🕋 Riwayat Menuntut Ilmu Imam Abu Hanifah
Perjalanan ilmu Imam Abu Hanifah dimulai dari ketertarikannya pada berbagai bidang ilmu seperti qira’at, hadis, nahwu, teologi, hingga fikih, yang kemudian membawanya untuk berguru pada banyak ulama terkemuka.
Beliau berguru selama 18 tahun kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman di Kufah dan mendalami ilmu fikih sebelum akhirnya menjadi seorang ahli fikih dan teologi yang disegani, serta pendiri mazhab Hanafi.
🌿 Awal Menuntut Ilmu
1. Awalnya seorang pedagang
Sebelum mendalami ilmu, Imam Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain sutra. Namun, beliau memiliki ketertarikan kuat terhadap ilmu dan mulai tekun menghafal Al-Qur’an.
2. Memulai dengan berbagai disiplin ilmu
Beliau mempelajari beragam bidang ilmu, termasuk qira’at, hadis, nahwu, sastra, sya’ir, dan teologi (ilmu kalam).
3. Kecenderungan pada ilmu kalam
Pada awalnya, beliau sangat mencintai ilmu teologi dan menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam bidang tersebut. Namun, kemudian beliau mengalihkan fokusnya ke ilmu fikih.
📚 Berguru pada Guru-Guru Utama
1. Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman
Perjalanan intelektual beliau paling signifikan ketika belajar selama 18 tahun kepada Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman di Kufah. Dari gurunya inilah beliau menekuni ilmu fikih hingga mencapai pemahaman yang sangat mendalam.
2. Guru-guru lainnya
Selain Syaikh Hammad, Imam Abu Hanifah juga belajar dari banyak ulama terkemuka pada zamannya, yang sebagian merupakan tabi’in dan tabi’it-tabi’in.
Beberapa di antaranya adalah Ibrahim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas.
3. Belajar dari 4.000 guru
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa beliau menuntut ilmu dari sekitar 4.000 ulama sepanjang perjalanan intelektualnya.
🧠 Pengaruh dan Metodologi
1. Pengaruh lingkungan
Kufah pada masa itu merupakan pusat ilmu dan kebudayaan, dengan banyak perdebatan intelektual yang turut membentuk cara berpikir beliau.
2. Metode ra’yu
Ciri khas pemikiran Imam Abu Hanifah adalah penggunaan akal (rasio) dan qiyas (analogi) dalam memecahkan masalah hukum, yang kemudian menjadi karakteristik utama mazhab Hanafi.
3. Diskusi dan muhadlarah
Beliau sering mengajak para muridnya untuk bertukar pikiran dalam diskusi (muhadlarah) mengenai persoalan-persoalan hukum guna memperdalam pemahaman.
📖 Biografi Imam Abu Hanifah
🪶 Nama dan Nasab
Imam Adz Dzahabi berkata:
“Dia seorang Imam, faqihul millah (ahli fikih umat ini), ulamanya Iraq, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zautha, At-Taimi, Al-Kufi, maula Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. Disebutkan juga bahwa beliau keturunan Persia.”
(Siyar A’lamin Nubala, 6/390)
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi berkata:
“Dialah imamnya para imam, penerang bagi umat, lautan ilmu dan keutamaan, ulamanya Iraq, ahli fikih dunia seluruhnya. Orang-orang setelahnya menjadi lemah di hadapannya, dan pada masanya belum pernah mata melihat yang semisalnya. Belum ada seorang mujtahid yang mencapai derajat seperti kesempurnaan dan keutamaannya.”
(Ath-Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, hal. 24)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha – dengan huruf zay yang didhammahkan dan tha difathahkan – inilah yang masyhur.
Ibnu Asy-Syahnah menukil dari gurunya, Majduddin Al-Fairuzzabadi, dalam Thabaqat Al-Hanafiyah, bahwa huruf zay difathahkan dan tha juga difathahkan (dibaca Zautha), sebagaimana Sakra.
Dahulu Zautha adalah seorang raja dari Bani Tayyimullah bin Tsa’labah. (Ibid.)
🌍 Asal Daerah
Syaikh At-Taqi Al-Ghazi juga menyebutkan:
“Terjadi perbedaan pendapat tentang asal daerahnya: ada yang mengatakan dari Kaabil, ada yang menyebut Baabil, Nasaa, Tirmidz, Al-Anbar, dan lainnya.”
Sirajuddin Al-Hindi menambahkan bahwa pendapat-pendapat itu dapat dikompromikan:
“Kakek beliau berasal dari Kaabil, lalu pindah ke Nasaa, kemudian ke Tirmidz. Ada pula yang mengatakan bahwa ayahnya lahir di Baabil, lalu dibesarkan di Al-Anbar, dan seterusnya.”
(Lihat juga: Al-Qadhi Abu Abdillah Husein bin Ali Ash-Shimari, Akhbar Abi Hanifah, hal. 15–16)
🖋️ Julukan dan Gelar
Beliau dinamakan Hanifah karena sering membawa tinta, yang di Iraq dikenal dengan sebutan Hanifah.
Beliau juga dijuluki Imamul A‘zham, sebagaimana banyak kitab para ulama yang menyebutnya demikian, seperti:
- Manaqib Imam Al-A‘zham Abi Hanifah
- Al-Khairat Al-Hisan fi Manaqib Al-Imam Al-A‘zham Abi Hanifah An-Nu‘man, dan lainnya.
Terkait dengan seseorang bernama Andi Bangkit (penulis buku Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin), yang menolak fakta bahwa Imam Abu Hanifah dijuluki Imamul A‘zham karena menurutnya gelar tersebut hanya untuk khalifah, maka pendapat itu jelas keliru dan mengada-ada.
Sebab, secara historis, gelar Imamul A‘zham tidak terbatas untuk khalifah. Bahkan selain Imam Abu Hanifah, para ulama juga menyebut Imam Asy-Syafi‘i dengan gelar yang sama.
Imam Abul Fadhl Fakhrurrazi, misalnya, menyusun kitab berjudul:
Manaqib Al-Imam Al-A‘zham Asy-Syafi‘i
(Lihat: Akhbar Ulama bi Akhbaril Hukama, hal. 124, Mawqi‘ Al-Warraq)
KELAHIRANNYA
Beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Ada pula yang menyebut 61 Hijriyah, sebagaimana dikatakan oleh Muzahim bin Daud bin ‘Uliyah, namun pendapat yang shahih dan masyhur adalah tahun 80 Hijriyah. Hal ini ditegaskan oleh putranya sendiri, Hammad, serta oleh Abu Nu’aim, yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah.
(Thabaqat As-Sunniyah fi Tarajim Al-Hanafiyah, hlm. 25; Akhbar Abi Hanifah, hlm. 16–17).
Imam Adz-Dzahabi berkata:
“Beliau lahir pada tahun 80 Hijriyah, pada masa shigharush shahabah (para sahabat Nabi yang masih muda), dan sempat melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke kota Kufah.”
(As-Siyar, 6/391).
Imam Abu Hanifah juga sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi, di antaranya Abdullah bin Al-Haarits—darinya beliau meriwayatkan hadis—serta Abdullah bin Abi ‘Aufa dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah. Beliau berjumpa dengan Anas bin Malik pada tahun 95 Hijriyah, meriwayatkan hadis darinya, dan sempat bertanya kepadanya tentang sujud sahwi.
(Akhbar Abi Hanifah, hlm. 18–19).
Bahkan, Ismail—cucu Imam Abu Hanifah—meriwayatkan:
وُلِدَ جَدِّي فِي سَنَةِ ثَمَانِينَ، وَذَهَبَ ثَابِتٌ إِلَى عَلِيٍّ وَهُوَ صَغِيرٌ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِيهِ وَفِي ذُرِّيَّتِهِ، وَنَحْنُ نَرْجُو مِنَ اللهِ أَنْ يَكُونَ اسْتَجَابَ ذَلِكَ لِعَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِينَا.
“Kakekku dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Tsabit (ayah Abu Hanifah) pergi menemui Ali bin Abi Thalib ketika masih kecil. Lalu Ali mendoakannya agar diberkahi dirinya dan keturunannya. Kami pun berharap kepada Allah semoga doa Ali Radhiyallahu ‘Anhu itu dikabulkan pada diri kami.”
(As-Siyar, 6/395).
PENDIDIKAN IMAM ABU HANIFAH
Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam membentuk sifat, sikap, dan karakter seseorang. Demikian pula halnya dengan Abu Hanifah yang tumbuh di tengah masyarakat yang terbiasa menghafal dan membaca Al-Qur’an. Pada usia enam tahun, ia telah mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an dengan riwayat bacaan Imam ‘Ashim—salah satu ulama dalam qira’ah sab’ah. Ia menghafal Al-Qur’an di sela-sela waktunya membantu orang tuanya berdagang di pasar.
Pada masa itu, Kufah—wilayah tempat Abu Hanifah menuntut ilmu—menjadi pusat tiga halaqah keilmuan utama:
Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah.
Halaqah yang mengkaji hadis Rasulullah ﷺ, metode pengumpulan, kritik terhadap perawi, dan penilaian terhadap keotentikan riwayat.
Halaqah yang membahas fikih dari Al-Qur’an dan hadis, termasuk penyusunan fatwa atas permasalahan baru yang belum pernah muncul sebelumnya.
Abu Hanifah mempelajari ilmu gramatika Arab (nahwu-sharf), yang membahas kaidah-kaidah kalimat dalam bahasa Arab secara sistematis dan bersifat sima’i (berdasarkan pendengaran). Namun, karena ilmu ini lebih menekankan pada hafalan dan kurang menggunakan rasionalitas, Abu Hanifah yang cerdas dan gemar berpikir logis merasa kurang cocok. Ia pun beralih mendalami dua bidang sekaligus: ilmu fikih dan ilmu kalam.
Abu Hanifah turut aktif dalam berbagai dialog seputar ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Ia juga menghadiri majelis hadis dan periwayatannya, sehingga memiliki kontribusi besar dalam bidang ini.
Perjalanan ilmiahnya semakin mendalam setelah ia bertemu dengan Imam Syu’abi. Melihat kecerdasan Abu Hanifah, Imam Syu’abi menyarankannya untuk lebih fokus menekuni ilmu keislaman tanpa meninggalkan urusan dagang. Saran ini ia ikuti dengan sungguh-sungguh, lalu ia berguru kepada banyak ulama, di antaranya:
Hammad bin Abi Sulaiman al-Ash’ari,
Zaid bin Ali bin Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir Zainal Abidin,
Ja’far ash-Shadiq,
Abdullah bin al-Hasan bin al-Hasan,
Jabir bin Yazid al-Ju’fi,
Ibrahim an-Nakha’i,
Imam asy-Syu’abi, dan lainnya.
Dari sekian banyak guru, yang paling berpengaruh terhadap pemikirannya adalah Hammad bin Abi Sulaiman al-Ash’ari, seorang ahli fikih Kufah. Abu Hanifah belajar darinya selama sekitar 40 tahun, sejak usia 22 tahun, mendalami fikih dan hadis. Pada waktu yang sama, ia juga berguru kepada Ibrahim an-Nakha’i dan Imam asy-Syu’abi.
Setelah menjelajahi berbagai bidang ilmu, Abu Hanifah akhirnya memusatkan perhatian pada ilmu fikih. Ia terus menimba ilmu dari para ulama besar Kufah—kota yang saat itu menjadi pusat keilmuan fikih Irak. Selama 18 tahun, ia berguru kepada Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman. Meski merasa telah cukup, setiap kali berkeinginan untuk mandiri, ia selalu merasakan bahwa dirinya masih memerlukan bimbingan gurunya.
PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH
Melihat perjalanan hidupnya, jelas bahwa kecintaan Abu Hanifah terhadap ilmu merupakan kunci kesuksesannya. Ia menjadi tokoh besar yang memberi pengaruh mendalam terhadap pemikiran keislaman, khususnya dalam hukum Islam (fiqih). Meskipun dikenal sebagai faqih dan mujtahid, ia juga ahli dalam bidang aqidah (ilmu kalam) dan tasawuf.
Bidang Ilmu Kalam
Ilmu pertama yang dikuasai Abu Hanifah adalah ilmu kalam, karena ia hidup di tengah masyarakat yang banyak bergelut dalam bidang ini. Dengan kecenderungan berpikir rasional, kemampuan ra’yu (nalar) Abu Hanifah menjadi ciri khas yang bahkan terbawa hingga ke dalam metode berfiqihnya.
Beberapa pandangan penting beliau dalam ilmu kalam antara lain:
Tentang Iman
Abu Hanifah mengawali perjalanan intelektualnya dalam bidang ilmu kalam (teologi) dengan mengembara ke Basrah—pusat aliran teologi kala itu. Ia mendefinisikan iman sebagai pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati. Adapun Islam dipahami sebagai penyerahan diri dan ketundukan terhadap perintah serta hukum Allah.
Secara istilah, iman dan Islam berbeda, namun keduanya ibarat dua sisi mata uang. Seseorang tidak bisa disebut mukmin tanpa Islam, begitu pula sebaliknya. Maka, iman tidak cukup hanya di hati atau diucapkan, tetapi harus diwujudkan dengan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.
Abu Hanifah menolak pandangan kaum Khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir dan mengeluarkannya dari komunitas Muslim. Menurutnya, pelaku dosa besar tetaplah mukmin. Dalam Kitab Fiqh al-Akbar, beliau menegaskan bahwa iman tidak terbagi-bagi, tidak bertambah, dan tidak berkurang. Namun, manusia bisa berbeda dalam amal dan perbuatannya.
Tentang Pelaku Dosa
Dalam Fiqh al-Akbar, Abu Hanifah menegaskan bahwa seorang Muslim tidak menjadi kafir karena dosa, bahkan dosa besar, selama ia tidak menghalalkannya. Dosa tidak menghilangkan iman seseorang.
Perbedaannya dengan kaum Murji’ah terletak pada pemahaman tentang dampak dosa terhadap keimanan. Menurut Abu Hanifah, amal baik tidak akan terhapus selama seseorang wafat dalam keadaan beriman. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikan manusia, dan keputusan akhir—apakah disiksa atau diberi pahala—sepenuhnya di tangan Allah.
Sedangkan kaum Murji’ah berpendapat bahwa seorang mukmin tidak akan disiksa oleh dosa apa pun, bahkan jika hidupnya penuh kefasikan.
Tentang Qadar dan Perbuatan Manusia
Abu Hanifah memahami qadha’ sebagai ketetapan Allah melalui wahyu-Nya, sedangkan qadar adalah segala sesuatu yang terjadi atas kehendak-Nya sebelum makhluk itu tercipta.
Beliau menolak pandangan Mu’tazilah dan Murji’ah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan mutlak dalam perbuatan. Menurut Abu Hanifah, tidak ada satu pun perbuatan manusia yang terjadi tanpa kehendak Allah. Namun, kepatuhan dan ketidakpatuhan manusia merupakan pilihan mereka sendiri.
Artinya, perbuatan manusia tidak sepenuhnya dipaksakan oleh takdir, karena Allah memberikan kehendak dan pilihan kepada hamba-Nya. Dalam hal ini, Abu Hanifah juga menolak pandangan Jabariyah, yang menganggap manusia tidak memiliki peran sama sekali dalam perbuatannya.
Apakah kamu ingin aku lanjutkan penyusunan ulang bagian berikutnya (misalnya pemikiran dalam fikih dan tasawuf), dengan gaya bahasa yang sama—mengalir tapi tetap akademis dan setia pada isi aslinya?
Pandangan Abu Hanifah tentang Kebebasan Berkehendak
Pandangan Abu Hanifah mengenai persoalan kebebasan berkehendak tidak jauh berbeda dengan pandangan Al-Asy‘ari. Hanya saja, Al-Asy‘ari menggunakan istilah kasb dan ikhtiar untuk menggambarkan tindakan manusia, sedangkan Abu Hanifah menggunakan istilah ikhtiar dan iradah.
Tentang Khalq al-Qur’an
Dalam hal penciptaan Al-Qur’an (khalq al-Qur’an), pandangan Imam Abu Hanifah lebih dekat dengan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, yakni bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) dan bukan makhluk. Pandangan ini bertentangan dengan kaum Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Abu Hanifah berusaha menegaskan keagungan dan superioritas Al-Qur’an atas segala bentuk pemikiran dan pengetahuan manusia. Namun demikian, beliau juga memberikan penjelasan filosofis mengenai esensi dan eksistensi Al-Qur’an. Beliau menyatakan bahwa setiap penyalinan Al-Qur’an—yakni mushaf, tulisan, atau bacaan yang diucapkan manusia—adalah makhluk. Karena itu, tidaklah benar anggapan yang menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah orang pertama yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Ilmu Hukum Islam
Sumber Hukum Islam
Ushul fiqh sebagai ilmu yang membahas metode penggalian hukum (istinbath al-ahkam) memiliki teori dan objek kajian yang meliputi sumber-sumber hukum Islam. Beberapa pandangan Abu Hanifah dalam bidang ini dapat diketahui dari pernyataannya berikut:
آخذ بكتاب الله فما لم أجد فبسنة رسول الله فإن لم أجد في كتاب الله ولا في سنة رسول الله أخذت بقول أصحابه آخذ بقول من شئت منهم ولا أخرج من قولهم إلى قول غيرهم وأما إذا انتهى الأمر إلى إبراهيم والشعبي ومسروق والحسن وعطاء وابن المسيب وعدد رجالا فقوم اجتهدوا فأجتهد كما اجتهدوا.
“Saya mengambil hukum dari Kitabullah apabila terdapat di dalamnya. Jika tidak saya temukan, maka saya mengambil dari Sunnah Rasulullah ﷺ yang sahih dan saya yakini kebenarannya. Apabila tidak saya temukan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ﷺ, saya mencari pendapat para sahabat. Saya ambil pendapat mereka yang saya perlukan dan meninggalkan yang tidak saya butuhkan. Saya tidak akan keluar dari pendapat mereka kepada selainnya. Namun, apabila persoalan telah sampai kepada Ibrahim, Syu‘abi, al-Hasan, Atha’, Ibnu Sirin, dan Sa‘id bin al-Musayyib—karena mereka termasuk para mujtahid—maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan tujuh sumber istinbath hukum, yaitu:
- Al-Qur’an,
- Sunnah,
- Ijma’,
- Perkataan sahabat,
- Qiyas,
- Istihsan, dan
- ‘Urf (adat).
Kedudukan Hadis Ahad terhadap Qiyas
Secara prinsip, selama tidak ada hal yang melemahkan sebuah hadis, Abu Hanifah tetap berpegang pada hadis, sekalipun hadis tersebut termasuk hadis ahad. Hal ini sesuai dengan ucapannya:
“Seandainya tidak terdapat riwayat (hadis), maka aku akan berpendapat dengan qiyas.” (لولا الرواية لقلت بالقياس)
Namun, sebagian pemerhati pemikirannya merasa bingung ketika menemukan bahwa Abu Hanifah terkadang menggunakan qiyas meskipun ada hadis tentang masalah itu. Akhirnya, para ulama seperti Ibnu Aban dan Fakhr al-Islam menjelaskan bahwa hal itu dilakukan Abu Hanifah dengan mempertimbangkan kredibilitas perawi hadis. Jika perawi dianggap tidak tsiqah, tidak adil, dan tidak faqih, maka beliau lebih mendahulukan qiyas daripada hadis ahad tersebut.
Kedudukan Hadis Mursal
Hadis mursal menurut ahli hadis adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada seorang tabi‘in. Sedangkan menurut ahli fikih, hadis mursal adalah hadis yang sanadnya terputus (munqathi‘). Menurut Abu Hanifah, hadis mursal dapat dijadikan dasar hukum selama kemursalannya terbatas pada mursal tabi‘ at-tabi‘in (generasi setelah tabi‘in), bukan mursal tabi‘in itu sendiri.
Kedudukan Qiyas
Imam Abu Hanifah berkata:
“Kami pertama-tama akan mengambil hukum dari Kitabullah, kemudian dari Sunnah, lalu dari keputusan para sahabat, dan kami melaksanakan apa yang mereka sepakati. Jika mereka berselisih, kami akan menganalogikan satu hukum dengan hukum lainnya dengan melihat persamaan ‘illat antara keduanya, hingga maknanya benar-benar jelas.”
Dari sini dapat dipahami bahwa dominasi ra’yu (nalar) dalam pemikiran Abu Hanifah melahirkan konsep qiyas. Karena Al-Qur’an bersifat universal dan hadis serta ijma’ hanya mencakup masalah yang telah terjadi, maka ketika muncul persoalan baru yang belum memiliki dasar hukum eksplisit, Abu Hanifah menggunakan akal melalui metode qiyas untuk menetapkan hukum.
Selain itu, kecenderungan penggunaan qiyas juga dipengaruhi oleh kondisi Irak pada masa itu, di mana jumlah hadis yang sampai kepada ulama Irak lebih sedikit dibandingkan dengan yang sampai di Madinah. Hal inilah yang membuat para ulama Irak, termasuk Abu Hanifah, lebih banyak menggunakan pendekatan rasional (ahl ar-ra’yi) dalam berijtihad.
Peran dan Prestasi Imam Abu Hanifah
Pada masa hidupnya, berbagai pemikiran dan fatwa Imam Abu Hanifah dicatat oleh para murid dan sahabatnya. Kumpulan tersebut kemudian berkembang menjadi suatu mazhab besar yang dikenal sebagai Mazhab Hanafi. Para ulama Hanafiyah kemudian membagi hasil karya dan riwayat pemikiran beliau ke dalam tiga tingkatan:
1. Tingkat Pertama: Masā’il al-Ushūl (Masalah-Masalah Pokok)
Kumpulan ini dikenal juga dengan nama Zhāhir ar-Riwāyah, yakni pendapat-pendapat Abu Hanifah yang diriwayatkan dengan sanad yang kuat dan sahih melalui murid-murid terdekatnya. Kitab-kitab Zhāhir ar-Riwāyah dihimpun oleh Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan terdiri dari enam kitab utama:
-
Al-Mabsūth (Terhampar)
Berisi masalah-masalah keagamaan yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, termasuk perbedaan pendapat beliau dengan Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Ibnu Abi Laila. Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hafash al-Kabir.
-
Al-Jāmi‘ ash-Shaghīr (Himpunan Kecil)
Diriwayatkan oleh Isa bin Abban dan Muhammad bin Sima‘ah, dua murid Imam Muhammad. Kitab ini dimulai dengan bab shalat. Karena sistematikanya kurang teratur, kemudian disusun ulang oleh Al-Qadhi Abut Thahir Muhammad bin Muhammad ad-Dabbas.
-
Al-Jāmi‘ al-Kabīr (Himpunan Besar)
Sama seperti Al-Jāmi‘ ash-Shaghir, namun pembahasannya lebih luas.
-
As-Siyar ash-Shaghir (Sejarah Kecil)
Berisi tentang hukum jihad dan peperangan.
-
As-Siyar al-Kabīr (Sejarah Besar)
Membahas berbagai masalah fikih internasional (hukum perang dan hubungan antarnegara).
-
Az-Ziyādāt
Tambahan pembahasan yang melengkapi kitab-kitab sebelumnya.
Keenam kitab tersebut kemudian disarikan dalam Mukhtashar al-Kāfī yang disusun oleh Abu Fadhl al-Marwazi.
2. Tingkat Kedua: Masā’il an-Nawādir (Persoalan-Persoalan Langka)
Tingkatan ini mencakup riwayat-riwayat dari para pemuka mazhab yang tidak tercantum dalam Zhahir ar-Riwayah. Koleksinya terdapat dalam karya Imam Muhammad seperti: Al-Kisaniyat, Al-Haruniyyat, Al-Jurjaniyyat, Ar-Riqqiyyat, Al-Makharij fil Hiyal, dan Ziyadat az-Ziyadat (diriwayatkan oleh Ibnu Rustam). Kumpulan ini disebut juga Ghair Zhahir ar-Riwayah karena tidak sekuat riwayat dalam kelompok pertama.
3. Tingkat Ketiga: Al-Fatāwa al-Wāqi‘āt (Kejadian dan Fatwa)
Merupakan kumpulan pendapat para sahabat dan murid Imam Abu Hanifah. Buku pertama dalam kategori ini adalah Al-Nawāzil karya Faqih Abu Laits as-Samarqandi. Setelah itu muncul karya lain seperti Majmū‘ al-Nawāzil wal-Wāqi‘āt oleh al-Nathifi dan Al-Wāqi‘āt oleh Shadr asy-Syahīd Ibnu Mas‘ud.
Selain itu, dalam bidang fikih terdapat kitab Al-Musnad, Al-Makharij, dan Fiqh al-Akbar. Dalam bidang aqidah terdapat Al-Fiqh al-Asghar. Sementara dalam bidang ushul fiqh, pemikiran beliau dijelaskan dalam karya ulama mazhab seperti Ushul as-Sarakhsi karya Asy-Sarakhsi dan Kanz al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul karya Imam al-Bazdawi.
Ada pula kitab Al-Farāidh yang membahas hukum waris, Asy-Syurūth yang memuat masalah muamalah, dan Al-Kharāj karya muridnya, Abu Yusuf, yang menjadi kitab pertama tentang undang-undang perbendaharaan negara.
Riwayat hidup Imam Abu Hanifah banyak dibahas dalam Khabar Abu Hanifah karya Asy-Syaibani dan Abu Hanifah: Hayatuhu, ‘Ashruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu karya Muhammad Abu Zahrah.
Akhir Hayat Imam Abu Hanifah
Beberapa hari setelah dikenakan tahanan rumah, Imam Abu Hanifah jatuh sakit. Penyakitnya semakin parah hingga akhirnya beliau wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya segera tersebar luas. Ketika khalifah mendengar kabar tersebut, ia berkata:
“Siapa yang dapat memaafkanku darimu, baik saat hidup maupun setelah mati?”
Seorang ulama Kufah berkata,
“Cahaya ilmu telah padam dari kota Kufah. Mereka tidak akan pernah melihat ulama seagung dia untuk selamanya.”
Yang lain menambahkan,
“Kini mufti dan faqih Irak telah tiada.”
Jasad beliau diusung oleh lima muridnya menuju tempat pemandian. Ia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi menyiramkan air ke tubuhnya. Lebih dari 50.000 orang menyalatkannya. Salat jenazah dilakukan hingga enam kali, ditutup oleh anaknya, Hammad. Karena banyaknya pelayat, pemakaman baru bisa dilaksanakan setelah waktu Ashar dengan penuh tangis dan kesedihan.
Sebelum wafat, beliau berwasiat agar dikuburkan di Makam al-Khairazan, karena tanahnya diyakini baik dan bukan tanah hasil rampasan.
Disusun oleh: Anas Abdillah, S.Ud
Biografi Imam Abu Hanifah, Pendiri Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah salah satu ulama fikih besar dan imam pertama dari empat mazhab dalam Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Ia adalah pendiri Mazhab Hanafi dalam fikih Islam. Di dunia Islam, beliau dijuluki al-Imam al-A‘zham (Imam Agung) karena keluasan ilmunya dan akhlaknya yang luhur. Imam Abu Hanifah termasuk dalam generasi Tabi‘in.
Profil Singkat Imam Abu Hanifah
Nama lengkap: Abu Hanifah al-Nu‘man bin Tsabit bin Marzuban al-Kufi (أبو حنيفة النعمان بن ثابت بن مرزُبان الكوفيّ)
Lahir: Rajab 80 H / September 699 M di Kufah, Irak
Wafat: 150 H / 767 M di Baghdad, Irak (usia 68–70 tahun)
Dimakamkan: Masjid Abu Hanifah, Baghdad, Irak
Gelar:
- Shaykh al-Islam
- al-Imam al-A‘zham (Imam Agung)
- Siraj al-A’immah (Pelita Para Imam)
Anak: Hammad dan Hanifah
Karya utama: Al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, Al-Athar
Bidang keilmuan: Fikih dan teologi
A. Riwayat Hidup
Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H (699 M) dan wafat pada tahun 150 H (767 M). Ia hidup di masa dua kekhalifahan besar: 52 tahun pada masa Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa Dinasti Abbasiyah.
Nama aslinya adalah Nu‘man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia (daerah Kabul–Afganistan) dan telah menetap di Kufah sebelum Abu Hanifah lahir. Karena itu, beliau bukan keturunan Arab asli, melainkan Ajam (non-Arab).
Ayahnya adalah seorang pedagang yang saleh, dan keluarga beliau dikenal taat beragama. Sejak kecil, Abu Hanifah sudah menunjukkan kecerdasan dan ketekunan dalam beribadah. Gelar “Abu Hanifah” memiliki beberapa riwayat: ada yang mengatakan berasal dari nama putranya, Hanifah; ada pula yang menafsirkan berasal dari kata hanif (cenderung kepada agama yang benar); dan ada juga yang menyebut berasal dari kata hanifah dalam dialek Irak yang berarti “tinta”, karena beliau senantiasa membawa tinta untuk menulis ilmu.
Abu Hanifah dikenal berwibawa, berpenampilan rapi, menyukai kebersihan, dan harum baunya ke mana pun beliau pergi. Ia juga dermawan dan suka menolong siapa pun yang membutuhkan, tanpa memandang kedudukan. Beliau sangat berani menyampaikan kebenaran, bahkan kepada penguasa, tanpa takut cela atau bahaya.
B. Pendidikan
Pada awalnya, Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain seperti ayahnya. Namun, karena kecerdasannya menarik perhatian ulama besar bernama Asy-Sya‘bi, beliau disarankan untuk menekuni ilmu agama. Dari situlah Abu Hanifah mulai serius belajar.
Beliau mempelajari berbagai disiplin ilmu seperti qira’at, hadis, bahasa Arab, sastra, teologi, dan logika. Namun, akhirnya beliau memusatkan perhatiannya pada ilmu fikih karena menganggapnya sebagai ilmu yang paling bermanfaat bagi umat.
Di Kufah, pusat ilmu dan budaya saat itu, Abu Hanifah belajar kepada banyak ulama terkemuka, di antaranya Imam Hammad bin Abu Sulaiman, guru yang paling berpengaruh dalam membentuk pemikiran fiqihnya. Setelah gurunya wafat, Abu Hanifah diangkat menjadi kepala madrasah Kufah dan banyak mengeluarkan fatwa.
Beliau juga pernah belajar di Makkah dan Madinah serta bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abi Aufa.
Kecerdasan Abu Hanifah diakui banyak ulama besar, termasuk Imam Malik yang pernah berkata, “Seandainya Abu Hanifah berkata bahwa tiang masjid ini terbuat dari emas, niscaya ia mampu membuktikannya dengan argumen.”
C. Guru-Guru Abu Hanifah
Sebagian besar guru beliau adalah ulama dari kalangan Tabi‘in, di antaranya:
- Hammad bin Abu Sulaiman
- Amir asy-Sya‘bi
- Ibrahim an-Nakha‘i
- Atha’ bin Abi Rabah
- Nafi‘ Maula Ibnu Umar
- Qatadah
- Rabi‘ah bin Abdurrahman
- Muhammad al-Baqir
dan lainnya.
D. Murid-Murid Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama besar, di antaranya:
- Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari) – Qadhi Agung pada masa Harun ar-Rasyid.
- Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani – Penulis banyak karya fiqih Mazhab Hanafi.
- Imam Zufar bin Hudzail al-Kufi – Ahli qiyas (analogi hukum).
- Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy – Ahli fiqih besar.
Mereka inilah yang menyebarkan ajaran dan pemikiran Imam Abu Hanifah hingga dikenal luas di dunia Islam.
E. Karya-Karya Abu Hanifah
Beberapa karya penting beliau antara lain:
- Al-Fara’id – tentang hukum waris.
- Asy-Syuruth – tentang perjanjian dan akad.
- Al-Fiqh al-Akbar – tentang teologi Islam.
Selain karya pribadi, banyak pemikiran beliau dihimpun oleh murid-muridnya dalam berbagai kitab besar Mazhab Hanafi, seperti Al-Mabsuth karya Asy-Syarkhasi dan Al-Jami‘ al-Kabir karya Muhammad asy-Syaibani.
Fiqih Imam Abu Hanifah dikenal rasional dan berpijak pada kebebasan berpikir. Beliau mengajarkan bahwa akal adalah anugerah besar yang harus digunakan untuk memahami syariat dengan bijak.
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H (767 M) dalam usia sekitar 70 tahun. Menurut riwayat, beliau wafat di dalam penjara karena menolak menjadi hakim pada masa Khalifah al-Mansur.
Keunikan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu
-
Mempelajari Banyak Disiplin Ilmu
Sebelum mendalami fikih, Imam Abu Hanifah telah mempelajari banyak cabang ilmu, seperti tafsir, hadis, teologi, dan sastra. Namun akhirnya beliau memilih fikih karena menganggapnya paling bermanfaat bagi masyarakat dan sesuai dengan kebutuhannya.
-
Menguasai Ilmu Pendukung Fikih
Abu Hanifah memilih fikih setelah terlebih dahulu menguasai ilmu pendukungnya: Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, dan logika. Dengan dasar itu, beliau mampu berdebat dan membantah pandangan yang menyimpang dengan argumentasi yang kuat.
-
Beriltizam (Menyantri dengan Konsisten)
Beliau beriltizam kepada gurunya, Imam Hammad bin Abi Sulaiman, selama 18 tahun. Sikap konsisten ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam mendalami ilmu hingga benar-benar matang sebelum berfatwa.
Tiga keunikan tersebut mencerminkan metode belajar Imam Abu Hanifah yang luar biasa—menggabungkan keluasan ilmu, kedalaman pemahaman, dan kedisiplinan belajar. Cara beliau menuntut ilmu menjadi inspirasi bagi siapa pun yang ingin mencapai keilmuan yang tinggi dan bermanfaat bagi umat.
Teks yang Anda berikan sudah sangat bagus dan lengkap, tetapi saya telah menyusunnya ulang agar lebih rapi, sistematis, dan nyaman dibaca — cocok untuk catatan, buku, atau dokumen biografi ilmiah. Berikut versi yang sudah dirapikan:
Imam Abu Hanifah (Nu‘man bin Tsabit)
Bidang Keilmuan: Fikih dan Teologi
Mazhab: Pendiri Mazhab Hanafi
A. Riwayat Hidup
Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H (699 M) dan wafat pada tahun 150 H (767 M). Ia hidup di dua masa kekhalifahan besar: 52 tahun pada masa Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada masa Dinasti Abbasiyah.
Nama lengkap beliau adalah Nu‘man bin Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayahnya berasal dari keturunan Persia (Kabul–Afganistan) yang telah menetap di Kufah sebelum beliau lahir, sehingga Abu Hanifah termasuk Ajam (non-Arab).
Ayahnya dikenal sebagai pedagang yang saleh, dan keluarganya hidup dalam suasana ketaatan beragama. Sejak kecil, Abu Hanifah menunjukkan kecerdasan luar biasa, ketekunan, dan kesungguhan dalam beribadah.
Tentang gelar “Abu Hanifah”, terdapat beberapa pendapat:
- Ada yang menyebut berasal dari nama putranya, Hanifah.
- Ada yang menafsirkan dari kata hanif (cenderung kepada agama yang lurus).
- Ada pula yang menyebut dari kata hanifah (dialek Irak) yang berarti “tinta”, karena beliau selalu membawa tinta untuk menulis ilmu.
Abu Hanifah dikenal sebagai sosok berwibawa, rapi, bersih, harum, dermawan, dan pemberani. Ia tak gentar menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa sekalipun.
B. Pendidikan
Pada awalnya, Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain, mengikuti profesi ayahnya. Namun, kecerdasannya menarik perhatian seorang ulama besar, Asy-Sya‘bi, yang kemudian menasihatinya untuk menekuni ilmu agama. Sejak saat itu, beliau mulai serius belajar.
Abu Hanifah mempelajari berbagai cabang ilmu:
- Qira’at (bacaan Al-Qur’an)
- Hadis
- Bahasa Arab dan sastra
- Teologi (ilmu kalam)
- Logika
Namun akhirnya beliau memusatkan perhatian pada ilmu fikih, karena menganggapnya paling bermanfaat bagi masyarakat.
Di Kufah, yang saat itu merupakan pusat ilmu dan budaya, beliau belajar kepada banyak ulama, terutama Imam Hammad bin Abu Sulaiman, yang menjadi guru terpenting dalam membentuk pola pikir fiqihnya. Setelah gurunya wafat, Abu Hanifah diangkat menjadi kepala madrasah Kufah dan mulai mengeluarkan fatwa.
Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah dan Madinah, serta sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi yang masih hidup, seperti:
- Anas bin Malik,
- Abdullah bin Abi Aufa, dan lain-lain.
Kecerdasannya diakui banyak ulama besar. Imam Malik pernah berkata:
“Seandainya Abu Hanifah berkata bahwa tiang masjid ini terbuat dari emas, niscaya ia mampu membuktikannya dengan argumen.”
C. Guru-Guru Abu Hanifah
Sebagian besar guru beliau berasal dari kalangan Tabi‘in, di antaranya:
- Hammad bin Abu Sulaiman
- Amir asy-Sya‘bi
- Ibrahim an-Nakha‘i
- Atha’ bin Abi Rabah
- Nafi‘ Maula Ibnu Umar
- Qatadah
- Rabi‘ah bin Abdurrahman
- Muhammad al-Baqir, dan lainnya.
D. Murid-Murid Abu Hanifah
Banyak murid beliau yang kemudian menjadi ulama besar dan penyebar Mazhab Hanafi, di antaranya:
- Imam Abu Yusuf (Ya‘qub bin Ibrahim al-Anshari) – Qadhi Agung pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid.
- Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani – Penulis banyak kitab penting dalam Mazhab Hanafi.
- Imam Zufar bin Hudzail al-Kufi – Ahli qiyas (analogi hukum).
- Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy – Faqih besar dan perumus sebagian fatwa mazhab.
E. Karya-Karya Abu Hanifah
Beberapa karya penting beliau antara lain:
- Al-Fara’id – membahas hukum waris.
- Asy-Syuruth – membahas akad dan perjanjian.
- Al-Fiqh al-Akbar – tentang teologi Islam (tauhid dan aqidah).
Selain karya pribadi, banyak pemikiran beliau dihimpun oleh para murid dalam kitab-kitab besar Mazhab Hanafi, seperti:
- Al-Mabsuth karya Asy-Syarkhasi
- Al-Jami‘ al-Kabir karya Imam Muhammad asy-Syaibani
Fiqih Abu Hanifah dikenal rasional dan berlandaskan kebebasan berpikir, dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ia menekankan bahwa akal adalah anugerah Allah untuk memahami syariat secara bijak.
Abu Hanifah wafat di Baghdad pada tahun 150 H (767 M), dalam usia sekitar 70 tahun. Menurut riwayat, beliau wafat di dalam penjara karena menolak jabatan hakim yang ditawarkan oleh Khalifah al-Mansur.
F. Keunikan Imam Abu Hanifah dalam Menuntut Ilmu
-
Mempelajari Banyak Disiplin Ilmu
Sebelum mendalami fikih, beliau telah menguasai tafsir, hadis, teologi, dan sastra. Ia memilih fikih karena melihatnya paling bermanfaat bagi umat.
-
Menguasai Ilmu Pendukung Fikih
Abu Hanifah menguasai Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, dan logika sebagai dasar kuat dalam berijtihad dan berdialog dengan berbagai aliran pemikiran.
-
Beriltizam (Menyantri dengan Konsisten)
Beliau beriltizam kepada gurunya, Imam Hammad bin Abu Sulaiman, selama 18 tahun. Ketekunan ini menunjukkan kesungguhan dan kedalaman ilmunya sebelum berfatwa.
Kesimpulan
Imam Abu Hanifah adalah pionir ijtihad dan rasionalitas dalam fiqih Islam. Ia memadukan dalil naqli (wahyu) dan dalil ‘aqli (akal) dengan harmoni yang indah.
Metode belajar dan berpikirnya menjadi inspirasi bagi para penuntut ilmu sepanjang zaman — mengajarkan bahwa ilmu harus disertai ketaatan, kebersihan hati, dan keberanian menegakkan kebenaran.