan kecerdasan luar biasa, ketekunan, dan kesungguhan dalam beribadah.

Tentang gelar “Abu Hanifah”, terdapat beberapa pendapat:

  • Ada yang menyebut berasal dari nama putranya, Hanifah.
  • Ada yang menafsirkan dari kata hanif (cenderung kepada agama yang lurus).
  • Ada pula yang menyebut dari kata hanifah (dialek Irak) yang berarti “tinta”, karena beliau selalu membawa tinta untuk menulis ilmu.

Abu Hanifah dikenal sebagai sosok berwibawa, rapi, bersih, harum, dermawan, dan pemberani. Ia tak gentar menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa sekalipun.


B. Pendidikan

Pada awalnya, Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain, mengikuti profesi ayahnya. Namun, kecerdasannya menarik perhatian seorang ulama besar, Asy-Sya‘bi, yang kemudian menasihatinya untuk menekuni ilmu agama. Sejak saat itu, beliau mulai serius belajar.

Abu Hanifah mempelajari berbagai cabang ilmu:

  • Qira’at (bacaan Al-Qur’an)
  • Hadis
  • Bahasa Arab dan sastra
  • Teologi (ilmu kalam)
  • Logika

Namun akhirnya beliau memusatkan perhatian pada ilmu fikih, karena menganggapnya paling bermanfaat bagi masyarakat.

Di Kufah, yang saat itu merupakan pusat ilmu dan budaya, beliau belajar kepada banyak ulama, terutama Imam Hammad bin Abu Sulaiman, yang menjadi guru terpenting dalam membentuk pola pikir fiqihnya. Setelah gurunya wafat, Abu Hanifah diangkat menjadi kepala madrasah Kufah dan mulai mengeluarkan fatwa.

Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah dan Madinah, serta sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yang masih hidup, seperti:

  • Anas bin Malik,
  • Abdullah bin Abi Aufa, dan lain-lain.

Kecerdasannya diakui banyak ulama besar. Imam Malik pernah berkata:

“Seandainya Abu Hanifah berkata bahwa tiang masjid ini terbuat dari emas, niscaya ia mampu membuktikannya dengan argumen.”


C. Guru-Guru Abu Hanifah

Sebagian besar guru beliau berasal dari kalangan Tabi‘in, di antaranya:

  1. Hammad bin Abu Sulaiman
  2. Amir asy-Sya‘bi
  3. Ibrahim an-Nakha‘i
  4. Atha’ bin Abi Rabah
  5. Nafi‘ Maula Ibnu Umar
  6. Qatadah
  7. Rabi‘ah bin Abdurrahman
  8. Muhammad al-Baqir, dan lainnya.

D. Murid-Murid Abu Hanifah

Banyak murid beliau yang kemudian menjadi ulama besar dan penyebar Mazhab Hanafi, di antaranya:

  1. Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari) – Qadhi Agung pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid.
  2. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani – Penulis banyak kitab penting dalam Mazhab Hanafi.
  3. Imam Zufar bin Hudzail al-Kufi – Ahli qiyas (analogi hukum).
  4. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy – Faqih besar dan perumus sebagian fatwa mazhab.

E. Karya-Karya Abu Hanifah

Beberapa karya penting beliau antara lain:

  1. Al-Fara’id – membahas hukum waris.
  2. Asy-Syuruth – membahas akad dan perjanjian.
  3. Al-Fiqh al-Akbar – tentang teologi Islam (tauhid dan aqidah).

Selain karya pribadi, banyak pemikiran beliau dihimpun oleh para murid dalam kitab-kitab besar Mazhab Hanafi, seperti:

  • Al-Mabsuth karya Asy-Syarkhasi
  • Al-Jami‘ al-Kabir karya Imam Muhammad asy-Syaibani

Fiqih Abu Hanifah dikenal rasional dan berlandaskan kebebasan berpikir, dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia menekankan bahwa akal adalah anugerah Allah untuk memahami syariat secara bijak.

Abu Hanifah wafat di Baghdad pada tahun 150 H (767 M), dalam usia sekitar 70 tahun. Menurut riwayat, beliau wafat di dalam penjara karena menolak jabatan hakim yang ditawarkan oleh Khalifah al-Mansur.


F. Keunikan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu

  1. Mempelajari Banyak Disiplin Ilmu
    Sebelum mendalami fikih, beliau telah menguasai tafsir, hadis, teologi, dan sastra. Ia memilih fikih karena melihatnya paling bermanfaat bagi umat.

  2. Menguasai Ilmu Pendukung Fikih
    Abu Hanifah menguasai Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, dan logika sebagai dasar kuat dalam berijtihad dan berdialog dengan berbagai aliran pemikiran.

  3. Beriltizam (Menyantri dengan Konsisten)
    Beliau beriltizam kepada gurunya, Imam Hammad bin Abu Sulaiman, selama 18 tahun. Ketekunan ini menunjukkan kesungguhan dan kedalaman ilmunya sebelum berfatwa.


Kesimpulan

Imam Abu Hanifah adalah pionir ijtihad dan rasionalitas dalam fiqih Islam. Ia memadukan dalil naqli (wahyu) dan dalil ‘aqli (akal) dengan harmoni yang indah.
Metode belajar dan berpikirnya menjadi inspirasi bagi para penuntut ilmu sepanjang zaman — mengajarkan bahwa ilmu harus disertai ketaatan, kebersihan hati, dan keberanian menegakkan kebenaran.



Senin, 20 Oktober 2025

PENGHAMBAT KEBERKAHAN ILMU


Enam Faktor Penyebab Santri Gagal dalam Menuntut Ilmu

Rabu, 1 Januari 2020 | 22:30 WIB

Suasana mengaji kitab kuning di salah satu pesantren. (Foto: NU Online)

Cianjur, NU Online
Santri adalah harapan masa depan bagi tersebarnya pengetahuan agama di muka bumi. Karenanya, mereka selain memperhatikan sebab kesuksesan, juga harus tahu tentang penyebab kegagalan dalam menuntut ilmu agama. 

 

Inilah yang menjadi salah satu pesan penting KH Abdurrohman Asnawi selaku Pengasuh Pesantren Talukagung dalam pengajian bulanan yang diadakan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Cijati, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (1/1).
 

Dalam forum yang dikemas dengan pengajian kitab Tafsir Jalalain dan Fawa’idul Makkiyyah tersebut, Ajengan Abdurrohman menyebutkan setidaknya ada enam sebab seseorang gagal dalam menuntut ilmu agama. 

 

Ngandelaken hari esok, gumantung pada kacardasan, cacagnakaeun, mengaji sambil usaha, nyamper-nyamper jalma benghar, dan cicing dinu benghar,” demikian kiai sepuh tersebut bertutur dalam bahasa Sunda yang kental. 
 

Artinya, seorang santri jangan sampai menunda-nunda mengaji. Menunda mengaji di pesantren hanya akan menyebabkan seseorang menyesal karena akan kehilangan kesempatan. Belum tentu di esok hari sempat mengikuti pengajian. 
 

Berikutnya yakni seorang santri hendaknya tidak bergantung kepada kecerdasannya sendiri. Ia harus memperhatikan adab dan sopan santun kepada guru serta istikamah dalam mengaji. 

 

“Cacagnakaeun artinya berpindah pondok pesantren padahal belum menuntaskan satu kitab pun. Ini akan menyebabkan santri tidak memperoleh ilmu yang cukup,” jelasnya. 
 

Mengaji sambil berusaha juga menjadi sebab penting kegagalan belajar ilmu agama. Sehingga perlu totalitas, fokus dan konsentrasi dalam belajar agama. 

 

“Nyamper jalma benghar berarti mendatangi orang kaya untuk meminta-minta sumbangan. Ini juga dapat menjadi sebab kegagalan,” katanya. 
 

Sedangkan cicing dinu benghar berarti tinggal di rumah orang kaya. 

 

“Terkadang hal itu akan membuat seorang santri terpalingkan semangat belajarnya dan terobsesi dengan kekayaan orang lain,” urainya. 
 

Karena itu, Ajengan Abdurrohman juga mengingatkan agar para kiai NU yang hadir dalam pengajian tersebut yang umumnya adalah pengasuh pesantren di desanya, agar menyampaikan kepada santri bahwa jangan sampai dalam hati terbersit ingin dapat derajat mulia di masyarakat. 

 

Selain itu, jangan putus harapan bagi santri yang kurang cerdas dan santri yang cerdas jangan sampai mengandalkan kecerdasannya sehingga jatuh dalam kesombongan.

 

“Yang bodoh jangan putus harapan, yang pintar jangan andalkan kapintaran,” pungkas pengasuh pesantren tertua di kawasan Cianjur Selatan tersebut. 
 

MWCNU Cijati Cianjur telah aktif mengadakan kegiatan pengajian bulanan (syahriyahan) sejak dua tahun lalu. Kegiatan dilaksanakan sebulan sekali, biasanya pada awal bulan. Narasumber pengajian berganti-ganti demikian pula dengan materinya. 
 

Tetapi, yang pasti para narasumber adalah kiai-kiai sepuh di kawasan Cianjur Selatan serta materi adalah kitab kuning yang menjadi spesialisasi mereka. Peserta adalah para kiai pengasuh pondok pesantren yang lebih muda. Setiap kali diadakan, pesertanya tidak kurang dari 200 an orang kiai. 

 

“Forum ini menjadi ajang tabarrukan dengan para kiai sepuh, selain memperkuat silaturahim antar kiai NU di kawasan Cianjur Selatan,” kata Rais MWCNU Kecamatan Cijati, KH Sahlan Hidayat atau yang akrab disapa Ajengan Pelor. 
 

Kegiatan ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak seperti IKASSA (Ikatan Keluarga Santri Cianjur Selatan), Pesantren Al-Jazair, Ngerayap Community, Pemuda Pancasila Cijati, Viking Parbol dan Djurig Djarian. Sebagai media partner bincangsyariah.com dan harakahislamiyah.com. 


Kontributor: Dudu Abdurrohman, M Khoirul Huda
Editor: Ibnu Nawawi

Dokumentasi:

Editor: Syaifullah Ibnu Nawawi

 

Hati-Hati: Inilah Faktor Penyebab Tidak Berkahnya Ilmu

Ilmu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan manusia. Namun, tidak semua ilmu memberikan berkah yang sama kepada individu yang memilikinya.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tidak berkahnya ilmu seseorang. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab tidak berkahnya ilmu:

1. Niat yang Salah 

Jika seseorang memperoleh ilmu hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang negatif, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan berkah. Niat yang benar dan tulus dalam mencari ilmu adalah penting untuk mendapatkan keberkahan.

2. Penggunaan Ilmu dengan  Buruk

Jika seseorang menggunakan ilmu yang dimilikinya untuk tujuan yang salah, seperti menyakiti orang lain, menipu, atau merugikan orang lain, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan berkah. Penggunaan ilmu yang baik dan bertanggung jawab sangat penting untuk memperoleh keberkahan darinya.

3. Kebanggaan dan Kesombongan 

Jika seseorang merasa sombong dan menganggap dirinya lebih unggul karena memiliki pengetahuan atau keahlian tertentu, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan berkah. Rendah hati dan bersikap rendah diri dalam menghadapi ilmu adalah penting agar ilmu tersebut memberikan berkah.

4. Kurangnya Amal Perbuatan 

Ilmu tanpa amal perbuatan yang baik tidak akan memberikan berkah. Ilmu yang dimiliki seharusnya menginspirasi seseorang untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang baik dan menguntungkan diri sendiri maupun orang lain. Ketika seseorang tidak menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan berkah.

5. Ketidakseimbangan

Jika seseorang hanya fokus pada peningkatan ilmu secara materi dan melupakan aspek ibadah dan moral, maka ilmu tersebut tidak akan memberikan berkah. Keseimbangan antara ibadah, peningkatan pengetahuan, dan etika sangat penting untuk mendapatkan berkah dari ilmu.

Penting untuk diingat bahwa ilmu sendiri tidaklah memiliki kekuatan intrinsik untuk memberikan berkah. Berkah tergantung pada bagaimana seseorang memperoleh, memahami, dan menggunakan ilmu tersebut.

Semoga dengan kita mengetahui faktor-faktor di atas kita dapat meluruskan niat, menggunakan dan mengamalkan ilmu sebagai perwujudan ibadah dapat memberikan keberkahan atas ilmu yang kita miliki.

Penulis: Fuad Hasyim, S.E


Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

October 17, 2025/in Buletin Al-Rasikh 2025/by redaktur_alrasikh

Penyebab Sulitnya Ilmu Masuk Ke Dalam Hati

Nur Laelatul Qodariyah*

 

Pembaca Al-Rasikh yang diberkahI Allâh ﷻ, pernahkah kalian merasakan sulitnya belajar memahami dan mencerna suatu ilmu yang sedang dipelajari? bahkan untuk mempelajari satu kalimat saja itu sangat sulit, bukan kalian saja yang merasakannya sulitnya belajar, para ulama zaman dulu juga pernah merasakannya. Penulis teringat dengan salah satu ulama yang berjuang untuk tetap belajar walaupun dirinya dikenal dengan murid yang bodoh dan tertinggal di madrasahnya, dikisahkan beliau ini sudah lama belajar namun belum juga paham, pada akhirnya beliau sempat menyerah dan ingin kembali kerumahnya, namun kyainya berpesan untuk tetap belajar.

Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan di tengah perjalannya hujan deras menimpa dan beliau harus meneduh di gua, beliau ini tidak sengaja mendengar suara yang ternyata tetasan dan gemercik air hujan itu mengenai batu besar. Batu itu berlubang karena telah bertahun-tahun terkena tetesan air hujan.

Dari kejadian hal tersebut beliau berfikir masa saya sebagai manusia kalah dengan batu, padahal akal dan pikiran saya tidak sekeras batu, beliau merenung. Kemudian beliau balik dan menuntut ilmu kembali, beliau adalah Ibnu Hajar al ‘Asqani, seorang ahli hadits dari Mazhab Syafi’i terkemuka. Karaya beliau yang sering menjadi bahan referensi antgara lain; Fath al-Bari, Bulûgh al-Maram, Tahdzib al-Tahdzib, dan lainnya.[1] Dari kisah beliau dapat kita renungkan bahwa mencari ilmu itu kuncinya adalah sabar dan berusaha untuk belajar bagaimana kita bisa mudah dalam belajar meski sulit untuk dilakukan.

Ilmu adalah Cahaya

Ilmu adalah cahaya yang datangnya dari Allâh ﷻ untuk menerangi dan memberikan kita nafas panjang agar selalu mengingat dan memberikan kita petunjuk tentang arah dan tujuan kita berlayar.  Dasar untuk menuntut ilmu adalah dengan niat untuk memulai, agar kita bisa selalu konsisten dan hati kita bisa menerima tentang apa yang akan kita pelajari. Bukan hanya sekedar mempelajari namun juga memasukannya ke dalam hati, agar terus berkomitmen dan menjaga daripada ilmu yang akan masuk ke dalam diri kita.

Karena ilmu pengetahuan itu bisa membedakan kita antara yang benar dan yang salah, bisa memberikan petunjuk dan pedoman yang benar agar kita bisa bertakwa dan juga menjauhi larangan-Nya. Ilmu adalah bekal yang tidak akan pernah mati dan tidak akan pernah habis masanya, satu-satunya cara agar bisa memprotect kita dari segala sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui.

Cara agar kita bisa mendekatkan diri kepada Allâh ﷻ dan cara bagaimana kita bisa berdoa dengan adab-adab yang benar, bukankah itu perlu adanya ilmu? Tidak mungkin kita bisa mengetahui sesuatu tanpa sebelumnya kita pelajari? itu mustahil, kecuali atas kehendak Allâh ﷻ. Sebagai manusia kita diwajibkan untuk menuntut Ilmu hal itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Allâh ﷻ berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11).[2]

Dalam riwayat disebutkan dari sahabat Anas bin Malik, Rasâlullâh ﷺ bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR Ibnu Majah no. 224).[3]

Sebab Ilmu Sulit Digapai

Ada beberapa hal yang perlu kita pahami, bahwa ada sebab-sebab yang dapat menghalangi datangnya ilmu dan membuatnya sulit untuk kita pahami, di antaranya ialah:

Niat yang Rusak

Niat adalah dasar atau permulaan, jika niatnya salah atau rusak maka keseluruhannya juga akan rusak juga.

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya. Dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).[4]

Oleh karena itu mulai sekarang perbaiki niat kita dan obati niat kita dengan mencari ilmu itu niatnya karena Allâh ﷻ, ilmu apapun itu niat kita ditujukan kepada Allâh ﷻ, jika niatnya itu hanya untuk perolehan dunia maka apa yang akan diperoleh nanti itupun sesuai dengan apa yang diniatkan.

Banyak Alasan untuk tidak memulai karena sibuk

Sampai kapan kita akan diperbudak dengan kata sibuk dan capek, sesibuk-sibuknya kamu tidak mungkin kerja itu tanpa istirahat, apalagi di era modern sekarang yang tidak ada kata perbudakan seperti zaman dulu, ditambah berkembangnya teknologi. Apakah berbagai kesibukan yang ada merupakan salah satu penyebab penghalang dirimu untuk menuntut ilmu? saya rasa tidak. Karena jika Allâh ﷻ buka pintu hatinya, ia akan bisa me manage waktunya untuk menuntut ilmu dan hadir di majelis-majelis ilmu.[5]

Bosan dalam menuntut ilmu

Salah satu penghalang untuk menuntut ilmu adalah dengan merasa bosan, ada kalanya seorang penuntut ilmu itu mengalami rasa bosan. Tetapi bukan berarti rasa bosan tersebut itu membuat kita itu mati untuk bergerak. Mati untuk berusaha melawan rasa bosan itu. Tidak masalah jika setiap hari waktu yang digunakan untuk belajar itu hanya 15 menit atau 30 menit. Hal tersebut lebih baik kan daripada tidak sama sekali dilakukan, atau bahkan berhenti untuk belajar lagi.

Menilai dirinya sudah bisa

Salah satu penyakit yang bisa menghalangi kita untuk teus mengexplore dan menuntut ilmu adalah dengan merasa bisa dengan apa yang baru kita pelajari, padahal ilmu pengetahuan itu sangat luas, bukan hanya luas tapi sesuatu ilmu yang baru kita pelajari perlu kita ulang agar tidak lupa dan menetap dihati, bukan seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Tidak mau mengamalkan ilmu

Ilmu itu harus disebarkan jangan di tahan, semakin kamu mengamalkannya dan mengajarkannya, maka ilmu yang kamu peroleh tersebut akan menjadi berkah dan dengan cara mengamalkannya secara tidak langsung kamu juga belajar mengulang dan memperkuat ilmumu agar tidak lupa.

 

* Alumni Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia


Beberapa Penghalang Dalam Menuntut Ilmu (bagian 1)

By Suara Muhammadiyah

Oleh: Mukhamad Aliun*

Ilmu adalah simbol kemajuan suatu bangsa dan cahaya yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan lainnya. Di antara kemuliaan orang yang berilmu adalah Allah akan mengangkat derajatnya di tengah-tengah umat manusia sesuai amalannya dan perbuatan baiknya terhadap manusia. Allah SWT akan mengangkat derajat mereka di surga sesuai dengan ilmu yang diamalkannya (Q.s. al-Mujadilah [58]: 11). Ilmu akan tetap kekal terhadap pemiliknya sekalipun ia telah meninggal dunia. Ilmu juga akan memudahkan pemiliknya menuju surga. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.

Artinya: “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga; yaitu: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat (diamalkan), dan anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

Artinya: “Barangsiapa yang menempuh jalan karena untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Namun, sudah menjadi hal yang lumrah bahwa suatu perbuatan yang mulia, apalagi yang dapat mengantarkan seseorang masuk surga—dalam hal ini menuntut ilmu—memiliki banyak penghalang. Berikut ini adalah 10 penghalang dalam menuntut ilmu.

Niat yang Rusak (فَسَادُالنِّيَّةِ)

Niat adalah dasar dan rukun amal. Dalam Islam, faktor niat sangat penting. Apa saja yang dilakukan oleh seorang Muslim haruslah berdasarkan niat karena mencari ridha Allah, bukan berdasarkan sesuatu yang lain. Begitu pula dengan kita sebagai penuntut ilmu, apabila niat kita dalam menuntut ilmu karena mencari ridha Allah, maka ilmu itu akan mudah kita dapatkan dan bermanfaat bagi kita dan orang lain. Apabila niat kita karena sesuatu yang lain, maka kita tidak mendapatkan apa-apa kecuali mendapatkan apa yang kita inginkan atau niatkan tersebut. Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Artinya: “Sesungguhnya segala amal perbuatan itu bergantung kepada niat. Dan sesungguhnya setiap orang memperoleh sesuatu sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrah pada jalan Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ialah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena ingin memperoleh keduniaan, atau untuk menikahi seorang wanita, maka hijrahnya ialah ke arah yang ditujunya itu.”

Hadits tersebut di atas sangat populer di kalangan umat Islam. Hampir seluruh ulama hadits meriwayatkan hadits tersebut, derajatnya mencapai tingkatan mutawatir, yaitu sebuah hadits yang memiliki tingkat keotentikan tertinggi. Hadits tersebut diriwayatkan antara lain oleh, Imam al-Bukhary dalam Shahih-nya (vol. I, hadits no. 1); Imam Muslim dalam Shahih-nya (vol. III, hadits no. 1907); al-Nasai (Sunan al-Nasai, vol. I, hadits no. 75); Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, vol. II, hadits no. 2201); Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, vol. II, hadits no. 4227) dan lain-lain.

Cinta Ketenaran dan Selalu Ingin yang Terdepan (حُبُّ الشُّهْرَةِ وَحُبُ التَّصْدِر)

Ingin dikenal oleh orang lain dan ingin tampil yang terbaik kemudian kita menjadi bangga hati adalah salah satu bentuk riya’. Rasulullah mengibaratkan bahwa riya’ itu seperti semut hitam, yang berjalan di batu hitam pada malam yang gelap sehingga tidak kelihatan. Demikianlah perumpamaan riya’. Allah SWT juga akan menyiarkan aib orang yang suka menyiarkan amalannya dan membuka riya’ seseorang pada hari kiamat. Hal ini terdapat dalam sabda Rasulullah Saw:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ.

Artinya: “Barangsiapa yang memperdengarkan (menyiarkan) amalannya, maka Allah akan memperdengarkan (menyiarkan) pula aibnya. Dan barangsiapa yang beramal karena riya’, maka Allah akan membuka riya’nya (di hadapan manusia pada hari kiamat).”

Hadits tersebut tergolong muttafaq ‘alaih, yaitu hadits yang disepakati oleh Imam al-Bukhary (Shahih al-Bukhary, vol. VIII, hadits no. 6499) dan Imam Muslim (Shahih Muslim, vol. IV, hadits no. 2986).

Rasulullah juga menjelaskan mengenai orang yang suka berbuat sombong (unjuk diri) terhadap orang lain dan menarik perhatian manusia,

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، وَيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ جَهَنَّمَ.

Artinya: “Barangsiapa yang mencari ilmu karena untuk menyombongkan diri kepada para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan wajah manusia (menarik perhatiannya agar mereka memandang baik kepadanya), maka Allah akan memasukkannya keneraka Jahannam.”

Hadits tersebut diriwayatkan antara lain oleh, Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, vol. I, hadits no. 260); al-Hakim (al-Mustadrak, vol. I, dalam Kitab al-‘Ilm, hal: 86), keduanya menilai hadits ini sahih.

Enggan Menghadiri Majelis Ilmu (اَلتَّفْرِيْطُ فِي حَلَقَاتِ الْعِلْمِ)

Mengabaikan dan enggan menghadiri majlis ilmu banyak kita saksikan pada era sekarang ini, terlebih anak muda zaman sekarang. Mereka lebih suka menghadiri tempat-tempat yang berbau negatif, yang membuat mereka senang dan nyaman, daripada menghadiri majelis-majelis ilmu. Sebenarnya, yang lebih bermanfaat bagi mereka adalah menghadiri majelis ilmu, di mana ilmu mereka akan bertambah dan diri mereka akan selalu terkontrol dan senantiasa dalam kebaikan. Padahal, Rasulullah saw menggambarkan bahwa orang yang berilmu ibarat lembah yang dapat menampung air yang bermanfaat bagi alam sekitarnya,

عَنْ أَبِى مُوسَى عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ.

Artinya: Dari Abu Musa, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus Aku untuk mengembannya adalah seperti hujan yang menimpa tanah, sebagian di antaranya ada yang baik (subur) yang mampu menampung air dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak, di antaranya lagi ada sebagian tanah yang keras, yang mampu menampung air sehingga manusia bisa mengambil air darinya untuk keperluan minum, menyirami taanaman, dan untuk irigasi. Dan di antaranya pula ada yang tidak mampu menampung air dan tidak mampu menumbuhkan pepohonan dan rerumputan. Seperti itulah perumpamaan orang yang diberi pemahaman agama yang Aku diutus untuk mengembannya: di antara mereka ada yang mampu mendalaminya, lalu mengajarkannya kepada orang lain, dan ada juga yang di antaranya yang sama sekali tidak mau menerima petunjuk.”

Hadits panjang tersebut juga tergolong ke dalam hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhary dalam Shahih-nya (vol. I, hadits no. 79) dan Imam Muslim juga dalam Shahih-nya(vol. IV, hadits no. 2282).

Beralasan dengan Banyak Kesibukan (اَلتَّذُّعُ بِكَثْرَةِالْإشْتِغَالِ)

Seringkali kita mendengarkan banyaknya alasan yang dikeluhkan para penuntut ilmu dengan banyaknya kesibukan yang sedang dialaminya. Padahal, sebenarnya mereka tidak sibuk, akan tetapi penyakit malaslah yang menghinggapi diri mereka, sehingga mereka menjadikan malas sebagai kesibukannya. Coba kita renungkan, berapa jamkah Allah SWT memberikan waktu kepada kita untuk bekerja, istirahat, dan berapa jamkah sisa dari itu semua? Apakah kita masih memberikan alasan kesibukan lagi dengan adanya sisa waktu dari jam kerja dan jam istirahat? Untuk itu, marilah kita selalu memanfaatkan waktu yang ada, terutama untuk menuntut ilmu. Bersambung

————————-

*
 



KEJAHATAN POLITIK AKHIR ZAMAN

 


*KEJAHATAN POLITIK AKHIR ZAMAN*  Politik atau siasat adalah hal biasa jika ditinjau dari segi *Negara dan Pemerintahan:*  Politik seringkali dikaitkan dengan urusan negara, pemerintahan, dan bagaimana kekuasaan diatur dan dijalankan. *Pengambilan Keputusan:*  Ini mencakup proses pembuatan keputusan kolektif, baik di tingkat negara maupun dalam kelompok-kelompok masyarakat, yang melibatkan pertimbangan kepentingan yang berbeda-beda.

*Kebijakan:*  Politik juga berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama.
*Interaksi Sosial:*  Politik tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga mencakup interaksi antar berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk partai politik, organisasi, dan individu.
*Konflik dan Kerjasama:*  Politik seringkali melibatkan konflik dan kerja sama dalam mencapai tujuan, baik dalam skala kecil maupun besar.

Tapi pada saat dikaitkan dengan *Politik Kekuasaan* dimana kekuasaan adalah unsur penting dalam politik, yang melibatkan *kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dalam mencapai tujuan‼️* Saat apa yang diterapkan oleh kekuasaan adalah *Corak Keaniayaan* maka *politik kekuasaan* akan mempengaruhi pelaksanaan *kenegaraan dan pemerintahan* dalam pengambilan *kebijakan* cenderung merugikan rakyat  dan pada akhirnya menguasai *interaksi sosial* dan memberlakukan *hukum yang tidak adil* terhadap masyarakat, dimana hal  itu akan dapat memicu *Timbulnya Konflik* terhadap masyarakat yaitu Rakyat Yang Dipimpin.
sosial* dan memberlakukan *hukum yang tidak adil* terhadap masyarakat lalu memicu *Timbulnya Konflik* terhadap masyarakat yaitu Rakyat Yang Dipimpin.

Tak hanya disitu, politik kekuasaan juga ada diberbagai macam tempat atau organisasi. Baik sosial kemasyarakatan maupun keagamaan. Parahnya saat dipakai untuk tujuan keduniawian. *Politik kekuasaan* didalam keagamaan, sangat rentan disusupi kepentingan yang sering dijadikan *LAHAN* bagi *kepentingan politik kekuasaan suatu negara & pemerintahan* dalam mengambil kebijakan, menentukan arah interksi sosial. Biasanya akan bekerjasama dalam urusan yang *SARAT* dengan kepentingan dunia. Memakai perbedaan dari kelompok tertentu, baik segi agama, keyakinan beragama, adat istiadat & tujuan yang *dijadikan BAHAN ADU DOMBA* untuk _menciptakan konflik_ dan akhirnya *Dikuasai Pemerintahan Zhalim ‼️*

*AKHIR ZAMAN*  Akhir Zaman adalah Masa dimana kita *diuji soal keimanan.* Hendak bagaimana kita di akhir zaman begini ?  Semuanya urusan telah ditata dengan *Cara-Cara Yang Penuh Keaniayaan ‼️*  Mungkinkah kita ikuti mereka yang melegalkan cara-cara seperti itu, tentu sebagai mukmin pasti takkan mau‼️ Tapi jika tak mengikuti mereka, pastilah kita teraniaya‼️ Jadi itulah *BARA API AKHIR ZAMAN 🔥*  Siapa yang tetap *Mempertahankan Imannya* pastilah ia selamat dari bahaya mereka dan dijanjikan dengan *Pahala 70 Syuhada.* Tapi jika ia mengikuti cara-cara mereka, maka pastilah akan mendapatkan *Murka Allah‼️* *Cukuplah Allah sebagai Wakil‼️*

*KEJAHATAN POLITIK AKHIR ZAMAN*  Politik atau siasat adalah hal biasa jika ditinjau dari segi istilahan semata. Seperti:
*Politik Negara dan Pemerintahan:*  Politik seringkali dikaitkan dengan urusan negara, pemerintahan, dan bagaimana kekuasaan diatur dan dijalankan.
*Politik Pengambilan Keputusan:
Ini mencakup proses pembuatan keputusan kolektif, baik di tingkat negara maupun dalam kelompok-kelompok masyarakat, yang melibatkan pertimbangan kepentingan yang berbeda-beda.

*Politik Kebijakan:*  Politik juga berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik yang bertujuan untuk mencapai tujuan bersama.
*Politik Interaksi Sosial:*  Politik tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga mencakup interaksi antar berbagai kelompok dalam masyarakat, termasuk partai politik, organisasi, dan individu.
*Politik Konflik dan Kerjasama:*  Politik seringkali melibatkan konflik dan kerja sama dalam mencapai tujuan, baik dalam skala kecil maupun besar.

Tapi pada saat dikaitkan dengan *Politik Kekuasaan* dimana kekuasaan adalah unsur penting dalam politik, yang melibatkan *kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dalam mencapai tujuan‼️* Saat apa yang diterapkan oleh kekuasaan adalah *Corak Keaniayaan* maka *politik kekuasaan* akan mempengaruhi pelaksanaan *kenegaraan dan pemerintahan* dalam pengambilan *kebijakan* cenderung merugikan rakyat dan pada akhirnya menguasai *interaksi sosial* dan memberlakukan *hukum yang tidak adil* terhadap masyarakat, dimana hal  itu akan dapat memicu *Timbulnya Konflik* terhadap masyarakat yaitu *Rakyat Yang Dipimpinnya.*

Tak hanya disitu, politik kekuasaan juga ada diberbagai macam tempat atau organisasi. Baik sosial kemasyarakatan maupun keagamaan. Parahnya saat dipakai untuk tujuan keduniawian. *Politik kekuasaan* didalam keagamaan, sangat rentan disusupi kepentingan yang sering dijadikan *LAHAN* bagi *kepentingan politik kekuasaan suatu negara & pemerintahan* dalam mengambil kebijakan, menentukan arah interksi sosial. Biasanya akan bekerjasama dalam urusan yang *SARAT* dengan kepentingan dunia. Memakai perbedaan dari kelompok tertentu, baik segi agama, keyakinan beragama, adat istiadat & tujuan yang *DIJADIKAN BAHAN ADU DOMBA* untuk _menciptakan konflik_ dan akhirnya Dikuasai Pemerintahan Yang Zhalim ‼️*

Lambat laun rakyat Indonesia memang mau dikuasai oleh pemerintah‼️ *Sekarang kayaknya masih malu-malu‼️* Walaupun sebenarnya _nggak malu juga sih._ Pemerintah akan *menggunakan segala cara dengan alat negara memakai fasilitas negara* dengan _tanpa kompromi telah menguasai rakyat & negeri_ yang sudah *Terpuruk dengan Hutang Ini‼️* Ada banyak sekali *Kontrol Paksa Oleh Pemerintah* terhadap rakyat seperti yang baru-baru ini terjadi. Rakyat *tak berdaya apa-apa dan tanpa adanya Perlindungan Undang Undang* yang jelas. Sedangkan _DPR MPR KEJAKSAAN & LAINNYA_ yang *SUDAH DIMANDULKAN* oleh *Peraturan & Kebijakan Pemerintah (Presiden)‼️* Inilah yang namanya *Politik Kekuasaan yang sangat Zhalim.*

*PEMBUAT ATURAN MELANGGAR ATURAN*    Amerika dengan berbagai perusahaan di ataranya Amazon dan Microsoft untuk mendukung genosida di Palestina. Seorang wakil dari Italia mengkritik menghendaki dihentikannya genosida oleh *Zionis Israel terhadap Palestina* dan menghukum Israel atas perbuatannya. Namun Amerika malah meminta sekjen PBB *menonaktifkannya.* Tapi ditolak oleh PBB. Akhirnya Amerika *membekukan Aset Harta yang berada di Amerika dan Melarang keluargnya* berkunjung ke Amerika. Amerika dikritik atas *PELANGGARAN PRIVASI & HAM* atas seorang wakil Italia tersebut, tapi tak bergeming. *BEGITULAH NAMANYA POLITIK‼️*

Pemimpin *JOKOWI* adalah *Ujian (fitnah) Semesta* ia akan mengalami penderitaan yang diderita oleh rakyat Indonesia _setelah selesai masa jabatannya._ Dan pemimpin *yang ke 8* pemimpin berasal dari _2 partai,_ ini juga akan *sangat kelelahan* dan akan lebih sangat kelelahan saat _selesai masa jabatannya._  Ini sebuah *Prediksi Gus Dur* saat beliau masih gesang, di suatu pengajian kecil _atas 2 pemimpin Indonesia_ yang ke 7 dan 8. Kenyataannya ?? ....  Silakan dinilai sendiri‼️ Yang pasti, ada pelajaran yang berharga yakni *Apapun yang kita alami hanyalah Qudroh & Irodat Allah semata.* Yang penting ambil pengajaran bagi kita tentang hikmah *MAWAS DIRI SOAL AKIBAT PERBUATAN ‼️*

Kita ini hanyalah *rakyat.* *Pemimpin* adalah orang yang *bertanggung jawab atas amanah* yang diembankan ke atas pundaknya. Apa yang kita dapatkan dan alami, *semuanya Taqdir dari Allah Yang Maha Kuasa & Berkehendak.*  Sedang *urusan antar manusia* adalah segala sesuatu yang *harus diupayakan kebaikannya.* _Setiap diri memiliki Visi dan Misi kehidupan_  Dan yang pasti akan menanggung apa yang telah diusahakannya masing-masing, baik sebagai *rakyat atau hamba Allah.* Bagaimana _bersikap, bertindak, berkondisi dan berjuang_ mengatasi setiap keadaan untuk dapat meraih kehidupan yang terbaik sebagai manusia. Tentulah semua itu akan membuahkan akibat. *Baik atau buruk tergantung niyyatannya‼️*

*PEMIMPIN ZHALIM*  Sebagai pemimpin pastilah akan menentukan segala aturan atau peraturan. Betapa *banyak pemimpin yang merusak.* Ada yang merusak negeri, ada yang merusak rakyat, ada yang _merusak tatanan kemasyarakatan,_ ada yang _merusak berbagai macam perikehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan alam,_ bahkan pemimpin juga bisa _merusak pemikiran dan hati manusia._ Para *pemimpin yang zhalim adalah manusia terburuk di atas muka bumi.* Bumi menjadi rusak, Manusia menjadi mayat dan Peradaban manusia menjadi kacau balau *oleh keaniayaan pemimpin.* Gara-gara pemimpin juga _dapat menghancurkan apapun yang telah dibangun_ *baik fisik dan peradaban juga tatanan agama.*

*SEMUANYA ADA ATURANNYA !*
_Menjadi Penguasa_ bukan berarti boleh _*SEMENA-MENA & MENGUASAI !*_ Menjadi *PIMPINAN* bukan berarti boleh memperlakukan orang yang dibawah kepemimpinannya dengan _*SEMAUNYA SENDIRI !*_ Jika *BERJASA* bukan berarti boleh _*MENGUNGKIT*_ pemberian. Jika *URUSAN PRIBADI* bukan berarti tak boleh ada yang ikut campur, apalagi bila hal itu berkaitan dengan *ATURAN HUKUM !* Jangan berbuat yang dapat _*MERUGIKAN*_ diri sendiri apalagi berkaitan dengan _*HAK-HAK ORANG LAIN.*_ Ada *PERATURAN YANG MENGIKAT* tiap individu untuk tidak melakukan hal yang dapat *MERUGIKAN ORANG LAIN* untuk mencari _*KEUNTUNGAN PRIBADI !*_

*FITNAH = PROPAGANDA*
Apapun yang dikatakan berita-berita Barat semuanya hanyalah propaganda yang *"TIDAK ADA KEBENARANNYA !"* Jadi *Jangan Pernah Mau Percaya !* Kita dizaman akhir benar-benar berselimut *Penganiayaan Fitnah-Fitnah* kaum kafir yang berambisi menguasai dunia ! Apapun juga yang sedang kita alami adalah *"SYSTEM"* yang mereka *TELAH RANCANG* jauh hari sebelum kini. Seluruh Negara atau Pemerintahan telah menjadi sasaran *PROPAGANDA KAUM KAFIR.* Israel Amerika Inggris China dll mereka tidak menjadikan *AGAMA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP !* Mereka _TAK ADA BEBAN_ apapun untuk *BERBUAT APASAJA & DENGAN SEGALA CARA UNTUK MENGUASAI DUNIA !*

*DIMANA AKAL & HATI NURANI ?*
Saat ada kelaparan disana ada yang BERPESTA ! Disaat ada kedukaan, disana ada CANDA TAWA ! Disaat ada kepiluan disana ada BERFOYA FOYA ! Mengapa disaat rakyat menderita disaat yang sama para pejabat pemerintah melakukan HURA-HURA ? *MANA HATI NURANI MEREKA ?* Bergembira diatas Penderitaan Rakyat. Itulah yang _*LEBIH HINA*_ dari Hewan, Syethan, Kafirin dan Benda Mati. *AKAL & HATI YANG MATI PENUH KARAT DOSA-DOSA* itu tak lagi dapat digunakan sebagaimana semestinya ! Mereka _*BUTA BISU TULI*_ tak mampu beranjak dari _*KESESATAN*_ ! Yaa Allaaah, Segera tolong Rakyat Indonesia dari *_PENINDASAN INI_* 🤲