* Hati yang membedakan baik buruk itu sebagai Akal .
* Hati yang berkeinginanan itu sebagai Hawa Nafsu.
* Hati sebagai Spirit / Roh / Nyawa manusia yang tiada lain sebagai "Ruh Yang Ditiupkan Allah"
* Hati sebagai Penyandang Shifat Allah. Karena di hati tampil Shifat-Shifat Allah yang 7 (tujuh) yakni shifat Qudrot Irodat Ilmu Chayat Sama' Bashor Kalaam.
* Hati itu bernama Nur Muhammad karena menjadi Cahaya Yang Menyinari Tubuh.
* Hati (Shifat Allah) itu mendapatkan sinaran dari Rahasianya Hati yakni Dzat Allah.
* Rahasia Hati (Dzat Allah), Hati (Shifat Allah) dan Nama bagi Hati (Asma' Allah) itu Menjadi Robb An-Naas (Pencipta Manusia) Malik An-Naas (Yang Merajai Manusia), Ilaah An-Naas (Sesembahan Manusia).
* Hati dan Rahasia Hati itulah yang kita sebut-sebut dengan Allah dengan Dzat dan segala Shifat dan Asma'/Nama. Itulah Cahaya Allah yakni Cahaya Berlapis Cahaya (Nuurun 'Alaa Nuurin)" itulah yang Maha Menentukan, Maha Menguasi, Maha Mengkaruniai serta Maha Menunjuki dan Menyesatkan dsb.
* Badan kita / Tubuh Adami kita tercipta dari perilaku / fa'al Allah dan sekaligus mendapatkan sinaran dari hati sehingga Tubuh "Menjadi Ada" dan "Dapat Berdaya Upaya, Berkeinginan, Berpengetahuan, Berkehidupan, Berpendengaran, Berpenglihatan dan Berkata-kata"
ALLAH SEBENAR BENARNYA TUHAN, SEDANG MANUSIA HANYALAH HAMBA ALLAH.
Ketahui dan Sadarilah !
"Seperti umpama dzat matahari dengan panas dan terangnya matahari serta nama matahari itu tak terpisahkan ! Akan tetapi Matahari tetap saja berbeda dengan Cahayanya dan Panasnya.
TIDAK UNTUK MENGAKU TUHAN, TETAPI HANYA UNTUK MENGENAL ALLAH
Dzat dan Shifat Dzat dan Asma' Allah tak Terpisahkan. Dengan Shifat dan Nama-NYA itu kita Mengenal Dzat Allah. Karena Dzat, Shifat dan Asma' Allah itulah Tuhan Yang Sebenar-benarnya disembah dan menguasai manusia.
Dan tak satupun Ajaran Islam Ajaran Nabi Muhammad yang mengajarkan untuk mengaku sebagai Allah, ingat itu. Semuanya hanya untuk menyadarkan manusia akan ketiadaannya atau kefanaannya. Agar manusia menjadi tahu diri dan mampu memposisikan diri sebagai Hamba Allah dengan sebaik-baiknya dan Selurus-lurusnya .... Tidak lebih daripada itu.
Adapun kedudukan Manusia terhadap Hatinya ada sekat pemisah. Manusia bukanlah Allah dan Allah Tidak pernah berubah menjadi Manusia ! Manusia hanyalah Hamba Allah ! Nabi Muhammad Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bukanlah Tuhan ! Nabi Muhammad hanyalah Hamba dan Rosulullooh yaitu Manusia Terutama dalam menerima Curahan Anugrah Cahaya atau Nur Shifat Allah Ta'ala sehingga "Lebih Sempurna Mengenal Allah".
* Bersyahadatain itu mengucap dan menyaksikan "Laa Ilaha illallaah" yakni Rahasia Hati / Rahasia Nur Muhammad yakni DZAT ALLAH.
Dan mengucap dan menyaksikan "Muhammadar Rosuulullooh" yakni Rahasia badan yaitu SHIFAT ALLAH yakni Cahaya Yang Diutus kepada Tubuh yaitu Nur Muhammad / Ruh.
Ketahuilah Seterang terang Cahaya /Nur Yang diutus kepada Tubuh itu ada pada diri Nabi Muhammad Shollalloohu 'alayhi Wa Sallam. Karena Nur Kita berasal dari Nur Nabi Kita. Maka itulah Nabi Bersabda : "Adam itu Bapak Tubuh dan aku Bapak Ruh".
* Niyyat dalam hati itu Dari Dzat Allah (Rahasia/Sirr) dan Muncul pada Shifat Allah (Hati/Ruh) dan Terjadi pada Tubuh/Badan berupa amaliyah.
Hati sebagai Shifat Dzat Allah harus dibina yakni Mengingat Panduan Dzat-Nya Sendiri Yakni Al Quraan sebagai Petunjuk yakni akal sehat dalam rangka mendatangi Rahmat/Ridho Allah. Sedang yang mengikuti hawa nafsu dan tidak mengikuti petunjuk, maka ia mendatangi Murka Allah.
SEPERTI PAPARAN LENGKAP TAPI UMUM
Hati adalah Raja, Tempat Kita Mengenal Allah
HAKIKAT dari hati adalah tak terlihat dan samar bagi panca indera manusia. Namun keberadaan hati dapat dirasakan. Keberadaan hati pun termasuk perkara ghaib bagi manusia, sama halnya dengan ruh.
Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menempatkan hati sebagai hakikat ruh. Beliau menyebut hati sebagai bagian jenis malaikat. Karena, hati merupakan suatu bentuk yang abstrak bagi manusia atau tak dapat dilihat oleh panca indera. (al Ghazali dalam kitab Kimiya as Sa’adah)
Hati juga merupakan tempat memperolehnya pengetahuan hakiki setelah panca indera. Jika saja Allah Subhanahu Wata’ala tidak menciptakan hati bagi manusia, maka seseorang tidak akan mengetahui sesuatu sampai hakikatnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala :
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَۙلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16] : 78).
Ulama mengatakan hati merupakan tempatnya akal (fikiran), dan hati memiliki cahaya sebagai daya yang karenanya akal bisa berfikir. (Lihat Kitab Jauhar at-Tauhid, Ibrahim al-Baijuri, hal-99).
Jadi, tanpa hati berserta cahayanya seorang manusia tidak dapat berfikir, serta tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itu, hati adalah instrumen terpenting dalam diri manusia.
Objeknya tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat profan, namun nilai objektifitas dari hati adalah untuk mencapai perkara yang bersifat spiritual dan sakral, seperti halnya ketulusan atau keikhlasan dan rasa syukur, bahkan untuk mengenal Allah Subhanahu Wata’ala (al-ma’rifah).
Oleh karena itu, tanpa mengupayakan hati dapat menjerumuskan manusia ke dalam lembah kesesatan. Hal ini terjadi ketika orang-orang musyrik mendustakan kebenaran Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam sehingga membawa mereka ke dalam azab yang pedih. Sebagaimana telah Allah abadikan di dalam Al-Quran:
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٧)
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka (musyrikin) dan penglihatan mereka di tutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7).
Hati juga sarana vital dalam menerima suatu kebenaran. Seseorang tanpa mengupayakan hatinya dalam kebaikan maka akan terjatuh ke dalam kekufuran.
Hati sangat berpengaruh terhadap tindakan seseorang. Bila hatinya baik, maka baik pula perilakunya. Dan sebaliknya, jika hatinya keruh maka tindakannya pun buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam yang di riwayatkan sahabat Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir R.A :
“Sesungguhnya di dalam jasad (badan) terdapat segumpal daging, jika ia bagus maka seluruh jasadnya bagus. Dan jika rusak maka seluruh jasadnya pun rusak. Ingatlah! Segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim).
eorang ulama mengatakan, “Hati adalah raja. Ketika yang merawatnya bagus maka rakyatnyapun bagus.” (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal-29, hadis keenam)
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri R.A, Rasulullah bersabda :
“Sepasang mata adalah petunjuk. Sepasang telinga adalah corong. Lisan adalah juru bicara. Kedua tangan adalah sayap. Perut adalah kasih sayang. Limpa adalah senyuman. Paru-paru adalah jiwa. Kedua pinggang adalah tipu daya. Dan hati adalah raja. Ketika rajanya bagus, maka rakyatnya pun bagus. Dan jika rajanya rusak maka rakyatnya pun rusak.” (HR Ibnu Hibban, Abu syaikh dan Abu Nu’aim).
Seorang ulama mengatakan, “Penglihatan, pendengaran dan indera pencium laksana daya kekuatan yang dilihat dan di pertimbangkan oleh jiwa. sedangkan hati adalah rajanya. Jika yang merawatnya baik maka baik pula rakyatnya.“ (Lihat Kitab Syarah Arba’in Nawawi, Yahya bin Syarafuddin, hal 29).
Ibarat Emas
Hati merupakan instrumen penggerak dari aktifitas dan perilaku manusia. Perilaku seseorang tidak dapat terpisah dari kondisi hatinya. Bila bijaksana dalam mengupayakan hatinya maka seseorang dapat mempertimbangkan perbuatannya dan membawanya ke jalan yang benar.
Sebaliknya, jika tidak bijaksana maka akan memalingkannya ke jalan yang menyimpang, seperti riya’, hasud, tamak yang termasuk dari macam-macam penyakit hati.
Menurut Al-Ghazali, hati merupakan elemen yang berharga bagi seorang hamba. Ia mengatakan bahwa hati merupakan tempat mengenal Allah Subhanahu Wata’ala. Al-Ghazali menyebutkan bahwa didalam hati terdapat hal-hal yang berarti; yaitu hati memiliki akal. Dan tujuannya adalah untuk mengenal Allah (al-ma’rifah).
Hati memiliki penglihatan yang di gunakan untuk berhadapan dengan kehadirat ilahi. Dan hati memiliki niat yang tulus dan keikhlasan dalam ketaatan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala. Hati memiliki ilmu-ilmu dan kebijaksanaan yang menghantarkan seorang hamba kepada tingkat kemuliaan dan akhlak yang terpuji.
Oleh sebab itu menurut Al-Ghazali, sudah sepatutnya seorang hamba senantiasa menjaga dan merawat hatinya dari segala kekotoran duniawi agar kemuliaan hati tetap terlindungi dan terjaga dalam keagungan.
Sudah sepatutnya bagi seorang hamba senantiasa mengupayakan hatinya dalam keagungan dan kemuliaan agar hati senantiasa berada dalam kesadaran dan dapat menangkap kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala . Rasulullah Shalallahu ‘alahi Wassallam.
Mengupayakan hati dalam kebaikan adalah hal yang mutlak di perlukan. Jangan sampai hati menjadi keruh karena kesalahan dan dosanya. Sebab hati pula merupakan daya kekuatan dalam bertindak yang secara tidak langsung berpengaruh dalam tindakan seseorang.
Seseorang yang senantiasa melakukan maksiat adalah di sebabkan karena tidak mengetahui potensi-potensi yang ada di dalam hatinya.
Seorang ulama, Ibnu ‘Athoillah As-Sakandari, mengatakan bahwa tanda-tanda dari kematian hati seseorang adalah tidak merasa sedih ketika meninggalkan ketaatan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala dan tidak menyesal ketika melakukan kesalahan dan dosa. (Lihat Kitab Syarah al-Hikam, Muhammad bin Ibrahim, hal-42 juz 1)
Sudah sepatutnya bagi seorang hamba untuk senantiasa menjaga hati dari kekotoran dan dosa yang dapat memadamkan hatinya. Hati ibarat wadah yang terbuat dari emas. Maka jangan sampai mengisinya dengan hal yang tak berharga dan sia-sia agar nilai tinggi dari wadah itu tetap lestari. Wallahu a’lam bi as-showab.*/Muhammad Anas, mahasiswa fakultas Dirasat Islamiyah (studi keislaman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar