Sabtu, 03 September 2022

TAFSIR SURAT AL FALAQ DAN AN NAAS

TERJEMAHAN SURAT AL FALAQ

Berikut ini Surat Al Falaq dalam tulisan Arab, tulisan latin dan terjemahan bahasa Indonesia:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ . مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ . وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ . وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ . وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.


ASBABUN NUZUL SURAT AL FALAQ

Surat Al Falaq terdiri dari lima ayat. Kata Al Falaq yang berarti “yang terbelah” diambil dari ayat pertama. Ia disebut pula surat Qul a’uudzu birobbil falaq.

Bersama surat An Naas, keduanya disebut al mu’awwidzatain. Yakni dua surat yang menuntun pembacanya menuju tempat perlindungan. Surat Al Falaq disebut al mu’awwidzah al ‘ula. Sedangkan Surat An Naas disebut al mu’awwidzah ats tsaaniyah.

Surat Al Falaq dan Surat An Naas juga disebut al muqasyqisyatain. Yaitu dua surat yang membebaskan manusia dari kemunafikan.

Surat ini turun satu paket dengan Surat An Naas. Menurut pendapat Hasan, Atha’, Ikrimah dan Jabir, keduanya adalah surat makkiyah. Ini merupakan pendapat mayoritas. Namun ada juga yang berpendapat keduanya adalah surat madaniyah berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Qatadah.

Versi Al-Makiyyah

Asbabun Nuzul surat Al Falaq ini, kafir Quraisy Makkah berupaya mencederai Rasulullah denganain. Yakni pandangan mata yang merusak atau membinasakan. Ada kepercayaan tertentu bahwa mata melalui pandangannya bisa membinasakan. Dan memang ada orang-orang tertentu yang matanya demikian.

Maka Allah menurunkan dan mengajarkan Surat Al Falaq dan Surat An Naas kepada Rasulullah untuk menangkalnya. Ini asbabun nuzul yang menjadi tumpuan pendapat bahwa Surat Al Falaq adalah makkiyah. 

Versi Al-Madaniyyah

Asbabun nuzul yang menjadi dasar pendapat ayat ini Madaniyah, surat ini diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saat seorang Yahudi Madinah bernama Lubaid bin A’sham menyihir beliau.

Lubaid bin A’sham menyihir Rasulullah dengan media pelepah kurma berisi rambut beliau yang rontoh ketika bersisir, beberapa gigi sisir beliau serta benang yang terdapat 11 ikatan yang ditusuk jarum. Lalu Allah menurunkan Surat Al Falaq dan An Naas.

Setiap satu ayat dibacakan, terlepaslah satu ikatan hingga Rasulullah merasa lebih ringan. Ketika seluruh ayat telah dibacakan, terlepaslah seluruh ikatan tersebut. Namun riwayat ini ditolak oleh Ibnu Katsir. Beliau menguatkan pendapat bahwa Surat Al Falaq dan Surat An Naas adalah surat makkiyah.


Tafsir Surat Al Falaq Ayat 1

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”

Kata qul (قل) artinya katakanlah. Yakni “katakanlah wahai Muhammad dan ajarkanlah juga kepada umatmu.”
A’uudzu (أعوذ) terambil dari kata ‘audz (عوذ) yakni menuju kepada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti.
Rabb (رب) mengandung makna kepemilikan dan kepemeliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta kasih sayang. Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran disebutkan, Ar Rabb adalah Tuhan yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga dan Yang melindungi.
Al Falaq (الفلق) berasal dari kata falaqa (فلق) yang artinya membelah. Kata ini dapat berarti subjek sehingga maknanya “pembelah” juga bisa berarti objek yang maknanya “yang dibelah.”

Sebagian ulama menafsirkan al falaq sebagai pagi atau subuh. Sebab malam itu tertutup dan kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagai terbelah. Dengan demikian Rabbul Falaq tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dialah yang menjadikan pagi, membawa terang muncul di tengah kegelapan.

Jabir dan Ibnu Abbas juga mengatakan al falaq (الفلق) artinya subuh. Demikian pula Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan mufassirin lainnya. Dalam riwayat lainnya, Ibnu Abbas mengatakan al falaq artinya makhluk. Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari memilih pendapat pertama.

Dengan menyadari bahwa Allah mampu membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi, seseorang akan yakin bahwa Allah juga kuasa menyingkirkan kejahatan dan kesulitan dengan menurunkan pertolongan.

Sebagian ulama lainnya menafsirkan al falaq dalam pengertian luas. Yakni segala sesuatu yang terbelah; tanah dibelah oleh tumbuhan, tanah terbelah oleh mata air, biji-bijian juga terbelah, dan masih banyak lagi. Allah menshifati DIRI-NYA faaliqu al habb wa an nawa (فالق الحب والنوى) “pembelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan” dalam Surat Al An’am ayat 95. Allah Juga Mensifati DIRI-NYA faliqu al isbah (فالق الأصباح) “pembelah kegelapan malam dengan cahaya pagi” dalam Surat Al An’am ayat 96.

Tafsir Surat Al Falaq Ayat 2

مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

dari kejahatan makhluk-Nya

Kata syarr (شر) pada mulanya berarti buruk atau mudharat. Lawan dari khair (خير) yang berarti baik. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, syarr mencakup dua hal yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit. Sedangkan kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi.

Kata maa (ما) berarti apa. Sedangkan khalaq (خلق) adalah bentuk kerja masa lampau (madhi) dalam arti yang telah diciptakan. Sehingga maa khalaq (ما خلق) berarti makhluk ciptaanNya.

Ketika menafsirkan Surat Al Falaq ayat 2 ini, Ibnu Katsir mengatakan: “yakni dari kejahatan semua makhluk.”

Tafsir Surat Al Falaq Ayat 3

وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.

Kata ghaasiq (غاسق) artinya adalah malam, berasal dari kata ghasaqa (غسق) yang berarti penuh. Malam dinamai ghaasiq karena kegelapannya memenuhi angkasa.

Kata waqaba (وقب) berasal dari kata al waqb (الوقب) yaitu lubang yang terdapat pada batu sehingga air masuk ke dalam lubang itu. Sehingga ayat ini bermakna malam yang telah masuk ke dalam kegelapan sehingga ia menjadi sangat kelam.

Sering kali kejahatan direncanakan dan terjadi pada waktu malam. Mulai dari pencuri, perampok, pembunuh, hingga binatang buas dan penjaja maksiat.

Namun malam tidak selalu identik dengan kejahatan karena waktu terbaik mendekat kepada Allah juga pada malam hari. Maka ayat ini tidak mengajarkan berlindung dari malam tetapi berlindung dari kejahatan yang terjadi di waktu malam.

Mujahid mengatakan bahwa maksud Surat Al Falaq ayat 3 ini adalah bila matahari telah tenggelam. Abu Hurairah mengatakan maksudnya adalah bintang, sedangkan hadits dari Aisyah mengisyaratkan artinya adalah rembulan.

Ibnu Katsir memadukan ketiganya dan menyimpulkan bahwa artinya tidak bertentangan. Karena rembulan adalah tanda malam, demikian pula dengan bintang.

Tafsir Surat Al Falaq Ayat 4

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul

Kata an naffaatsaat (النفاثات) merupakan bentuk jamak dari an naffaatsah (النفاثة). Berasal dari kata nafatsa (نفث) yang artinya meniup sambil menggerakkan lidah namun tidak mengeluarkan ludah.

Sebagian ulama berpendapat ta’ marbuthah pada kata ini menunjukkan arti muannats (perempuan). Namun sebagian ulama berpendapat ta’ marbuthah pada kata ini sebagai mubalaghah sehingga bisa laki-laki maupun perempuan.

Kata al ‘uqad (العقد) merupakan bentuk jamak dari uqdah (عقدة) berasal dari kata aqada (عقد) yang artinya mengikat. Kata ini bisa bermakna hakiki yang berarti tali yang mengikat. Bisa pula bermakna majazi yang berarti kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan isi kesepakatan.

Makna majazi terdapat pada Surat Al Baqarah ayat 235 dan Surat Al Baqarah ayat 237, yakni uqdatun nikah. Serta pada surat Thaha ayat 27 yakni uqdatan min lisaanii.

Mayoritas ulama memilih makna hakiki, sehingga artinya adalah perempuan-perempuan tukang sihir yang meniup-niup pada buhul-buhul dalam rangka menyihir. Mujahid, Ikrimah, Al Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wanita-wanita penyihir.

Ketika menafsirkan Surat Al Falaq ayat 4 ini, Sayyid Qutb mengatakan, an naffaatsaat fil uqad artinya adalah wanita-wanita tukang sihir yang berusaha mengganggu dan menyakiti dengan jalan menipu indra, menipu saraf dan memberi kesan pada jiwa dan perasaan.

Tafsir Surat Al Falaq Ayat 5

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki

Kata hasad (حسد) artinya irAyati hati atas nikmat yang dimiliki orang lain disertai harapan kiranya nikmat itu hilang darinya, baik diperoleh yang iri atau tidak.

Permohonan perlindungan terhadap kejahatan orang-orang yang hasad dikaitkan dengan idzaa hasad (إذا حسد). Saat masih berada dalam hati, yang hasad disebut haasid, tapi kejahatannya belum menimpa orang lain. Namun begitu dicetuskan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, inilah yang digambarkan dalam Surat Al Falaq ayat 5 ini. Demikian Tafsir Al Misbah.

Sedangkan Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menjelaskan, bahkan kalaupun orang yang hasad itu belum mengeluarkan dalam ucapan atau perbuatan, sikap jiwanya bisa mengakibatkan keburukan. Hal seperti getaran dari jauh akibat hasad ini merupakan misteri, maka untuk menangkalnya harus meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Penutup Tafsir Surat Al Falaq

Surat Al Falaq dan Surat Surat An Naas merupakan pengarahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada NabiNya dan seluruh kaum muslimin agar berlindung di bawah perlindungan Allah.

Dialah Rabb yang menguasai subuh dan seluruh makhluk. Maka orang yang beriman harus memohon perlindunganNya dari kejahatan seluruh makhluk. Surat Al Falaq ayat 2 ini sebenarnya telah merangkum segala bentuk kejahatan yang kita minta perlindungan kepadaNya.

Namun disebutkan tiga kejahatan yang lebih detil agar menjadi perhatian. Yakni kejahatan yang terjadi di waktu malam. Kejahatan wanita-wanita tukang sihir. Serta kejahatan pendengki bila ia dengki.

Untuk menangkal kejahatan makhluk, penyakit ‘ain dan sihir hingga was-was dari syethan, Allah mengajarkan Surat Al Falaq dan Surat An Naas. Rasulullah pun mengajarkan kepada sahabatnya.

يَا ابْنَ عَابِسٍ أَلَا أَدُلُّكَ أَوْ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ مَا يَتَعَوَّذُ بِهِ الْمُتَعَوِّذُونَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ هَاتَيْنِ السُّورَتَيْنِ

Wahai Ibnu Abbas, maukah kamu aku tunjukkan –atau maukah kamu aku beritahu- sesuatu yang paling baik digunakan untuk berlindung?” Ibnu Abbas menjawab, “Iya wahai Rasulullah.” Beliapun bersabda: “Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul a’judzu birabbin naas, dua surat ini.” (HR. Surat An Nasa’i; shahih)

Surat An Naas merupakan surat ke-114 dalam Al Quran. Berikut ini terjemah Surat An Naas, asbabun nuzul dan tafsirnya dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah.

Yang perlu dipahami di awal, artikel ini bukanlah tafsir baru. Kami berusaha mensarikan dari lima tafsir di atas agar ringkas dan mudah dimengerti, bukan membuat tafsir tersendiri yang kami sangat jauh dari kapasitas itu.

Demikian Surat Al Falaq mulai dari terjemahan, asbabun nuzul hingga tafsir yang disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

https://bersamadakwah.net/surat-al-falaq/?amp


TERJEMAH SURAT AN NAAS

Berikut ini Surat An Naas dalam tulisan Arab, latin dan terjemah bahasa Indonesia:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . مَلِكِ النَّاسِ . إِلَهِ النَّاسِ . مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ . الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ . مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

Artinya:

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.


ASBABUN NUZUL SURAT AN NAAS

Surat An Naas terdiri dari enam ayat. Kata An Naas yang berarti “manusia” diambil dari ayat pertama. Ia disebut pula surat Qul a’udzu birabbin naas. Bersama surat Al Falaq, keduanya disebut al mu’awwidzatain. Yakni dua surat yang menuntun pembacanya menuju tempat perlindungan.

Surat Al Falaq disebut al mu’awwidzah al ‘ula. Sedangkan Surat An Naas disebut al mu’awwidzah ats tsaaniyah.

Bersama Surat Al Falaq, oleh Al Qurthubi juga disebut al muqasyqisyatain. Yaitu yang membebaskan manusia dari kemunafikan.

Surat ini turun bersama surat Al Falaq. Menurut pendapat Hasan, Atha’, Ikrimah dan Jabir, Surat An Naas adalah surat makkiyah. Ini merupakan pendapat mayoritas. Namun ada juga yang berpendapat Surat An Naas adalah madaniyah berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Qatadah.

Kafir Quraisy Makkah berupaya mencederai Rasulullah dengan ‘ain. Yakni pandangan mata yang merusak atau membinasakan. Lalu Allah menurunkan dan mengajarkan Surat Al Falaq dan Surat An Naas ini kepada Rasulullah untuk menangkalnya. Ini asbabun nuzul yang menjadi tumpuan pendapat bahwa Surat An Naas Makkiyah.

Sebagian ulama lebih detil menyebut Surat An Naas merupakan surat ke-21 yang turun kepada Rasulullah dari segi tertib turunnya. Yakni sesudah Surat Al Falaq dan sebelum Surat Al Ikhlas.

Asbabun nuzul yang menjadi dasar pendapat ayat ini Madaniyah, surat ini diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saat seorang Yahudi Madinah bernama Lubaid bin A’sham menyihir beliau.

Lubaid bin A’sham menyihir Rasulullah dengan media pelepah kurma berisi rambut beliau yang rontoh ketika bersisir, beberapa gigi sisir beliau serta benang yang terdapat 11 ikatan yang ditusuk jarum. Lalu Allah menurunkan Surat Al Falaq dan Surat An Naas

Setiap satu ayat dibacakan, terlepaslah satu ikatan hingga Rasulullah merasa lebih ringan. Ketika seluruh ayat telah dibacakan, terlepaslah seluruh ikatan tersebut.

Tafsir Surat An Naas ayat 1

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.

Kata qul (قل) yang berarti “katakanlah” membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari ayat-ayat Al Quran yang disampaikan oleh malaikat Jibril. Seandainya ada sesuatu yang disembunyikan, demikian Tafsir Al Misbah, yang paling wajar adalah menghilangkan kata qul ini.

Dalam Tafsir Al Azhar diterangkan, qul (قل) “katakanlah Wahai utusanKu dan ajarkanlah juga kepada mereka.”

Kata a’uudzu (أعوذ) terambil dari kata ‘audz (عوذ) yakni menuju kepada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti.

Rabb (رب) mengandung makna kepemilikan dan kepemeliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta kasih sayang. Dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran disebutkan, Ar Rabb adalah Tuhan yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga dan Yang melindungi.

Sedangkan An Naas (الناس) berarti kelompok manusia. Berasal dari kata an naws (النوس) yang berarti gerak, ada juga yang berpendapat dari kata unaas (أناس) yang berarti tampak. Kata An Naas terulang sebanyak 241 dalam Al Quran. Kadang kata ini digunakan Al Quran dalam arti jenis manusia seperti Surat Al Hujurat ayat 13 atau sekelompok tertentu dari manusia seperti Surat Ali Imran ayat 173.

Tafsir Surat An Naas ayat 2

مَلِكِ النَّاسِ

Raja manusia

Kata Malik (ملك) artinya raja, biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia. Berbeda dengan Maalik (مالك) yang artinya pemilik, biasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Maka wajar jika ayat kedua ini tidak dibaca maalik dengan memanjangkan huruf mim sebagaimana dalam Surat Al Fatihah. Demikian penjelasan Tafsir Al Misbah.

Al Malik, kata Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Quran, adalah Tuhan Yang berkuasa, Yang menentukan keputusan, Yang mengambil tindakan.

Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, Malik (ملك) berarti penguasa atau raja, pemerintah tertinggi atau sultan. Sedangkan jika mimnya dipanjangkan menjadi Maalik (مالك) artinya adalah yang memiliki.

“Dipanjangkan membaca mim ataupun dibaca tidak dipanjangkan, pada kedua bacaan itu terkandung kedua pengertian: Allah itu memang Raja dan Penguasa yang mutlak atas diri manusia. Allah Mahakuasa mentakdirkan dan mentadbirkan sehingga mau tidak mau, kita manusia mesti menurut peraturan yang telah ditentukanNya yang disebut sunnatullah,” kata Buya Hamka.

Tafsir Surat An Naas ayat 3

إِلَهِ النَّاسِ

Sembahan manusia

Kata ilah (إله) berasal dari kata aliha – ya’lahu (أله – يأله) yang berarti menuju dan bermohon. Disebut ilah karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepadaNya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan kata tersebut awalnya berarti menyembah atau mengabdi sehingga ilah adalah Dzat yang disembah dan kepadaNya tertuju segala pengabdian.

Sayyid Qutb menjelaskan, Al ilah adalah Tuhan yang Mahatinggi, Yang mengungguli, Yang mengurusi, Yang berkuasa. Sifat-sifat ini mengandung perlindungan dari kejahatan yang masuk ke dalam dada, sedang yang bersangkutan tidak mengetahui bagaimana cara menolaknya karena ia tersembunyi.

Ketika menafsirkan Surat An Naas ayat 1 sampai 3 ini, Ibnu Katsir menjelaskan:

Ketiga ayat yang pertama merupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu sifat rububiyah, sifat mulkiyah dan sifat uluhiyah. Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah Makhluk yang diciptakanNya dan milikNya serta menjadi hambaNya.

Orang yang memohon perlindungan diperintahkan agar dalam permohonannya menyebutkan sifat-sifat tersebut agar dihindarkan dari godaan yang tersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi manusia. Karena tidak seorang manusia pun melainkan memiliki qarin (pendamping) dari kalangan setan yang menghiasi fahisyah hingga kelihatan bagus olehnya. Setan juga tidak segan-segan mencurahkan segala kemampuannya untuk menyesatkan melalui bisikan dan godaannya. Yang terhindari dari bisikannya hanyalah orang yang dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Rasulullah bersabda, “Tidak seorang pun dari kalian melainkan telah ditugaskan terhadapnya qarin yang mendampinginya.” Sahabat bertanya, “Termasuk engkau juga ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya. Hanya saja Allah membantuku dalam menghadapinya akhirnya ia masuk Islam. Maka ia tidak menyuruh kecuali hanya kebaikan.”

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam Tafsir Al Munir, “Karena sifat kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, Allah mengajari kita tentang tata cara untuk berlindung dari setan manusia dan jin. Dia memberitahu kita tentang tiga sifatNya; rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah. Dengan sifat-sifatNya tersebut, Allah akan menjaga hamba yang meminta perlindungan dari kejahatan setan-setan dalam agama, dunia dan akhirat.”

Tafsir Surat An Naas ayat 4

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi

Kata syar (شر) pada mulanya berarti buruk atau mudharat. Lawan dari khair (خير) yang berarti baik. Ibnu Qayyim Al Jauziyah menjelaskan, syar mencakup dua hal yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit. Sedangkan kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi.

Kata al waswas (الوسواس) awalnya berarti suara yang sangat halus. Makna ini kemudian berkembang menjadi bisikan-bisikan, biasanya adalah bisikan negatif. Karenanya sebagian ulama memahami kata ini dalam arti setan. Karena setan sering membisikkan rayuan dan jebakan dalam hati manusia.

Sedangkan kata al khannas (الخناس) berasal dari kata khanasa (خنس) yang artinya kembali, mundur, bersembunyi. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna sering kali atau banyak sekali. Dengan demikian ia bermakna, setan sering kali kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melupakan Allah. Sebaliknya, setan sering kali mundur dan bersembunyi saat manusia berdzikir dan mengingat Allah.

Saat menafsirkan Surat An Naas ayat 4 ini, Ibnu Abbas menjelaskan, “Setan bercokol dalam di atas hati anak Adam. Apabila ia lupa dan lalai kepada Allah, setan menggodanya. Apabila ia ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi.”

Tafsir Surat An Naas ayat 5

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia

Kata Shudur (صدور) artinya adalah dada, yang dimaksudkan adalah tempat hati manusia. Maka ketika menjelaskan ayat ini, Syaikh Wahbah menjelaskan: “Yang menebarkan pikiran-pikiran buruk dan jahat di dalam hati. Dalam ayat tersebut disebutkan kata ash shudur karena dada adalah tempat hati. Pikiran-pikiran itu tempatnya di hati, sebagaimana dikenal dalam dialektika orang-orang Arab.”

Apakah ayat ini menyangkut bani Adam saja sebagaimana lahiriah ayat atau termasuk jin juga? Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa jin pun termasuk dalam pengertian An Naas ini.

Tafsir Surat An Naas ayat 6

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

dari (golongan) jin dan manusia

Kata min (من) dalam ayat ini bermakna sebagian. Karena memang sebagian manusia dan jin melakukan bisikan-bisikan negatif, tidak semuanya. Allah mengabadikan ucapan jin dalam Surat Al Jinn ayat 11:

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

“Dan sesungguhnya di antara kami ada yang shalih-shalih dan ada juga di antara kami yang tidak demikian halnya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al Jinn: 11)

Ada pula yang berpendapat min di ayat ini berfungsi menjelaskan sehingga artinya adalah yaitu

Kata al jinnah (الجنة) adalah bentuk jamak dari jinny (الجني) yang ditandai dengan ta’ marbuthah untuk menunjukkan bentuk jamak muannats. Kata jinn berasal dari akar kata janana (جنن) yang berarti tertutup atau tidak terlihat. Anak yang masih dalam kandungan disebut janin karena ia tidak terlihat. Surga dan hutan yang lebat disebut jannah karena mata tidak dapat menembusnya. Dinamai jin karena ia makhluk halus yang tidak terlihat.

Seluruh makhluk yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan disebut setan, baik dari jenis jin maupun manusia. Setan jin tersembunyi tapi setan manusia tampak.

Abu Dzar Al Ghifari pernah ditanya seseorang, “apakah ada setan manusia?” Ia pun menjawab ada lalu membaca firmanNya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikian itu, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk memperdaya.” (QS. Al An’am: 112)

Ibnu Katsir menjelaskan, Surat An Naas ayat 6 merupakan tafsir dari Surat An Naas ayat 5. Sebagaimana pengertian setan dalam Surat Al An’am ayat 112 tersebut.

Sayyid Qutb menjelaskan, bisikan jin tidak dapat diketahui bagaimana terjadinya. Namun dapat dijumpai bekas-bekas pengaruhnya dalam realitas jiwa dan kehidupan.

“Adapun mengenai manusia, kita mengetahui banyak tentang bisikan mereka,” lanjutnya dalam Tafsir Fi Zilalil Quran. “Kita mengetahui pula bahwa di antara bisikannya itu ada yang lebih berat daripada bisikan setan jin.”

Beliau kemudian mencontohkan teman yang membisikkan kejahatan kepada temannya. Ajudan atau penasehat yang membisikkan kepada penguasa. Provokator yang memprovokasi dengan kata-katanya. Penjaja syahwat yang menghembuskan bisikan melalui insting. Dan bermacam pembisik lain yang menggodan dan menjerumuskan sesama manusia.

Penutup Tafsir Surat An Naas 

Maka untuk menangkal bisikan-bisikan setan itu, baik dari golongan jin maupun manusia, kita harus memohon perlindungan kepada Allah. Surat An Naas ini mengajarkan demikian. Membaca Surat An Naas adalah bagian dari upaya perlindungan diri dari semua bisikan itu. Namun tidak hanya membacanya.

“Dan sesungguhnya engkau berlindung kepada Allah dari perdayaan setan itu ialah dengan meninggalkan apa yang disukai setan. Bukan semata-mata hanya berlindung diucapkan mulut,” tegas Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar.

Demikian Surat An Naas mulai dari terjemah, asbabun nuzul hingga tafsir. Yakni disarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al Azhar, Tafsir Al Munir dan Tafsir Al Misbah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

https://www.google.com/amp/s/bersamadakwah.net/surat-an-nas/%3famp

0 komentar:

Posting Komentar