BIOGRAFI SINGKAT AL-HALLAJ
Catatan : Bani Hasyim adalah satu2nya didalam rumpun Bangsa Arab yang tidak pernah menyembah berhala, Keturunan yg terjaga mulai dari Adam hingga keturunan Beliau Ish yg menurunkan Bani Hasyim sebagai bangsa yg akan melahirkan Nabi Akhir Zaman, keturunan yg tdk bermaksiat kepada Allah.
Sebelum berusia 8 tahun ia belajar menghafal Al-Quran dan menjadi seorang hafizh (Al-Quran). Ia berusaha mencari makna batiniah dari surat-surat Al-Quran dan menerjunkan diri ke dalam tasawwuf di madrasah Sahl at-Tustari menuju Basrah. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.
Pada tahun 296 H/908 M beberapa aktivis reformasi sunni (di bawah pengaruh seorang penganut aliran Hanbali, Barbahari) melakukan perebutan kekuasaan dan mengangkat Ibn al-Mu’taz sebagai Khalifah. Tetapi usaha mereka gagal, dan Khalifah al-Muqtadir memulihkan kembali pejabat finansialnya yang Syi’ah, Ibn Furat. Akibatnya al-hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, walaupun empat pengikutnya ditahan.
Tiga tahun kemudian al-Hallaj sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad sebagai korban kebencian hamid, seorang pengikut Sunni, Al-Hallaj lalu dimasukkan ke dalam penjara selama sembilan tahun. Pada tahun 301 H/913 M, Menteri Ibn ‘Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj mengakhiriperadilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pegikutnya yang meringkuk dalam penjara dengan tuntunan dibebaskan.
Peradilan terhadap al-Hallaj dibuka kembali pada tahun 308-309/921-922 M. Latar belakang peradilan ini adalah adanya spekulasi keuangan Hamid yang ditentang oleh Ibn Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibn ‘Isa, Hamid membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qurra sekaligus sahabat sufi Ibn Salim dan Asy-Syibli, tetapi menentang Al-Hallaj.
Kemudian Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624) membahas ana al-haqq dalam tradisi teologi dan menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional, dan ungkapan ini mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik. Beliau menyatakan bahwa ana al-haqq sebagai kebenaran tidaklah mengacu kepada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Pada kondisi ini ana hanya mengetahui al-haqq yang menyelimtinya, dan secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting.
Syaikh Ahmad sirhindi menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu pada penyatuan dengan esensi Tuhan atau sifat-Nya. Dengan demikian, al-haqq sebagai “Akulah Kebenaran” secara kategoris dikesampingkan oleh Syiakh Ahmad Sirhindi yang menafsirkan frase itu sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurut beliau, ana al-haqq tidak hendak menegaskan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanya pernyataan bahwa “Aku tiada, hanya Dia yang ada satu-satunya.” Tanpa penyangkalan diri, maka pengukuhan atas kebenaran Tuhan masih belum terselesaikan. Al-Hallaj sebenarnya menandaskan keyakinan-nya melalui penyangkalan diri.
Di sisi lain ana al-haqq dianggap terlalu melebih-lebihkan pengalaman subjektif, dan “Aku” personal menunjukkan kecendrungan kea rah megalomania dan egotism. “Aku” personal inilah yang menutpi al-haqq dan mengundang perhatian penuh pada dirinya sendiri. Jadi ana al-haqq sebagai sebuah pernyataan tentang pengalaman mempertahankan Dia-Engkau sebagai titik acuan dalam dirinya sendiri. Sejarah puisi mistik teah sepenuhnya mendkung titik acan ini dan pengalihan arti dalam puisi mistik telah dicapai melalui acuan ini.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendiriannya itulah terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata maupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya sendiri. Allah melihat kepada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi seban wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Nabi Adam. Setelah menjadikan Nabi Adam dengan cara it, Ia memuliakan dan mengagungkan Nabi Adam. Ia cinta pada belia, dan pada diri Nabi Adam setelah terdapat sifa-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari QS. Al-Baqarah : 34. menurut al-hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar mau bersujud kepada Nabi Adam, karena pada diri Nabi Adam Allah menjelma.
Catatan : Harus difahami bahwa sifat kemanusian bukanlah sifat yg dimiliki manusia secara mutlak, melainkan juga sifat yg diberikan oleh Allah kepada manusia yg merupakan juga milik Allah, adalah sangat mustahil manusia memiliki sifat kemanusiaan yg muncul dengan sendirinya, seperti juga manusia tidak mungkin ada dengan sendirinya, melainkan ada yg Maha Ada yg membuatnya menjadi Ada, demikian juga sifat manusia, Karna Adanya Sang Pemilik Sifat yg Maha mensifati sehingga ada yg disifati. dan harus kita fahami juga, sifat kikir, loba, malas, takabbur, sombong dan ria’ , sifat Rububiyah, sifat hawaniyah, serta sifat2 tercela lainnya, bukanlah sifat kemanusiaan, itu adalah sifat dari Nafsu, hanya saja sifat2 itu berada dalam diri manusia, tapi bukan bagian dari sifat Kemanusiaan. inilah yg dibersihkan dengan jalan Tahalli lalu Takhalli dan akhirnya mencapai Tajalli. dan menyisakan Sifat Ketuhan pada manusia atau disebut juga sifat kemanusiaan. dan jgn juga salah mengartikan, lapar, sakit, haus, senang dan sedih, serta mati itu sebagi sifat kemanusiaan, itu bukan sifat dan sama sekali tidak termasuk dalam kategori sifat, itu yg di mksd Qodrat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-Ittihad sebagaimana telah disebut diatas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insane (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinanseorang insane telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan.
Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.
Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Banyak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”
Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.
Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.
Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.
“Katakanlah, Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.
“Ya, Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”
Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”
“Biarkan ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris.”
Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha’ dan Ibnu Khafif.
Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”
Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”
Ibnu Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.
Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.
Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Hallaj maupun selnya.
Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.
Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”
Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”
Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”
“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.
“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur.
“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”
Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.
“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.
“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.
“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”
“Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”
“Aku telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.
“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.
“Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.
Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.”
Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”
Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.
“Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.
“Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan
Ayahku, Husayn ibn Mansur, dilahirkan di Bayda, di sebuah tempat bernama al-Tur. Di dibesarkan di Tustar, dan selama jangka waktu dua than dia menjadi murid Sahl ibn Abdullah Tustari, setelah itu dia pergi ke Baghdad.
Dia mengembara kadang-kadang hanya berpakaian bulu, sekali waktu dengan dua mantel yang diwarnai, kadang-kadang memakai jubah wool dengan surban, atau memakai jubah besar dengan lengan, layaknya seorang tentara.
Dia meninggalkan Tustar pertma kali pergi ke Bashrah dan pada waktu itu ia berusia 18 tahun. Kemudian pergi (ke basrah? Ke Baghdad?), memakai dua jubah, untuk menemui ‘Amr ibn ‘Utsman Makki dan Junayd ibn Muhammad; dan dia tinggal dekat dengan ‘Amr selama 18 bulan. Setelah itu dia menikah di Bashrah dengan ibuku Umm al-Husayn, anak perempuan Abu Ya’qub Aqta’, tetapi Amr ibn ‘Utsman sedih tentang pernikahan ini dan pertengkaran besar terjadi antara Abu Ya’kub dan ‘Amr terhadap persoalan ini. Ayahku pergi sendiri kepada Junayd iMuhammad dan menceritakan kepadanya betapa sedihnya dia terhadap ketegangan yang terjadi antara b Ya’kub dan ‘Amr di Baghdad. Junayd menasihatinya agar tetap tenang dan tetap menghormati mereka, yang dia lakukan dengan sabar selama beberapa waktulamanya.
Kemudian dia pergi ke Mekkah dan tinggal di sana selama satu tahun, dalam kunjungan yang sangat syahdu. Setelah itu dia kembali ke Baghdad sengan sekelompok sufi fuqara’. Dia menuju tempat Junayd ibn Muhammad untuk mengajukan beberapa pertanyaan, yang kemudian, akan tetapi, tidak terjawab, karena dituduh hal ini termotivasi oleh hasrat misi pribadi (mudda’i). Ayahku, sakit hati karena hal ini, bersama-sama dengan ibu, ke Tustar, tempat dia tinggal selama hamper dua tahun.
Dan di sana dia menerima sambutan begitu hangat hingga banyak para sufi pada waktu itu marah dan benci kepadanya, khususnya ‘Amr ibn ‘Utsman. Yang bersikeras mengirimkan surat tentangnya kepada orang-orang penting di Khuzistan sambil menghasutnya dengan kesalahan-kesalahan fatal (‘azaim).
Pada tahap-tahap tertentu dan dengan sangat efektif ayahku mengesa,pingkan gaya sufi, menolaknya dan memakai pakaian berlengan, dan sering mengunjungi kelompo-kelompok duniawi (abna al-dunya)
Dia meninggalkan (Tustar) setelah itu dan kami tidak melihatnya lagi selama lima tahun. Selama waktu itu ia menjelajahi Khurassan dan mawaralnahr; dari sana, dia pergi ke Sijistan dan Kirman, dan setelah itu kembali ke Fars. Dia mulai berceramah di depan umum, mengadakan pertemuan-pertemuan (majlis,pl.majalis), menyeru kepada tuhan. Di Fars, orang-orang mengenalnya sebagai Abu ‘Abdallah sang zahid (asketik) dan menulis beberapa karya untuk mereka. Kemudian dia pergi dari Fars kembali ke Ahwaz, dan memanggil ibu yang membawaku menemuinya.
Dia bercermah di depan umum dan setiap orang, baik itu sedikit maupun banyak, menyetujuinya. Dia berkata kepada para pendengarnya tentang suara hati, tentang apa yang ada di dalam hati mereka, yang dia sibakkan tirai hati mereka. Mereka menyebutnya sebagai “penyingkap suara hati” (hallaj al-asrar); dan nama hallaj, setelah itu, melekat padanya.
Kemudian dia menuju Basrah; dia tinggal di sana hanya sebentar, meninggalkan aku di Ahwaz bersama murid-muridnya. Dia pergi ke Makkah untuk yang kedua kalinya, berpakaian compang-camping dank mal (muraqqa’a) dan sebuah jubah India (futa). Banyak orang menemaninya dalam perjalanan ini, sementara Abu Ya’kub Nahrajuri, karena benci, menyebarkan fitnah terhadap dia kepada orang-orang yang sudah akrab dengan ayah.
Kemudian dia kembali ke Basrah, dia tinggal selama satu bulan dan kembali lagi ke Ahwaz. Kali ini dia membawa ibu bersamanya, juga ayah mertuaku (hama) nantinya dan sejumlah orang-orang penting dari Ahwaz, dan bersama mereka hidup bersama di Baghdad, selama satu tahun. Kemudian dia berkata kepada slah satu muridnya: “Peliharalah anakku Hamd sampai aku kembali; karena aku harus pergi ke tanah yang memuja berhala (balad al-shirk; varian:balad al-turk) untuk menyadarkan penduduknya agar kembali kepada Tuhan, semoga Dia dipuji dan disucikan.
Dia pergi dan aku tahu apa yang dia lakukan: dia pergi ke India, kemudian ke Khurasan untuk kali yang kedua; dia memasuki daerah Mawaralnahr dan Turkestan dan pergi sejauh Ma Sin, menyeru pendudknya kepada Tuhan dan menulis karya-karya bagi mereka yang tidak sampai kepada ayahku.
Aku hanya mengetahui hal itu sebaliknya, surat-surat yang dikirimkan kepadanya dari India menyebutnya sebagai “al-Mughit”(“sang penasihat”), dari Turkestan dan Ma Sin sebagai “al-Muqit”(“sang pemelihara”), dari Khurasan sebagai “al-Mumayyiz”(“sang bijak”), dari Fars sebagai “Abu ‘Abdallah al-zahid”(“Abu ‘Abdallah yang asketis”), dan dari Khuzistan sebagai “Hallaj al-asrar”(“penyingkap suara hati”). Juga ada sekelompok orang di Baghdad yang menyebutnya sebagai “al-Mustali”(“sang rupawan”), dan sekelompok orang di Bashrah menyebutnya “al-Muhayyar”(“sang ganas”). Dan gossip tentang dia bertambah setelah dia kembali dari perjalanannya.
Dia pergi setelah itu dan melakukan ibadah haji yang ketiga kalinya, termasuk masa dua tahun penyendirian spiritual (di Makkah). Pada saat dia kembali keadaannya sangat jauh berubah dari sebelumnya. Dia membeli perabotan di Baghdad dan membangun sebuah rumah (untuk menerima orang-orang). Dia mulai berceramah di hadapan public tentang berbagai ajaran yang hanya setengahnya aja aku dapat mengerti.
Akhirnya, Muhammad ibn dawud bangkit menentangnya, bersama sekelompok ‘ulama’(cendekiawan); dan dia melaporkan berbagai tuduhan kepada (khalifah)al-Mu’tadid.
Setelah itu sejumlah perdebatan terjadi antara dia dan ‘Ali ibn ‘Isa karena persoalan Nasr Qusyuri; kemudian antara dia dan Syibli dan Syakh sufi lainnya.
Banyak orang berkata:dia seorang dukun. Yang lainnya:dia seorang yang gila. Namun banyak juga yang lainnya:dia seorang yang ajaib dan ibadahnya mendapat berkah dari Tuhan.
Dan pembicaran tentangnya semakin hari semakin ramai sampai kemudian pemerintah menangkap dan memenjarakannya.
Pada waktu itu Nasr Qusyuri pergi ke tempat khalifah, yang member kewenangan kepadanya untuk membangun sel yang terpisah untuk ayahku. Kemudian sebuah rumah kecil dibangun untuknya berhubungan dengan penjara; pintu luar dittupi dinding, dan bangunan itu sendiri dikelilingi oleh dinding, dan sebuah pintu dibuat pada sisi dalam menuju penjara. Sekitar satu tahun dia menerima tanu dibangunan itu. Kemudian dilarang, dan dia menjalani hal ini selama lima bulan tanpa ada yang dapat mengunjunginya-kecuali pada suat saat ketika dia melihat Abu’l-‘Abbas ibn ‘Ata Adami,’Abdallah ibn Khafif (di sana). Pada waktu itu aku menghabiskan malam-malamku bersama ibu di dalam rumah keluarga kami yang berada di luar, dan pada siang hari aku tinggal bersama ayahku. Kemudian mereka memenjarakanku dengan ayah selama dua bulan. Pada waktu itu aku berusia delapan belas tahun.
Dan malam datang ketika ayah hars diambil, di saat fajar, di dalam sel, dia shalat dua raka’at. Kemudian, setelah shalat ini selesai, dia terus-menerus menyebut kata”ilusi….ilusi”, sampai malam berakhir. Kemudian selang beberapa lamanya dia diam, ketika dia tiba-tiba berteriak “Kebenaran-..kebenaran”. dia berdiri lagi, dan menyelubungi kepala dan tubuhnya dengan jubah, merentangkan tangannya, menuju kea arah Qiblat (arah Makkah), dan tenggelam dalam ibadah ekstatik (munajat).
Pelayannya, Ahmad ibn Fatik hadir di situ, dan terhanyt oleh doa ekstatik itu, seperti berikut ini:
Kami di sini, kami saksi-Mu. Kami mencari pelindungan dalam kemegahan kemenangan-Mu yang abadi, agar Engkau menunjkkan hasrat-Mu.
‘O Engkau Tuhan langit dan bumi,
Engkau yang menyinari tatkala Engkau berhasrat, sama seperti engkau menyinari (di surga abadi, di hadapan Malaikat dan setan) kekuatan ketuhanan-Mu dalam bentuk yang terindah” (=bentuk manusia, dalam Adam): bentuk tempat ruh bersemayam, hadir di dalamnya melalui pengetahuan dan kata-kata, berkehendak bebas dan bukti nyata (dari kehidupan).
Kemudian Engkau dianugerahi di hadapan saksi ini (=aku sendiri, Hallaj)”Aku”-Mu, esensi substansial-Mu.
‘Bagaimana keadaanmu…. Engkau, yang hadir di dalam hatiku setelah mereka menelanjangiku, yang terbiasa menggunakan Diriku untuk mengaku-aku Diriku, menyibakkan kebenaran pengetahuanku dan keajaiban-keajaibanku, terbang bersama Kenaikan-Ku ke Mahkota Kekekalan-Ku untuk mengucapkan kata yang telah menciptakan-Ku.
‘(Sekarang Engkau berharap) agar aku ditangkap, dipenjara, dihukum, dibunuh, digantung di tiang salib, abuku ditaburkan di sela-sela tiupan badai pasir yang akan mencerai beraikannya, bersama amuk badai yang akan menari-nari bersama abuku,
‘Apabila hanya karena partikel paling kecil (dari abuku), sebutir biji pohon gaharu (akan terbakar di dalamnya dengan rahmat Tuhan), niscaya telah dijanjikan kan tubuhku yang telah berubah (dan penuh berkah) akan menjadi fondasi yang lebih kokoh daripada pegunungan yang tak dapat dipindahkan.
Kemudian dia menyanyikan sya’ir berikut:
Setelah itu, pelayannya, Ahmad ibn Fatik, berkata kepadanya:’Tuan, wasiatkan kepadaku sebuah petuah. (kemudian ayahku berkata:)’Egomu! Jika engkau tidak mampu menundukkannya, dia akan menguasaimu.
Tatkala pagi datang, mereka mengeluarkannya dari penjara, dan aku melihatnya berjalan gagah dengan ikatan rantainya, sambik berkata: ‘Sahabatku, apabila engkau tidak ingin berbuat jahat kepadaku, biarlah aku minum dari cangkirnya sendiri, seperti tuan rumah menjamu tamunya; tapi segera setelah cangkir itu beralih dari satu tangan ke tangan lainnya, Dia membuatku permadani (dari kulit) untuk alas hukumanku dan membawakanku pedang; mengayunlah pedang itu kepadanya yang meminum anggur dengan singa (Tinnin) di bawah teriaknya musim panas’.
Mereka kemudian membawa dia (ke boulevard) tempat kepala dan kakinya dipotong, setelah dihujani dengan 500 ayunan cambuk.
Kemudian dia diseret menuju tisng salib (suliba). Dan aku mendengar dia di atas berkata dengan Tuhan penuh hasrat: ‘O Tuhanku, aku di sini (pagi ini) di tempat yang telah lama aku hasratkan, tempat aku merenungi keajaiban-Mu. O Tuhanku, karena engkau adalah saksi bahkan bagi mereka yang berbuat jahat kepada-Mu, mengapa Engkau tiada menjadi saksi bagi yang stu ini (-aku sendiri, Hallaj) yang terkena kejahatan karena Engkau’.
Kemudian, aku melihat Abu Bakar Syibli, yang mendekati tiang salib, menangis dengan keras, dan meniytir kata berikut:‘Belumkah kami melarangmu untuk menerima tamu, baik manusia ataupum malikat?’
Kemudian dia bertanya kepadanya: ‘Apakah Sufisme itu?’ Dia menjawab: ‘Derajat paling rendah yang dibutuhkan seseorang untuk mendapatkannya adalah orang yang sekarang kamu lihat’. Syibli bertanya lebih lanjut: ‘Apakah derajat paling tinggi?’ Hallaj menjawab: ‘Itu di luar jangkauanmu; tapi besok engkau akan melihat; karena hal itu merupakan bagian dari misteri Tuhan yang telah aku lihat dan tetap tiada terlihat olehmu’.
Pada waktu shalat (‘isya), utusan khalifah yang hendak menghukum mati Hallaj datang. Tapi dinyatakan: ‘Ini sudah terlambat; kita akan menundanya sampai besok pagi’.
Tatkala pagi datang, mereka membawanya turun dari tiang salib dan menyeretnya untuk dibunuh. Aku mendengar dia kemudian berteriak keras, mengatakan dengan nada yang sangat tibggi: ‘Yang tertinggi bagi seorang sufi adalah kediriannya yang membawa kepada Dia Yang Tertunggal!’
Kemudian dia berkata” ‘Mereka yang tiada mempercayai Hari Akhir akan ketakutan karena kedatangannya; tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta, karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir’. Ini adalah kata-katanya yang terakhir.
Kepalanya dipenggal, kemudian badannya dibungkus dengan kulit permadani, disiram dengan minyak, dan dibakar.
Kemudian, mereka membawa abunya ke Ra’s al-Manara, untuk diterbangkan bersama angin.
Catatan : Dari percakapan dan syair2 Al hallaj diatas, kita dapat melihat bahwa beliau telah meramalkan kematian dan waktu kematiannya sendiri dan menjadi hal yg sangat dirindukannya, krn kematianlah yg bisa membuatnya bertemu kekasihnya ( Allah).
0 komentar:
Posting Komentar