BUROQ
Imamam At-Tirmidziy meriwayatkan dari jalan Qataadah dari Anas bin Maalik, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika di Isra`kan, beliau diberi Buraq yang lengkap dengan tali (kendali) dan pelana, tetapi ia mempersulit beliau (tidak mau ditunggangi) lalu Jibril berkata padanya: “Patutkah kamu lakukan ini pada Muhammad? padahal belum ada yang menunggangimu yang paling mulia disisi Allah selain Muhammad?” Beliau bersabda: “Lantas mengalirlah keringatnya (karena takut).” [HR Tirmidziy no. 3056, beliau berkata hasan gharib. Diriwayatkan pula oleh Ahmad no. 12211].
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadhr, telah menceritakan kepada kami Syaibaan, dari ‘Aashim, dari Zirr bin Hubaisy, ia berkata; “Aku mendatangi Hudzaifah bin Al-Yamaan saat ia bercerita tentang malam isra` Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa salam, beliau bersabda: “Kami pergi hingga sampai Baitul Maqdis.” Hudzaifah berkata : “Tapi keduanya tidak masuk”. Aku (Zirr) berkata; “Tapi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam memasukinya di malam itu dan shalat di dalamnya”. Hudzaifah bin Al-Yamaan bertanya; “Siapa namamu wahai orang yang botak? Aku mengenali wajahmu tapi aku tidak kenal namamu”. Aku menjawab: “Aku Zirr bin Hubaisy”. Berkata Hudzaifah bin Al Yamaan: “Apa dalilmu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa salam shalat di masjid itu dimalam itu?”. Aku menjawab: “Al Quran memberitahukan hal itu padaku”. Berkata Hudzaifah bin Al-Yamaan: “Barangsiapa berbicara dengan Al Quran maka ia beruntung, bacalah!” Lalu aku membaca: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram.” (QS Al-Israa` :
1). Berkata Hudzaifah bin Al-Yaman: “Wahai orang yang botak! Apa kau menemukan (dalam dalil itu) bahwa beliau shalat di dalamnya?” Aku menjawab: “Tidak.” Ia berkata; “Demi Allah beliau tidak shalat di dalamnya pada malam itu, andai beliau shalat di dalamnya pastilah diwajibkan atas kalian untuk shalat ditempat itu seperti halnya diwajibkan untuk shalat di Baitul ‘Atiiq (Masjidil Haram), demi Allah keduanya tetap bersama Buraq hingga dibukakan baginya pintu-pintu langit, keduanya melihat surga dan neraka serta janji akhirat seluruhnya, kemudian keduanya kembali ditempat semula,” lalu Hudzaifah tertawa hingga aku melihat gigi gerahamnya, ia mengatakan: “Mereka bercerita bahwa Jibril mengikatnya (Buraq) agar tidak lari tapi Allah yang mengetahui alam gaib dan nyata menundukkannya untuk beliau (Rasulullah).” Aku bertanya: “Hai Abu ‘Abdillah! Hewan apakah Buraq itu?” Hudzaifah menjawab: “Hewan putih dan panjang seperti ini, langkahnya sejauh mata memandang.” [HR Ahmad no. 22197].
Tentang hadits Imam Ahmad ini, Al-Haafizh Ibnu Katsiir berkata, pendapat yang dikemukakan oleh Hudzaifah ini bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh sahabat lainnya dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam yang mengatakan bahwa Buraq ditambatkan di halqah (tempat berbentuk lingkaran) dan bahwa Rasulullah melakukan shalat di Baitul Maqdis seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, keterangan sebelumnya lebih didahulukan daripada pendapat Hudzaifah ini. Wallahu a’lam.
SUARA PENA (QALAM) YANG MENULIS
Imam Al-Bukhaariy meriwayatkan, Ibnu Syihaab Az-Zuhriy berkata, Ibnu Hazm mengkhabarkan kepadaku bahwa Ibnu ‘Abbaas dan Abu Habbaah Al-Anshaariy (‘Amiir bin ‘Amr) keduanya berkata, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian aku dimi’rajkan hingga sampai ke suatu tempat yang disitu aku dapat mendengar suara pena (qalam) yang menulis”. Berkata Ibnu Hazm dan Anas bin Maalik radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memfardhukan kepadaku lima puluh kali shalat (matan selanjutnya sama seperti hadits Malik bin Sha’sha’ah). Kemudian aku dimasukkan ke dalam surga, terlihat kubahnya terbuat dari mutiara dan tanahnya dari misik”. [HR Al-Bukhaariy no. 3094].
MELIHAT JIBRIL AS
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)
Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa sidratul muntaha adalah tempat tertinggi di langit yang menjadi batas ujung pengetahuan dan amal aktifitas para makhluk. Tidak seorang makhluk pun mengetahui apa yang ada di belakangnya.
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadhr, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah, dari Al-Waliid bin Qais, dari Ishaaq bin Abu Al-Kahtalah, Muhammad berkata, aku kira dari Ibnu Mas’uud bahwa ia berkata; “Sesungguhnya Muhammad tidak melihat Jibril dalam wujud aslinya kecuali dua kali, pertama karena beliau meminta untuk memperlihatkan dirinya dalam wujud asli, ia pun menampakkan wujud aslinya yang menutup seluruh ufuk, sedang kesempatan lain beliau naik bersamanya ketika beliau mi’raj.”
FirmanNya : “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” [QS An-Najm : 7-10]. Ibnu Mas’uud berkata : “Tatkala Jibril mengetahui Rabbnya, ia kembali kepada wujud aslinya dan bersujud.”
Melihat Jibril dengan Wujud Aslinya
Penampakan Jibril ‘alaihissalam dengan wujud aslinya adalah salah satu dari tanda-tanda besar kekuasaan Allah. Rasulullah menyaksikan hal itu pada malam perjalanan yang suci itu. Di saat isra’ dan mi’raj. Biasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu Jibril dalam wujud manusia. Ia sering datang dalam wujud Dihyah al-Kalbi radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ
“Sesungguhnya dia itu Jibril. Ia turun dengan tampilan Dihyah al-Kalbi.” (HR. An-Nasai dalam Kitab al-Iman wa Syara’ihi, Shifatul Iman wal Islam (11722) dishahihkan al-Albani).
Kedatangan Jibril dengan wujud manusia, apalagi dalam tampilan sahabat Nabi, adalah cara Allah dalam menjaga kondisi batin Nabi. Karena manusia akan merasa nyaman dengan manusia. Efek psikis yang ditimbulkan saat berinteraksi dengan manusia, tentu akan berbeda dengan interaksi dengan malaikat. Apalagi dengan wujud asli mereka.
Tapi di lain sisi, Allah hendak memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sesuatu yang istimewa. Sesuatu yang tak pernah kita dengar pernah terjadi pada keturunan Adam yang lainnya. Yaitu melihat Jibril ‘alaihissalam dengan wujud aslinya.
Apa yang beliau lihat kemudian dikabarkan kepada kita. Tentu hal ini menjadi ujian. Apakah kita akan membenarkan keajaiban yang beliau sampaikan. Atau malah menolaknya. Terdapat sebuah riwayat dari Muslim tentang penjelasan Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha. Dari Masruq, ia bertanya pada Aisyah:
فَأَيْنَ قَوْلُهُ؟ {ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى (8) فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَى (9) فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى} [النجم: 8 -10]، قَالَتْ: “إِنَّمَا ذَاكَ جِبْرِيلُ عليه السلام كَانَ يَأْتِيهِ فِي صُورَةِ الرِّجَالِ، وَإِنَّهُ أَتَاهُ فِي هَذِهِ الْمَرَّةِ فِي صُورَتِهِ الَّتِي هِيَ صُورَتُهُ فَسَدَّ أُفُقَ السَّمَاءِ
“Bagaimana dengan firman Allah: ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.” [Quran An-Najm: 10].
Aisyah menjawab, “Sesungguhnya yang dimaksud adalah Jibril ‘alaihissalam. Biasanya ia datang menemui Nabi dalam sosok seorang laki-laki. Tapi pada kesempatan itu, ia menemuinya dengan wujud aslinya yang menutupi langit’.” (HR. Muslim dalam Kitabul Iman, 177).
Pertemuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Jibril dalam wujud aslinya untuk kali kedua terjadi di sisi Sidrataul Muntaha. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Mas’ud dengan sanad yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ جِبْرِيلَ عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، عَلَيْهِ سِتُّمِائَةِ جَنَاحٍ، يُنْتَثَرُ مِنْ رِيشِهِ التَّهَاوِيلُ: الدُّرُّ وَالْيَاقُوتُ
“Aku melihat Jibril di sisi Sidratul Muntaha. Ia memiliki 600 sayap. Dari bulu sayapnya bertaburan permata dan batu-batu mulia.” (HR. Ahmad 3915 dan selainnya).
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
وَقَدْ أَخْرَجَ الأُمَوِيُّ فِي مَغَازِيهِ، وَمِنْ طَرِيقِهِ الْبَيْهَقِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنِ ابن عباس فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى} [النجم: 13]، قَالَ: “دَنَا مِنْهُ رَبُّهُ”. وَهَذَا سَنَدٌ حَسَنٌ، وَهُوَ شَاهِدٌ قَوِيٌّ لِرِوَايَةِ شَرِيكٍ
“Dikeluarkan oleh al-Umawi dalam Maghazinya dari jalan al-Baihaqi. Dari Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Ibnu Abbas ketika menafsirkan firman Allah ‘Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain’. [Quran An-Najm: 13]. Ibnu Abbas berkata, ‘Rabbnya mendekat kepadanya’. Sanad ini hasan. Dan ia menjadi poin penguat dari riwayat Syarik. (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 13/484).
APAKAH MELIHAT ALLAH
berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari dari Masruq. Masruq bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anhu.
يَا أُمَّتَاهْ؛ هَلْ رَأَى مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم رَبَّهُ؟ فَقَالَتْ: لَقَدْ قَفَّ شَعَرِي مِمَّا قُلْتَ، أَيْنَ أَنْتَ مِنْ ثَلاَثٍ؛ مَنْ حَدَّثَكَهُنَّ فَقَدْ كَذَبَ: مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ. ثُمَّ قَرَأَتْ: {لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الخَبِيرُ} [الأنعام: 103]، {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ} [الشورى: 51]. وَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَدْ كَذَبَ. ثُمَّ قَرَأَتْ: {وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا} [لقمان: 34]. وَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ كَتَمَ فَقَدْ كَذَبَ. ثُمَّ قَرَأَتْ: {يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ} [المائدة: 67] الآيَةَ؛ وَلَكِنَّهُ “رَأَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِي صُورَتِهِ مَرَّتَيْنِ
“Wahai Ibu, apakah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya?”
Aisyah menjawab, “Sungguh buluku berdiri (merinding) dengan apa yang kau tanyakan. Tiga perkara, yang barang siapa mengatakannya kepadamu, maka sungguh ia telah berdusta. (1) Siapa mengatakan padamu bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Rabbnya, ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Al An’am: 103). Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir. (As Syura: 51). (2) Siapa yang mengatakan padamu bahwa beliau mengetahui apa yang akan terjadi pada hari esok, ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. (Luqman: 34). Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa beliau menyembunyikan sesuatu, ia telah berdusta. Lalu Aisyah membaca ayat; Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Al Maidah; 67). Hanya saja beliau pernah melihat wujud asli Jibril dua kali.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tafsir, 4574).
Dalam riwayat Muslim:
وعند مسلم: عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: كُنْتُ مُتَّكِئًا عِنْدَ عَائِشَةَ، فَقَالَتْ: يَا أَبَا عَائِشَةَ، ثَلاَثٌ مَنْ تَكَلَّمَ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفِرْيَةَ. قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَتْ: مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفِرْيَةَ. قَالَ: وَكُنْتُ مُتَّكِئًا فَجَلَسْتُ، فَقُلْتُ: يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، أَنْظِرِينِي، وَلاَ تُعْجِلِينِي؛ أَلَمْ يَقُلِ اللهُ عز وجل: {وَلَقَدْ رَآهُ بِالأُفُقِ الْمُبِينِ} [التكوير: 23]، {وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى} [النجم: 13]؟ فَقَالَتْ: أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: “إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ، لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ، رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنَ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الأَرْضِ”. فَقَالَتْ: أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللهَ يَقُولُ: {لاَ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ} [الأنعام: 103]؟! أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللهَ يَقُولُ: {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ} [الشورى: 51]؟، قَالَتْ: وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَتَمَ شَيْئًا مِنْ كِتَابِ اللهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفِرْيَةَ، وَاللهُ يَقُولُ: {يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ} [المائدة: 67]، قَالَتْ: وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُخْبِرُ بِمَا يَكُونُ فِي غَدٍ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفِرْيَةَ، وَاللهُ يَقُولُ: {قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ} [النمل: 65] [12]. وأوضح من ذلك ما رواه مسلم عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَالَ: “نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ” [13].
Dari Masruq rahimahullah, ia berkata, “Dulu aku berada di sisi Aisyah.” Aisyah mengatakan, “Hai Abu Aisyah, ada tiga hal yang kalau salah seorang dari mereka menbicarakan salah satunya saja dari yang tiga itu, maka sesungguhnya ia telah mengadakan dusta yang paling besat terhadap Allah.”
Aku (Masruq) mengatakan, Apa itu? Kata Aisyah, “Barangsiapa yang mengira bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Tuhannya, maka sesungguhnya ia telah mengadakan dusta yang paling besar terhadap Allah.”
Masruq berkata, “Tadinya aku bersandar, lalu aku duduk dan mengatakan, “Wahai Ummul Mukminin, sebentar, jangan terburu-buru. Bukankah dengan firman Allah Azza wa Jalla: “Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.” (Qs. At Takwir 81:23) “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril) itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain”. (Qs. An Najm 53:13).
Lalu Aisyah mengatakan, “Aku adalah yang pertama kali dari umat ini bertanya tentang ayat itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: ‘Sesungguhnya ia adalah Jibril, yang belum pernah aku melihatnya dengan wujud aslinya sebagaimana ia diciptakan kecuali hanya dua kali itu saja. Aku melihatnya turun dari langit, keagungan penciptaannya meliputi antara langit dan bumi (sangat indah sekali).”
Aisyah berkata, “Apakah belum engkau dengar bahwa Allah berfirman, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al An’aam 6:103), Apakah belum juga engkau dengar bahwa Allah berfirman, “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (Qs. Asy Syuuraa 42:51).
Dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Syaqiq, aku bertanya kepada Abu Dzar:
لَوْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَسَأَلْتُهُ. فَقَالَ: عَنْ أَيِّ شَيْءٍ كُنْتَ تَسْأَلُهُ؟ قَالَ: كُنْتُ أَسْأَلُهُ: هَلْ رَأَيْتَ رَبُّكَ؟ قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ قَدْ سَأَلْتُ فَقَالَ: ((رَأَيْتُ نُوْرًا)). (رواه مسلم)
“Kalau aku sempat bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya, “Apa yang akan kau tanyakan?” Aku akan bertanya, “Apakah beliau melihat Rabbnya?” Abu Dzar pun berkata, “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab, ‘Aku melihat cahaya’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman, 178).
Melihat Baitul Ma’mur di Kisah Isra Mi’raj
Dalam perjalanan isra’ mi’raj ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau lihat bapak para nabi itu tengah bersandar di Baitul Ma’mur. Terjadilah dialog antara kedua rasul. Sebagaimana yang sudah kita bahas di artikel sebelumnya. Namun, ada poin penting lainnya dalam kejadian tersebut yang belum kita bahas. Yaitu tentang Baitul Ma’mur. Apa itu Baitul Ma’mur?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ رُفِعَ لِي البَيْتُ المَعْمُورُ”. وفي رواية مسلم: “ثُمَّ رُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا هَذَا؟ قَالَ: هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، إِذَا خَرَجُوا مِنْهُ لَمْ يَعُودُوا فِيهِ آخِرُ مَا عَلَيْهِمْ
“Kemudian aku dinaikkan menuju Baitul Ma’mur.” Dalam riwayat lain, “Kemudian ditampakkan padaku Baitul Ma’mur. Aku bertanya, ‘Apa ini Jibril?’ Ia menjawab, ‘Ini adalah Baitul Ma’mur yang setiap hari dimasuki oleh 70.000 malaikat. Jika mereka telah memasukinya, mereka tak akan kembali. Itulah kali pertama dan untuk terakhir mereka masuk ke dalamnya’.”
Dalam riwayat an-Nasai terdapat keterangan tambahan:
إِذَا خَرَجُوا مِنْهُ لاَ يَعُودُونَ إِلَيْهِ أَبَدًا
“Kalau mereka telah keluar dari Baitul Ma’mur, mereka tak akan kembali lagi selama-lamanya.” (HR. an-Nasai dalam Kitab at-Tafsir Surat ath-Thur (11530) dari Anas radhiallahu ‘anhu).
Malaikat hanya sakali seumur hidup mereka memasuki Baitul Ma’mur. Teringat akan kewajiban yang Allah berikan kepada kita, wajib ke Baitullah al-Haram seumur hidup satu kali. Hanya saja bedanya, kita bisa dan diizinkan untuk melakukannya lebih dari satu kali.
Merenungkan hadits ini menimbulkan rasa khusyuk dan tunduk kepada Allah Ta’ala. Sejak Baitul Ma’mur diciptakan, setiap hari 70.000 malaikat memasukinya. Dan tidak mengulanginya. Alangkah banyaknya jumlah malaikat-malaikat yang mereka itu sangat taat dan tunduk kepada Allah. Dan kita juga semakin memahami sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ، وَأَسْمَعُ مَا لاَ تَسْمَعُونَ أَطَّتِ السَّمَاءُ، وَحُقَّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلاَّ وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلهِ .
“Sesungguhnya aku melihat apa yang tak kalian lihat. Aku mendengar apa yang tak kalian dengar. Langit itu merintih. Dan sudah sewajarnya ia merintih. Tidak ada tempat tersisa empat jari pun kecuali ada malaikat yang meletakkan dahinya sujud kepada Allah.” (HR. at-Turmudzi dalam Kitab az-Zuhd 2312 dan selainnya).
Saking banyaknya jumlah malaikat yang memadati langit, langit pun layak untuk merintih. Jadi, beliau melihat Baitul Ma’mur sebanyak dua kali. Saat perjumpaan dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Saat itu, beliau hanya bertanya tentang Nabi Ibrahim. Karena Nabi Ibrahimlah yang jadi inti pertemuan kali itu. Kemudian saat naik ke Sidraul Muntaha, disitulah beliau melihat Baitul Ma’mur dengan lebih jelas.
Lalu seperti apa bentuk Baitul Ma’mur itu? Baitul Ma’mur adalah sesuatu yang gaib. Kita tidak bisa mengetahui dengan cara rekaan dan khayalan. Satu-satunya cara untuk mengetahui seperti apa Baitul Ma’mur itu adalah melalui wahyu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالطُّورِ (1) وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ (2) فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ (3) وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ (4) وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ (5) وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ (6) إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ}
“Demi bukit, dan Kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka, dan demi Baitul Ma’mur, dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya ada api. Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi.” [Quran Ath-Thur: 1-7].
Dalam surat ini Allah bersumpah dengan menyebut Baitul Ma’mur. Sumpah Allah dengan menggunakan makhluknya menunjukkan bahwa makhluk itu besar dan agung.
MELIHAT NERAKA
Imam Ibnu Maajah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muusaa, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Aliy bin Zaid, dari Abu Ash-Shalt, dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Pada malam Isra mi’raj aku mendatangi suatu kaum, perut mereka seperti rumah-rumah yang dihuni oleh ular dan dapat dilihat dari luar perut-perut mereka. Aku pun bertanya: “Wahai Jibril, siapakah mereka itu?” ia menjawab, “Mereka adalah pemakan riba.” [HR Ibnu Maajah no. 2264].
Imam Abu Daawud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mushaffaa, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah dan Abul Mughiirah, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Shafwaan, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Raasyid bin Sa’d dan ‘Abdurrahman bin Jubair, dari Anas bin Maalik, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketika aku dinaikkan ke langit (dimi’rajkan), aku melewati suatu kaum yang kuku mereka terbuat dari tembaga, kuku itu mereka gunakan untuk mencakar muka dan dada mereka. Aku lalu bertanya, “Wahai Jibril, siapa mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan mereka.” [HR Abu Daawud no. 4235. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad no. 12861].






0 komentar:
Posting Komentar