ISRO' MI'ROJ
Kata Penghantar
Isra’ Mi’raj adalah peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad saw. sebelum hijrah ke Madinah. Kaum Quraisy saat itu menjadikan pengalaman Nabi ini sebagai bahan olok-olok sambil mengatakan tidak mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh dalam semalam. Namun, bagi orang mukmin, kabar dan pengalaman Nabi Muhammad ini adalah sesuatu yang harus dipercaya dan dilihat sebagai mukjizat yang diberikan Allah kepada hamba pilihan-Nya.
Ayat-ayat Al Qur’an terkait Isra’ Mi’raj
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Isra‘: 1)
Makna Al-Isra’
Isra adalah Allah memperjalankan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjdil Aqsha di Al-Quds, secara fisik dan ruh, dalam keadaan sadar, lalu kembali ke Makkah dalam sebagian malam. Kaum mukminin tidak merasa aneh dengan hal ini karena semuanya terjadi dengan perintah dan kekuasaan Allah Ta’ala.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia.” (QS. Yaasiin, 36: 82)
Latar Belakang Terjadinya Isro' Mi'roj
Dengan wafatnya Abu Thalib dan Khadijah radhiyallahu ‘anha, kaum Quraisy merasa lebih leluasa mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan semakin meningkatkan penganiayaan mereka kepada para sahabat, sehingga kondisi itu memaksa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Thaif untuk berdakwah dan meminta bantuan kepada para pemimpinnya agar bersedia melindungi dakwahnya. Namun para pemimpin dan penduduk Thaif ternyata tidak lebih baik dari peduduk Makkah. Beliau dilukai dan dihina sampai akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke Makkah dengan perasaan duka yang mendalam. Dalam situasi penuh duka dan kesedihan inilah Allah Ta’ala muliakan Nabinya dengan mukjizat Isra’ mi’raj untuk meringankan jiwanya yang terluka dan hatinya yang berduka.
Di dalam peristiwa mukjizat ini beliau menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah ta’ala yang agung serta isyarat-isyarat pertolongan-Nya sehingga bertambahlah keyakinannya bahwa Allah Ta’ala akan selalu menolongnya. Semakin kuat pula azam dan ruhiyah beliau dalam menyampaikan risalah Rabbnya.
Hikmah Isra ke Masjidil Aqsha
Isra menuju ke Masjidil Aqsha dan tidak ke masjid lainnya adalah karena kedudukan dan kemuliaan masjid ini di sisi Allah Ta’ala, serta untuk menjelaskan hubungan erat di antara para nabi, juga menjelaskan hubungan antara agama yang mereka bawa dari Allah Ta’ala. Dalam hal ini terdapat pula isyarat pewarisan risalah kepada rasul terakhir, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Masjidil Aqsha dan sekitarnya menjadi tanah Islam yang harus dijaga oleh kaum muslimin, dan dibebaskan dari tangan-tangan para penjarah.
Diantara Tiga Pilihan (Khamr, Susu, dan Madu)
Saat di Baitul Maqdis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dihidangkan susu dan khamr. Kemudian beliau memilih susu. Di langit ketujuh, beliau kembali mendapat jamuan demikian. Hanya saja bedanya, saat di langit tidak disebutkan beliau mengalami haus seperti ketika di dunia. Jadi jamuan ini seakan pemuliaan dan sambutan setelah beliau menyaksikan banyak hal yang menakjubkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ أُتِيتُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ، وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ، وَإِنَاءٍ مِنْ عَسَلٍ، فَأَخَذْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ: هِيَ الفِطْرَةُ الَّتِي أَنْتَ عَلَيْهَا وَأُمَّتُكَ
“Setelah itu aku diberi wadah yang berisi khamr, susu, dan madu. Aku mengambil wadah yang berisi susu. Jibril berkata, ‘Itu adalah fitrah, yang engkau dan umatmu berada di atasnya.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah, Bab al-Mi’raj, 3674).
Hal ini menunjukkan pujian untuk Nabi dan umatnya. Jibril mengabarkan bahwa umat ini berada di atas fitrah yang bersih. Hanya saja manusia terkadang mengotori sendiri sesuatu yang bersih itu.
Ringkasan Kejadian Mi’raj
Perjalanan isra’ diteruskan dengan perjalanan mi’raj. Nabi naik bersama Malaikat Jibril, ke langit dunia, kemudian ke langit berikutnya. Setiap penghuni langit menyambutnya, para nabi yang ada di setiap langit memberikan salam kepadanya. Adam di langit pertama, Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakariya di langit kedua, Idris di langit keempat, Harun di langit keempat, Musa di langit keenam, dan Ibrahim di langit ketujuh. Kemudian setelah melintasi mereka sehingga sampai di langit ke tujuh, dan melihat Sidratul Muntaha di sana. Di sinilah berhenti ilmunya para malaikat. Di sinilah Malaikat Jibril berhenti, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maju melewatinya sehingga dekat dengan Allah Ta’ala. Tidak ada yang pernah melintasinya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada malam itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril dalam bentuk aslinya. Inilah kali kedua melihat Jibril dalam bentuk asli. Kali pertama terjadi setelah masa fatrah (jeda) wahyu sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ
“Dan Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.” (QS. At Takwir, 81: 29)
Pada malam itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat Baitul Ma’mur, surga dan neraka; Allah wajibkan shalat limapuluh waktu, kemudian diringankan sampai lima waktu sebagai salah satu bentuk rahmat dan kelembutan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya.
Hal ini menunjukkan perhatian besar terhadap kemuliaan shalat, menunjukkan hikmah disyariatkannya. Seolah-olah Allah Ta’ala berkata kepada hamba-hamba-Nya yang beriman: “Jika mi’raj rasul kalian dengan fisik dan ruhnya ke langit sebagai mukjizat, maka hendaklah setiap hari kalian lima kali mi’raj dengan ruh dan hati kalian kepada-Ku, sehingga bersih dari maksiat dan dosa.” Dan ini adalah buah yang sangat besar dari shalat.
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al Ankabut, 29: 45)
Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari langit ke Baitul Maqdis, naik buraq kembali ke Makkah saat malam masih gelap dan mulai bercampur dengan cahaya shubuh.
Kejadian dalam Isra’
Ketika Jibril usai membedah dada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra’ itu, dan mempersiapkan sarana untuk perjalanan mengagumkan ini dengan Buraq –kendaraan berwarna putih, lebih besar dari keledai, lebih kecil dari bighal, sangat cepat, jangkauan kaki depannya sejauh pandangan matanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendarainya didampingi Malaikat Jibril, lalu Buraq itu pergi ke Baitul Maqdis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun. Jibril mengikat Buraq lalu masuk masjid, beliau bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan Isa alaihimassalam bersama dengan sejumlah para nabi yang telah berkumpul untuk menyambutnya. Malaikat Jibril membawa beliau ke depan, lalu mengimami shalat dua rakaat. Kemudian keluar dari masjid dan Jibril membawa dua gelas –satu berisi khamr dan satunya berisi susu- lalu nabi memilih susu, dan Jibril berkata: “Engkau telah memilih yang fitrah, engkau telah memilih tanda Islam dan istiqamah.”
Makna Mi’raj
Mi’raj adalah naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan fisik dan ruhnya dalam keadaan sadar, dari Baitul Maqdis sampai ke langit ke tujuh, dan seterusnya, kemudian kembali ke Baitul Maqdis, di sebagian malam yang singkat.
Kisah Isra Mi’raj menurut al-Maududi dan mayoritas ulama terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 Masehi. Mi’raj secara bahasa artinya adalah naik. Secara istilah adalah naiknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke sidratul muntaha. Dalam Al Qur’an, mi’raj ini disinggung dalam surat An Najm. Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menjelaskan, isra (اسرى) atau sara (سرى) artinya adalah perjalanan di malam hari. Secara istilah, isra’ adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Palestina.
Ujian Bagi Mukminin
Mukjizat isra mi’raj ini pun sekaligus menjadi ujian bagi kaum muslimin, sehingga tersaringlah mana yang kuat keimanannya dan mana yang lemah keimanannya di antara mereka. Ibnu Ishaq rahimahullah berkata:
وَكَانَ فِي مَسْرَاهُ وَمَا ذُكِرَ عَنْهُ بَلَاءٌ وَتَمْحِيصٌ وَأَمْرٌ مِنْ أَمْرِ اللهِ فِي قُدْرَتِهِ وَسُلْطَانِهِ فِيهِ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ وَثَبَاتٌ لِمَنْ آمَنَ وَصَدّقَ وَكَانَ مِنْ أَمْرِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى يَقِينٍ فَأُسْرِيَ بِهِ كَيْفَ شَاءَ لِيُرِيَهُ مِنْ آيَاتِهِ مَا أَرَادَ حَتّى عَايَنَ مَا عَايَنَ مِنْ أَمْرِهِ وَسُلْطَانِهِ الْعَظِيمِ وَقُدْرَتِهِ الّتِي يَصْنَعُ بِهَا مَا يُرِيدُ
“…Perjalanan ini dan seluruh peristiwa yang disebutkan di dalamnya menjadi ujian dan penyaringan; menjadi salah satu bukti kekuatan kehendak dan kekuasaan-Nya. Di dalamnya terdapat pelajaran bagi kaum yang berfikir, petunjuk dan rahmat-Nya, serta peneguhan bagi mereka yang beriman dan membenarkan. Peristiwa ini adalah urusan Allah Ta’ala yang harus diyakini; bagaimana Allah memperjalankan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya untuk menunjukkan kepadanya ayat-ayat yang dikehendaki-Nya. Sehingga terlihat jelas sebagian ayat-ayat dan kekuatan-Nya yang agung serta kehendaknya untuk melakukan apa yang diinginkan-Nya.” (Siratun Nabiy libni Hisyam, Juz 2 hal. 2)
Rasulullah Menghadapi Reaksi Kaumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke rumah Ummu Hani’, menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya kepada Ummu Hani’. Kemudian ia bangkit memberitahukan hal ini kepada umat manusia. Ummu Hani berusaha untuk mencegahnya, memintanya untuk tidak membicarakan hal ini karena khawatir mereka akan mendustakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terpengaruh dengan hal ini, dan dengan terang-terangan ia sampaikan hal ini kepada kaumnya untuk membuka mata mereka akan keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya serta membuktikan kedudukannya di sisi Rabbnya; beliau tidak takut pendustaan dan cemoohan mereka karena tsiqah dengan risalah yang dibawanya serta kebenaran yang dialaminya malam itu.
Hal ini menjadi teladan bagi ashabudda’wah, agar berani dalam menyatakan kebenaran. Ia tidak takut posisinya di hati umat manusia. Tidak menyembunyikannya hanya karena ingin selalu dekat dengan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالَاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلَا يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
“(yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Ahzab, 33: 39)
Sikap Kaum Kafir terhadap Isra’ Mi’raj
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di pagi hari ke tempat berkumpulnya kaum Quraisy. Ketika Abu Jahal sudah datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan pengalamannya itu. Maka Abu Jahal berseru, “Wahai Bani Ka’b bin Lu’aiy kemarilah.” Setelah kafir Quraisy berkumpul, Rasulullah sampaikan kejadian yang baru saja dialaminya. Ada di antara mereka yang bertepuk tangan, ada yang memegang kepalanya, karena aneh dan tidak percaya.
Kemudian mereka menguji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memintanya untuk menerangkan tentang Baitul Maqdis, karena di antara mereka ada yang pernah melihatnya ketika mereka berdagang ke Syam. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah melihat sebelumnya, dan tidak sempat memperhatikan sifat-sifatnya ketika berada di sana. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat tegang, tidak pernah setegang itu sebelumnya. Lalu Allah Ta’ala hadirkan Masjidil Aqsha itu dalam pandangannya, sehingga dapat menerangkannya dari satu pintu ke pintu lainnya, dari satu tempat ke tempat lain.
Mereka berkata: “Penjelasannya tepat sekali.” Kemudian mereka menanyakan tentang rombingan dagang mereka yang baru sampai di Syam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menerangkan jumah onta dan keadaan mereka di sana. Rasulullah mengatakan kepada kaum Quraisy: “Mereka akan tiba pada hari anu, bersamaan dengan terbitnya matahari, didahului oleh onta berwarna abu-abu.” Lalu mereka pada hari itu segera keluar dan menunggu rombongan dagang untuk membuktikan kebenaran cerita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka sedang menunggu, ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, sekarang matahari telah terbit”, dan yang lain mengatakan, “Demi Allah, kafilah dagang telah tiba, onta terdepan berwarna abu-abu seperti yang telah Muhammad sampaikan.” Kemudian hal ini tidak menambah kepada mereka kecuali sikap sombong dan durhaka. Sehingga mereka berkata: “Ini jelas-jelas sihir.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, Juz 5, hal. 72, 37; Ad-Dalail, Juz 2, hal. 108; dan Sirah Al-Halabiyah, Juz 1, hal. 397).
Sikap Kaum Muslimin Terhadap Isra’ Mi’raj
Beberapa perawi menyebutkan bahwa ada beberapa orang yang lemah iman murtad dan meninggalkan agamanya karena hati dan akal mereka tidak sanggup menerima hal ini. Mereka tidak percaya karena belum mampu memahaminya. Kepada mereka inilah firman Allah Ta’ala diturunkan,
وَإِذْ قُلْنَا لَكَ إِنَّ رَبَّكَ أَحَاطَ بِالنَّاسِ ۚ وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ ۚ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
“Dan (ingatlah), ketika kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’, dan kami tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran. Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (QS. Al Isra’, 17: 60)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ جَاءَ مِنْ لَيْلَتِهِ، فَحَدَّثَهُمْ بِمَسِيرِهِ، وَبِعَلاَمَةِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَبِعِيرِهِمْ، فَقَالَ نَاسٌ: نَحْنُ لاَ نُصَدِّقُ مُحَمَّدًا بِمَا يَقُولُ! فَارْتَدُّوا كُفَّارًا، فَضَرَبَ اللهُ أَعْنَاقَهُمْ مَعَ أَبِي جَهْلٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam isra’ ke Baitul Maqdis, kemudian pada suatu malam beliau datang dan menceritakan pengalaman perjalanannya, ciri-ciri Baitul Maqdis dan rombongan dagang mereka (yang datang dari sana). Maka ada sebagian orang yang berkata: ‘Kami tidak membenarkan ucapan Muhammad’. Kemudian mereka murtad –kembali kafir, sehingga di kemudian hari Allah Ta’ala penggal leher mereka bersama dengan Abu Jahal.” (HR. An-Nasa’i dan Abu Ya’la, berkata Husain bin Salim: isnadnya shahih).
Sedangkan kaum mukminin lainnya, yang Allah lapangkan dadanya, Allah terangi hatinya, mereka tetap teguh dalam iman dan membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –dan yang terdepan dalam hal ini adalah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَمَّا أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى أَصْبَحَ يَتَحَدَّثُ النَّاسُ بِذَلِكَ ، فَارْتَدَّ نَاسٌ مِمَّنْ كَانُوا آمَنُوا بِهِ وَصَدَّقُوهُ ، وَسَعَوْا بِذَلِكَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالُوا : هَلْ لَكَ فِي صَاحِبِكَ ؟ يَزْعُمُ أَنَّهُ أُسْرِيَ بِهِ فِي اللَّيْلِ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، قَالَ : أَوَ قَالَ ذَلِكَ ؟ قَالُوا : نَعَمْ ، قَالَ : لَئِنْ كَانَ قَالَ ذَلِكَ لَقَدْ صَدَقَ ، قَالُوا : وَتُصَدِّقُهُ أَنَّهُ ذَهَبَ اللَّيْلَةَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَجَاءَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، إِنِّي لأُصَدِّقُهُ بِمَا هُوَ أَبْعَدُ مِنْ ذَلِكَ : أُصَدِّقُهُ بِخَبَرِ السَّمَاءِ فِي غُدْوَةٍ أَوْ رَوْحَةٍ ، فَلِذَلِكَ سُمِّيَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقَ
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam isra ke masjdil Aqsha, pada pagi harinya beliau sampaikan hal itu kepada orang-orang. Lalu ada sebagian orang yang telah beriman menjadi murtad padahal sebelumnya telah beriman dan membenarkannya. Mereka segera menemui Abu Bakr dan bertanya: ‘Apakah engkau telah mendengar sahabatmu yang mengaku telah diperjalankan ke Baitul Maqdis malam tadi?’ Abu Bakar bertanya: ‘Betulkah ia mengatakan hal itu?’ Mereka mejawab: ‘Ya, betul.’ Lalu kata Abu Bakar: ‘Jika ia yang mengatakan hal itu, pasti benar’. Mereka berkata: ‘Kamu membenarkannya telah pergi malam tadi ke Baitul Maqdis kemudian sebelum subuh sudah tiba kembali?’ Kata Abu Bakar: ‘Sesungguhnya aku telah membenarkan yang lebih aneh dari itu, aku membenarkannya telah menerima berita dari langit, ketika pagi atau sore.’ Karena itulah ia digelari Abu Bakar ash Shiddiq.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir , Juz 5, hal. 26, 38; Ad-Dalail, Juz 2, hal. 106; dan Musnad Ahmad).
0 komentar:
Posting Komentar